1. Awal Mula
Violetta Adams menguap lebar-lebar. Dia melirik jam digital di samping tempat tidurnya.
Pukul sepuluh.
Selamat pagi dunia!
Dia bermalas-malasan sebentar, menguap lagi, kemudian duduk. Tidak perlu buru-buru. Dia tidak kesiangan. Violetta Adams selalu bangun pukul sepuluh, di mana hampir semua orang di seluruh dunia sudah berangkat kerja.
Tapi tentu saja tak ada yang perlu dipusingkan. Violetta tidak bekerja. Sebetulnya dia tidak perlu melakukan apa-apa. Jumlah uang di rekening banknya sepuluh kali lebih banyak dari gaji seorang ahli bedah selama setahun. Violetta tidak butuh pekerjaan.
Segala sesuatu terlihat sangat indah. Violetta mengelus selimut kasmir yang masih menutupi kakinya dan menggulung lengan piyama sutranya. Hidupku sempurna!
Sebuah ketukan pelan di pintu kamarnya menyadarkannya.
"Entrez! (Masuk!)" katanya serak.
Pintu terbuka. Seorang wanita muda dalam setelan pelayan serba hitam mendorong troli makanan perak dan menyandarkannya di pinggir tempat tidur.
"Bonjour, mademoiselle. (Selamat pagi, nona). Sarapan Anda sudah siap."
"Bonjour, Sylvie. Apa menunya?"
"Roti gandum, selai kacang dan salad."
"Tepat seperti yang kuminta?"
"Oui. (Ya). Roti gandum dengan karbohidrat kurang dari dua puluh dua gram, selai kacang dengan kadar lemak kurang dari lima gram, dan salad dengan seluruh kandungan vitamin B, C, dan kalsium sesuai perintah Anda."
"Super! (Luar biasa!)"
Violetta membuka tudung saji perak sarapannya. Parfait! (Sempurna!) Bukannya dia cerewet soal makanan, tetapi memilih makanan dengan nilai gizi yang tepat membuatnya tidak gendut. Kelebihan beberapa gram karbohidrat berpotensi mengubah Violetta menjadi gendut, dan dia sama sekali tidak mau hal itu terjadi. Violetta tahu kalau gendut bersinonim dengan penampilan yang mengerikan. Nyatanya, Violetta benci orang-orang gendut.
Orang-orang gendut selalu jelek.
Violetta mengambil gelas kristal. "Dan jus mangga ini?"
"Diimpor langsung dari Turkmenistan," kata Sylvie ramah. "Sudah disterilisasi."
Violetta meneguk jus itu. Dia selalu minum segelas jus sebelum melahap sarapannya. Ini ritual wajib yang selalu dilakukannya setiap bangun pagi. Jus membantu melancarkan pencernaannya yang sensitif.
"Apa jadwalku hari ini, Sylvie?"
"Sebentar..." Sylvie mengambil iPad dari bagian bawah troli dan mulai membaca sebuah daftar. "Pukul sebelas Anda harus ke salon di Paris untuk meluruskan rambut, lalu pukul satu Anda punya janji makan siang dengan teman-teman Anda."
"St. Tropez, oui... aku ingat yang itu."
"Lalu pukul tiga Anda punya janji ke salon kuku untuk manikur dan pedikur. Pukul empat Anda punya janji main tenis."
"Sebentar," Violetta tidak ingat soal main tenis itu. "Dengan siapa aku akan main tenis sore nanti?"
Sylvie menjentik-jentik iPad itu dengan cepat. "Matthias Santoz."
Ah! Violetta langsung ingat. Matthias adalah putra desainer kondang Spanyol Lucracifica Santoz. Violetta bertemu Luca saat Paris Fashion Week bulan lalu. Violetta setuju untuk berkenalan dengan putra tunggal si desainer setelah Luca menyebut-nyebut bahwa dia sedang mencari model yang tepat untuk rancangan parfum terbarunya.
Sylvie melanjutkan keras-keras. "Pukul lima Anda akan latihan menembak..."
"Batalkan," perintah Violetta. "Aku sudah memenangkan lomba menembak itu lima tahun berturut-turut. Aku tidak perlu berlatih."
