61. Serpihan Memori
Song :
Sunadokei Kara no Kara (Norn9) - Nagi Yanagi
-- ▫️--
"Hei, hei! Bangunlah, White!!"
Panggilan itu membuat mata sang pemuda berambut perak yang memejam itu sesaat bergerak, namun gumaman lirih pun lolos dari mulutnya saat tubuhnya diguncang kecil oleh sebuah tangan hangat yang selalu dikenali oleh sang pria. Di hadapan tubuhnya, seorang gadis muda nampak duduk perlutut di atas padang rumput itu, hendak membangunkan sang pemuda seraya menggoyangkan bahunya.
Sang pemuda --White-- yang merasa terganggu dengan itu pun menggerutu kecil, menundukkan kepalanya sedikit seolah berniat untuk membenamkannya di tanah tepat di bawahnya. Namun merasakan dirinya yang masih mengantuk itu pun, dia tidak segera beranjak dan justru mendecakkan lidahnya kesal.
"Lima menit lagi," lirih sang pemuda kemudian, justru berguling ke sisi satu sehingga tangan sang gadis pun terlepas dari bahunya yang sekarang menghadap tanah. Posisinya yang tadi menghadap sang gadis pun sekarang berpindah membelakanginya, namun dia sama sekali tidak terpengaruh saat mendengar dengusan kesal sang gadis di belakangnya itu.
"Ughh!! Bangunlah, White!!"
Sosok gadis muda berambut pirang sebahu itu pun nampak berkacak pinggang di belakang White, menatap sang pria dengan tajam walaupun sosok yang dipandanginya itu tidak menatapnya balik. Ahh, selalu saja begini kalau dia membangunkan sang pemuda.
"Kau bilang seperti itu lima menit yang lalu, White! Dan ini sudah sore! Mau sampai kapan kau ingin tidur terus disini!" gerutuan itu pun lolos dari mulut sang gadis, nampak tidak terima White terlihat kembali tertidur lagi, bahkan nampak diam saat dirinya sudah panjang lebar berbicara seperti itu.
Merasa kesal, tangan kecil sang gadis muda pun terangkat tinggi, dan akhirnya dia pun memukul kepala pemuda yang berusia 14 tahun di depannya itu hingga sontak sang pemuda terlonjak bangun seraya memegangi kepalanya yang sakit. Oh, jelas, tangan kecil itu bisa memberikan dampak yang sangat menyakitkan baginya.
"A-Awhh!! Itu sakit, Letty!! Kau ingin membunuhku ya??"
Netra biru keunguan milik sang pemuda pun menatap tajam, mengusap sisi kepalanya yang tepat terhantam dengan kepalan tangan sang gadis yang lebih muda 5 tahun darinya itu. Namun berkat itu pula, akhirnya dengan terpaksa dia harus terbangun dari tidur tanpa mimpi indahnya itu dan sekarang berhadapan dengan gadis cerewet di depannya ini.
"Hehe, kau terlalu lama tertidur."
Sialnya, di satu sisi, gadis bernama Letty itu hanya merespon dengan tertawa polos, membuat sekali lagi White mendecakkan lidahnya kesal. Memangnya kenapa kalau dia tertidur lama? Lagipula tidak banyak yang bisa dia lakukan di desa tempat mereka tinggal ini, kan. Tempat sepi yang bahkan hanya memiliki sedikit penduduk dan berada di pinggiran wilayah pemerintahan mereka.
"Memangnya kenapa kalau aku tertidur lama? Lagipula semua pekerjaanku sudah selesai dan---!!"
"Memangnya kau mau tidur terus disini?? Adikmu memintaku memanggilmu, uhh!! Ranran bilang tolong cari White di tempat biasanya! White seharusnya berterima kasih karena aku membantumu disini, kan!!"
Letty pun menggembungkan pipinya kesal, membalas tatapan tajam White dengan tatapan tajam dari netra abu-abu peraknya yang justru terlihat lucu dan menggemaskan. Ucapannya langsung saja memotong ucapan White yang membuatnya kembali kesal.
Ahh, White selalu menganggap ekspresi Letty yang seperti itu adalah ekspresi paling jelek yang pernah ada. Hingga tanpa mengatakan apa-apa, dia pun langsung mengangkat tangannya dan mencubit sebelah pipi sang gadis dengan cukup keras dan menariknya.
"Diam, gadis bodoh. Dan mana sopan santunmu pada sosok yang lebih tua darimu? Aku ini lebih tua lima tahun darimu! Kau seharusnya hormat padaku!"
"A-Awhh..!! Aku tidak mau hormat pada sosok yang lebih pemalas dariku!!"
Balasan itu pun terlontar antara mereka berdua. membuat sekali lagi White nampak mengernyit mendengar balasan berani dari Letty yang langsung menepis tangannya juga yang mencubit pipi sang gadis itu tadinya. Ahh, sekarang pipi putih itu pun nampak memerah, dielus lembut oleh tangan Letty sendiri yang merasa sakit.
Pada akhirnya hanya helaan nafas kesal yang terdengar lolos dari mulut White. Dalam urusan berdebat, anak kecil mungkin lebih ahli. Dalam kondisinya, tentu saja siapa lagi kalau bukan Letty di hadapannya ini. Gadis muda itu bahkan tidak hentinya mengoceh dan membalas ucapannya sedari tadi. Walaupun White sendiri masih tergolong muda juga.
"Hah, kau selalu saja banyak bicara. Baiklah, baiklah. Kalau begitu lebih baik sekarang kau berdiri. Kalau tidak, baju indahmu itu bisa kotor, kan. Lagipula, kenapa juga kau harus repot-repot menjemputku ke sini. Dan juga, jangan bilang kau kabur dari rumah lagi tanpa izin Ayah ibumu ya?"
Pada akhirnya, White pun memilih untuk mengalah, menghela nafas panjang sekali lagi dan akhirnya berdiri dari posisi duduknya di atas tanah berumput itu. Sesaat matanya memandangi sang gadis di depannya, memperhatikan gaun sederhana manis yang berenda itu, dikenakan oleh sosok Letty di depannya. Tidak seharusnya gadis sepertinya duduk di atas padang rumput seperti ini, kan.
