45. Kedatangan Putra Mahkota
--🔹--
Pagi itu adalah pagi yang damai di akademi Philosthilea hingga sebuah kabar kembali menggemparkan seisi akademi. Pasalnya pagi itu berlangsung dengan damai dan pembelajaran berlalu dengan baik. Namun pada waktu menjelang jam istirahat siang, sebuah kereta kuda kerajaan Fargaven memasuki kediaman Akademi Philosthilea membuat semua murid bertanya-tanya ada apa gerangan kehadiran anggota keluarga kerajaan di Akademi hari ini.
Di satu sisi, Elxyera yang sedari pagi larut dalam pikirannya sudah menebak akan hal itu. Setelah membicarakan semua itu semalaman dengan Ivarios, dia mengerti bahwa mau bagaimana berbedanya Arsen bersikap, pria itu pasti akan kembali mengikuti firman yang ada dan semuanya akan kembali seperti semula lagi.
Di satu sisi baiknya, Elxyera kemungkinan besar bisa menghindari karma kematiannya karena tidak terlibat langsung dengan Avyce. Tapi kalau dia tetap mempertahankan hubungan pertunangannya dengan Arsen, karma itu akan tetap mengikutinya.
"Oh, kalian lihat itu?? Apa yang dilakukan kereta kerajaan Fargaven di akademi hari ini?"
Elxyera yang tengah duduk di kursinya saat waktu memasuki istirahat siang itu bahkan tidak perlu repot-repot melihat keluar jendela yang bahkan sudah dipenuhi dengan murid-murid kelasnya yang penasaran. Benar saja, bahwa dari jendela kelas mereka yang langsung mengarah ke bagian depan akademi, memperlihatkan kereta kuda hitam itu disana.
Rasa penasaran murid-murid dimulai dengan bisikan-bisikan, hingga akhirnya suara itu semakin membesar dan Elxyera merasa bahwa dirinya bisa mendengar namanya sendiri.
"Kudengar Putra Mahkota datang ke akademi hari ini?"
Pertanyaan itu membuat Elxyera mendongak. Melihat sosok Diziel yang sudah kembali bersama Ivory. Keduanya tadi pergi sebentaran untuk membawakan tugas yang diselesaikan murid kelas mereka pada salah satu mata pembelajaran tadi pagi. Sedangkan Ivarios, hari ini tidak banyak bicara dan pria itu sekarang justru menghilang entah kemana dengan alasan ingin pergi ke toilet.
Semalam setelah menyelesaikan pembicaraan itu, Ivarios tidak berkata banyak. Dia bahkan tidak memberitahu Elxyera tentang isi Firman baru itu, walau Elxyera sendiri sudah yakin apa isinya. Tidak ada gunanya juga menyembunyikan itu kalau pada akhirnya Firman itu akan disebarluaskan nanti.
"Oh, ya. Aku juga baru mendengarnya kemarin."
"Yang Mulia mengirimkan surat untukmu, Elxyera?" tanya Diziel, sedikit memiringkan kepalanya melihat reaksi Elxyera. Berpikir kalau Arsen mengabari Elxyera bahwa akan berkunjung ke akademi hari ini.
"Beliau datang untuk mengunjungimu, Tuan Putri?" Kali ini Ivory pun ikut menimpali. Wanita itu pun mengambil posisi duduk di samping Elxyera dan memandangi sang wanita berambut pirang. Namun jawaban yang diberikan untuk kedua jawaban itu hanyalah sebuah gelengan kecil.
"Aku tidak tahu. Arsen tidak mengatakan apa-apa," jawab Elxyera pelan. Walau dia memang merasa bahwa itu pun tidak ada gunanya. Sang pria datang ke sini untuk menemui sang Gadis Suci, bagian dari tugas Arsen yang harus dipenuhinya sebagai Putra Mahkota.
Sebuah kewajiban yang sudah mengikat Arsen dalam satu tempat yang merupakan takdir.