"Baik," kata Sylvie sambil melakukan serangkaian gerakan jari super cepat di layar iPad yang hanya bisa dilakukan seorang pelayan sejati sekaliber dirinya. "Pukul enam Anda harus spa, refleksi pipi, dan masker kelopak mata. Pukul tujuh ada terapi ketiak, lulur siku, dan pijat punggung. Pukul delapan makan malam Anda akan browsing TikTok dan mengikuti challenge-challenge yang sedang ngetren untuk meningkatkan followers Anda. Pukul setengah sembilan Anda akan menonton episode terbaru serial Netflix favorit Anda. Carmen akan menyisiri rambut Anda pada pukul sembilan, lalu Anda akan tidur."
Violetta termenung. Astaga, sibuk sekali aku hari ini!
Sebagai seseorang dengan jadwal super ketat, Violetta Adams sama sekali tak punya waktu untuk disia-siakan. Untunglah ada Sylvie yang selalu membuatkan jadwal untuk segudang aktivitasnya. Violetta punya firasat bahwa permainan tenis nanti sore akan merusak kuku-kukunya dan membuat kadar sengatan sinar ultraviolet di kulit wajahnya naik lima persen. Violetta selalu memakai setengah botol losion antiultraviolet seharga seratus Euro di tubuhnya (sengatan matahari berbahaya bagi kulit) tapi tetap saja, sesudah main dia harus buru-buru ke salon.
Geez! Ini akan jadi hari yang melelahkan!
"Ada kabar apa pagi ini?"
Sylvie menyodorkan koran kepada Violetta. Gadis itu langsung berjengit.
Ada dua hal di dunia ini yang membuat Violetta tidak suka membaca koran. Pertama, tinta koran ternyata berbahaya sehingga terlalu sering kontak dengan koran dapat merusak kulit tangan. Kedua, koran selalu berisi berita-berita politik yang membuatnya stres. Nah, stres itu juga berbahaya. Violetta yakin stres karena membaca berita politik di koran dapat membuat matanya berkantong dan rambutnya bercabang.
"Berita politik lagi?"
"Tidak seluruhnya, sih."
"Bacakan saja, deh."
Sylvie mulai membaca. "Kejutan besar bagi penduduk dunia..."
Violetta mengernyit mendengar tajuk utama yang tidak biasa itu. Sylvie refleks berhenti, tapi dia diperintahkan untuk terus membaca.
"Paris, dua belas November. Tayangan lima menit dari Vincent Krust tadi malam—"
"Stop!" potong Violetta. "Siapa Monsieur Krust ini?"
"Vincent Krust."
"Dia tidak masuk dalam geng arisanku, Sylvie! Aku tak kenal dia."
Sylvie langsung maklum. Ketidaktahuan Violetta itu disebabkan keengganannya untuk menyimak topik lain di dunia ini selain mode. "Dia seorang Amerika, nona. Seorang megamilyuner."
"Apa artinya megamilyuner?"
Sylvie berpikir sebentar. "Saya tidak begitu yakin, tetapi sepertinya orang yang sangat-sangat kaya."
"Lebih kaya dariku?"
"Jauh lebih kaya."
"Seberapa jauh lebih kaya, tepatnya?"
"Menurut Forbes, jika Krust menutup tiga perempat perusahaannya, ekonomi dunia akan kolaps."
Violetta mengernyit. Sylvie suka menggunakan istilah-istilah aneh semacam "kolaps". Sebetulnya Violeta ingin bertanya apa artinya itu tapi dia tak mau kelihatan seperti badut di depan pelayannya. Nanti dia akan mencarinya di Google Translate. "Alors? (Lalu?)"
"Bulan lalu, Bank Sentral Amerika baru saja meminjam sembilan triliun dolar dari rekening pribadi Vincent Krust."
Violetta langsung paham. Jenis orang yang suka berutang pada bank. Dia manggut-manggut, meski pemahamannya itu luar biasa keliru. Bukan Vincent Krust yang berutang pada bank, tetapi banklah yang berutang padanya. "Pasti si Krust ini sudah tua sekali."
"Dia baru enam puluh lima tahun," jawab Sylvie sopan. "Anda ingin saya melanjutkan?"
Violetta mengangguk.
"Krust sedang mengadakan semacam lotere raksasa yang mengikutsertakan seluruh penduduk Bumi. Dua orang terpilih akan berlomba menghabiskan satu milyar dolar dalam seminggu. Pemenang yang berhasil menghabiskan uangnya dalam seminggu akan mendapatkan hadiah tambahan yang masih dirahasiakan."