Dibandingkan dengan pakaian White yang terlihat lusuh, tempat Letty tidak seharusnya berada di sisinya seperti ini. Tangannya pun terulur pada sang gadis muda yang memandangnya balik dengan polos. Namun senyuman manis pun segera menghiasi wajah Letty saat melihat tangan itu, dan segera saja menyambutnya untuk berdiri dari posisi berlututnya itu.
Di satu sisi, dia pun bertanya tentang sang gadis dengan kehadirannya disini. Memang, White sudah terbiasa dengan sosok Letty yang selalu menemaninya dan juga adiknya, bahkan mengingat kalau orang tua sang gadis tidak pernah melarang Letty berteman dengan mereka. Namun biasanya sang gadis pun sering kabur dari rumah tanpa meminta izin pada orang tuanya.
"Hehe, tidak apa-apa! Lagipula Letty lebih senang menghabiskan waktu dengan White disini! Sayangnya Ranran tidak bisa ikut karena dia membantu bibi, kan! White lebih pemalas dari Ranran!" seru Letty dengan lucunya, merasa sama sekali tidak bersalah mengungkapkan hal itu. Karena memang dia sudah sangat mengenal baik White dan adik sang pemuda. Tahu perbedaan dari sikap keduanya juga. "Dan Ayah serta Ibu pergi ke kota tadi pagi. Mereka belum pulang, katanya ada urusan penting di kota."
Helaan nafas lembut pun sekali lagi lolos dari mulut White mendengarkan ucapan itu, namun sang pria tidak langsung merespon dan justru berjalan seraya menarik tangan Letty pelan di sisinya.
Letty pun langsung mengikuti langkah White dan menggenggam erat tangan sang pemuda di sisinya, terkekeh kecil seraya mengikuti langkah White yang berjalan menuruni bukit kecil di pinggiran desa mereka itu. Tempat White selalu beristirahat karena terdapat sebuah pohon besar berwarna putih dengan daun berwarna perak yang tumbuh disana. Sesuatu yang rasanya sudah menjadi tempat favorit White.
"Berarti kau sama pemalasnya denganku," balas White kemudian, memutar bola matanya dengan kesal, merasa kalau sang gadis lebih memilih bersamanya dibandingkan saudaranya. Artinya Letty pun suka bermalas-malasan sepertinya juga kan. Namun justru tawa manis pun yang terdengar lagi dari sang gadis setelahnya.
Ah, White tidak bisa memaksa dirinya untuk membenci suara yang selalu menemani harinya itu. Bohong jikalau dikatakan kalau dia tidak suka dengan kehadiran Letty di sisinya. Dia sudah mengenal sang gadis sejak masih sangat kecil, karena ibunya berteman dengan ibu dari Letty.
Meskipun begitu, golongan mereka berbeda, mengingat Letty adalah anggota dari golongan bangsawan salah satu klan terpandang walaupun orang tua Letty memilih untuk tinggal di tempat terpencil ini. Sedangkan White adalah sosok dari golongan biasa, dengan percampuran klan yang bahkan tidak diterima di kedua klan utamanya sendiri.
Ya, ibunya dibuang oleh keluarganya sendiri. Dan ayahnya...White tidak mau membicarakan sosok yang bahkan tidak pernah dilihatnya itu. Lebih baik dia mendengarkan suara merdu Letty yang selalu bercerita padanya saja atau bermain dengan adiknya dibandingkan membahas sosok yang...membuang ibunya juga.
"Ngomong-ngomong, mengapa Ran memintamu memanggilku, Letty? Kupikir jam makan malam pun belum tiba. Apa ibu perlu bantuan lagi?" tanya White kemudian, memandangi Letty yang berjalan di sisinya, terlihat mengayun-ayunkan genggaman tangan mereka yang hangat itu. Sang gadis muda itu bahkan bersenandung kecil seraya melangkah di jalanan tanah berbatu yang mulai membawa mereka memasuki area desa lagi.
Sesaat, Letty mendongak, memandang ke samping pada sosok White yang lebih tinggi darinya. Hingga dia pun kembali berpikir dengan sesuatu yang sempat dilihatnya di depan rumah White tadinya saat hendak mencari sang pemuda dan mengajaknya bersama Ran untuk bermain. Tapi ada yang menghambatnya disana.
"Ada tamu di rumah White! Mereka datang dengan kereta kuda berwarna putih yang indah! Katanya ingin bertemu bibi, jadi Ranran memintaku memanggil--White?"
Letty menjelaskan apa yang sempat dilihatnya di rumah White tadi pun berucap, namun langkahnya pun tersentak berhenti saat sosok White yang menggenggam tangannya pun seketika berhenti melangkah juga. Mata White membelalak kaget, dan kepalanya menunduk memandangi sang gadis muda yang menjelaskan itu padanya.
Kereta kuda putih? White rasa itu sangat aneh. Selama ini, sejak dia tinggal di desa ini bersama adik dan ibunya, tidak pernah ada sekalipun tamu dari luar yang datang mengunjungi mereka. Kecuali tetangga mereka tentunya dan keluarga Letty.
Tapi...kereta kuda putih? Entah mengapa perasaannya jadi tidak enak.
"White? Ada ap--White!!"
Letty sedikit terkejut saat sang pemuda justru tidak mengatakan apa-apa lagi dan langsung menarik tangannya yang masih tergenggam itu semakin memasuki pemukiman di desa tersebut. Melewati lorong kecil dan jalanan yang dipenuhi beberapa penduduk desa untuk menuju rumah sang pemuda yang berada di bagian belakang desa tersebut.
Desa ini memang tidak besar, namun banyak lorong dan jalanannya cukup kecil jikalau sudah memasuki area belakang yang terlihat sederhana. Namun White tidak memikirkannya dan hanya berjalan cepat menuju rumahnya, seraya menarik Letty ikut di sisinya juga. Meskipun di satu sisi, Letty kesulitan mengimbangi langkah White yang lebar dan cepat itu, sehingga hampir tersandung sesekali. Untung saja tangannya digenggam oleh sang pemuda
Ahh, sang pemuda bahkan tidak mendengarkan peringatan Letty, yang juga tersentak-sentak karena tubuhnya yang lebih kecil itu justru tertarik oleh sang pemuda. Pada akhirnya, tidak lama kemudian mereka tiba di depan rumah sang pemuda yang terlihat manis dan kecil itu.