"Kalau begitu apa kau ingin bertemu dengan Yang Mulia?" Diziel sedikit menunduk, menatap Elxyera yang menyibukkan diri memandangi buku yang terbuka di atas meja. Sepertinya Diziel menyadari bahwa Elxyera tidak terlalu terkejut dengan kemunculan Arsen disini. Membuat tadinya Diziel berpikir kalau alasan Arsen ingin bertemu Elxyera sehingga datang ke sini.
Tapi sepertinya bukan itu masalahnya disini.
"Tidak perlu. Arsen memiliki kesibukannya sendiri. Aku merasa tidak ada baiknya jikalau aku mengganggunya," ujar Elxyera menetapkan pilihannya. Merasa tidak ingin menunjukkan dirinya pada Arsen untuk saat ini. Toh dia harus berusaha mengalihkan perhatiannya dari Arsen.
Karena rencananya adalah terlepas dari cengkraman Arsen dan membiarkan pria itu mendekatkan diri dengan Avyce. Kepala Elxyera pun segera menoleh, dan tidak matanya pun segera tertuju pada Avyce yang nampak polos sedang berbicara dengan teman-temannya di kursinya.
Wanita itu bahkan tidak perlu repot-repot untuk melihat keluar jendela juga. Antara memang karena dia rakyat biasa yang tidak tertarik atau tidak mengerti dengan kehebohan yang diciptakan kedatangan Arsen disini atau memang sudah sadar kalau Arsen datang menemuinya.
Avyce bahkan terlihat tersenyum manis seperti biasanya. Seolah tanpa beban disana. Wanita manis yang ditakdirkan sebagai Gadis Suci memang seharusnya seperti itu, kan? Berada dalam perlindungan kekaisaran, tanpa perlu ragu dan takut ada yang bisa melukainya.
Suara ketukan yang nyaring dari pintu membuat perhatian semua murid yang ada di dalam kelas pun teralihkan ke asal suara. Sosok Halafena terlihat berdiri di ambang pintu dengan ekspresi datarnya yang biasa. Namun pandangan wanita itu segera mengedar lalu jatuh pada satu titik permanen yang langsung disadari oleh Elxyera.
"Avyce Heiligheid, ikut denganku."
Ucapan itu memerintah, namun terdengar tenang. Bahkan tanpa menunggu Avyce berdiri dari duduknya, Halafena sendiri sudah berbalik dan berjalan keluar ruangan membuat Avyce terburu-buru bangkit dan pamit pada teman-temannya sebelum melangkah keluar kelas mengikuti sang wali kelas.
Sosok manis Avyce menghilang di balik pintu, bersamaan dengan seruan murid satu sama lain yang kembali penasaran. Bukankah itu terlalu kebetulan, bahwa seorang wanita yang memiliki kekuatan langka tiba-tiba dipanggil wali kelas, bersamaan dengan hari kedatangan Putra Mahkota ke Akademi ini.
"Oh, apa Madam Warfrost ingin menanyakan Avyce perihal kemarin, ya? Aku tidak menyangka kalau ternyata murid baru itu memiliki kekuatan selangka itu." Diziel bergumam seraya matanya mengikuti pergerakan Avyce yang berjalan keluar dari kelas. Ekspresi pria itu terlihat penasaran pada sosok Avyce juga, namun tentu tidak terlalu penasaran karena berpikir kalau itu hanya sebuah keajaiban yang merupakan bagian dari dunia ini.
Lagipula apapun bisa terjadi, kan?
"Tapi melihat bagaimana Wakil Kepala Sekolah seperti sudah mengetahui kemampuannya, mungkin hal itu masih merupakan rahasia hingga kemarin, Tuan Diziel." Ivory pun berpikir. Mengingat bagaimana sikap Nicolas kemarin yang seolah tidak membatasi apapun pada Avyce lagi.
