2

Lea

Wajahnya terlihat khawatir dan perlahan dia mundur menjauhiku. Memberiku ruang, tapi matanya tak pernah meninggalkan tubuhku. Ia menatapku dengan intens, bergerak dari atas ke bawah untuk memeriksaku.

"Tidak. Kau tidak menyakitiku," ucapku begitu aku mendapatkan suaraku kembali.

"Tapi kau mengucapkan kata amanmu." Dia terlihat bingung.

"Itu satu-satunya cara untuk menghentikanmu," jawabku. Aku masih merapatkan tubuhku ke dinding dan melihatnya dengan waspada.

"Kau tak menginginkanku lagi?" Suaranya terdengar lemah, penuh rasa sakit tidak seperti dirinya.

"Kau sendiri yang bilang malam itu. Kita berdua bersama tidaklah benar, kau bilang aku harus pergi. Kau merasa aku tak cukup baik untukmu. Kau yang tak menginginkanku." Aku berusaha mengucapkan semua kalimat itu tanpa tersedak atau menangis. Dan aku bangga karena berhasil.

"Apa maksudmu?" Kali ini dia kembali melangkah mendekatiku dan aku semakin mengkerut ke dinding, memeluk tubuhku sendiri. "Aku tak pernah mengatakan kau tak cukup baik untukku."

"Tapi benar, kan? Kau mencampakanku karena aku tak cukup baik?" Dia sudah berdiri tepat di depanku. Tangannya terulur, bimbang harus menyentuhku atau tidak.

"Lea, bukan seperti itu."

"Tidak apa-apa. Jika kau menginginkan yang lebih baik, aku mengerti. Lagi pula hubungan kita selama ini hanya sebatas submissive dan dominant." Akhirnya dia mengusap pipiku, dan aku harus berjuang lagi melawan keinginanku untuk bersandar pada belaiannya.

"Lea, tak pernah sedetik pun aku tak menginginkanmu." ucapnya. Belaiannya turun ke leherku. "Bukan kau yang tak cukup baik tapi aku. Aku tak pantas untukmu, karena itu aku memintamu pergi dan sekarang aku menyesalinya. Kupikir aku dapat bertahan tanpamu, tapi ternyata tidak. Sama sekali tidak. Aku terus mengharapkan kau kembali dan memikirkan kau bersama pria lain membuatku gila. Kembalilah padaku."

"Apa?" Aku benar-benar merasa bodoh begitu mengucapkan kata itu. Setelah semua yang dikatakan Archer aku hanya dapat mengucapkan satu kata konyol dan tak membalas satu pun ucapannya.

"Kembalilah padaku," ucap Archer lagi. Dia menarikku ke dalam pelukannya tapi aku masih belum membalasnya.

"Archer, aku tak bisa jadi submissive-mu lagi. Sebesar apapun aku menginginkannya, aku ingin sebuah hubungan yang serius," gumamku dalam pelukannya.

Dia melepaskan pelukannya, kedua tangannya berada di bahuku dan matanya menatap tepat ke manik mataku. "Kita bisa mencoba."

Perlu beberapa detik bagiku untuk mencerna makna dari ucapannya dan saat aku berhasil mencernanya, mataku membulat penuh ketidak percayaan. "Archer, kau tidak harus melakukannya."

Dia meremas bahuku dan menyatukan dahinya ke dahiku. Hembusan napas hangat kami beradu membuat segalanya menjadi lebih panas dan menggairahkan. "Yang kuinginkan adalah kau, Lea!"

"Kau tidak menjalin hubungan, itu bukan caramu," ucapku. Dan aku mengutuk diriku sendiri, kenapa tidak katakan saja ya dan biarkan Archer kembali. Aku menginginkannya. Sangat.

"Aku akan belajar. Kembalilah padaku, Lea. Kumohon."

"Oke," jawabku pelan. Awalnya dia tak bereaksi tapi setelah dia menyadari makna dari ucapanku dia tersenyum begitu lebar hingga mungkin dapat membuatku meleleh.

"Ya Tuhan, terima kasih!" Dia berseru keras. Memelukku erat dan mengecup setiap inci wajahku.

"Aku tercekik, Archer," ucapku setengah tertawa.

Dia melepaskanku, senyumnya masih belum hilang dan ia mendaratkan satu kecupan lagi di antara kedua mataku. "Maaf, aku tak mau membunuhmu karena terlalu senang. Ayo pergi!"

Dia menarik tanganku, memutar kunci dan akan menarik pintu toilet terbuka. "Archer? Kau yakin ingin keluar?"

Dia seketika berhenti dan berbalik melihatku. "Kau tak ingin terlihat bersamaku?"

