71. Dibalik Pemikiran Sang Dewa
-- ▫️🗝️▫️--
Angin berhembus cukup kencang di tempat itu, namun sosok Ivarios sama sekali tidak beranjak dari posisi duduknya di pinggiran pagar balkon menara lonceng tertinggi di akademi Philosthilea itu. Bagaikan berada di gedung pencakar langit, Ivarios bisa melihat keseluruhan akademi Philosthilea dari atas sini, bahkan pemandangan hutan yang begitu luas di belakang akademi tersebut.
Matanya memejam sesaat, menikmati hembusan angin yang membelai wajahnya, membuat rambut peraknya berayun pelan di sisi kepalanya. Ah, menghabiskan waktu di akademi pada hari libur seperti ini memang cukup membosankan. Meskipun kenyataan bahwa dia tidak sendirian mengingat masih ada murid lain juga yang tidak memilih pulang, hanya ada satu yang memenuhi pikiran Ivarios sejak kemarin.
Mungkin karena dasarnya wanita itu tidak ada disini. Elxyera..yang dirindukannya.
"Ah, ini lebih membosankan daripada yang kuduga," gumamnya kembali membuka matanya bersandar menyamping pada pilar pagar balkon dan menghela nafas panjang. Hari-hari yang membosankan seperti inilah yang membuatnya tidak tahu harus melakukan apa.
Kegiatannya selama liburan akhir pekan ini hanya menemani Diziel dan Ivory dalam kegiatan sehari-hari. Itu setidaknya bisa membuat perhatiannya teralihkan dan dia tidak akan bosan dengan itu.
Namun sayangnya, kedua temannya itu sedang ada urusan di kota untuk membeli keperluan mereka. Tentu, Diziel sudah mengajaknya tadi. Tapi Ivarios menolak dengan alasan malas keluar dari akademi. Decakan kecil pun terdengar menemani helaan nafasnya walaupun dia sebenarnya tidak menyesal menolak ajakan itu tadinya.
"Andai Elxyera ada disini juga. Lagipula aku tidak bisa sembarangan berkeliaran juga," gumamnya, teringat dengan statusnya sebagai dewa yang menyamar. Itu mungkin adalah hal dasar yang seharusnya tidak perlu ditakutkannya. Tapi mengingat bahwa dewa dewi lain yang bekerja di bawah namanya tentu saja bisa mencurigainya, tidak ada yang tahu, kan.
Lebih baik dia mengambil langkah aman walaupun kemungkinannya kecil dapat bertemu dengan dewa dewi lain di Fargaven ini. Meskipun, membicarakan itu jadi mengingatkannya dengan laporan terbaru dari Vortivius kemarin.
Mengingat dia meminta pria itu untuk memantau Arsen dier Fargaven.
Tapi...sepertinya rencananya untuk memantau Arsen tidak bisa berjalan lebih lama lagi. Karena...
"Ranchy ada di Fargaven. Terlebih lagi berada di sisi Putra Mahkota," gumamnya kembali. Jelas, sebagai seorang dewa, dia mengetahui satu dua hal yang tidak diketahui manusia biasa. Terutama tentang sesuatu yang sebenarnya Ivarios ketahui mengenai para dewa dewi yang sebenarnya menyamar sebagai manusia dan melebur dalam masyarakat seperti Ranchy dan Amity.
Tapi di satu sisi, Ivarios juga mendengar mendengar kabar kalau Arsen mengalami koma karena kekuatannya yang tak dapat dikendalikan. Semoga saja itu bukan karena latihan tandingnya saat melawan Arsen, kan.
Terlebih lagi, kenyataan bahwa salah satu dewa yang mendampinginya justru berada di sisi Putra Mahkota karena itu. Ah, dia tahu bagaimana tiap hal yang dilakukan oleh para Dewa Dewi yang mendampinginya itu. Terutama Ranchy dan Amity yang diketahuinya tengah mendampingi sang Optivus di kuil utama.
Itulah juga...yang membuatnya cukup sulit berinteraksi dengan sang Optivus tanpa diketahui oleh kedua dewa dewi , Ranchy dan Amity yang semulanya dia tempatkan disana memang untuk membantunya mengabari firman baru untuk kuil utama dan sang Optivus.