Rumah berlantai satu yang tidak terlalu besar itu memang dibangun dengan batu bata yang terlihat lusuh, namun masih bagus ditinggali. Biasanya saat pulang, White akan melihat ibunya sedang mengurusi beberapa tanaman yang ditanam sang wanita pada kebun kecil di samping rumah mereka.
Namun, apa yang sekarang dia lihat adalah kerumunan beberapa orang asing dan juga beberapa tetangga yang terlihat menjaga jarak dari posisi aman. Dengan sosok ibunya yang nampak berdiri di depan pintu masuk rumah, memeluk adiknya yang bahkan membenamkan wajahnya di perut sang ibunya seolah takut sesuatu. Beberapa sosok lain berseragam yang berada di sekitar ibunya pun sama sekali tidak dikenali White, terutama dengan kereta kuda yang mencolok itu, tersambung langsung dengan tali pada kuda putih yang terlihat megah.
"Sayang..."
Suara lirih ibu White yang menyadari kedatangan White bersama Letty itu pun membuat beberapa orang asing berseragam yang ada disana berbalik memandangi kedua anak muda itu. Membuat spontan Letty bergerak bersembunyi di belakang White walaupun masih menintip dari balik sisi tubuh sang pemuda yang lebih tinggi darinya itu.
Ah, tatapan orang-orang berseragam bangsawan berwarna putih itu pun terlihat tajam dan sedikit menakutkan. Namun mata White bahkan tidak terpengaruh dengan pandangan itu, dan langsung saja memandang balik sosok pria tinggi yang berdiri di depan ibunya namun melirik ke arah White. Ahh, tatapan dingin itu seolah menembus dirinya, perak murni, sama seperti warna rambut sang pria yang begitu mirip dengan White.
"Jadi anak itu yang tertua."
Gumaman sang pria berambut putih itu terdengar lirih, namun di tengah kerumuman orang-orang yang berbisik-bisik itu, White bisa mendengarkan suara itu. Dimana jelas langsung membuat ibu White tersentak dan memandang sosok pria asing di depannya.
"Yang Mulia! Tolonglah untuk kali ini saja lepaskan kami! Kami bahkan---!"
"Mirania, aku tidak memintamu untuk berbicara."
Dengan dinginnya, sosok pria yang dipanggil Yang Mulia itu menatap balik ibu White dengan tajam. Membuat Ran yang memeluk ibunya pun nampak tersentak dan wanita bernama Mirania itu pun langsung menutup mulutnya bungkam, menegak salivanya gugup menyadari tatapan tajam sang pria adalah sesuatu yang tidak bisa dibantahkan.
Akhirnya Mirania pun hanya terdiam, menunduk seraya mengigit bibir bawahnya menahan emosinya. Tangannya pun bergerak mengusap rambut sebahu Ran yang bersembunyi di perutnya, berharap dengan usapan lembut pada anak itu, bisa sedikit menenangkan anak laki-laki bungsunya ini.
Di satu sisi, White nampak memandangi pria asing itu dengan datar, sadar sang sosok bergerak mendekatinya. Hingga White sendiri bisa merasakan genggaman tangan Letty di belakangnya itu pun mengerat. Ah, apa sosok pria dingin ini menakuti teman kecilnya? Kalau seperti itu White semakin tidak akan memaafkan pria yang tidak sopan ini, bahkan sampai menggertak ibunya seperti tadi.
"Kau anak pertama Mirania...," ujar sang pria saat memandangi White dengan tatapan datarnya, seolah memastikan sesuatu dari sosok White mulai dari pucuk kepalanya hingga ujung kakinya. Sedangkan sang anak bahkan tidak mengatakan apa-apa. Berpikir bahwa pria di depannya ini bahkan tidak sopan sekali, langsung memberikan komentar seperti itu tanpa memperkenalkan diri terlebih dahulu.
Memangnya siapa dia? Mengapa ibunya sampai memanggilnya Yang Mulia? White memang pada dasarnya hanya anak-anak yang masih belum tahu banyak tentang dunia ini. Tapi bisikan-bisikan dari warga di sekelilingnya pun membuat sang pemuda menoleh, memandangi warga yang terlihat ketakutan bahkan untuk mendekat.
Memangnya siapa pria--!
Netra unik White seketika tertuju pada dada kanan sang pria di depannya, dimana terdapat sebuah lambang berukuran sedang yang menghias di kantong dada sang pria. Warna perak itu terlihat dengan sangat jelas di mata White, dimana jelas sekali dia merasa tidak asing melihat lambang itu.
Lambang pohon berwarna perak, dengan lingkaran yang dihiasi dedaunan perak, mengelilinginya. Pengetahuan White memang tidak banyak, namun dia langsung tahu dalam satu kali melihat, kalau itu adalah lambang yang sangat dikenalinya. Lambang dari salah satu klan yang memiliki strata tertinggi di dunia ini.
"Klan Blanchius..."
"Oh, kau tahu rupanya. Jadi kurasa tidak perlu basa basi lagi. Aku adalah Ayahmu, anak muda."
Netra White seketika membelalak mendengarnya, dan spontan dia mundur selangkah menjaga jarak dari sang pria di depannya ini. Dia hampir tidak menyadarinya secara langsung karena mengingat di dunia ini, ada beberapa klan tertentu yang juga memiliki rambut berwarna putih dan perak yang mirip.
Tapi sekarang melihat mata dan rambut itu, serta lambang yang menghias di dada kanan sang pria, White langsung mengetahuinya. Dan dari derajatnya, White akhirnya menyadari bahwa pria ini memiliki posisi yang tinggi mengingat bagaimana ibunya memanggil pria ini.
Ayahnya, katanya?
"Jangan gila, Tuan. Ayah saya sudah lama mati," ujar White dengan spontan, bahkan tanpa tanda kesopanan sekali lagi membuat tempat itu seketika diselimuti suasana tegang dari para warga yang terkejut. Di satu sisi, Letty yang berada di belakang sang pemuda pun terdiam, sedikit mendongak dan memandang White dari samping dan menyadari ada yang berubah dari sang pria.
