54. Optivus dan Firman Baru

--🔹--

Ruangan kuil yang menyerupai sebuah katedral besar berwarna putih itu terlihat begitu menenangkan. Walaupun waktu sudah menjelang malam hari, cahaya bulan dari luar jendela yang ditutupi gorden itu masih menembus dan menerangi sisi dalam ruangan kuil yang nyaris kosong.

Sosok seorang pria berambut cokelat gelap dengan netra merahnya terlihat berdiri di depan altar ujung depan ruangan tersebut. Sebuah patung besar berbentuk pohon berwarna perak terlihat berdiri kokoh di balik altar itu, namun sang pria yang berada di ruangan itu hanya terlihat diam saja sembari membaca sebuah buku tebal yang terletak di atas altar.

"Seperti biasa, kau menghabiskan waktumu disini."

Suara asing seorang pria terdengar menggema di dalam ruangan itu, bersamaan dengan langkah yang sama menggema ya memenuhi ruangan besar itu. Sosok seorang pria tinggi berambut hitam dengan mata netra merah serupa, terlihat berjalan di tengah lorong deretan kursi yang berjejer ke belakang menghiasi sisi kanan dan kiri dalam kuil.

Namun walaupun suara itu terdengar begitu familiar bagi sang pria berambut cokelat, sosok itu tidak buru-buru dalam menutup bukunya dan berbalik dengan tenang untuk memusatkan perhatiannya pada pria yang sedikit lebih tinggi darinya itu.

"Kau datang Hevander."

Netra merah bertemu dengan netra merah. Namun perbedaan jelas terlihat dari ekspresi keduanya yang memperlihatkan ekspresi datar sedangkan yang satunya tersenyum manis.

"Halo, kakak. Kupikir kau tidak sadar dengan kunjunganku hari ini." Sang pria yang dipanggil Hevander itu pun melambaikan tangannya dengan ceria. Ekspresi wajahnya terlihat senang, berbeda dengan setelan pakaian hitam yang dikenakannya justru terlihat suram.

Beberapa langkah di hadapannya, pria berambut cokelat itu hanya menghela nafas panjang. Tidak merasa terusik dengan sikap dari sosok yang memanggilnya kakak itu. Padahal rasanya dia sudah tidak sedekat itu pada sang pria di hadapannya.

"Apa yang kau lakukan disini?"

Pertanyaan lain keluar dari mulut sang pria berambut cokelat. Jubah panjang cokelat yang dikenakannya berayun seraya dia mengambil langkah turun dari meja altar di bagian depan ruangan itu, hingga sekarang dia berhenti tepat beberapa langkah di hadapan pria yang lebih tinggi darinya.

"Oh, Haven! kau terlalu kaku, kakakku tercinta. Apa aku tidak boleh mengunjungimu, melihat kakakku yang tercinta, satu-satunya keluargaku yang berta--!"

"Kau tidak punya hak untuk kembali lagi ke sini. Aku rasa kau sudah tahu kalau kau berada di dimensi yang berbeda, Hevander. Inilah mengapa aku tidak suka melihat dewa-dewa seenaknya seperti kalian."

Komentar tajam pun keluar dari mulut sang pria bernama Haven, memotong ucapan ceria Hevander yang dilontarkan sang pria tadinya. Namun Hevander sendiri hanya mengulum senyum tipis. Tidak merasa terganggu dengan ucapan menyakitkan yang dilontarkan kakaknya. Mengetahui pekerjaan pria itu saat ini, Hevander sudah mengetahuinya.

Pria itu pun mundur, menepuk tangannya sekali dan bergerak ke sisi kursi panjang pada deretan paling depan di sisi kanan. Hevander lalu bersandar pada lengan kursi kayu itu sembari memikirkan sesuatu.

"Kau jahat sekali, kakak. Padahal aku datang ke sini untuk melaporkan sesuatu yang penting padamu, sekaligus mengenang masa laluku disini, kan. Walaupun Dei Blanche kesayangan kalian itu sudah membuangku, dia tetap tidak melarangku kembali."

Di satu sisi, Haven tidak terlihat tertarik dalam pembicaraan itu. Wajahnya kaku datar seperti biasanya, seolah ekspresinya sudah dilatih seperti itu. Entah apa hal penting yang ingin disampaikan Hevander padanya. Tapi lebih cepat sang pria memberitahunya, lebih baik lagi untuk segera mengusir Hevander pergi dari sini.

"Kau tidak penasaran? Aku --!"

"Kalau kau punya waktu untuk bermain-main, lebih baik kau pergi saja."