Sekarang bisa berbahaya baginya jikalau mereka tahu Ivarios menyamar menjadi manusia.
Netranya meredup dengan pikirannya yang dipenuhi dengan berbagai macam hal, namun pada akhirnya tangannya terulur ke depan, tepat pada udara kosong berpuluh meter tingginya di atas permukaan tanah. Dan bersamaan dengan itu juga, sebuah buku tua yang tebal bersampul kulit muncul di tangannya.
Tangannya menggenggam buku itu dan menatapnya, terlihat sendu di balik netra matanya yang berwarna unik itu. Keheningan di balik suara hembusan angin seketika memenuhi tempat itu saat Ivarios terdiam menunduk. Seolah menerawang buku yang akhirnya dia buka perlahan untuk memandang isinya satu persatu walaupun pikirannya sepertinya tidak sepenuhnya tertuju pada buku itu.
Pikirannya nampaknya tertuju pada firman dewa yang telah dia keluarkan, terutama sesuatu yang berhubungan dengan Sang Pangeran terpilih dan Gadis Suci. Yang membuatnya teringat dengan kejadian beberapa hari lalu.
"Arsen...tidak selemah dugaanku. Sebagai sosok anak terpilih oleh Firman Dewa, Arsen sama sekali tidak mengecewakan."
Ivarios menggumam, kembali mengingat hari dimana dia melawan Arsen. Sesungguhnya, rencananya melawan sang pria saat itu adalah tindakan spontan untuk melihat bagaimana kehebatan dari Arsen. Namun ternyata serangan yang ditunjukkan sang pria begitu terlatih. Kedua tangan yang seolah telah ditempa dengan begitu kuat untuk menyokong pedang yang akan digunakan untuk membela kerajaan demi kekaisaran masa depan.
Tidak mengecewakan untuk seorang Putra Mahkota yang dituntut untuk menjadi sempurna.
Ya, pilihannya tidak mengecewakan. Sosok yang Ivarios rasa sangat pantas mendampingi Gadis Suci Avyce Heiligheid. Dan harusnya seperti itu.
Hanya saja, pikirannya kembali melompat ke masa saat dia melawan sang pria beberapa hari lalu itu. Bahkan kembali teringat dengan senjata milik Arsen. Pedang hitam dengan aura tidak menyenangkan itu jelas tidak bisa membuat Ivarios merasa tenang. Terlebih lagi, dapat mengimbangi senjatanya sendiri.
'Pedang hitam dengan aura familiar yang mencekam itu. Sudah pasti pedang itu adalah salah satu peninggalan milik dewa, harta suci.' batinnya mencoba mengingat-ngingat akan hal itu. Jelas perasaan familiar itu membuatnya jadi memikirkan beberapa hal yang bisa menghubungkannya dengan pedang itu, kan.
"Karena tidak mungkin senjataku yang bereaksi pada senjatanya hanya kebetulan saja kan."
Kembali dia teringat dengan kejadian itu. Sesuatu yang sesungguhnya cukup membuatnya kewalahan. Apalagi, saat memandang tangan kanannya yang terkena serangan Arsen yang tidak dapat dia hindari di detik terakhir, sekali lagi memberikan rasa berdenyut sakit disana membuatnya mengernyit.
Umumnya, senjata Dewa dan Dewi adalah sesuatu yang mulia dan mengagumkan. Harta Suci peninggalan bersejarah yang begitu hebat itu memang tidak mudah dikalahkan. Tapi menemukan sebuah senjata yang dapat mengimbangi kuasa senjatanya sendiri, Ivarios tentu semakin curiga dengan senjata sang pria, kan.
Hanya Harta Suci yang dapat mengimbangi Harta Suci lainnya dalam potensi asli mereka.
Potensi asli dari senjata dewa dapat dikeluarkan secara maksimal, apalagi jikalau itu berada di tangan manusia yang berbakat seperti Arsen. Tapi sejauh yang Ivarios ingat, senjata dewa dewi sendiri masih belum banyak yang ditemukan oleh manusia saat ini. Harta Suci yang begitu berharga.
Karena seingat Ivarios...hanya ada satu harta Suci yang dimiliki di kerajaan Fargaven, dan itu dimiliki oleh Crovis Kaisar Fargaven. Kecuali Ivarios juga mengingat rumor yang mengatakan kalau senjata milik Arsen juga adalah Harta Suci peninggalan salah satu dari 10 dewa.
