1

Lea

Tiga bulan yang lalu

Aku keluar dari penthouse-nya dan dia masih mengikutiku. Kenapa dia tidak meninggalkanku sendiri? Bukankah ini yang dia mau? Aku pergi dari hidupnya. Aku ingin menangis tapi aku tidak ingin melakukannya di depannya.

Ya Tuhan! Ini sangat mengerikan, aku tidak bisa menahan perasaan sakit yang sekarang berpusar di sekelilingku. Tinggal beberapa langkah lagi. Beberapa langkah dan aku akan mencapai lift.

Terlambat.

Tanganya berhasil mencapaiku dan sengatan rasa panas menusuk mataku, aku tidak yakin bisa bertahan untuk tidak menangis lebih lama lagi jika melihatnya.

"Dengar! Jim bisa mengantarmu," dia bicara lagi, seolah-olah masih peduli padaku.

"Tidak! Kumohon! Hanya biarkan aku pergi! Jangan mencoba peduli padaku, aku hanya perlu tahu kalau ini berakhir. Aku tidak akan bisa berhenti jika ... jika ...," aku bahkan tidak bisa bicara dengan benar, "jika aku masih berpikir kau peduli padaku. Bantu aku untuk membuatnya lebih mudah. Kau ingin aku pergi, aku pergi!"

Dia terlihat sedih tapi aku tidak mengerti mengapa. Dia yang menginginkan ini, bukan aku. Seharusnya ini tidak sulit untuknya.

Aku menarik lenganku dari genggamannya dan menekan tombol lift. Bersyukur karena pintu itu terbuka dengan cepat. Aku masuk dan berbalik melihat Archer untuk yang terakhir kalinya. "Lea," dan saat dia menggumamkan namaku, itu menyayatku dengan lebih menyakitkan lagi.

"Selamat tinggal Archer!" ucapku. Dan begitu pintu lift tertutup dan Archer tidak bisa melihatku lagi. Aku merosot, jatuh, dan tidak memiliki apapun lagi. Aku mulai membiarkan tangisku pecah. Melepaskan semua rasa sakit yang tadi kutahan, tapi rasa sakit itu sama sekali tidak mereda. Ini hanya bertambah parah.

Aku tidak pulang ke apartemenku, aku meminta sopir taxi itu membawaku ke apartemen Leona. Aku kesakitan dan aku butuh seseorang. Terakhir kali aku hancur itu benar-benar parah, aku tidak bisa mengambil resiko untuk sendirian. Aku sedang rentan dan hal terbaik yang bisa kulakukan hanyalah membuat seseorang dapat mengawasiku.

Aku tidak mengetuk pintu, aku langsung memasukkan kode keamanan karena Leona sudah memberitahuku. Aku masuk dan memanggilnya tapi tidak ada sahutan, jadi aku berjalan ke kamarnya. Tapi apa yang kutemukan di sana benar-benar membuatku makin merasa sakit. Dan itu salahku juga karena tidak mengetuk terlebih dahulu.

Leona berada di atas ranjangnya bersama Lucas, lengan dan kaki mereka saling berbelit hingga aku tidak dapat menentukan kaki mana milik siapa. Aku menangis dengan lebih keras hingga mereka dapat mendengarku dan secara terburu-buru memisahkan diri dan menutupi tubuh mereka.

Kenapa aku tidak bisa memiliki seseorang yang menginginkanku? Sylvia memiliki David, dan Leona ... meski Lucas sudah bertunangan, aku tahu pria itu benar-benar mencintai kakaku.

"Astaga! Kau tidak bilang akan berkunjung," ucap Leona. Dia jelas malu dengan kejadian ini.

"Kau juga tidak bilang akan mampir waktu itu!" balasku. "Bisakah kalian berpakaian dengan cepat? Aku akan menunggu di luar!"

Dua menit aku menunggu di depan pintu kamar Leona, dan pintu itu terbuka lagi. Lucas yang keluar lebih dulu. "Aku akan pergi. Kau bisa menghabiskan waktu dengan kakakmu."

"Kau tidak harus pergi. Ini apartemenmu, kau yang membayarnya dengan uangmu. Aku bisa membawa Leona ke apartemenku," balasku. Dia menggeram. Kami tidak pernah akur.