"Ya, aku tak ingin," jawabku. Senyumnya leyap tak bersisa. "Maksudku, aku tak mau jika kau belum menaikan ritsleting celanamu dan kembali memasang ikat pinggangmu. Dan kurasa aku juga tampak kacau."

Dia melihat ke bawah dan mengutuk. "Sialan! Kau benar-benar membuatku gila, Lea."

***

Aku masih tak percaya akhirnya aku kembali berada di mobilnya dan sedang menuju ke penthouse-nya lagi. Dengan tangannya menggengam tanganku saat dia mengemudikan Range Rover miliknya.

"Katakan sesuatu!" pintanya. Melirikku sekilas.

"Katakan apa?" balasku.

"Apa saja, aku ingin mendengar suaramu."

"Aku ingin kita segera tiba. Aku ingin kau berada di dalam diriku. Aku basah untukmu."

Dia terengah dan genggamannya ke tanganku makin erat. "Sialan, Lea! Kau membunuhku."

"Kenapa kita tidak menepi dan membuatnya jadi lebih baik?" Aku mengusap miliknya yang mengeras di balik celananya. Dan tubuhnya bergetar menahan gairah, rahangnya menegang.

"Jika kau tak menghentikan itu, aku benar-benar akan menghentikan mobil sialan ini dan menyetubuhimu dengan keras dan cepat, Lea."

"Itu tawaran yang menarik, Mr. Black." Aku meremas miliknya dengan cukup keras hingga ia mendesah nikmat dan matanya setengah terpejam.

"Kau akan membuat kita berdua mati, jika terus melanjutkannya."

Aku tertawa dan menarik tanganku kembali. Archer mengamatiku dengan mata hitamnya, dan aku merasa ada yang lain dari tatapannya. Tidak seperti biasanya yang serat akan hasrat, kali ini tatapan itu terlihat lembut dan mengagumi. Membuat pipiku memerah. "Kenapa melihatku seperti itu?"

Dia kembali melihat ke jalan. "Aku harusnya lebih sering membuatmu tertawa seperti itu."

"Kalau begitu kau harus terus memanjakanku," balasku.

"Aku suka ide itu. Memanjakanmu di ranjang hingga membuatmu tak bisa berjalan," ucapnya. Dia menyeringai lebar.
"Percayalah, aku menantikannya Mr. Black." Aku mengedipkan sebelah mataku dan matanya berkilat-kilat penuh janji.

Penthouse miliknya masih sama persis dengan yang kuingat saat terakhir kali. Dinding yang di dominasi warna putih dengan beberapa lukisan karya pelukis lokal, jendela besar yang mengarah ke kota Atlanta. Sofa berwarna krem yang membuatku tersenyum ketika melihatnya, bahkan semua perabotannya masih sama persis.

"Kau tidak banyak melakukan renovasi tiga bulan ini," ucapku. Berjalan mendekati sofa dan duduk di tepinya.

"Aku tak bisa mengubahnya, aku tak bisa kehilangan kenangan tentang dirimu. Aku sering duduk di sofa itu dan membayangkan membaringkanmu di atasnya lalu menyetubuhimu dengan keras. Mendengarmu mengerang dan menjeritkan namaku saat klimaks." jawabnya. Membuat simpul di perutku makin mengencang.

"Kalau begitu apa yang kau tunggu?" Aku menaikan ujung gaunku hingga memperlihatkan setengah bagian pahaku.

Dia mendekat dengan mata yang berkilat tak sabar, menciumku keras dan dalam membuatku melenguh nikmat. Mendorongku hingga terlentang di sofa, bibirnya tak meninggalkan bibirku, tangannya meremas dadaku dan aku memekik di dalam mulutnya. Aku mencengkram lengannya dan kakiku melingkar di pinggangnya. Jariku mulai mencari ritsleting celananya tapi ia menghentikanku dan mengakhiri ciumannya.

"Belum Lea. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu terlebih dahulu." Dia mengusap rambutku, menyelipkan anak rambut yang terbebas dari sanggulku ke balik telingaku. Aku mendesah kecewa dan itu membatnya tertawa.

"Apa sesuatu yang akan kau tunjukkan lebih fantastis dari ini?" Aku meremas miliknya dan membuatnya menggeram.

"Aku tak tahu ukuran fantastis menurutmu. Tapi kurasa ini cukup fantastis," jawabnya. Menarikku bangun dari sofa. Dan menggiringku untuk mengikutinya.

Aku sudah cukup hafal semua ruangan di rumah ini. Dan aku tahu tak ada yang baru di sini. Semuanya benar-benar sama dengan saat terakhir aku ada di sini dan itu membuat hatiku melambung. Archer serius dengan ucapannya. Dan saat aku sampai di depan pintu kamarku yang berpelitur. Kamar submissive. Aku hendak membukanya dan masuk, tapi Archer menahan tanganku.