"Lord Zhallen--!"
Salah seorang pengawal berseragam itu bergerak maju mendekati sang Yang Mulia, namun pria tersebut pun mengangkat sebelah tangannya membuat sang pengawal pun berhenti di tempat. Sedangkan pria yang dipanggil Zhallen itu pun hanya memiringkan sedikit kepalanya, mengusap dagunya seraya memandang anak muda di depannya ini.
Ah, dia bisa menyadari tatapan tajam dari anak yang masih muda ini. Terlihat seolah tidak bisa menerima kenyataan bahwa sosok yang datang di hadapannya ini adalah sebuah kejutan yang mungkin saja tidak diharapkan oleh sang pemuda. Sesaat, matanya melirik Mirania dan sang anak bungsu sekali lagi, lalu kembali memandang White.
"Hoh? Apa ibunya yang bilang seperti itu?" tanya Zhallen dengan santainya, masih dengan suara berwibawanya yang tergolong begitu tenang. Meskipun sekarang, mata dinginnya masih memandangi White yang sepertinya tidak terlihat gentar, namun menjaga jarak darinya.
Apalagi...Zhallen menyadari kalau White tidak sendiri. Ada anak asing berambut pirang di belakang White, yang tentu saja Zhallen yakini bukan anaknya.
"Ibu tidak pernah mengatakan apa-apa tentang itu. Aku sendiri yang menganggap Ayahku telah mati karena tidak pernah menemuiku."
"Hmm, begitu kah? Tapi aku masih ingat saat kau masih kecil, aku masih menggendongmu dalam dekapanku. Mirania, apa kau menghapus ingatan anak ini setelah membawanya pergi dariku?"
Kepala Zhallen sekarang menoleh, memandangi Mirania yang memandangnya tajam walaupun masih terlihat bungkam dengan tangan protektif yang melindungi anak bungsunya juga. Wanita berambut hitam keunguan dengan netra ungu kebiruan itu tidak mengatakan apa-apa pada Zhallen, walaupun bibirnya ingin sekali mengucapkan kata-kata kasar bahwa sang pria tidak berhak menanyakan itu padanya.
"Itu...itu bukan hal yang berhak Yang Mulia ketahui," lirih Mirania dengan kecil pada akhirnya, lalu membuang muka ke arah lain seolah tidak mau memberikan jawaban untuk kedua kalinya walaupun Zhallen memaksanya. Jelas sekali matanya tadi memandang Zhallen dengan penuh kebencian, namun dia tidak ingin menambah masalah disini.
Membawa pergi, katanya. Ingin Mirania tertawa mendengar penuturan sang pria yang bahkan tidak berhak bertingkah sebagai seorang ayah di depan anak-anaknya. Pria brengsek yang telah membuangnya setelah dia tidak dibutuhkan kembali.
Ada alasan dia tidak pernah menceritakan tentang Ayah dari White dan Ran. Karena kedua anaknya tidak perlu memikirkan itu dan Mirania berpikir saat akhirnya bisa tinggal di desa ini, dia bisa bahagia bersama dua anaknya. Tapi apa yang dia lihat sekarang? Pria brengsek ini bahkan tidak melepaskan mereka begitu saja setelah apa yang terjadi pada Zhellan tidak lama ini.
"Hmm, kau benar juga. Tapi..."
Zhellan kembali memandang White di depannya, menurunkan tangannya di sisi tubuhnya dan terdiam sejenak menghentikan kalimatnya. Netra peraknya yang berkilau bagaikan permata itu kembali memandang White di depannya. Dia sudah melangkah sejauh ini, jadi tidak mungkin dia membiarkan apa yang dia butuhkan menghilang begitu saja.
"Sebenarnya apa mau Anda sampai datang ke sini dan mengaku-ngaku sebagai ayahku?" tanya White lagi tanpa memikirkan rasa malu dan hormatnya pada pria di depannya. Kali ini dia menanyakan alasan sang pria datang ke sini. Pastinya bukan sekedar memastikan keadaan ibunya, kan? Atau bahkan memastikan apakah anak-anaknya ini masih hidup atau tidak.
Tapi tatapan pria di depannya ini sama sekali tidak berubah. Seolah mata itu langsung bisa memberikan jawaban bagi White yang tidak tahu apa-apa, walaupun pada akhirnya sang pria nampak menghela nafas panjang dalam keheningan tempat itu. Karena sama sekali tidak ada yang berani berbicara entah karena terkejut dengan kenyataan yang ada dan juga hal lain.
"Aku membutuhkan seorang penerus."
Jawaban singkat dari Zhallen itu seketika membuat Mirania membelalak, sepertinya baru saja tahu tujuan kedatangan sang pria memang memiliki makna yang berbeda. Namun dia sama sekali tidak menyangka akan hal itu. Karena dia langsung tahu dengan hal itu. Sedangkan di satu sisi, White cukup bingung walaupun di satu sisi mengerti.
Memangnya dia membutuhkan penerus untuk apa? Pria ini sudah membuang ibunya, kan? Entah karena apa, namun White yang masih muda itu pun pasti mengerti kalau Zhallen pasti sudah tidak punya hubungan apa-apa dengan ibunya. Setidaknya itulah yang dia pikirkan. Kenapa tidak mencari yang--!
"Karena itu aku akan membawanya pergi bersamaku."
"Yang Mulia!! Saya sama sekali tidak bisa menerima hal itu!!"
Seruan Mirania pun terdengar memenuhi tempat itu, lantang dan penuh rasa sedih yang bercampur kebencian. Wanita itu bergerak maju mendekati Zhallen, namun seketika dua orang pajurit nampak menghadang Mirania dan menarik pedang mereka membuat Mirania kembali terdiam di tempat seraya merangkul Ran yang sekarang berpindah posisi ke belakang tubuh ibunya. Pemuda yang lebih muda dua tahun dari kakaknya itu terlihat ketakutan, memandangi sekeliling dengan netra yang nyaris terpejam.
"Anda tidak berhak membawanya dari saya!! Yang Mulia, Anda bahkan sama sekali tidak peduli--!!"