Mengingat itu membuat Elxyera terdiam. Dia tahu Wakil Kepala Sekolah memiliki sosok murid mengagumkan seperti itu. Sejak awal kemunculan Avyce, Elxyera memang menyadari kalau itu sudah berbeda. Walau sesaat sebelumnya dia penasaran mungkinkah itu adalah salah satu hal yang mungkin dia lewatkan di kehidupan sebelumnya.
Tapi melihat semuanya muncul dengan begitu cepat, dia tahu waktu yang berbeda itu ada, namun tidak menutup kemungkinan bahwa kenyataan yang ada pun bisa kembali terulang.
"Aku ingin ke toilet dulu," ujar Elxyera yang segera berdiri dari duduknya. Hal itu membuat perhatian Diziel dan Ivory kembali tertuju pada sang wanita berambut pirang, namun Ivory pun segera mengangguk dan berdiri agar Elxyera bisa keluar dari tempat duduknya.
"Setelah ini ingin ke kantin?" tanya Diziel setelah Elxyera melangkah beberapa saat. Mengajak sang wanita bertemu dengan Arsen pun rasanya tidak ada gunanya, karena sang wanita sudah menolak ajakan itu sedari tadi.
Di satu sisi Elxyera berbalik sejenak, menatap Diziel dan tersenyum tipis sebelum akhirnya mengangguk.
--🔹--
"Kita akan bertemu dengan Kepala Sekolah Philosthilea di ruangannya, Yang Mulia. Wali kelas Miss Avyce Heiligheid pun sudah memanggil sang wanita untuk bertemu dengan Anda disana," ujar Mervis yang kali ini terlihat berjalan bersama Arsen di salah satu koridor akademi yang tidak sepenuhnya sepi. Mengikuti seorang pengawal yang mengantar mereka.
Setelah tiba di akademi tadinya, Arsen tidak membuang-buang waktu dan segera meminta untuk diantarkan bertemu dengan Sang Kepala Sekolah Akademi Philosthilea. Pria itu bahkan berjalan dalam diam tanpa menghiraukan Mervis yang mulai berbicara memberitahukan apa yang perlu diketahui Arsen hingga saat ini.
Mata Arsen memandangi dinding koridor bangunan itu dalam diam. Merasa bahwa sudah cukup lama dia tidak datang ke sini. Karena yang mengantar Avyce untuk dipindahkan ke akademi ini pun bukan Arsen secara langsung, melainkan Mervis. Walau tidak menutup kenyataan bahwa semua itu diurus oleh Arsen.
Sesaat pria itu mengingat sosok Elxyera ketika memasuki akademi juga tadinya. Rasanya sudah cukup lama juga dia tidak melihat tunangannya itu. Setelah dia sibuk dengan hal ini, awalnya dia masih bisa mendampingi tunangannya yang sedang masa pemulihan. Namun sekarang entah mengapa Arsen sendiri bahkan kesulitan dalam mengatur waktunya.
Apalagi dengan segala kesibukan baru yang muncul saat ini.
Firman Dei Blanche yang keluar dua minggu lalu. Tadinya Arsen berpikir kemunculan seorang gadis dengan kekuatan cahaya yang langka adalah sebuah keajaiban biasa yang mungkin muncul beberapa ratus tahun sekali, tapi kenyataan lain dimana firman Dei Blanche itu mengkonfirmasi kenyataannya, Arsen tahu itu sudah bukan lagi kebetulan.
Itu adalah rencana yang dipersiapkan Dei Blanche sendiri untuk Avyce Heiligheid.
"Tch!" Decakan lidah Arsen bisa terdengar oleh Mervis yang berjalan di sisinya, mengikuti seorang penyihir berjubah yang menuntun mereka menuju ruangan Kepala Sekolah Akademi Philosthilea.
"Yang Mulia?"
