46. Pilihan yang Tergoyahkan
--🔹--
Ruangan Adora sesaat dipenuhi keheningan setelah Arsen mengucapkan kalimat penyambutan itu. Rasanya seperti seseorang yang sudah mengenal cukup lama. Namun mengingat Arsen yang memang mengurus Avyce secara langsung, itu mungkin adalah hal yang normal.
Hanya saja dihadapannya saat ini, sosok Avyce terlihat cukup panik dan gugup. Bahkan gerakan tubuh sang wanita yang tersenyum ceria itu sedikit kaku saat dia kembali berdiri tegap dengan sopan.
Dia terlihat seolah merasa nyaman dengan Arsen, namun di satu sisi merasa gugup melihat Halafena, Adora bahkan Mervis yang ada disini memusatkan perhatian padanya. Mungkin karena dia memang tidak terbiasa berada dalam situasi seperti ini.
Walau Arsen sendiri masih terlihat tersenyum lembut pada sang wanita berambut perak, membuat Avyce jadi salah tingkah dengan pandangan Arsen yang tidak lepas darinya itu.
"Aku rasa kau sudah tahu alasanmu dipanggil kesini hari ini kan, Miss Avyce?"
Adora tiba-tiba angkat bicara, membuat Avyce pun mengalihkan perhatiannya pada sang kepala sekolah dengan menganggukkan kepalanya cepat. Tentu saja dia tahu alasannya datang ke sini.
"Saya sudah menerima surat dari Anda, Yang Mulia. Terima kasih karena sudah menyempatkan diri menemui saya disini," ujar Avyce lagi dengan sopan pada Arsen. Walau dia tidak bisa menyembunyikan ekspresi bahagianya karena mendapatkan surat langsung dari Putra Mahkota yang mengatakan akan mengunjunginya di Akademi dalam waktu dekat. "Padahal Anda tidak perlu repot-repot."
Ucapan akhir itu dilontarkan Avyce dengan malu-malu. Pandangannya seketika terpusat pada lantai dibawahnya menyadari pipinya yang sedikit merona dan panas. Berharap guru-gurunya tidak memperhatikan ekspresinya itu.
Sedangkan di hadapannya, Arsen hanya tertawa kecil melihat tingkah wanita itu. Lalu menggeleng kecil karena merasa tidak keberatan harus datang ke sini walau jarak kota ini dan ibu kota memang tidak dekat. "Apapun itu akan kulakukan asalkan kau bisa merasa nyaman dengan penyesuaian baru ini. Lagipula karena kau adalah tanggung jawabku, aku rasa tidak ada salahnya juga, kan? Atau kau merasa tidak nyaman dengan kehadiranku?"
"S-Sama sekali bukan masalah, Yang Mulia!!" Sanggah Avyce cepat kembali mendongak, namun dia kembali tersentak sendiri dengan tingkah memalukannya itu karena bersuara keras. Sehingga wanita itu pun kembali menunduk kecil.
Sekali lagi senyuman tipis yang lembut menghiasi wajah Arsen, dan kepalanya menoleh memandang ke arah Adora seolah meminta izin. Wanita berambut biru tua itu pun sekali lagi mengangguk, sama sekali tidak mempermasalahkan apa yang diinginkan Arsen bahkan saat pria itu belum mengucapkan apapun.
"Jikalau kau tidak keberatan, aku ingin mendengar ceritamu disini. Walau ini mungkin baru hari kedua kau berada di sini," ajak Arsen pada Avyce, kembali memandangi wanita itu dengan tatapan lembut membuat Avyce semakin salah tingkah. "Kuharap ini tidak mengganggu waktu istirahatmu."
"S-Sama sekali tidak, Yang Mulia. Ta-Tapi...kita--ma-maaf, maksud saya Anda ingin berbicara dimana?" tanya Avyce kembali meralat ucapan yang mungkin terdengar sedikit tidak sopan. Setidaknya di hadapan para gurunya dan juga pelayan langsung Arsen.
"Mungkin di tempat yang lebih luas. Tempat yang membuatmu merasa nyaman selain disini," jawab Arsen.
Ketika melihat Arsen kembali tersenyum tipis, Avyce tidak banyak berbicara. Dia hanya mengangguk dan langkahnya pun mengikuti Arsen saat pria itu keluar ruangan setelah memberi hormat pada Halafena dan Adora, diikuti dengan Mervis. "Saya akan kembali lagi nanti, Madam."
Pintu ruangan itu pun ditutup kembali setelah ketiga sosok itu berjalan keluar dari dalam ruangan.