"Aku berubah pikiran sekarang. Apa kau menyuruhku mencampakkan darah dagingku untuk kedua kalinya?"
"Ap--Apa Anda sudah gila, Yang Mulia?? Anda lah yang mencampakkan kami karena keluarga Anda menolak saya yang berasal dari klan musuh!! Padahal Anda berjanji akan melindungi saya!! Apa Anda tidak---Akh! Lepaskan!! Kubilang lepas!!"
Mirania yang akhirnya tidak bisa menahan emosinya pun berteriak lantang kembali, bahkan tidak peduli kalau para prajurit itu menusuknya dengan pedang, sehingga akhirnya sang wanita mengambil langkah mendekati Zhallen lagi yang membuat para prajurit ragu untuk menyerang tanpa arahan dari pemimpin mereka.
Mau bagaimana pun juga, wanita ini adalah pasangan dari pemimpin mereka, bukan?
Merasa tidak ada yang bisa menahan wanita itu lagi, seorang pria berambut biru gelap sebahu bergerak cepat mendekati sang wanita dan menahan tubuh Mirania. Sang pria memutar tangan Mirania ke belakang tubuhnya dan menjatuhkan sang wanita hingga berlutut di tanah, walaupun masih memberontak hingga terpaksa pria berambut biru gelap itu tetap menahan Mirania.
Sekarang, netra Mirania yang indah terlihat begitu sedih. Dan White begitu terkejut melihat bagaimana ibunya diperlakukan kasar seperti itu sehingga sang anak berniat mendekati ibunya. Namun sayangnya tangan Zhallen yang terangkat di depan White pun menahan sang pemuda untuk mendekat sehingga White pun mendecakkan lidahnya kesal.
"Ib--!"
"Sekarang kau hanya punya satu pilihan saja. Atau kau ingin melihat ibumu mati di hadapanmu sendiri?"
"Apa...?"
Netra White kembali membelalak mendengarnya. Dari sini dia bisa melihat Ran yang nampak menangis ingin mendekati ibunya yang ditahan ditanah dengan kasar seperti itu, lalu pada ibunya yang tidak berdaya berteriak memanggil-manggil walaupun Zhallen terlihat tidak mempedulikannya sama sekali.
Sesaat, White seolah jatuh dalam pikirannya sendiri. Merasa bahwa situasi seperti ini adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarinya sehingga dia tidak tahu harus memikirkan apa.
"Kau hanya perlu memilih." Zhallen masih memandangi White dalam diam, namun sebelah tangannya pun terangkat menyadari anaknya itu terlihat melamun seraya memandangi ibunya dengan tatapan yang kosong. Helaan nafas lolos dari mulut Zhallen lagi saat tangannya pun bergerak mendekat ke arah White, ingin menyentuh kepala sang anak dengan sebuah percikan putih yang terlihat seketika mengelilingi tangan pria itu. Tapi...
"Jangan sentuh White!!"
Seruan kecil itu terdengar begitu berani dan tanpa Zhallen sadari sebuah sayatan kecil mengenai tangannya membuat goresan berwarna merah pun spontan menghiasi punggung tangannya. Dengan begitu cepat tubuh White limbung ke belakang dan nyaris jatuh kalau sang pemuda tidak menyadarinya. Sedangkan sekarang, sosok Letty terlihat berdiri di depan White menatap tajam Zhallen dengan aura berwarna putih kehijauan yang mengelilingi tubuhnya.
Suhu angin di sekitar mereka pun nampak berubah, dan tidak lama kemudian kondisi angin bertiup kencang di sekeliling mereka dengan langit yang berubah mendung. Hal tersebut membuat beberapa warga pun panik merasa kalau mungkin saja badai akan datang, namun di satu sisi para prajurit yang bertugas melindungi Zhallen pun mengeluarkan pedangnya, walaupun ragu harus mengacungkannya pada siapa.
"Letty, apa yang kau..."
White tidak habis pikir dan segera tersadar dari lamunannya, saat tubuhnya akhirnya jatuh terduduk di tanah, tepat di belakang Letty yang melindunginya di depan sana. Netra White membelalak, melihat aura perak kehijauan yang mengelilingi sang gadis muda. Sadar kalau Letty menggunakan kekuatannya untuk melindunginya.
"Lord, Anda terluka!"
Salah seorang prajurit menyadari luka di tangan Zhallen, yang mengalirkan darah yang cukup banyak. Entah karena luka itu yang cukup dalam atau karena ada efek sesuatu, yang pastinya mereka ketahui bahwa itu bukanlah serangan yang biasa. Namun Zhallen sendiri nampak tidak tidak terpengaruh atau melangkah mundur.
"Ini? Oh, tidak apa-apa."
Zhallen nampak terdiam sejenak, menggeleng kecil pada sang prajurit untuk menghentikannya mendekat. Tangan Zhallen yang tadinya berniat menyentuh White pun hanya berhenti di tempatnya. Namun kembali tertarik ke arah wajahnya untuk memastikan luka yang ada disana. Zhallen nampak tidak berkomentar apa-apa dengan wajah datarnya itu saat melihat darahnya sendiri, lalu berbalik memandang gadis muda yang sekarang berdiri di depan White.
Aura hijau keperakan itu bukanlah sesuatu yang biasa. Dan lagi, mata abu-abu perak yang redup itu, sesaat terlihat berpendar hijau tipis. Mungkinkah karena pengaruh kekuatan sang gadis itu sendiri? Dia tidak menyangka kalau anaknya memiliki teman seperti ini.
"Anda ingin melakukan sesuatu yang jahat pada White, kan! Saya tidak akan membiarkannya!" tuduh Letty kemudian dengan wajah yang terlihat serius pada muka mungilnya yang manis itu. Namun kali ini, wajah yang selalu terlihat tersenyum manis itu nampak menunjukkan kegugupan dan kekhawatirannya. Entah merasa sesuatu yang buruk akan terjadi walaupun tidak mengerti sebagian besar dari ucapan yang dilontarkan orang-orang dewasa itu.