"Apa kau tahu dimana kelas Elxyera?" Arsen bertanya seketika tanpa memandang Mervis yang mengikutinya. Matanya memandang lurus ke depan, menyadari bahwa ada beberapa murid yang memandangi mereka dari kejauhan, walau tidak ada yang mendekat lebih dari itu agar tidak menghalangi jalan dari Putra Mahkota kesayangan kekaisaran mereka. Dia bisa melihat tatapan kagum itu dimata murid-murid itu.
Pastinya mereka mengingat prestasi Arsen di sini, walau sang pria tidak ingin menjadi pusat perhatian seperti ini. Dia tidak bisa melakukan apapun untuk menolak semua perhatian yang muncul secara tiba-tiba itu.
"Tuan Putri, Yang Mulia? Maaf, saya pun tidak mengetahuinya. Apakah Anda ingin saya mencarikan info tentang kelas Tuan Putri? Setelah ini mungkin Anda--!"
"Tidak perlu. Lebih baik kita menyelesaikan urusan ini terlebih dahulu. Tidak baik membuat Kepala Sekolah dan Nona Avyce Heiligheid menunggu," ungkap Arsen segera memotong ucapan Mervis, lalu mengikuti sang Pengawal yang berbelok untuk menaiki tangga khusus menuju ruangan kepala sekolah Philosthilea.
-- 🔹--
Ruangan kepala sekolah tidak semewah perkiraan orang lain. Tempat itu dipenuhi dengan rak-rak buku kayu yang sudah lapuk, tumpukan buku yang memenuhi sisi kiri ruangan dan berbagai macam alat sihir di sisi kanan ruangan. Dengan bagian tengah atas ruangan yang dihiasi dengan meja besar berwarna cokelat, yang lagi-lagi dipenuhi tumpukan kertas yang seolah tidak tersentuh itu.
Walau begitu, seorang wanita yang berparas dewasa muda di tengah ruangan sama sekali tidak merasa keberatan dengan isi ruangannya tersebut. Dia berdiri di depan meja kerjanya, bersandar di pinggirannya seraya bersedekap menunggu seseorang yang sudah memiliki janji akan datang hari ini.
Rambut panjang biru sepiggangnya yang sedikit acak-acakan itu dibiarkannya terurai, dan mata biru tuanya tertutup seraya mendengarkan detakan jam dinding sihir di dalam ruangannya.
Suara ketukan di pintu ruangannya pun membuat wanita itu perlahan membuka matanya, mendongak dan membuka mulut untuk berbicara. Merasa sudah tahu siapa yang datang, dia tidak punya hak untuk menolak juga.
"Masuk."
Tidak butuh waktu lama hingga pintu ruang kerja itu terbuka dan memperlihatkan sosok tiga orang yang tidak asing baginya. Salah satunya tentu adalah pengawal yang sudah lama bekerja di akademi ini, dan dua lainnya adalah sosok dua murid berbakatnya di masa lampau.
Mengingat baik Arsen dan Mervis sama-sama pernah menuntut ilmu di tempat ini.
"Selamat datang, Yang Mulia Putra Mahkota," sapa wanita itu dengan sopan. Namun berbicara selayaknya sosok yang lebih tua tanpa salam yang biasa digunakan di kekaisaran Fargaven. Di satu sisi, Arsen sama sekali tidak mempermasalahkannya dan tersenyum tipis. Dia menganggukkan kepalanya singkat sebelum menunduk sopan sesaat, diikuti dengan Mervis di belakang Arsen.
"Terima kasih, kau sudah bisa kembali." Sesaat sang wanita yang diketahui sebagai kepala sekolah Philosthilea yang menjabat saat ini berbicara pada pengawal itu, dan dengan segera sang pengawal keluar dari dalam ruangan meninggalkan ketiga sosok itu dalam keheningan ruangan.
"Senang bisa bertemu denganmu lagi, Kepala Sekolah Madam Adora. Bagaimana kabar Anda?" tanya Arsen setelah mengetahui bahwa hanya mereka bertiga saja yang berada di ruangan yang cukup kacau ini. Mata Arsen pun memandang sekeliling dan tawa kecil lolos dari mulutnya. "Saya lihat kebiasaan lama Anda sama sekali tidak hilang ya. Suka menumpuk sesuatu."