--🔹--
Koridor yang dilalui oleh Arsen dan Avyce tidak terlalu ramai oleh murid, walaupun tidak sepi juga. Pria itu bisa melihat murid-murid yang berlalu lalang memperhatikan mereka. Dan dari pita yang terpasang di seragam murid-murid itu, Arsen langsung tahu tingkatan berapa saja mereka yang ada di sekeliling mereka.
"Bagaimana harimu? Aku rasa tidak terlalu buruk, Avyce?" tanya Arsen kemudian, menghilangkan formalitasnya dan sekarang berbicara dengan lancar pada Avyce tanpa terbebani.
Beberapa langkah di belakang mereka, Mervis terlihat berjalan dalam diam. Mata sang pria sedari tadi memperhatikan interaksi Arsen dan Avyce. Namun keduanya sepertinya berbicara dengan santai dan damai. Walau tetap saja dirinya khawatir dengan sesuatu.
"Tidak sama sekali, Yang Mu--!"
"Sudah kubilang kau bisa memanggilku Arsen. Tidak perlu terlalu formal," potong Arsen dengan cepat sebelum Avyce melanjutkan penjelasannya. Tidak ada alasan khusus Arsen meminta seperti itu, namun dia tetap membiarkan Avyce memanggilnya seperti itu. Setidaknya itu yang menjadi pemikiran Mervis sekarang.
"M-Maaf, Arsen. A-Aku baik-baik saja. Hari pertama kemarin pun...semuanya berjalan dengan baik," jawab Avyce kembali seraya mengangguk kecil. Mengingat apa yang jelas terjadi. Langkahnya pun menyusuri bagian koridor yang mengarah keluar bangunan sebelumnya, menghubungkannya dengan bangunan lain di seberang.
Walau diperhatikan beberapa murid lain, wanita itu merasa cukup tenang karena ada Arsen disini bersamanya. Lagipula sejak bertemu dengan Arsen, dia tahu pria itu berbeda. Berhati lembut dan pengertian padanya. Bahkan mau mengurus orang tua Avyce sendiri dan membiarkan mereka berada dalam perlindungan kekaisaran.
"Benarkah? Aku kagum. Kalau kau merasa tidak mengerti sesuatu, langsung tanyakan saja pada Madam Halafena atau Madam Adora. Masuk ke sini dalam waktu tingkat akhir memang tidak tepat. Tapi setidaknya dia ingin sang wanita mencoba menyesuaikan sendiri.
Sekali lagi Avyce mengangguk mengerti. Dia tentu mencoba menyesuaikan diri di sini. Apalagi karena sudah mendengar Putra Mahkota sendiri yang mengarahkannya, dia akan melakukan yang terbaik.
"Tentang orang tuamu juga. Tenang saja, mereka hidup bahagia di ibu kota. Kaisar sudah menyediakan sebuah tempat tinggal yang nyaman untuk mereka sesuai dengan kebutuhan mereka," jelas Arsen sekali lagi, merasa bahwa Avyce tentu perlu tahu akan hal itu. Karena yang dia urus disini tentu bukan Avyce saja, melainkan orang yang berharga bagi wanita itu juga.
Sekali lagi, rasanya begitu senang bagi Avyce karena mendapatkan perlakuan itu. Namun dia merasa bahwa Putra Mahkota sendiri sudah memberi terlalu banyak, sehingga dia kembali berbalik memandang Arsen dan menundukkan kepalanya sopan. "Terima kasih atas bantuan yang An-Arsen berikan selama ini."
Ucapan terima kasih itu dibalas dengan anggukan dari Arsen. Respon yang terlihat lembut dan juga jelas. Arsen merasa bahwa itu bukan masalah besar.
"Oh, ya, Yang Mulia. Jikalau An-kau tidak keberatan, bolehkah saya bertanya sesuatu?"
Perjalanan yang cukup kaku itu membuat Avyce menghentikan langkahnya di depan gapura batu koridor yang mengarah ke salah satu taman di sekolah tersebut. Tempat itu memang cukup sepi, dan melihat Avyce segera melangkah memasuki taman itu, dia pun hanya mengikut saja dengan pelan.
"Apa itu?" tanya Arsen seraya mengedarkan pandangannya. Banyak hal yang menurutnya membuat Arsen mengingat kenangan semasa sekolahnya. Tapi walau tempat ini sudah sedikit berubah dari yang terakhir Arsen ingat, tempat ini masih menyimpan aura menyenangkan seperti biasanya.
"Aku...menggunakan kekuatanku dan menunjukkannya pada murid-murid lain di hari pertamaku kemarin. Apa itu...tidak menjadi masalah besar?"