"Tidak." ucapnya singkat.

Aku melihatnya dengan bingung dan pikiran buruk menyelinap ke dalam otakku. Apakah ada orang di dalam? Submissive barunya? Wanita lain? Dia tak mungkin tak melakukan seks selama tiga bulan terakhir ini, kan?

"Aku hanya ingin mandi dan memgganti gaunku," jawabku.

"Karena itu ikut aku!" Dia kembali menarikku.

"Apa ada wanita lain di sana?" tanyaku pelan, takut membuatnya marah.

Dia berhenti dan berbalik untuk melihatku. "Jadi itu yang kau pikirkan? Dimi Tuhan, tidak Lea. Aku hanya menginginkanmu. Tidak ada wanita lain."

Hatiku kembali melambung mendengar jawabannya dan aku merasa konyol karena telah bertanya. "Maaf. Tapi aku yakin tak mungkin tak ada wanita tiga bulan terakhir ini."

"Ada satu. Itu malam di mana kau pergi, aku merasa sangat buruk setelahnya. Aku menyesalinya dan tidak ada lagi setelah itu. Aku hanya menginginkanmu," jawabnya. Dia benar-benar terlihat takut. "Kau tidak akan pergi, kan?"

"Tidak." Aku menggeleng. Aku ingin bersamanya. Aku tidak ingin pergi.

Dia tersenyum, kembali terlihat rileks. "Terima kasih."

Dia membawaku menaiki tangga dan aku tidak pernah menginjak tempat ini, ada lebih banyak foto di atas, foto dirinya dan kurasa ayah dan adiknya. Mereka semua berambut hitam tapi adiknya punya mata biru yang cantik. Ada satu foto yang menjadi favoritku, itu Archer saat masih muda, dia belum punya otot sebagus ini tapi aku dapat melihat kehangatan di matanya saat ia berdiri bersisian dengan adiknya saling mengalungkan lengan di bahu masing-masing. Mereka memakai kaos tim football Atlanta Havoc, terlihat muda dan bahagia.

Dia terus menggiringku untuk mengikutinya dan berhenti di sebuah pintu. Mataku beralih dari wajahnya yang tersenyum cerah dan pintu yang ada di depanku. Pintu putih berukir rumit yang terlarang untuk di masuki siapa pun selain dirinya. "Masuklah!"

Jariku bergerak dengan ragu, memegang kenop pintu dan memutarnya, mendorongnya hingga terbuka dan menunjukkan apa yang ada di baliknya. Sebuah ranjang ukuran king size berwarna putih, dinding berwarna krem dan yang membuatku terpana, di atas kepala ranjang terdapat pigura besar yang membingkai potret diriku yang baru bangun tidur, masih berbaring di atas ranjang. Rambut pirang platina acak-acakanku jatuh menutupi mataku. Iris hijauku masih terlihat sayu, bibirku terlihat merah dan aku hanya mengenakan jubah tidur sutra berwarna merah yang menggoda. Aku harus mengakui itu sangat seksi. Aku tidak ingat kapan dia mengambil foto itu.

"Ayo masuk!" Dia melingkarkan lengannya di pinggangku dan membawaku masuk. Menuntunku ke lemari pakaian dan membukanya. Lemari itu di penuhi gaun, blouse, dan pakaian dalam seksi yang membuatku menganga. "Kuharap kau suka."

"Ini ... menakjubkan," jawabku. Aku memberikan ciuman ringan di bibirnya.

"Aku mau kau tidur bersamaku." Dia mencium puncak kepalaku. "Aku ingin melihat matamu saat mataku terpejam dan melihatnya lagi saat mataku kembali terbuka. Aku ingin bersamamu."

Hatiku melonjak ke tingkat kebahagiaan yang belum pernah kucapai sebelumnya. Menggembung seperti balon udara harapan dan menghangat mendengar kata-katanya. "Terima kasih."

Dia mengecup sudut mataku yang meneteskan air mata, meski aku tidak menginginkan air mata itu tumpah, menjilat bibirnya dan tersenyum menggoda. "Mandilah dan aku akan mengecek beberapa email-ku lalu kembali dan aku tak akan melepaskanmu lagi."

Dia keluar dari kamar dan tiba-tiba aku punya ide gila yang melintas di kepalaku yang mungkin dapat membalas hadiah menakjubkan darinya.

***

Pembaca yang budiman vote dan comment kalian sangat berarti bagi saya, jadi jika kalian menyukai cerita ini silahkan klik tanda bintang kecil yang ada di tiap akhir bab. Saya akan sangat menghargainya ....

Arum Sulistyani

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top