"Oh, Tuan Optivus. Ternyata Anda lebih kejam dari status Anda sendiri. Bagaimana bisa Anda tidak peduli pada seorang dewa yang datang untuk melaporkan sesuatu pada Anda?"

"Kau bukan dewa yang berada di dunia ini, Hevander. Urusanmu dan Sang Dei Blanche yang Agung berbeda. Jangan bawa umat daratan Blanche dalam masalah--!"

Tangan Hevander sekali lagi terangkat seolah mengisyaratkan Haven untuk diam dan tidak melanjutkan kata-katanya. Tapi tawa kecil pun lolos dari mulut sang pria di hadapannya itu.

"Oke, oke, aku menyerah. Tapi ini lebih penting dari itu. Karena aku membawakan sesuatu untukmu," ujar Hevander sekali lagi. Tangan kanannya pun terangkat dan sebuah cahaya berwarna merah muncul disana. Perlahan cahaya itu pun membentuk sebuah gulungan berwarna perak dengan suluran dedaunan yang cantik.

Hanya saja, melihat itu membuat Haven sedikit membelalak. Ekspresi kaku datar yang biasanya menghias itu pun perlahan hilang. Sekarang ekspresi kacau justru muncul di wajah Sang Optivus. Karena dia tahu jelas apa gulungan itu. Langkahnya cepat mendekat ke arah Hevander yang tersenyum lebar, namun sebelum Sang Optivus sendiri sempat meraih gulungan itu, Hevander mengangkatnya tinggi dalam genggamannya.

"Darimana kau dapat itu??"

"Oh, kau terkejut? Sayang sekali peranku disini hanyalah pemeran tambahan yang dengan sialnya justru menerima sebuah perintah dari dewa kalian untuk membawakan ini?"

Hevander tertawa kecil, mengucapkan sebuah kalimat yang akan sulit dimengerti oleh Haven. Sedangkan sang pria nampak masih tidak terima dengan apa yang dilihatnya. Bagaimana benda seperti itu berada di dalam tangan Hevander sendiri, yang adalah sosok tidak terikat pada dunia Blanche sendiri.

Sosok yang sudah dibuang oleh Sang Dei Blanche sendiri ke dimensi lain.

"Apa maksudmu?"

Kali ini tatapan tajam dilontarkan Haven pada sosok adiknya. Dia menarik diri, melangkah mundur sejenak sembari matanya bergantian lihat ke arah gulungan di tangan Hevander lalu pada wajah sang pria berambut hitam.

Di hadapannya, Hevander bahkan terlihat santai menurunkan kembali tangannya. Memandang gulungan itu ketika tangannya sejajar dengan matanya. Seolah menimbang-nimbang apakah dia perlu memberitahukan hal itu pada sang pria di hadapannya.

"Firman Dei Blanche adalah sesuatu yang suci disini. Mau bagaimana pun, dimana pun dan kapanpun firman itu muncul, selama berada di dunia ini, kau selaku Optivus dan para Dewa Dewi yang bekerja di bawah Dei Blanche yang Termulia sekalipun akan langsung tahu," jelas Hevander pelan. Memutar-mutar gulungan itu di ujung jarinya kemudian dengan santai.

Sedangkan di satu sisi, Haven tahu hal itu. Firman Dei Blanche memang adalah sesuatu yang suci. Dan dia sebagai Optivus diberkati kemampuan spesial secara langsung oleh sang Dewa untuk bisa mengetahui firman itu. Karena itu saat ini dia dikejutkan dengan kehadiran Hevander dengan sebuah gulungan tersebut.

"Karena itu....selaku sosok yang tidak terikat pada dunia kalian, dewa kalian yang seenaknya itu menitipkan firman barunya padaku untuk diserahkan padamu."

Lontaran kata yang diucapkan Hevander seketika membekukan Haven di tempat. Dia merasa kalau dirinya mungkin salah dengar. Tapi sekarang setelah melihat buktinya, sang pria jadi bungkam. Karena gulungan itu adalah sebuah Firman, dan keasliannya tidak bisa diragukan lagi dengan gambar sulur daun berwarna perak itu.

"Jangan bercanda! Mana mungkin ada firman baru setelah firman sebelumnya baru saja turun beberapa minggu lalu! Tidak ada--!"

Ucapan Haven terhenti sendiri saat dia sendiri mengingat sesuatu. Seketika kilasan balik memorinya terputar dalam benaknya. Mengingatkan persembahan yang diberikan kerajaan Fargaven untuk kuil Blanche, dan juga berita tidak mengenakkan yang berhubungan dengan Putri Duke dari kerajaan makmur itu.

Sebuah firman baru, berhubungan dengan sosok yang bisa membaca bahasa suci yang sudah lama terlupakan.