Satu hal yang dia ketahui, dia harus melindungi White. Walaupun sesaat dia tersentak melihat darah yang mengalir di tangan sang pria yang lebih tua itu, sang gadis kecil menggertakkan giginya menahan ucapan minta maaf yang nyaris keluar dari lidahnya. Yang jahat disini adalah pria di depannya, kan? Letty yakin dia melihat aura perak yang nyaris menyentuh kepala White tadi.
Entah apa yang akan terjadi kalau itu menyentuh White. Letty takut kalau sesuatu yang buruk bisa saja terjadi pada White tadinya. Meskipun sekarang, White yang jadi terlihat panik di belakang Letty melihat apa yang sang gadis lakukan.
"Hoh, menarik. Gadis muda, siapa namamu?"
"Jangan berbicara padanya!"
White yang kembali berdiri dan sekarang menarik Letty ke belakang tubuhnya, melindungi sang gadis kecil itu dari tatapan pria yang mengaku-ngaku sebagai ayahnya. Bersamaan dengan itu juga, aura perak kehijauan yang mengelilingi Letty pun menghilang bersamaan dengan langit yang kembali cerah berwarna biru kekuningan.
Tatapannya yang tajam tertuju langsung pada Zhallen, memastikan sang pria tidak mendekat ke arahnya maupun juga Letty, meskipun sang gadis kecil itu sendiri pun tersentak dengan tindakan White.
"White, tapi--!"
"Diam, dan jangan berbicara padanya! Dan kau, bagaimana pun itu aku tidak ingin ikut denganmu! Kau tidak bisa memaksaku untuk pergi dengan--!"
"Hoh, walaupun aku membunuh ibumu? Nevelhelion?"
Kata-kata dingin Zhallen kembali memotong ucapan White yang sekarang menatapnya tajam. Dan kata dingin itu langsung membuat White membeku di tempat, saat dia melihat bahwa pria berambut biru gelap yang menahan ibunya itu pun menahan sang Mirania dengan satu tangan dan tangan lainnya pun mengambil sesuatu dari balik punggungnya, dimana akhirnya dia memegang sebuah pisau pendek berwarna hitam pekat bagaikan kristal.
Tanpa pikir panjang pun, sang pria langsung mendekatkan pisau itu ke leher Mirania yang nampak memejam kesakitan. Sedikit saja itu digerakkan, leher ibunya bisa tergores senjata yang terlihat mencurigakan walaupun tidak terlihat berbahaya.
"Bunuh saja aku!! Lebih baik aku mati daripada kau membawa anak-anakku seperti itu!" gertak Mirania dengan penuh kebencian pada Zhallen, namun pandangannya terlihat sedih pada White. Pilihan itu justru dijatuhkan pada anak tertuanya, yang padahal masih sangat muda seperti itu.
Namun Zhallen sendiri nampak tidak mempedulikan ancaman yang diberikan oleh Mirania padanya, dan hanya menoleh untuk memandangi sang wanita sejenak tanpa berpikir dua kali. Netra perak dinginnya bagaikan es yang membeku selamanya. Tanpa cela, dan tanpa keraguan sama sekali. Namun dia sama sekali tidak memberikan komentar pada Nevelhelion untuk melanjutkan dan kembali melihat White lagi.
"Sayangnya, Mirania. Kau tidak punya hak untuk memilih itu. Anakmu sendiri yang harus menentukan," gumam Zhallen memandang White lagi, menyadari suasana di tempat itu seketika berubah tegang lagi. Karena warga yang masih ada disana sama sekali tidak berani mendekat dan baik White pun tidak menjawab apapun.
"White."
Selama beberapa saat terdiam, lirihan kecil yang memanggil namanya pun membuat White menoleh, dan dia pun memandang Letty di sisinya yang terdiam menunduk. Gadis muda itu memandang sang pemuda dengan khawatir. Namun kali pertama Letty bisa melihat senyuman di wajah White, mata abu-abu perak sang gadis pun membelalak.
Sesaat, netra Letty memejam saat merasakan usapan lembut di sebelah pipinya. Merasakan sentuhan lembut dari White yang jarang diberikan sang pemuda padanya. Sosok yang dia sayangi, temannya yang berharga. Letty bisa melihat senyuman lembut itu menghiasi wajah White yang bahkan sulit diartikan itu.
Tunggu...
"White..?"
Panggilan Letty hanya dibalas dengan senyuman dari White. Dan pada akhirnya setelah tangan White naik mengusap kepala Letty dengan lembut, dia pun menarik tangannya dan berbalik memandang Zhallen lagi. Keseriusan terlihat kembali pada wajahnya yang seketika berubah keras dan dingin.
"Aku akan ikut denganmu. Asalkan lepaskan Ibuku dan adik--!"
"Adikmu pun akan ikut denganku. Tapi ya, kalau kalian ikut bersamaku, maka aku pastikan tidak akan mengganggu ibumu lagi. Nevelhelion, lepaskan dia."
Sebagaimana kerasnya seorang Zhallen, ucapan yang dilontarkan sang pria pun kembali terdengar mutlak. Membuat Ran yang nampak menatap ketakutan seraya merapatkan diri di dinding rumahnya itu tersentak di tempat. Ah, White bisa melihat betapa ketakutannya adiknya itu. Apalagi sang pemuda bahkan tidak bisa mendekat pada ibu mereka yang ditahan itu.
Di satu sisi, White pun bisa melihat pria berambut biru gelap itu melepaskan ibunya. Dimana wanita itu berusaha berdiri dengan kakinya yang terasa perih karena terluka saat dijatuhkan ke tangan secara spontan tadi. Netranya membelalak tidak percaya, dan seketika mata itu berkaca-kaca dengan perasaan bercampur di dadanya.
"T-Tidak bisa!! Anda tidak bisa seperti itu, Yang Mulia!! Mereka adalah anak-anakku! Dara--!!"
"Ibu..."
White spontan bergerak cepat menarik Letty dan langsung menghampiri Mirania untuk memeluk wanita itu. Bahkan Zhallen pun tidak menghalangi White mendekati ibunya lagi dan mengisyaratkan para prajurit untuk memberikan jalan. Di satu sisi, Ran pun segera menghampiri ibunya juga. Langsung memeluk wanita yang sangat mereka sayangi itu dalam sebuah kehangatan yang mungkin tidak akan bisa dirasakan Mirania lagi.