Ucapan yang jelas tidak sopan itu dilontarkan Arsen dengan nada sesopan mungkin. Membuat Mervis yang melihat dari belakang hanya bisa tersenyum tipis dengan gugup. Kalau-kalau Arsen tahu sosok yang diajak bicara ini tentu saja adalah kepala sekolah Philosthilea saat ini, dan sosok yang sesungguhnya jauh lebih tua dari Arsen dan Mervis sendiri.
Di seberang mereka, wanita yang dipanggil Adora itu justru tertawa renyah. Entah terlihat biasa saja dengan ucapan sang pria yang lebih muda darinya itu, namun tatapan dari mata biru tuanya terlihat ceria memandang Arsen. Sama sekali tidak menunjukkan kekesalan sama sekali.
"Ucapan tidak sopanmu itu lagi-lagi mengingatkanku pada Ayahmu. Walau sungguh disayangkan aku meluluskan dirimu yang bermuka dua ini sebagai lulusan terbaik, aku jelas mengakui bahwa kehebatanmu itu kau dapatkan dari Artemis dan crovis sendiri," sindir Adora tanpa basa-basi pada Arsen, walau di satu sisi memuji orang tua dari sang pria yang sudah begitu lama dikenalnya. Dapat diketahui dengan bagaimana cara wanita berparas muda itu memanggil nama orang tua Arsen.
"Terima kasih, Madam Adora. Saya merasa tersanjung dengan pujian itu. Sebagai salah satu murid yang berada dalam bimbingan Anda semasa saya menuntut ilmu disini, saya sangat berterima kasih atas bimbingan Anda sehingga saya bisa menjadi lulusan terbaik pula," tawa Arsen kembali sama sekali tidak terpengaruh dengan sindiran itu, hingga keduanya pun kembali tertawa bersamaan dengan akhir kalimat itu.
Helaan nafas lega pun lolos dari mulut Adora. Matanya memandang Arsen lalu berpindah pada Mervis di belakang Arsen yang sudah terlihat sangat gugup sekarang. Menyadari bahwa Halafena yang dimintanya memanggil Avyce tadi belum muncul, sepertinya mereka masih harus menunggu beberapa menit.
"Ternyata kau masih bertahan di sisi Arsen, Mervis. Apa kau tidak merasa hidupmu susah menghadapi pangeran satu ini?" tanya Adora yang kembali bersedekap dan tersenyum lebar. Ucapan itu membuat Mervis tersentak kaget, lalu menundukkan kepala untuk menghindari tatapan mantan kepala sekolahnya itu.
"S-suatu kehormatan bagi saya bisa melayani Yang Mulia Putra Mahkota, Madam Adora," balas Mervis dengan sopan, walau entah mengapa dia merasa aura yang cukup menegangkan tiap kali dia berbicara langsung dengan sang wanita. Mungkin karena kenangan-kenangan 'mengerikan' yang didapatkannya bersama Arsen saat masih bersekolah disini.
"Oh, benarkah? Bahkan saat Arsen memintamu menyamar jadi perempuan dalam acara Hazeret Ball yang diadakan akademi, agar tidak ada yang bisa mengajak Arsen sebagai pasangan untuk berdansa. Namun justru kau ditinggal oleh Putra Mahkota karena pangeran tidak bertanggung jawab ini melihat sosok yang disukainya tidak menghadiri pesta?"
Ucapan panjang lebar yang dikeluarkan Adora seketika mengejutkan Mervis, dan pria itu dengan ekspresi yang begitu malu memandang Adora dengan panik. Tidak menyangka sang wanita justru akan mengatakan itu padanya di tempat seperti ini. Membuat Mervis kembali mengingat salah satu kenangan yang sangat ingin dia lupakan itu.