Pertanyaan itu membuat Arsen terdiam beberapa saat. Mengikuti kembali langkah Avyce hingga mereka tiba di kursi taman yang ada di tempat itu. Kursi itu berada tepat di bawah sebuah pohon tinggi yang lebat, sehingga sinar matahari tidak mengenai mereka secara langsung. Namun pria itu pun segera duduk saja tanpa mengatakan apa-apa.
"Hmm, tidak masalah. Lagipula kau melakukannya karena instruksi dari Tuan Nicolas, kan," ujar Arsen, menepuk tempat kosong di sampingnya mempersilahkan Avyce duduk, dan wanita itu pun segera duduk di sana tanpa merasa gugup sama sekali. Mervis pun memilih berdiri tidak jauh dari mereka, tetap memperhatikan dalam diam sembari memperhatikan sekeliling untuk memastikan tidak ada murid lain yang berani mendekat.
"Dan juga, ketika firman Dei Blanche itu keluar, kebenaran tentang dirimu sendiri pun akan terkuak di depan mata publik. Saat itu terjadi, kau tahu kau harus berjuang sendiri untuk meraih pilihanmu, kan."
Sekali lagi sang pria menjelaskan dengan nada yang terkesan lembut. Membuat senyuman tipis menghiasi wajah Avyce karena merasa senang seolah mendapatkan dukungan langsung dari sosok sang pria. Tapi saat tersadar dengan sesuatu, wajah Avyce berubah gugup.
Matanya bahkan mengedar ke arah lain seolah mencari sesuatu, namun segera dia kembali memandang ke arah Arsen yang menatapnya bingung.
"Ada apa?" tanya Arsen. Namun sesaat Avyce hanya menggeleng kecil sebelum akhirnya kembali menunduk dengan wajah sedikit merona merah. Dimana dia menyadari kalau Mervis sendiri pasti melihat ekspresi itu. "Bagaimana dengan...Firman Dei Blanche itu sendiri? Aku... mendengarnya langsung dari Optivus. Tapi bagaimana dengan Anda, Yang Mulia?"
Netra emas Avyce bertubrukan dengan mata Arsen yang berwarna senada. Namun pria di hadapannya sama sekali tidak menunjukkan ekspresi berarti padanya, dan hanya memperlihatkan senyuman lembut seolah tidak ada masalah dengan hal itu.
"Ah, Aku tahu kau sendiri sudah langsung mendengar Firman-nya secara langsung dari Optivus. Itu bukan masalah besar. Walau hanya ada beberapa orang saja yang tahu. Jadi kuharap kau tetap--!!"
"Tapi bagaimana dengan Tuan Putri??"
Pertanyaan Avyce yang dengan lancangnya memotong ucapan Arsen itu menyentakkan sang pria. Bahkan Mervis yang melihat itu pun tidak bisa menahan diri untuk tidak menoleh. Sebagai pengawal Putra Mahkota, Mervis sendiri tidak tahu isi Firman Dei Blanche yang turun itu.
Karena itu mendengar Elxyera disebutkan dengan nada khawatir itu, Mervis tidak bisa menahan rasa penasaran itu. Mungkin dia akan menjadi seorang pengawal yang berdosa, namun mencuri dengar pembicaraan yang ada bukanlah masalah besar, kan? Asalkan dia pada akhirnya bisa menutup mulut nantinya.
Hanya saja, Arsen yang mendengar itu jelas tidak menyangka. Sesaat matanya mengedar memandang keseluruhan taman itu sebelum kembali memandang Avyce. Rasanya dia jadi merindukan tempat rahasianya di sekolah ini. Tapi urusannya bersama Avyce ini jauh lebih penting daripada apapun.
Wanita yang berada dalam perlindungannya jelas lebih penting.
"Oh, haha! Kau mengkhawatirkan itu?"
Di satu sisi mengejutkan, Arsen tertawa kecil. Beruntung baginya tidak banyak murid di bagian taman yang memang berada di bangunan ruangan guru, namun bukan berarti tidak ada yang tidak mendengar disini, kan. Bahkan murid lain pasti sudah penasaran dengan kehadiran Arsen disini. Melihatnya bertemu dengan Avyce.
Avyce pun mengangguk kecil sebagai respon, menautkan kedua tangannya dalam genggaman di atas pangkuannya. Dia merasa begitu gugup, bisa Arsen lihat dari ekspresinya. Tapi Arsen tidak langsung memberikan jawaban atas pertanyaan ambigu Avyce yang bahkan seolah tidak memiliki dasar kalau orang lain mendengarnya.
Pria itu kembali terdiam sejenak, memikirkan sosok yang jelas ditanyakan oleh Avyce. Dia jadi penasaran mengapa Avyce menanyakan hal itu. "Kenapa kau menanyakannya?"