"Aku membeli ini untuk Leona. Ini miliknya!"

"Seperti Porsche itu juga?" sindirku.

"Ya!" bentaknya. Dia melotot padaku dan anehnya aku tidak takut meski aku tahu dia bisa saja membunuhku karena memang itulah pekerjaannya.

"Seandainya kau tidak membuat kakaku menjadi seperti rahasia kecil kotormu. Aku mungkin akan menyukaimu!" balasku. Dia terlihat akan meledak.

"Dia bukan rahasia kecil kotorku! Aku mencintai Leona!"

Aku mengangkat bahuku tak acuh. "Kenyataannya, kau tidak bisa menjanjikan masa depan apapun padanya!"

Dia terlihat akan membalasku lagi tapi Leona muncul. "Kau belum pergi?"

"Aku baru akan pergi. Telepon aku jika terjadi sesuatu," ucap Lucas dan dia mengecup dahi Leona, membuatku ingin menangis lagi.

Setelah pria itu benar-benar hilang dari sini. Leona mulai menilai penampilanku. "Biar kutebak! Archer memutuskanmu?"

Aku tidak bisa menyebutnya putus karena sebenarnya kami bahkan tidak punya hubungan.

"Tidak seperti itu. Kami tidak punya hubungan. Jadi tidak ada putus atau mengakhiri." Kami berjalan ke sofa di depan Televisi. Aku duduk, Leona mengikutiku.

"Jadi apa dia hanya menidurimu? Karena jika iya, aku akan meminta Lucas untuk membunuhnya!" desis Leona.

"Kau tidak akan melakukan itu. Lagi pula dia sudah mengatakan sejak awal kalau ini hanya seks. Aku saja yang terlalu terbawa perasaan."

"Jangan bilang kalau kau mencintainya!"

Aku juga berharap begitu, tapi apa yang bisa kulakukan?

"Aku tidak bisa menghentikan diriku. Aku jatuh cinta padanya."

Leona mendesah dan menarikku ke pelukannya. "Aku benar-benar ingin membunuhnya."

"Kau tidak akan melakukannya," bisikku. Dan aku kembali menangis. Membasahi kaos Leona seperti tiga tahun yang lalu. Tapi entah bagaimana ini terasa lebih mengerikan, menyakitkan, dan aku tidak yakin dapat melupakan Archer.

***

Sekarang

Aku seharusnya tidak datang, aku jelas tidak cocok di sini. Aku mengamati ruangan sekali lagi, melihat banyak pasangan yang sedang berdansa diiringi musik waltz. Jika bukan karena Maggie, aku tidak akan mau berada di sini dan menggantikan dirinya. Dia dan semua urusan pekerjaannya ternyata dapat menyeretku ke pesta menyebalkan ini. Dan aku tidak bisa menolaknya setelah dia membantuku mendapatkan pekerjaan baruku.

Aku hanya terus mengamati ruangan, hingga akhirnya pandanganku jatuh pada pria yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Itu dia.

Kulitnya yang berwarna coklat keemasan begitu menggiurkan. Rambut hitamnya dibiarkan tumbuh agak panjang hingga jatuh menutupi dahinya. Rahangnya tegas dengan tulang pipi tajam dan bibir sensual. Bibir yang pernah berada di seluruh tubuhku. Matanya memindai ruangan secara cepat dan akhirnya menemukanku. Aku mencoba berpaling, tapi mata hitamnya menahanku. Membuatku tak dapat melepaskan pandangan darinya.

Dia berjalan ke arahku dengan kepercayaan diri penuh. Penuh dominasi, bahkan orang menyingkir untuk memberinya jalan. Saat dia sudah cukup dekat, aku melihat dasi yang dia pakai. Dasi berwarna abu-abu dengan garis-garis silver, dan napasku langsung berubah tak beraturan. Itu dasi yang dia gunakan untuk mengikatku, dasi favoritku.

"Miss. White? Senang melihatmu di sini," ucapnya. Mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Aku tak langsung menyambutnya, mataku tertahan pada cincin emas dengan ukiran rantai yang melingkar di jari telunjuknya. Cincin yang menunjukkan dominasinya terhadap diriku. Dan dunia mulai terasa berputar di sekitarku. Dan saat aku menyambut uluran tangannya, dinginnya cincin itu di kulitku membuatku menegang.