Apa artinya senjata Arsen memang adalah Harta Suci juga?
Sebagai seorang dewa di atas nama 10 dewa dewi lainnya, Ivarios sendiri terkadang tidak mengerti pemikiran masing-masing dewa dewi di bawah namanya itu. Menjadi pemimpin mereka juga bukan berarti dia memegang kendali kuasa penuh atas mereka. Meskipun dalam hal kekuatan dan status, tentu dia adalah dewa tertinggi.
Tapi kalau memang adalah Harta Suci yang jatuh tanpa pengetahuannya, dewa dewi itu sendiri tidak pernah berhenti membuat Ivarios terpukau dengan pemikiran mereka sendiri.
"Ini menarik...," gumamnya.
Sosok Arsen dengan netra hitam yang memanggilnya dewa, dia jadi teringat akan hal itu. Namun Ivarios menyadari, saat kesadaran Arsen kembali dengan tanda matanya yang kembali berwarna emas, pria itu...bahkan sama sekali tidak mengingat kalau dia memanggil Ivarios dengan nama dewanya.
Ivarios khawatir hanya pada hal yang tidak berguna. Tidak mungkin manusia biasa akan membongkar penyamarannya begitu saja kecuali mereka memang sudah tahu dari awal seperti Elxyera. Tapi sesuatu yang sangat ganjil dan mencurigakan, terasa familiar di baliknya. Membuat Ivarios tidak bisa langsung menduga apa yang tengah terjadi pada Arsen saat itu.
Dan sesungguhnya, sesuatu yang ganjil itu membuatnya merinding. Jikalau apa yang dia pikirkan benar terjadi, maka...itu benar-benar sesuatu yang akan sangat merepotkan bagi Ivarios.
"Vortivius."
Panggilan itu terdengar pelan, seolah Ivarios berbicara pada alunan angin yang bernyanyi dengan indah di tiap terpaannya. Namun sesaat kemudian, sosok pria muncul dari balik bayangan ruangan lantai tertinggi menara lonceng itu dan masuk ke dalam balkon. Sejenak, pria berambut biru gelap panjang sepinggang itu kembali muncul ke hadapan tuannya sembari membungkuk sopan memberi hormat.
Netra biru gelap kirinya menatap dengan tatapan tenang yang kokoh, sedangkan mata kanannya tertutupi dengan rambut biru gelap bagaikan langit malam yang menawan. Penampilan serba hitamnya nyaris saja berbaur dalam kegelapan ruangan tertinggi menara lonceng itu tadinya jikalau dia tidak melangkah keluar dari tempat persembunyiannya.
"Saya disini, Tuan." Vortivius kembali berdiri tegap saat melihat Ivarios melambaikan tangannya membalas ucapannya. Bersamaan dengan itu juga, Ivarios memutar posisi duduknya menghadap Vortivius, membelakangi langit siang yang terlihat memukau dalam siang yang cerah itu. Beberapa pertanyaan seolah telah terbentuk dalam benak Ivarios sendiri, seolah menunggu saat untuk mengungkapkannya.
"Bagaimana keadaan Putra Mahkota?" Pertanyaan itu dilontarkannya pada Vortivius, dimana sang pria berambut biru gelap itu sama sekali tidak ragu menjawab dan segera membuka mulutnya untuk melontarkan jawaban.
"Setelah Putra Mahkota tersadar, saat ini keadaan beliau sudah jauh lebih baik, Tuan. Tapi saya sama sekali tidak bisa mendekat lebih lama dan memantau keadaannya karena keberadaan Ranchy begitu dekat dengannya."
Laporan itu disampaikan, mengingat kemarin Arsen baru saja sadar dari komanya. Namun sekarang keadaan sang pria sudah jauh lebih baik setelah itu. Perkembangan yang cukup baik untuk Arsen mengingat keadaan sang pria sangat buruk sebelumnya. Vortivius bahkan tidak menyangka sang pria akan tersadar secepat itu. Apalagi karena...
"Dan kau bilang itu terjadi setelah Elxyera datang, kan. Sama seperti hari itu Elxyera memilih untuk pulang di akhir pekan. Kupikir dia hanya akan menemui keluarganya, tapi ya...sepertinya menghindari putra mahkota bukan hal mudah. Apalagi Arsen dalam kondisi seperti itu."