Ditanya balik justru membuat Avyce tersentak, bahkan sadar bahwa dia sekarang jadi pusat perhatian Arsen dan Mervis. Kepalanya pun menggeleng kecil salah tingkah, tapi mulutnya segera membuka untuk menjelaskan alasannya. "K-Karena aku sekelas dengan Tuan Putri. Dan juga...aku rasa dia adalah wanita yang sangat hebat."
Pujian itu membuat Arsen mengernyit sejenak, tidak menyangka kalau Avyce ternyata berada di kelas yang sama dengan Elxyera. Tapi dia rasa wanita berparas manis di hadapannya ini belum selesai berbicara. "Ah, kau sekelas dengan Elxy? Dunia ternyata sangat kecil ya."
Ungkapan itu dilontarkan Arsen, namun tentu saja sang pria tidak bermaksud buruk. Dia pun bersedekap dan memiringkan sedikit badannya yang duduk untuk memandang Avyce dengan lebih jelas. "Lalu?"
"L-lalu? Tuan Putri juga adalah sosok yang kuat. Bahkan saat tes kemarin..."
"Tes kemarin?"
Oke, sekarang itu menarik perhatian Arsen juga. Dia memang sudah mengatakan bahwa tidak akan mengurus hal lain selain Avyce untuk saat ini, walau dia memang bertanya bagaimana tunangannya disini. Bahkan sudah beberapa minggu dia tidak melihat Elxyera.
Tapi dari ucapan Avyce, rasanya Arsen jadi penasaran.
"A-ah, itu....kekuatan Tuan Putri....hampir menyebabkan kekacauan," lirihnya tidak bisa menemukan kata yang pas untuk menggambarkan kejadian kemarin. Walau di satu sisi mungkin itu terdengar tidak sopan. "M-maksudku dari apa yang aku lihat kemarin, kekuatan Tuan Putri sangat kuat. Aku sampai merasa kalau aku tidak bisa me--!"
Ucapan Avyce seketika terhenti saat melihat sebelah tangan Arsen terangkat, seolah menahannya untuk melanjutkan ucapan itu. Tapi sekali lagi tawa kecil terdengar dari sang pria, dan dia menggeleng setelah terdiam cukup lama dengan ekspresi serius mendengarkan cerita Avyce tadinya.
Pria itu jelas memikirkan sesuatu.
"Kau tidak perlu mengkhawatirkannya, Avyce. Itu akan menjadi pilihan yang ada dimasa depan. Kau dan aku pula, memiliki pilihan yang telah ditentukan. Karena itu bersabarlah...hingga waktunya tiba. Semuanya akan berjalan dengan baik," ujar Arsen pada akhirnya.
Tangan Arsen yang tadinya terangkat lembut, pun bergerak mendekati kepala Avyce. Matanya bahkan tidak lepas dari Avyce ketika dia menangkup pucuk kepala Avyce di tangannya, mengusap rambut sang wanita dengan lembut. Tindakan itu, justru mengejutkan Mervis yang tadinya hanya ingin melihat dari jauh.
Tapi bukan sampai disitu, ekspresi Avyce yang merona merah itu terlihat jelas ketika Arsen meraih sebelah tangan sang wanita dan menariknya mendekat ke arah wajah Arsen. Sebuah kecupan lembut di punggung tangan kanan sang wanita pun diberikan Arsen dengan lembut.
"Kau tidak perlu meragukannya. Aku yang akan melakukannya sendirian, karena itu adalah pilihanku sendiri."
Sekali lagi pipi Avyce merona mendapatkan tindakan itu. Namun di satu sisi, itu juga membuat Mervis membeku di tempatnya. Membuat pikiran sang pria berantakan dan tidak mengerti apa yang terjadi. Bahkan beberapa murid yang berlalu-lalang disana sempat melihatnya dan seketika menghentikan langkah untuk melihat sesuatu yang langka ini.
Namun seolah berada di dunia yang berbeda, tanpa disadari Arsen dan Avyce, sepasang mata merah muda Rubellite memandang dari kejauhan dengan dingin.
--🔹--
[ Note : ( ;∀;) Tolong jangan hajar saya selaku author. Saya pun tak sanggup menulis chapter ini. XD
Pada penasaran kah? Judulnya ambigu ya? Maafkan saya yang hanya bisa menggantungkan perasaan para pembaca. Mohon bersabar dan kuatkan hati untuk melihat chapter kali ini. XD
Yap, saya rasa untuk saat ini tidak banyak yang bisa saya sampaikan. Jadi sampai bertemu lagi di chapter selanjutnya. \^_^/ Semoga harimu menyenangkan.]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top