Bahkan Arsen terdengar tertawa mengingat itu. Karena Arsen ingat betul saat itu dia berusaha untuk menolak semua tawaran wanita bangsawan yang ingin mengajaknya sebagai pasangan di salah satu event penting Akademi waktu itu. Sehingga satu-satunya pilihan bagi Arsen yang wajib hadir itu hanyalah meminta Mervis menyamar untuknya.
Di satu sisi, itu justru membuka kenangan lama memalukan bagi Mervis.
"M-madam Adora!! I-Itu bukan sesuatu yang pantas untuk diungkit-ungkit!" sanggah Mervis dengan cepat, tidak terima dirinya yang justru dipermalukan disini. Ah, rasanya tenaganya berkurang hanya dengan berhadapan dengan sosok wanita yang jauh lebih tua dari penampilannya ini.
Bahkan tanpa rasa bersalah, Adora pun ikut tertawa karena waktu itu langsung menyadari bahwa itu adalah Mervis, walau sang pria didandani dengan begitu cantik hingga membuat salah seorang pemuda hampir jatuh cinta padanya. "Haha, bukankah itu adalah kenangan manis yang tidak akan bisa kalian lupakan? Masa sekolah adalah masa yang penting juga, kau tahu."
"Tapi tetap saja bagi saya itu adalah sesuatu yang ingin saya lupakan, Madam!" balas Mervis kembali. Seketika menghela nafas panjang merasa lelah. Ah, ingin rasanya dia menunggu di luar saja daripada berada disini. Tenaganya terasa terkuras banyak.
"Oh, ya. Apa Tuan Nicolas tidak akan menghadiri pertemuan ini?" tanya Arsen yang baru menyadarinya. Sebagai wakil kepala sekolah, sudah pasti Nicolas harus ada dalam pembicaraan itu. Tapi ketika melihat Adora menggelengkan kepalanya, rasanya Arsen mengerti kalau pria satu itu tidak akan menghadiri pertemuan ini.
"Dia memiliki urusan, tapi aku akan menyampaikan apa yang menjadi pembicaraan kita disini. Lagipula dia selalu memantau murid yang kau bawa ke sini itu. Avyce Heiligheid bisa mengontrol kekuatannya dengan baik. Bahkan kemarin, Nicolas memutuskan untuk membiarkan semua murid tahu dengan kekuatan yang dimiliki Avyce Heiligheid."
"Oh? Begitukah? Kurasa itu bukan masalah besar, karena cepat atau lambat murid lain juga akan tahu dengan kekuatan Nona Avyce Heiligheid," ucap Arsen setelah mendengarkan penjelasan Adora. Merasa tidak keberatan dengan tindakan Nicolas yang sesungguhnya tidak meminta izin pada kekaisaran selaku sosok yang membawa Avyce ke sini.
"Tapi karena kekaisaran sendiri yang meminta untuk memberikan perlindungan pada Avyce Heiligheid, kami juga tidak bisa apa-apa. Ini pasti ada hubungannya dengan Firman Dei Blanche yang muncul itu, kan? Apa kau masih tidak ingin memberitahukan isinya padaku?" tanya Adora. Merasa penasaran dengan isi Firman yang sepertinya memiliki hubungan dengan Avyce. Walau di satu sisi kenyataannya Adora pun masih belum tahu isi Firman itu.
Kepala Arsen pun menggeleng kecil. Pria itu bungkam beberapa saat dengan satu respon yang bisa diberikannya seperti itu untuk menjawab pertanyaan Adora.
"Untuk saat ini, aku masih belum bisa mengatakannya, Madam. Namun tidak lama lagi, firman itu pun pasti akan diumumkan oleh kuil secara langsung ke segala penjuru daratan Blanche. Saat ini aku hanya bisa meminta bantuanmu untuk melindungi Miss Av--Tidak...Melindungi Avyce di akademi ini sampai semuanya terkuat dan aku bisa menstabilkannya."