Violetta terbelalak. Dia menatap Sylvie. "Dia bercanda?"
"Sepertinya tidak," jawab Sylvie bersungguh-sungguh. "Anda sudah tidur ketika tayangan itu disiarkan tadi malam. Seluruh dunia sudah tahu soal ini."
"Maksudmu, si Krust ini akan membagi-bagikan satu milyar dolar gratis?"
"Betul. Kepada dua orang saja."
"Dolar America?"
"Ya. Sekitar delapan ratus lima puluh juta Euro."
"Est-il sérieux? (Apa dia serius?)"
"Sepertinya begitu. Seluruh media sedang membicarakan siaran itu."
Violetta melompat dari tempat tidurnya, menyambar remote televisi, dan mencari-cari saluran berita internasional. Rupanya dia tak perlu repot-repot karena seluruh saluran televisi sedang membahas lotere raksasa Vincent Krust.
Violetta Adams terbengong-bengong.
SATU MILYAR DOLAR DALAM SEMINGGU! Mon Dieu! (Ya Tuhan!) Pikiran Violetta langsung melayang pada deretan butik di Fifth Avenue dan Milan. Jika selama ini dia hanya bisa membeli setengah isi toko-toko itu, dengan satu milyar dolar dia akan membeli semua toko-toko itu! Dia akan meminta Prada merancang sebuah gaun tidur untuknya dan mengajak seorang aktor Hollywood makan malam! Dia akan merombak habis penampilan fisiknya seperti para artis K-Pop. Apple akan membuatkan sebuah iPhone berlapis berlian khusus untuknya. Dia akan memborong semua stiletto yang digemarinya. Koleksinya bakal mengalahkan milik Carrie Bradshaw di Sex & The City!
"Sylvie..." Violetta nyaris tak bisa berpikir, kepalanya dipenuhi imajinasi liar tentang tumpukan sepatu, tas tangan dan gaun malam (semuanya bermerek, tentu). "Berapa besar kemungkinanku terpilih?"
Sylvie berkedip-kedip sebentar. "Satu banding tiga setengah milyar, nona."
"Bicara yang jelas, Sylvie!"
"Anda punya peluang sekitar nol koma nol nol nol nol nol nol nol nol nol tiga persen untuk terpilih."
Violetta tersenyum. Dia tahu apa artinya angka itu. Dia punya peluang.
...
"MANA DIA? MANA KEPARAT ITU?"
Suara parau itu terdengar dari luar pintu apartemen. Joe mengerjap.
BRAAAK!
Sialan!
Gedoran itu kasar dan memaksa. Joe meraba-raba, mencari bantal. Ditariknya bantal itu menutupi kepalanya.
Aku baru tidur empat jam!
"AKU MENDENGAR KAU MENGUAP, PENIPU KECIL!"
Joe mengerang dan terpaksa bangun. Dia menyambar kacamatanya yang terletak di dekat tumpukan buku-buku dan melangkah gontai menghampiri pintu. Rasanya seperti melayang.
Joe mengintip di lubang pintu.
"BAYAR UANG SEWAMU, BRENGSEK!"
Selamat pagi juga, Mr. Hendrickson!
Joe mengeluh. Tidak ada yang menggedor-gedor apartemen orang lain pagi-pagi begini kecuali satu orang: Joachim Hendrickson.
Ada dua tindakan yang harus dilakukan kalau pria ini muncul di depan pintu apartemen di kawasan Sixty-Street setiap tanggal tiga puluh satu. Pertama, sebaiknya pintu JANGAN dibuka. Kedua, sebaiknya kau sudah berkemas dan bersiap kabur. Kecuali kau sudah menyiapkan seribu dua ratus dolar tunai.
Joe memelas. "Aku belum punya uangnya, Mr. Hendrickson—"
"YEAH, KATAKAN ITU PADA BUYUTMU!"
Joe lupa. Mr. Hendrickson tidak pernah iba. Dia itu robot.
"Akan kubayar kalau sudah punya uang," sambung Joe, kali ini lebih memelas. Dia mulai menjauhi pintu. Mr. Hendrickson bisa melakukan apa saja, serius, apa saja demi mendapatkan uang sewa.