Ah, helaan nafas panjang lolos dari mulut Ivarios. Padahal dia sudah mengingatkan Elxyera untuk berhati-hati dan sebisa mungkin menjaga jarak dari Arsen. Tapi nyatanya wanita itu tetap mengambil langkah bertemu dengan Arsen.
Entah itu adalah sebuah pilihan sang wanita sendiri atau karena paksaan dari sekitarnya, mengingat Elxyera adalah tunangan Arsen, kan.
"Sayangnya dia justru bertemu dengan Avyce juga disana. Kemarin, aku sudah menduganya saat Avyce juga meninggalkan Akademi untuk sementara bahkan sehari sebelum hari akhir pekan. Tapi ternyata dia memang benar-benar ke sana untuk persiapan firman itu ya."
"Benar, Tuan."
Ivarios tidak menyangka semua itu akan berlangsung dengan cepat. Apalagi setelah mendengar berita dari Ivory, bahkan melihat bagaimana Avyce harus meminta izin untuk tidak mengikuti pelajaran di hari terakhir sekolah pekan ini dan pergi entah kemana.
Sekarang Ivarios tahu kemana wanita itu.
Walaupun ya, memang cukup mengagumkan dengan kelincahan manusia dalam hal itu. Apalagi dibawah perintah dari sang Optivus juga. Nampaknya Ranchy dan Amity juga melakukan tugasnya dengan baik mendampingi Optivus.Firman Dewa tidak lama lagi akan diberitakan, kan.
Tapi karena kejadian Arsen, terpaksa sepertinya Ranchy harus turun tangan. Apa pria itu..akan curiga padanya? Semoga saja tidak. Ivarios ingat jelas kalau dia tidak meninggalkan sisa aura kekuatannya pada Arsen. Walau ya, serangannya juga mengenai pria itu, kan. Semoga itu bukan masalah besar yang dapat membuat Ranchy curiga.
Karena kalau seperti itu, dia tidak bisa berada disini lebih lama lagi. Semua yang sudah dia persiapkan akan gagal, kan. Dia bahkan tidak dapat membantu Elxyera lagi kalau dirinya dicurigai oleh para dewa dewi lainnya.
"Anda...terlihat kecewa, Tuan."
Seruan Vortivius membuat netra Ivarios mengerjap lagi, dan kali ini dia kembali mengangkat kepalanya memandang sang pria yang berada di depannya. Ah, apa benar dia terlihat seperti itu? Mungkin karena dia bosan tidak ada Elxyera yang bisa menemaninya disini? Atau karena dia takut akan menimbulkan kecurigaan pada para dewa dewi yang dapat menyadari keberadaannya disini?
Atau...
"Hah...kau memang yang paling tahu apa yang kupikirkan, ya, Vortivius." Ivarios seketika terkekeh kecil disana, kembali menyandar menyamping pada pilar balkon itu. Helaan nafas kecil pun kembali lolos dari mulutnya, seraya kembali perhatiannya terpusat pada buku yang ada di tangannya.
Kali ini, buku itu diangkatnya sejenak setelah dia menutupnya tadi, memutarnya untuk melihat kedua sisinya, seolah mengenali dengan jelas buku yang sesungguhnya menceritakan tentang sejarah dari sesuatu yang seharusnya tersembunyi dengan rapat.
"Kau bilang...kau bertemu dengan Elxyera saat mencoba memperbaiki buku ini di toko buku Fargaven, kan. Dia bahkan membawa buku miliknya yang memiliki hubungan dengan sejarah Bahasa Blanchius," gumam Ivarios kembali, yang kembali membuka buku itu dan menatap satu persatu tulisan yang ada. Namun kali ini, dibandingkan menatap tulisannya, matanya justru menatap tanda tangan yang menghias di tiap sisi bawah halaman itu.
Tanda kepemilikan dari sang penulis buku rahasia itu, sang B.R.
"Benar, Tuan." Vortivius kembali mengangguk mengiyakan. Jelas mengingat hari dimana dia membawa buku itu untuk bertemu sang pemilik toko buku untuk diperbaiki. Tapi di satu sisi yang tak terduga, dia menemukan Elxyera disana. Beserta dengan rasa penasaran wanita itu terhadap...rahasia masa lalu kelam Sang Dewa.