Genggamannya masih terasa kuat seperti dulu. Dia membawa tanganku ke mulutnya, mengecupnya den sedikit menjilat punggung tanganku. Aku harus menggigit bibirku agar desahan tidak keluar dari mulutku. Akhirnya dia melepaskanku dan beralih mengamati wajahku yang mungkin sedang bersemu merah saat ini.

"Mr. Black? Aku tak menduga akan bertemu dengan anda di sini," ucapku berusaha memecah keheningan yang penuh dengan hawa panas.

"Aku di sini karenamu, Lea," ucapnya begitu mengejutkanku.

"Karenaku?" aku bertanya dan aku langsung merasa kalau itu pertanyaan yang sangat bodoh.

"Ya. Berdansalah denganku!" ajaknya dengan suara bariton. Salah. Dia tidak mengajakku dia memerintahku. Dan bagian diriku yang rentan terhadap dominasinya bertekat untuk menyenangkannya, memberikan segala sesuatu yang diminta olehnya.

Aku mengangguk dan melangkah untuk lebih mendekat ke arahnya. Tangannya berada di punggungku menarikku merapat ke tubuhnya dan membawaku ke lantai dansa. Dan saat dia menekan tubuhnya ke tubuhku, aku dapat merasakan tiap otot yang meregang di balik tuxedonya.

"Kau sangat pendiam," bisiknya di dekat telingaku. Napasnya berhembus menggelitikku. Aku memejamkan mataku untuk mengatur kontrol diriku yang kacau karena indraku dipenuhi aroma memabukkan dirinya. Aroma yang sangat lezat.

"Pertemuan terakhir kita tidak terlalu bagus," balasku dengan suara kecil. Ibu jarinya berada di tulang selangkaku, membuat gerakan melingkar yang lembut, membangun gairah dalam diriku.

Apa yang sebenarnya dia inginkan?

"Aku ingin membicarakan itu. Mungkin kita bisa pergi sekarang dan berbicara di tempat yang lebih pribadi," ucapnya. Dia semakin menekankan tubuhnya ke tubuhku. Wajahnya berada di leherku, aku dapat merasakan dia menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma tubuhku dan ototnya semakin menegang.

"Bukankah pembicaraan kita sudah selesai malam itu, Archer? Kau yang bilang begitu," jawabku. Aku menyelipkan seluruh rasa perihku pada ucapanku.

Musik berakhir dan aku menarik diri menjauh darinya. Ini tidak baik untuk kesehatan psikologisku, aku sudah berjuang untuk keluar dari kubangan rasa pilu karena telah dicampakkannya. Dan belum seutuhnya pulih, aku tak bisa mengambil resiko untuk kembali terluka. Aku harus pergi darinya. "Aku permisi, Archer."

Dia melepaskanku dengan enggan dan aku berjalan pergi mencari toilet. Aku butuh menenangkan pikiranku, butuh membuang aroma yang membuat sistem sarafku tak bekerja dan yang terpenting aku butuh mengingat malam saat dia mencampakanku agar aku tak jatuh dalam jerat manisnya lagi.

Aku memercikan air ke wajahku dan memandang bayanganku di cermin di atas wastafel yang balas memandangku. Matanya yang berwarna hijau pucat terlihat menghakimiku, pipinya yang bersemu merah mengkhianati pikiranku, rambut pirang platina yang kusanggul ketat mulai terlihat longgar. Seolah itu sebuah pertanda kalau pertahanan dan penolakanku atas Archer mulai melonggar juga. Aku menginginkannya, aku tak dapat memungkiri itu. Tapi jauh di dalam diriku aku menginginkan sebuah kebahagiaan yang tak mungkin dapat diberikan oleh Archer.

Aku menutup mataku, mengambil satu tarikan napas panjang untuk kembali mengencangkan semua tali komitmen yang telah kubuat. Dan saat aku membuka mata, aku melihat bayangan Archer Black sedang mengamatiku di depan pintu toilet. Postur tubuhnya yang tegap menjulang tinggi dalam posisi santai bersandar pada pintu. Kakinya disilangkan dan kedua tangannya terlipat di dada seolah menunggu reaksiku. Kemudian ia menegakkan tubuhnya berbalik untuk mengunci pintu di belakangnya.