Netra emas Arsen sesaat meredup mengucapkan itu. Tangannya yang berada di sisi tubuhnya mencengkram kuat seolah menahan sesuatu. Dimana pikiran pria itu mulai melayang kemana-mana memikirkan banyak hal. Dia tahu dia tidak bisa bertindak gegabah seperti itu, apalagi karena kekuatan Avyce adalah sesuatu yang langka dan Arsen rasa untuk saat ini tidak ada orang lain yang memilikinya lagi. Dia ingin mencari tempat perlindungan untuk wanita itu.
"Hmm, begitu ya. Kau sepertinya sangat peduli dengan Avyce Heiligheid. Tapi aku akan berusaha semampuku untuk membantumu." Adora mengangguk kecil, menyadari bahwa sudah ada begitu banyak hal yang membuat Arsen harus membuang begitu banyak waktu untuk mempersiapkan ini semua. Mencarikan tempat yang aman untuk wanita berambut perak itu.
Di hadapannya, Arsen hanya tersenyum tipis tanpa merespon ucapan Adora dengan kata-kata. Membuat keheningan kembali merambat di ruangan itu sampai sebuah ketukan dari pintu kembali membuat perhatian ketiga orang tersebut teralihkan.
Arsen dan Mervis yang membelakangi pintu pun berbalik saat Adora mempersilahkan siapapun yang ada di luar untuk masuk ke dalam ruang kerjanya. Tidak lama kemudian pintu itu pun terbuka dan menampilkan sosok dua orang lain, dimana sosok pertama adalah wanita tinggi berambut merah muda panjang dan sosok satunya adalah sosok yang sudah Arsen hafal selama sebulan lebih ini.
"Salam bagi cahaya kekaisaran Fargaven, Yang Mulia. Senang bertemu dengan Anda sekali lagi," ujar Avyce ketika dia melangkah masuk mengikuti Halafena. Sang wanita berambut perak itu pun membungkuk hormat dan mengembangkan sedikit rok seragamnya dengan sopan, tidak langsung memandang Arsen yang yang berdiri beberapa langkah di hadapannya.
Namun melihat sikap sikap sopan sang wanita selama beberapa detik, Arsen hanya tersenyum tipis. Meskipun di mata Mervis, dia bisa dilihat bahwa itu adalah salah satu senyuman lembut yang berasal langsung dari hati Arsen dier Fargaven. Mervis bahkan tidak mengatakan apa-apa ketika melihat Avyce yang memandang Arsen dengan pandangan ceria yang penuh kebahagiaan.
"Lama tidak bertemu, Avyce. Senang melihatmu baik-baik saja saat ini."
--🗝️--
[Note : ( ⚈̥̥̥̥̥́⌢⚈̥̥̥̥̥̀)
Saya tak tahu ingin mengatakan apa lagi dengan chapter ini. Karena itu saya membiarkan para pembaca saya untuk berimajinasi membayangkan apa yang akan terjadi kedepannya. (≧▽≦)
Mulai dari sini, rasanya konflik yang ada mulai terlihat ya? Kalau mau siapin senjata buat menghajar Arsen, silakan. Soalnya labil sih. XD (Padahal salah siapa coba dianya labil.
ʕ´• ᴥ•̥'ʔ)
Yap, Yap, kurasa untuk bagian konflik ini akan terbagi menjadi beberapa chapter kedepan nantinya, jadi harap nantikan kelanjutannya. Semoga kesibukan saya juga tidak terlalu menghalangi agar saya bisa update setiap hari, walaupun saya tidak bisa janji ya.( ⚈̥̥̥̥̥́⌢⚈̥̥̥̥̥̀)
Kurasa itu saja yang bisa saya sampaikan saat ini. Terima kasih banyak untuk kalian semua yang sudah membaca sejauh ini. Semoga hari kalian menyenangkan. Love you all. (つ≧▽≦)つ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top