"Apa ini ada hubungannya dengan kejadian itu?" tanyanya pada Hevander kembali, namun pria di hadapannya hanya memiringkan kepalanya dengan lucu seolah tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh kakaknya.

Apakah firman baru ini begitu penting sehingga bahkan Dei Blanche sendiri mengirimkan Dewa lain yang tidak terikat pada daratan Blanche untuk menyampaikan pesannya. Agar Dewa Dewi lain tidak menyadari satu hal penting itu?

Tangan Hevander yang memegang gulungan itu pun terulur ke arah Haven, seolah siap memberikan gulungan itu pada sang pria kapan saja.

"Pastikan saja sendiri. Aku tidak bisa berkata lebih untuk hal itu," ungkapnya memberitahu. Berharap kalau setidaknya Haven mencoba mencari kebenaran hal itu sendiri. Karena seperti ucapan Hevander tadinya, dia hanya datang ke sini untuk menyampaikan hal itu.

"Lagipula---!!"

"TUAN OPTIVUS!!"

Seruan keras bersamaan dengan pintu ruangan yang terbuka keras itu membuat baik Hevander dan Haven berbalik melihat ke arah pintu. Disana terlihat sosok seorang pria berambut cokelat panjang sebahu yang dikuncir melangkah masuk ke dalam kuil seraya memapah seorang pria lain berambut hitam.

Ekspresi pria itu terlihat cemas, tapi dia berusaha membantu sosok pria lain di sampingnya untuk berjalan walaupun terasa begitu berat bagi sang pria berambut hitam untuk menyeret kakinya sekarang.

Apa yang terjadi jelas menghentikan pembicaraan Hevander dan Haven. Membuat sang pria berambut cokelat gelap mengibaskan tangan kanannya yang menegang gulungan Firman itu ke samping dan gulungan itu pun menghilang seolah di telan angin. Sang Optivus lalu dengan segera berjalan mendekati sosok yang tidak lain adalah Arsen sendiri dengan mata membelalak kaget.

"Apa yang terjadi?" tanya Sang Optivus ketika dia tiba di pertengahan ruangan, dimana Mervis pun menghentikan langkahnya yang berusaha membantu Arsen untuk berjalan. Sesaat mata Haven tertuju pada Arsen, mencoba memeriksa sesuatu lalu kembali pada Mervis sendiri.

Dia sesungguhnya tidak menyangka dengan kehadiran kedua orang ini di kuil hari ini. Tapi melihat keadaan Arsen sekarang, dia tidak tahu harus berkata apa. Sosok Arsen terlihat seperti menahan sakit, dengan tangan yang memegang sisi perutnya yang tertutupi dengan kemeja hitam yang dikenakan sang pria.

"Saya...saya tidak tahu. Hanya saja karena Yang Mulia mengatakan ada yang perlu beliau sampaikan pada Anda, kami berniat mengunjungi Anda. Tapi tiba-tiba Putra Mahkota merasakan kesakitan pada tubuhnya."

Mervis menjelaskan dengan setenang mungkin. Jarang bagi sosok Mervis yang biasanya tenang, menunjukkan ekspresi khawatir seperti itu. Tapi dia tidak tahu harus bagaimana lagi ketika mereka turun dari kereta kuda dan Arsen hampir saja jatuh saat berjalan ke arah pintu masuk kuil tadinya.

Di hadapannya, Haven terlihat memproses ucapan yang diberikan Mervis padanya. Sekali lagi melihat kondisi Arsen yang sulit berdiri dalam papahan Mervis. Ada yang salah pada pria berambut hitam ini, tapi entah mengapa Haven tidak bisa melihatnya dengan jelas.

"Kalian terlalu khawatir. Aku baik-baik saja...ughh, sial. " Ucap Arsen pada akhirnya ketika sang pria mencoba mendongakkan kepalanya untuk memandang sang Optivus yang berada di hadapannya. Namun rasa pening di kepalanya membuat sang pria kembali mengernyitkan mata emasnya dan sebelah tangannya yang kosong naik menyentuh sisi kepalanya.

Mendengar ucapan itu, Haven menatap dalam diam. Dia melihat mata Arsen yang berwarna emas. Walau sesaat sang Optivus merasakan ada yang aneh pada Putra Mahkota. Sehingga dia mengulurkan tangannya untuk menyentuh bahu sang pria.

"Apa benar Anda baik-baik saja, Ya--!!"

Sebuah percikan hitam seperti hantaran listrik muncul ketika jemari Haven menyentuh bahu Arsen. Sehingga cepat-cepat sang Optivus menarik kembali tangannya karena terkejut. Itu terasa di ujung jari Haven, seolah menyetrum sang pria berambut cokelat gelap.