Aku tak tahu bagaimana dia bisa mendapatkan kunci itu. Tapi aku tidak terkejut, Archer selalu mendapatkan apa yang dia inginkan. Selalu.

"Mr. Black?" ucapku. Suaraku terdengar jauh dan serak.

Dia membalikkan badannya dan mengambil langkah untuk berada di depanku. Tatapan matanya yang dingin menundukkanku, memastikan aku tak akan dapat menolak keinginannya. "Kembalilah!"

Napasku terengah, punggungku membentur wastafel, dan jatungku berpacu seakan aku telah berlari sejauh berkilo-kilo meter. "Aku ...."

Kalimatku tak pernah selesai karena, detik berikutnya bibir Archer sudah melumat bibirku. Lidahnya mencari celah untuk masuk lebih dalam tapi aku megatupkan bibirku rapat-rapat. Dia menggeram, giginya menggigit bibir bawahku dan sedikit menariknya. Aku memekik, mulutku sedikit terbuka, dan aku dapat merasakan bibirnya tersenyum di atas bibirku. Dia mengambil kesempatan itu untuk menyelipkan lidahnya masuk. Lidahnya menari dengan liar mencari respons dariku tapi aku hanya diam, pasif, tak mengimbangi gairahnya. Aku mendorong tubuhnya menjauh tapi ia seperti dinding beton, bergeming, dan tak dapat diruntuhkan. Dia menangkap kedua tanganku dengan satu tangannya, menariknya ke atas kepalaku dan semakin memperdalam ciumannya. Tangannya yang lain membelai leherku dengan gerakan lembut menyesatkan. Dalam usaha terakhirku untuk mengakhiri ciuman panas ini, yang pastinya akan berakhir dengan runtuhnya semua pertahananku, aku menggigit bibirnya dengan sangat keras. Dia kembali menggeram tapi tak menghentikan ciumannya. Bahkan saat aku mulai merasakan anyir darah mengalir dari bibirnya dia terus menciumku seakan aku adalah candunya.

Saat kupikir aku akan mati kehabisan napas, ia baru menarik dirinya. Lidahnya menjilat bibirnya dengan gerakan sensual yang membuatku merinding dan ibu jarinya mengusap bibirku. Kemudian membawanya kemulutnya menyesapnya dengan keras. "Lezat. Kau masih terasa seperti dulu."

Aku menggigil dan tubuhku merespons ucapannya, aku merasakan panas di pangkal pahaku, dan payudaraku mengeras dan terasa sesak di dalam braku. Napasku terengah, entah karena beberapa saat yang lalu tak dapat mengambil napas atau karena gairah yang bergejolak dalam diriku. Aku tak yakin yang mana.

"Aku ingin pergi," ucapku. Tapi ia masih belum melepaskan tanganku dari cengkramannya.

"Bukan itu yang kau inginkan." Matanya turun, menatap belahan dadaku yang menyumbul dari tepian gaunku

"Please let me go, Sir," desahku.

Setelah mendengar kalimat itu dariku tubuhnya menegang. Matanya semakin gelap dan ia menyentak tubuhku, mendorongku ke dinding. Menjepitku hingga aku tak dapat bergerak sedikit pun, ia menyelipkan satu kakinya di antara kakiku. Mendorong kakiku terpisah dan tangannya bekerja dengan cekatan melucuti ikat pinggangnya, menurunkan ritsleting celananya dan mulai mengangkat gaunku. Dia menggeram. "Kau tak akan pergi dariku!"

Dan saat ia mulai mengait ban celana dalamku untuk menariknya turun. Aku memekikkan satu kata yang akan menghentikannya. "Ceasefire!"

Dia membeku, tangannya jatuh di kedua sisi tubuhnya, dan dia hanya menatapku dengan gamang. "Apa aku menyakitimu?"

***

Pembaca yang budiman vote dan comment kalian sangat berarti bagi saya, jadi jika kalian menyukai cerita ini silahkan klik tanda bintang kecil yang ada di tiap akhir bab. Saya akan sangat menghargainya ....

Arum Sulistyani

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top