Tapi di hadapannya, Ivarios justru tertawa kecil saat dia membalikkan buku itu, dimana pada akhirnya Ivarios berhenti di salah satu halaman tertentu. Halaman yang seharusnya tidak Ivarios baca, dan sama sekali tidak menyangka kalau hal itu tertulis disana.
Gambar wanita itu cantik. Bahkan...itu adalah sebuah lukisan langsung yang digambar di atas kertas tua yang sudah menguning itu. Walaupun lukisan itu sudah sama tuanya dengan kertas itu, pancaran kecantikan dari sang wanita sama sekali tidak menghilang disana. Sejenak kembali mengundang senyuman sendu penuh makna di wajah Ivarios.
Wanita dalam lukisan itu kira-kira baru memasuki awal usia 20 tahunan. Rambut pirang pucatnya panjang sepinggang, indah menawan bahkan meskipun sudah sedikit bercampur dengan warna kuning kertas itu. Namun netra perak yang menawan itu tidak pernah sekalipun membuat Ivarios teralihkan.
Tangannya terulur pada halaman itu, mengusap lukisan itu dengan penuh hati-hati dan perhatian. Seolah benda itu adalah sesuatu yang berharga. Sama berharganya dengan sang wanita yang berada di dalam gambaran itu. Ivarios ingat, wanita itu selalu tersenyum semanis itu. Tapi dia tidak pernah lupa, dengan sosok yang sangat indah itu. Sosok yang selalu membuatnya terkagum.
"Leticia..."
Gumaman itu lolos dari mulut Ivarios penuh makna, seolah dunia hanya milik Ivarios, pria itu menikmati keheningan yang dimiliknya untuk mengagumi sosok wanita yang berada dalam lukisan itu. Ah, Ivarios memang paling tahu hanya ada satu orang yang dapat menggambarkan sosok Leticia paling indah seperti ini dalam buku.
Di satu sisi, melihat Ivarios yang menikmati waktunya dalam keheningan itu, hanya terdiam di hadapan sosok yang dilayaninya. Dia tidak pernah ingin mengganggu waktu yang dibutuhkan tuannya selama apapun itu. Barulah saat Ivarios kembali mengangkat kepalanya kembali dan menatap Vortivius lurus, sang pria berambut biru kembali lurus menatapnya.
"Ah, sesungguhnya ini terdengar begitu merepotkan. Padahal...harusnya akan lebih baik jikalau Elxyera tidak dekat-dekat dengan Arsen dalam keadaan sang putra Mahkota yang seperti itu," ujar Ivarios kembali, menutup buku itu dan begitu tangannya mengayunkannya ke samping, buku itu menghilang bagaikan sepihan pecahan kaca yang akhirnya memudar dengan indahnya dalam warna perak yang menawan.
Tawa kecil seketika lolos dari mulut Ivarios.
"Tapi aku tidak menyangka Elxyera menggunakan kekuatan yang kupinjamkan melalui ikatan kontrak kami untuk sesuatu yang benar-benar berguna dalam menolong Arsen. Ah, sial sekali aku harus menghadapi hal itu lagi."
Tapi kali ini, nada Ivarios yang terdengar tenang disana, seketika diikuti dengan helaan nafas panjang dan nada suara yang dingin. Wajah tenang Ivarios jelas bertolak belakang dengan tatapan dinginnya saat matanya memandang ke belakangnya lagi, melihat pemandangan indah kota yang berada di bawah sana.
Mata yang telah menyiratkan bahwa sang dewa...bahkan mengetahui banyak hal jauh melebihi apa yang diperkirakan oleh manusia, terutama oleh manusia-manusia tertentu yang sangat dikenalinya. Seringaian tipis pun menghiasi wajah Ivarios sembari mata uniknya mengkilap dalam makna yang tak terduga.
"Padahal...akan lebih bagus jikalau Arsen tidak perlu lepas dari kutukan karma yang mengikatnya itu, kan. Ah, Elxy sayangku...sudah kuduga kau terlalu baik untuk menjadi seorang penjahat dalam cerita kehidupanmu sendiri bahkan tanpa tahu sendiri apa yang kau lakukan. Menggunakan kekuatanku untuk mematahkan kutukanku sendiri," kekehnya kecil pada akhirnya.