"U-Ugh, tidak, tidak. Tolong jangan seperti ini...uhh....Yang Mulia, tolonglah!"
Kedua tangan Mirania pun spontan merengkuh kedua anaknya dalam pelukan yang hangat, seolah takut melepaskan mereka dari jangkauannya. Karena dia tahu, setelah ini dia kemungkinan besar tidak bisa bertemu anak-anaknya lagi.
Meskipun begitu, satu-satunya pilihan adalah White yang menyelamatkan nyawa Mirania. Mirania tidak habis pikir bagaimana Zhallen bisa sekejam itu mengancam darah dagingnya sendiri seperti itu. Tapi apa yang terdengar kemudian pun hanya suara tangisan sedih dari Ran yang gemetaran dalam pelukan itu, permohonan Mirania yang tidak akan terdengarkan dan sosok White yang nampak diam memeluk ibunya dengan satu tangan sedangkan tangan lainnya masih menggenggam erat tangan Letty yang berada di sisi ibunya sekarang.
Selama beberapa saat suara tangisan itu yang terdengar menemani mereka, namun Letty tidak mengerti mengapa White memilih langkah itu. Meskipun di satu sisi Letty tersadar saat melihat apa yang hendak terjadi pada Mirania tadi. Mungkinkah White melindungi ibunya?
Namun bahkan permintaan Mirania pun tidak terjawabkan oleh Zhallen yang nampak terdiam di tempat, tidak menghiraukan momen menyedihkan atas perpisahan seorang ibu dan anak-anaknya yang akan terjadi. Pria itu bahkan kembali mendekat ke arah kereta kudanya seraya mengelap darah di tangannya dengan sapu tangan dari Nevelhelion.
"Maafkan ibu...anak-anakku. Maaf...ibu tidak cukup kuat untuk melindungi kalian..." lirih Mirania dalam isak tangisnya, memberikan kecupan lembut di kening Ran dan juga White dengan lembut. Merasa sulit sekali melepaskan pelukannya pada anak-anaknya. Berharap dia bisa kabur lagi dari sini bersama kedua anaknya ini. Tapi...tidak ada cara lain lagi.
"....Tidak apa-apa, Ibu. Aku...ingin melindungi Ibu. Walau seperti ini. Maaf, Iva...Iva tidak bisa berada di sisi ibu lagi..."
Kali ini, suara White yang terdengar itu membuat Letty tersentak, dan kali pertamanya, dia bisa melihat air mata itu mengalir di pipi sang pemuda saat White mengangkat kepalanya dari bahu Mirania untuk memandang ibunya yang juga menangis. Letty seketika merasa seolah hatinya diremas kuat, merasa sedih melihatnya juga. Apalagi saat Mirania pun menggeleng kecil dan kembali memeluk anaknya lalu memberikan kecupan di pucuk kepala White.
"Jangan minta maaf, Sayangku...Ibu yang seharusnya melindungi kalian. Tapi ibu...Ibu tidak bisa untuk saat ini. Maafkan ibu." Mirania mengucapkan kalimat itu berulang-ulang bagaikan mengucapkan doa untuk melindungi anaknya. Merasa tidak berdaya dengan posisinya yang terinjak-injak seperti ini di bawah Zhallen. Sekarang dia telah sadar, bahwa sejak awal dia salah memilih langkah seperti ini.
Walaupun tidak pernah menyesal untuk melahirkan White dan Ran, dia menyesal dengan pertemuannya dengan Zhallen yang membuatnya harus berada dalam posisi berat seperti ini, merelakan anaknya dibawa pergi.
"Aku rasa itu sudah cukup. Bawa mereka segera," perintah Zhallen tanpa pikir panjang. Merasa bahwa ucapan-ucapan menyedihkan itu sampai di sini saja. Membuat para prajurit di belakang Mirania pun menarik sang wanita untuk berdiri dan membuat pelukan itu terlepas. Sedangkan salah seorang prajurit menarik Ran yang terlihat begitu panik.
"Ibu! Ibu!!"
"Jangan sentuh aku, brengsek! Aku bisa berjalan sendiri!!"
Dalam jeritan Ran yang terlihat panik, White pun menatap tajam salah seorang prajurit yang berniat mendekat ke arahnya, meraihnya. Namun seketika aura berwarna biru keperakan mengelilinginya, membuat sang prajurit terdiam di tempat saat mendengar ucapan itu, terutama saat salah seorang prajurit lain pun berusaha menarik Letty yang masih digenggam olehnya.
"White, tapi kalau kau dan Ran pergi, bagaimana dengan--!"
"Tenanglah, Letty. Hei, jangan berpikiran negatif tentang itu."
Sekarang, White kembali memperhatikan Letty yang terlihat sedih di depannya. White merasa kalau Letty berusaha mati-matian menahan rasa sedihnya menyadari kalau sebenarnya yang paling tersakiti di sini adalah Mirania. Tapi White tidak bisa membuat dirinya buta dan tidak menyadari kesedihan dari gadis kecil yang selalu menemaninya dan Ran ini.
Waktunya tidak cukup lama, dan sekali lagi, tangan White pun terangkat lembut untuk menepuk kepala Letty. Gadis manis itu pun mengerjap merasakan kehangatan itu lagi, dan kali ini matanya pun berkaca-kaca. Sesaat, White terpana dan membeku, tidak yakin harus mengatakan apa saat melihat ekspresi sedih yang terpancar jelas di wajah Letty. Tapi pada akhirnya, sang pemuda berusaha untuk menunjukkan senyumannya yang biasa.
"Aku...minta tolong padamu untuk menjaga ibuku. Dan Letty, jangan bersedih. Suatu saat nanti, aku pastikan kita bisa bertemu lagi. Karena itu...tolong jangan terus-terusan bersedih karena ini."
Ucapan White terdengar lirih, namun dapat didengar dengan jelas oleh Letty. Netra abu-abu perak sang gadis memandang sang pemuda dengan lekat dan berkaca-kaca. White pun terpaksa menunjukkan senyuman bahwa dia baik-baik saja, dan meminta Letty untuk melindungi ibunya. Tangannya pun turun sejenak untuk menghapuskan air mata yang menumpuk di sudut mata sang gadis. Dia tidak ingin melihat sahabat berharganya ini menangis.