"KAU SUDAH MENUNGGAK LAMA SEKALI! KAU MERAMPOKKU!"
Eh, sebentar. Joe baru saja mendapat satu alasan baru. "Mungkin uangnya terlambat beberapa hari."
Di luar mendadak hening. Lalu... "Apa maksudmu?"
"Jarak dari Oklahoma ke sini kan jauh sekali. Jadi mungkin saja pengiriman uang itu terlambat beberapa minggu."
"Benarkah?"
"Di kampung halamanku di Checotah, kami tidak punya bank. Semua uang kami disimpan dan disalurkan lewat kopera—"
"PE-NI-PU!" Teriakan Mr. Hendrickson membuat pintu bergetar. "INI BUKAN SOMALIA DI MANA BANK HANYA ADA DI IBUKOTA!"
Oh. Sial!
"BAYAR UANGKU SEKARANG JUGA!"
"Sebentar..." Joe lari ke kamar mandi. "Aku sedang err, tidak berpakaian..."
"KAU MEMBAWA PELACUR KE DALAM APARTEMENKU? BERANI BETUL KAU MENODAI TEMPAT INI!"
Boro-boro menyewa pelacur, Joe bahkan tidak punya cukup uang untung makan dengan layak. Mr. Hendrickson ini memang sudah sinting. Joe mempercepat berpakaian dan mampir ke teras. Dia mendobrak jendela hingga terbuka dan memanjat birainya.
"JANGAN MEMBUATKU MENDOBRAK PINTU INI, NAK!"
Joe berkonsentrasi dan mulai menyusuri dinding luar apartemennya. Dia sudah sering melakukan ini, tetapi tetap saja waswas jika terpaksa harus melakukannya lagi. Dia tidak berani menengok ke bawah. Tanah berada dua belas meter di bawahnya.
"DEMI TUHAN, AKU TAK PUNYA WAKTU SEHARIAN!"
Joe menahan napas. Tinggal sedikit lagi. Ayolah!
"BUKA PINTU INI SEKARANG JUGA!"
Joe melompat sekuat-kuatnya dan melemparkan tubuhnya ke balkon samping. Sekilas dilihatnya ada seseorang di birai jendela. Lalu dia mendarat di sesuatu yang empuk seperti bantal. Bukan hanya satu, tapi dua.
"AAAAAAAARRRRRGGGGGHHHHHH!"
"AAAAAAAARRRRRRGGGGGHHHHH!"
Ada yang menjerit. Joe juga ikut menjerit. Wanita yang berdiri di depannya menjerit lebih keras lagi lalu lari tunggang langgang ke dalam sambil menyambar copot tirai.
Astaga! Astaga! AS-TA-GA!
"JOE!"
Seorang pria kulit hitam yang hanya mengenakan pakaian dalam putih menghampirinya. Tubuhnya kekar seperti marmer. Wajahnya merah dan berang.
Joe memasang senyumnya yang paling manis. "Hai, Tony!"
Tony tidak tersenyum sedikit pun. "Apa yang kau lakukan pada Amber?"
Mampus! "Amber?" Wanita itu? "Aku tidak tahu kalau kau sedang umm... kedatangan teman wanita. Aku betul-betul tidak sengaja, Tony."
"Tidak sengaja?" geram Tony. Otot-otot bisepnya menggelembung seolah ada yang memompanya. "Kau mendarat di dadanya! Dia kaget setengah mati. Kau bilang itu tidak sengaja?"
"Aku kan selalu melakukannya."
"Apa?"
"Melompat ke balkon apartemenmu setiap akhir bulan. Maksudku..." Joe sadar dia terlanjur salah memilih kata-kata. Dia bergeser ke koridor ruang tengah apartemen Tony. Pintu keluar ada di belakangnya. "Untuk kabur. Kau tahu, kan. Mr. Hendrickson menagih uang sewa. Sumpah, aku tak tahu kalau kau sedang bersama Amber. Aku tidak senga—"
"Pergi!" Tony menunjuk pintu keluar. "Jangan kemari lagi!"
"Terima kasih, Tony!" Joe terbirit-birit menuju pintu."Sampaikan ke Amber, aku minta maaf!"
Dia melesat melintasi koridor, seperti terbang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top