Itu karena sebagai sosok dewa yang mengikat kontrak dengan Elxyera, tentu itu sama artinya dengan wanita itu dapat menggunakan kekuatan dewa Ivarios. Namun karena itu juga...walaupun di mata manusia biasa itu tidak akan terlihat, para Dewa dan Dewi itu akan menyadarinya, kan.
Ah, ini semakin rumit saja untuk Ivarios. Sejenak mata indah Ivarios memandang jauh ke dalam pemandangan tanpa batas itu. Bersamaan dengan gumaman lirih yang entah dia tunjukkan pada siapa. Namun penuh dengan makna disana.
"Manusia..memang benar-benar tidak bisa berhenti memukau-ku dengan kehebatan mereka. Sangat tidak mengecewakan untuk sosok yang terpilih atas nama dewa, Arsen. Tapi berapa kalipun kau menentang waktu dan mengembalikannya, aku tidak akan bisa membiarkanmu menang begitu saja, Arsen. Karena aku tidak akan membiarkanmu menghalangiku."
Bagaikan sebuah perjanjian penuh sumpah yang dilontarkannya pada angin, Ivarios pun akhirnya melangkahkan kakinya turun dari posisi duduknya di pagar balkon itu mendekati Vortivius. Tangannya terulur melihat Vortivius mengulurkan sebuah jubah hitam untuknya. Ah, nampaknya Vortivius juga menyadarinya.
"Saya merasakan keberadaan Amity dan sang Optivus di kota ini, Tuan."
"Hmm, benar. Kalau begitu aku harus pergi sementara waktu dari sini agar tidak membuat mereka curiga. Kecuali...hah~, padahal sudah pasti mereka datang ke sini karena curiga akan hal itu, kan. Ayo, Vortivius."
Sekali lagi helaan nafas panjang lolos dari mulut Ivarios, sembari pikirannya kembali melontarkan beberapa jawaban yang bisa menjelaskan alasan aura keberadaan dua orang yang paling ingin dia hindari sebenarnya. Mendengar itu, Vortivius pun kembali membungkuk sopan.
"Baik, Tuan."
Kalau seperti ini tidak ada cara lain untuk menjaga jarak, kan. Langkah Ivarios pun kembali terdengar begitu sang pria mengenakan jubah panjang yang menutupi sampai betisnya dan melangkah masuk ke dalam ruangan menara itu untuk turun dari sana.
-- ▫️🗝️▫️--
Diziel dan Ivory melangkahkan kakinya memasuki pagar utama Akademi Philosthilea. Belanjaan terlihat berada di masing-masing tangan mereka. Seperti biasa, siang ini akademi masih sepi. Mungkin kebanyakan murid yang pulang ke kampung halaman mereka baru akan tiba sore hari di akademi. Setidaknya Ivory kembali terpikirkan dengan sosok Elxyera.
Apa wanita itu menikmati liburannya?
"Sepertinya kau kesepian ya karena tidak ada Elxyera. Haha, terlihat jelas diwajahmu, Ivory."
Tawa kecil lolos dari mulut Diziel saat menatap pendampingnya di sampingnya. Ivory memang terlihat tenang, namun Diziel tahu kalau wanita itu nampak senang berteman dengan Elxyera. Yang sesungguhnya membuat sang Duke muda itu ikut merasa senang karena keceriaan dari pelayan setianya ini.
"E-Eh? S-Saya tidak seperti itu kok, Tuan Muda! Tapi ya...setelah mengenal Tuan Putri, rasanya memang menyenangkan bisa menghabiskan waktu dengan beliau." Oh, Ivory cukup malu saat Tuan mudanya menyadari hal itu, membuat sang wanita terlihat tersenyum gugup dengan sebelah tangannya yang terangkat mengusap sisi rambutnya gugup.
Ah, melihat tingkah Ivory yang seperti itu saja sudah membuat Duke Diziel kembali terkekeh kecil. Rasanya jadi ingin menjahili sang wanita sedikit, karena bagaimana pun dia memang cukup senang kalau Ivory merasa gembira bisa berteman dengan sosok seumurannya, kan. Mengingat ya, di kediaman Diziel, tidak banyak pelayan yang seumuran Ivory karena pelayan wanita disana kebanyakan sudah berusia dewasa.