"Janji?"
Ahh, White akan merindukan suara dari sahabat tersayangnya ini. Dia pun takjub pada Letty yang tidak menangis keras walaupun pastinya sedih. Namun White tidak boleh egois, karena dia telah memilih tempatnya. Pertanyaan sang gadis pun membuat White terdiam sesaat, lalu pada akhirnya menganggukkan kepalanya. "Janji."
Setelah mengucapkan itu, sejenak White melirik ibunya lagi yang terlihat masih menangis, namun sekarang dijaga oleh prajurit agar tidak mendekat lagi. Dengan satu tepukan akhir di pucuk kepala Letty yang terlihat sedih itu pun, White pun melepaskan genggaman tangan mereka.
"Waktunya pergi."
Zhallen nampak mendekat ke arah White, namun tidak menyentuh anak laki-laki yang terlihat dingin itu. Di satu sisi, White menyadari kalau Ran pun sudah dibawa masuk ke dalam kereta kuda tersebut. Hingga dia pun perlahan melangkah memasuki kereta kuda itu.
Saat memasuki kereta kuda itu, para prajurit yang ada pun mulai bergerak ke kuda -kuda mereka, meninggalkan Mirania dan Letty yang juga mendekat ke arah wanita itu, dimana Mirania pun langsung memeluk sang gadis kecil. Sedangkan dari balik pintu yang hampir tertutup itu setelah Zhallen masuk, pandangan White sempat bertemu dengan Letty sebelum akhirnya pintu kereta kuda itu tertutup sepenuhnya dan akhirnya berjalan.
'Tenang, Iva. Kau bisa melewati ini.' Batinnnya, merasakan sosok Ran yang seketika duduk di sisinya, melekat padanya karena takut dengan Zhallen yang duduk di dalam kereta bersama dengan mereka juga. Pria dengan penuh wibawa dan dingin itu memandangi kedua anak yang ada di depannya itu.
Seolah menilai penampilan dari kedua anaknya itu. Namun saat tatapan Zhallen tertuju pada White, sang pemuda itu bisa menyadari bahwa tatapan kagum sesaat terlintas dalam netra Zhallen yang dingin. Mulut sang pria pun membuka untuk mengucapkan kalimat pertama pada anaknya itu.
"Pilihan yang bagus, Ivarios Blanchius."
---🗝️--
"--rios. Hei, Ivarios! Mau sampai kapan kau tidur disini?"
Panggilan itu membuat kening Ivarios mengernyit sesaat, sebelum akhirnya tersadar kalau memang ada yang memanggilnya dan akhirnya memilih untuk membuka matanya. Sosok yang pertama kali dilihatnya adalah sosok Diziel yang nampak membungkuk memandangi Ivarios. Menyadari bahwa dirinya ternyata tertidur di tempat ini, sehingga perlahan sang pria berambut perak itu pun duduk dan menyandarkan punggungnya pada dahan pohon di belakangnya.
Ah, netra sayu Ivarios pun sesaat mengedar ke sekeliling, seraya menguap dia pun menyadari kalau dia berada di salah satu area hutan latihan di akademi Philosthilea. Mengingat dirinya menemani Diziel dan Ivory disini karena keduanya tidak pulang ke kerajaan mereka di akhir pekan ini.
"Ah, maaf. Aku ketiduran. Kalian sudah selesai latihan?" tanya sang pria berambut perak itu pada Diziel, yang akhirnya membuat pria berambut abu-abu gelap itu pun tertawa kecil dan mengangguk, memilih untuk duduk di sisi Diziel juga, berlindung di bawah pohon biasa yang tumbuh besar dan lebat itu. Sesaat, mata Diziel pun memandang langit yang telah berubah oranye itu. Terlihat indah dan menenangkan, sadar kalau hari sudah sore.
"Haha, iya. Sudah sejak beberapa menit yang lalu. Namun karena kami pikir kau kelelahan, jadi kami tidak membangunkanmu," ungkap Diziel santai, bersandar juga pada pohon yang besar itu sambil memandangi langit-langit yang menurutnya begitu indah.
"Ivory kemana?"
"Ah, dia sedang mencari tanaman obat di hutan, tadinya berpikir ingin melakukannya sembari menunggumu bangun. Mungkin kita bisa menunggunya beberapa saat sebelum kembali ke asrama."
"Hmm..."
Gumaman Ivarios pun terdengar merespon ucapan Diziel, dan Ivarios pun memandang langit yang terlihat sangat familiar baginya itu. Merasa bahwa walaupun baru bangun tidur, rasanya tidak selelah biasanya. Hingga dia pun tidak menyadari kalau sesekali Diziel di sisinya memandanginya dengan pandangan penasaran yang bertanya-tanya.
"Ngomong-ngomong, tidurmu lelap sekali. Apa kau bermimpi indah?" tanya Diziel langsung pada Ivarios, sehingga sang pria berambut perak itu pun menoleh kembali ke arah Diziel. Sesaat, pikiran Ivarios pun mengingat apa yang dimimpikannya. Namun dia hanya terdiam sesaat untuk mencari jawaban yang tepat.
"Di katakan mimpi indah pun juga bukan...," ujar Ivarios pada akhirnya, sedikit menunduk dan mengetuk-ngetukkan jarinya pada akar pohon besar itu yang nampak sedikit mencuat tumbuh keluar di atas tanah. Mengingat mimpinya, Ivarios memang tidak bisa mengatakan itu mimpi yang buruk.
Tapi entah mengapa, mengingat itu membuat hati Ivarios menghangat, membuat sebelah tangannya pun terangkat menyentuh dadanya yang terasa berdebar-debar. Senyuman tipis pun menghiasi wajah Ivarios, mengingat satu sosok dalam mimpinya itu. Dan janji yang Ivarios lontarkan di dalam mimpinya itu.
"Tapi itu bukan mimpi yang buruk juga. Kurasa...itu mimpi yang sangat kuinginkan untuk saat ini."
-- ▪️--
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top