Penolakan. Entah bagaimana bisa itu terjadi, tapi Haven langsung tahu ketika melihatnya.

Ada penolakan pada tubuh Arsen sehingga aura hitam yang memercik bagaikan hantaran listrik itu menerjang ke arah sesuatu yang menyentuhnya.

Tidak, bukan sesimpel itu masalahnya. Karena Mervis bisa menyentuh Arsen tanpa merasakan hantaran itu.

Apa tubuh Arsen menolak sesuatu yang berhubungan dengan sesuatu yang suci?

"A-Apa? Y-Yang Mulia, Anda baik-baik saja?" tanya Mervis menolehkan tangannya ke samping. Namun dia segera tersadar ketika Arsen mencoba berdiri dengan kakinya sendiri. Tapi tidak ada gunanya karena kakinya terasa kaku sehingga sepertinya akan sulit digunakan untuk berjalan.

"Dudukkan dia."

Haven memberitahu, memandang Mervis sehingga asisten putra mahkota itu pun mengangguk kecil dan segera membantu Arsen duduk di kursi panjang terdekat. Dia jadi tidak tega melihat Putra Mahkota seolah kesulitan bernafas dan menahan sakit. Tapi kalau Haven sudah memerintahkan seperti itu, dia hanya bisa mempercayakan Arsen pada pihak kuil.

"Katakan padaku apa yang terjadi," pinta Haven kemudian, kembali melihat ke arah Mervis yang sedikit tersentak. Pria itu bahkan kembali berdiri di samping kursi yang diduduki Arsen dengan gugup, mengusap sisi tangannya sendiri ragu untuk menceritakannya pada Sang Optivus atau tidak. Walaupun Mervis sendiri tidak tahu pasti apa yang terjadi pada Arsen sampai seperti ini.

"Yang Mulia--! Tuan Optivus, apa yang Anda lakukan??"

Haven sedikit merasa kesal melihat Mervis yang ragu untuk segera menjawab, sehingga dia sendiri tidak ambil pusing dan segera mendekati Arsen lagi untuk membuka kemeja sang pria tanpa minta izin terlebih dahulu. Hanya saja, apa yang ditangkap matanya pada tubuh Arsen membuatnya membeku di tempat.

Sebuah lambang hitam berbentuk lingkaran jam kosong terlihat menghias dada kiri Arsen, dan suluran dedaunan berwarna hitam yang retak seolah menjalar ke seluruh perut Arsen bagaikan jaring laba-laba. Tidak lupa pula dengan sebuah bekas luka bakar di perut Arsen yang terlihat menghitam walau tidak berdarah.

"Oh, hahaha! Ini menarik. Kenapa ada lambang mengerikan itu disana?"

Suara Hevander tiba-tiba terdengar, membuat baik Mervis dan Haven sendiri berbalik ke belakang. Namun Mervis yang baru menyadari kehadiran Hevander di sana pun menarik pedangnya dari sarungnya sebelum akhirnya dihentikan Haven yang mengangkat tangannya ke arah Mervis untuk menghentikan sang pria melakukan sesuatu yang akan Mervis sesali sendiri nantinya.

"Hentikan, Mervis. Dia bukanlah lawan yang bisa kau anggap remeh. Dan Tuan Hevander, jaga ucapan tidak masuk akalmu itu!"

Haven memperingati baik pada Mervis dan Hevander, sehingga terpaksa Mervis kembali memasukkan pedangnya ke dalam sarung dan menatap tajam ke arah Hevander yang bertepuk tangan seolah sang pria tidak peduli dengan apa yang ada di sekelilingnya. Senyuman tipis yang muncul di wajah Hevander pun terlihat misterius ketika dia mendekat ke arah kakaknya.

"Siapapun juga tahu kalau itu--!!"

"Optivus Haven..."

Panggilan lirih yang menahan sakit itu pun terdengar membuat Haven kembali menoleh dan menghentikan kalimat Hevander tadinya. Mata Haven kembali tertuju pada Arsen yang kali ini bisa memusatkan perhatiannya pada Sang Optivus. Namun bagi Haven, seketika dia merasakan ada yang aneh pada Arsen lagi.

Dimatanya, netra emas Arsen terlihat seolah mengandung sesuatu yang lebih kelam. Walau bersinar seperti kristal matahari. Hawa tidak nyaman terpancar dari Arsen, namun di satu sisi terlihat begitu familiar bagi Haven. Dan tubuhnya sekali lagi membeku mendengar nama tidak asing keluar dari mulut sang Putra Mahkota.

"Siapa Ivarios Blanchius?"

--🗝️--

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top