Dia hanya ingin Ivory dapat menikmati waktunya berteman dengan sosok seumuran mereka di akademi ini, agar Ivory dapat bahagia juga.
"Haha, begitu ya. Kalau begitu kita mungkin bisa menyiapkan pesta kembalinya Elxyera sebentar saat dia kembali. Mungkin membuatkannya kue? Oh, kita perlu mengajak Ivarios juga! Pria itu malas sekali ikut dengan kita tadi, karena itu--!!"
Dalam keceriaan yang selalu terpancar di wajah Diziel, ucapannya seketika terhenti saat dia menyadari kehadiran seseorang di dekat mereka. Membuatnya seketika menatap lurus ke depan dan matanya seketika menangkap sosok Ivarios...yang menggunakan jubah? Apa pria itu ingin pergi sementara keluar?
Terlebih lagi...Ivarios rasanya tidak sendirian.
Apa pria...berambut biru gelap panjang dengan netra senada yang menemani Ivarios disana.
"Ivarios..?"
Panggilan itu pertama lolos dari mulut Ivory, namun pandangan sang wanita berambut biru gelap itu sendiri tidak teralihkan dari Ivarios yang seketika tersenyum padanya dan Diziel. Barulah setelah itu, Ivory menggulirkan pandangannya sedikit ke samping dan seketika menatap pria berambut biru gelap itu.
Warna yang senada, antara rambut Ivory dan rambut pria itu sendiri. Bahkan warna mata mereka...
"Oh, apa kau ingin pergi keluar, Ivarios??"
Pertanyaan itu seketika terlontar dari mulut Diziel, membuat Ivory terbuyarkan dari lamunannya dan seketika memandang Ivarios yang berhenti beberapa langkah di depan mereka, lalu tertawa kecil disana seolah tidak bersalah sama sekali. Ah, padahal tadi pagi pria itu menolak ajakan mereka untuk pergi bersama, kan.
Tapi apa yang membuat Ivarios terburu-buru ingin pergi seperti ini?
"Ah...iya. Maafkan aku, tapi ada sebuah keperluan mendadak yang aku perlu lakukan. Tapi tenang saja, aku akan usahakan kembali ke akademi sebelum malam. Asalkan ya...tidak ada yang menghalangiku sih, hahaha!"
Ucapan itu terlontar dari mulut Ivarios dengan naturalnya, begitu santai disana meskipun mengingat bagaimana dia menolak ajakan Diziel tadi pagi. Karena dia bisa melihat tatapan menyelidik Diziel disana yang membuatnya kembali tertawa. Di sisinya, pria berambut biru itu, Vortivius, hanya berdiri dan sejenak membungkuk sopan untuk memberi hormat pada Diziel dan Ivory.
Namun tidak ada kata yang keluar dari mulut pria itu selain tatapan biru gelapnya yang tertuu pada Ivory sejenak, lalu pada Diziel di samping sang wanita. Sosok yang diketahuinya sebagai teman dari Tuannya.
"Kau ini ya, kalau ada keperluan sendiri baru tidak malas," seru Diziel yang terlihat menghela nafas panjang, bahkan mengangkat kedua tangannya seolah tanda menyerah menghadapi Ivarios. Tapi melihat itu hanya membuat Ivarios pun tertawa, diikuti Ivory yang tersenyum tipis di samping sang Duke.
"Hahaha, memangnya tidak boleh ya? Aku kan tidak akan lama keluar." Ivarios kembali membalas santai, yang pada akhirnya membuat Diziel pun tersenyum lebar dan mengulurkan tangannya yang kosong untuk menepuk sebelah bahu Ivarios.
"Baiklah, baiklah. Oh, ya! Kami sebenarnya ingin membuat kue untuk menantikan kepulangan Elxyera nanti! Kalau kau sudah kembali,kau ikut juga ya!" ujar Diziel yang akhirnya tidak menahan Ivarios disana. Namun mendengar itu, netra Ivarios sejenak mengerjap beberapa kali. Ah, bahkan Ivory terlihat mengangguk.
"Kami akan menantikanmu juga, Ivarios," tambah Ivory.
Bukankah itu hal yang menyenangkan kalau Ivarios bisa ikut juga? Tapi sayangnya...Ivarios sadar ada hal yang lebih penting yang perlu dia lakukan dulu. Membuat senyuman tipis pun akhirnya menghiasi wajahnya sembari dia menganggukkan kepalanya pelan.
"Baiklah, aku akan kembali secepatnya."
"Bagus! Kalau begitu sampai bertemu nanti!"
Setelah seolah berjanji untuk rencana mereka, Diziel menepuk bahu Ivarios pelan.
Setelahnya, Ivarios pun tersenyum dan melirik Vortivius di sampingnya. Ah, pria itu sedari tadi hanya diam saja, tapi Ivarios tahu tipikal pria itu, kan.
"Kalau begitu aku pergi dulu," ujarnya pada Ivarios pada Ivory, sebelum menatap kembali Vortivius. "Ayo....Tuan Carol."
Seolah menimang-nimang kata-katanya, dia pun memanggil sang pria yang lebih tua di sisinya, membuat Vortivius segera merespon dengan panggilan nama itu dan menganggukkan kepalanya.
"Hati-hati di jalan." Ucapan Ivory terdengar pelan untuk kedua sosok tersebut, walaupun...dia memang tidak mengenal sosok yang Ivarios panggil Carol itu, kan. Namun itu justru membuat Vortivius memandang sejenak Ivory dalam tatapan yang tidak bisa diartikan, sebelum pada Diziel dan melangkah mengikuti Tuannya juga.
Ivarios melambaikan tangan pada keduanya sebelum melangkah diikuti oleh Vortivius di sisinya. Hanya saja, baik Diziel dan Ivory masih memandang kepergian mereka sampai akhirnya keduanya tidak terlihat lagi. Tapi...
"Ivory? Hei, kau baik-baik saja?"
Panggilan Diziel seketika membuyarkan lamunan Ivory lagi. Mata sang wanita yang tadinya memandang Ivarios dan pria berambut biru gelap itu pun kembali memandang Diziel di sampingnya.
Pria itu sejenak memandangnya khawatir, namun dengan secepat mungkin, Ivory kembali senyuman manis menghiasi wajah Diziel
"Ah, saya tidak apa apa, Tuan Muda," balasnya lembut pada Diziel untuk menenangkan pria yang khawatir itu. Tapi pada akhirnya, mendengar itu Diziel pun kembali mengangguk lembut.
"Baiklah, kalau begitu ayo masuk."
"Baik, Tuan muda."
Ajakan Diziel pun segera dibalas dengan anggukan dari Ivory, dimana dia pun segera berbalik untuk mengikuti Diziel yang kembali melangkah masuk ke halaman depan akademi Philosthilea yang besar itu.
Ah, entah mengapa...perasaan Ivory aneh tadinya. Pikirannya yang tidak bisa teralihkan karena satu hal disana. Seolah membekukannya pada semua hal yang memenuhi benaknya. Sejenak, Ivory menunduk dan merenungkan apa yang dipikirkannya.
'Apa...hanya perasaanku saja ya. Tapi rasanya...sangat familiar.'
Wanita itu pun kembali larut dalam pikirannya sembari langkahnya pelan mengikuti Diziel di belakang sang Duke muda tersebut.
--▫️🗝️▫️--
[Note : Halo, halo! Walaupun masih belum bisa memastikan untuk update teratur karena kesibukan saya, saya sekali lagi mengupdate satu chapter baru lagi disini. (づ。◕‿‿◕。)づ
Apakah ada disini yang merindukan Ivarios?
Atau mungkin Ivory dan Diziel? ( ꈍᴗꈍ)
Yap, karena seperti yang telah kalian baca, mereka kembali muncul disini! (≧▽≦)
Selamat datang di chapter baru yang terupdate ini! Walaupun tidak banyak yang dapat saya katakan disini, bagaimana menurut kalian mengenai chapter terbaru ini? (つ≧▽≦)つ
Nantikan kerumitan - kerumitan yang menunggu di chapter chapter selanjutnya juga! ('∩。• ᵕ •。∩')
Semoga kalian menikmati chapter kali ini ya! ╰(⸝⸝⸝'꒳'⸝⸝⸝)╯ Saya rasa itu saja yang saya dapat sampaikan disini. Selamat membaca, semoga hari kalian menyenangkan! o((*^▽^*))o]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top