36. Rencana Takdir

--🔸--

Jikalau ini memang adalah mimpi, entah mengapa kali ini Elxyera segera berharap dia kembali dibangunkan. Namun setelah beberapa kali mencoba mencubit tangannya sendiri di bawah meja, rasa sakit itu tetap dirasakannya. Membuat rasa gugupnya menumpuk bersamaan dengan rasa mual di perutnya.

Apa yang dilihatnya saat ini adalah bagian dari kenyataan yang bahkan tidak pernah diingatnya. Apa dewa benar-benar membencinya sekarang? Elxyera bahkan sadar dengan tatapan Ivarios yang tertuju padanya tadi. Senyuman itu, jelas ditujukan langsung padanya ketika sang pria melihat ke arahnya.

Jikalau Ivarios memang adalah Dei Blanche, maka pupus sudah harapan Elxyera. Karena masalah yang dihadapi wanita itu saat ini bukanlah sesuatu yang ringan.

Bagaimana bisa dia bertemu dengan Avyce disini? Di saat dimana seharusnya dia bertemu wanita itu saat dirinya berusia 20 tahun. Namun kenyataan menyakitkan itu berkata padanya. Ketika dia melihat Avyce, wanita yang dicintai Arsen di masa depan berdiri berdampingan dengan seorang pria yang mengaku sebagai Dei Blanche sendiri di dalam mimpi Elxyera sendiri??

Apa Ivarios memang merencanakan ini? Pria ini Dei Blanche yang dihormati umat manusia, kan?

"Nona Heiligheid, kau bisa duduk disana. Lalu Tuan Blanchius..." Halafena kembali melihat seisi kelasnya, mencari-cari tempat kosong lain di bagian depan yang bisa digunakan oleh dua murid baru itu. Dan ketika menemukan tempat kosong tepat di samping Diziel, sang guru pun menunjuk ke sana.

"Kau bisa duduk di samping Tuan Clifton. Ya, disana."

Ucapan itu segera mengejutkan Diziel yang melamun mencoba mengabaikan sang guru yang menjelaskan. Namun di satu sisi lain, Elxyera yang  merasa tubuhnya membeku di tempat duduknya. Dia bisa melihat bahwa Avyce duduk di kursi depan bagian barisan tengah. Setidaknya dia tidak perlu dekat-dekat dengan wanita muda itu.

Tapi masalahnya adalah karena pria berambut putih perak yang tersenyum padanya itu diminta untuk duduk semeja dengannya. Ya, secara teknis Ivarios diminta duduk di samping Diziel yang artinya akan berseberangan dengan tempat duduk Elxyera. Namun ketika menyadari tatapan sang pria kembali tertuju sekilas padanya saat Ivarios melewati depan mejanya, Yuna merasakan perasaan tidak enak.

"Salam kenal, namaku Ivarios Blanchius. Aku harap tidak merepotkan jikalau aku duduk disini," ujar Ivarios ketika pria itu duduk di samping Diziel yang sedikit bergeser masuk untuk menyediakan tempat bagi sang pria berambut perak. Namun di satu sisi Diziel hanya tertawa kecil dan menggeleng singkat. Sama sekali tidak merasa direpotkan.

"Oh, tidak apa-apa, tidak perlu seformal itu. Lagipula jikalau kau sudah menjadi bagian dari kelas ini, tidak perlu merasa sungkan!" seru Diziel kembali dengan semangat. Walaupun tadinya merasa tidak mood saat namanya disebutkan sang guru. Sepertinya mencoba berkenalan dengan murid baru bukanlah hal yang buruk baginya.

Diziel pun segera menoleh ke arah Ivory dan Elxyera saat tersadar sesuatu. Tubuhnya mundur sedikit untuk bersandar di sandaran kursi agar Ivarios bisa melihat kedua temannya. Walaupun Elxyera sendiri berharap Diziel tidak mengatakan apa-apa, harapan itu tidak benar-benar terwujud.

"Oh, ya. Perkenalkan, ini Ivory dan Elxyera." Tanpa berpikir panjang, Diziel segera memperkenalkan Ivory dan Elxyera. Sehingga Ivory pun tersenyum tipis dengan sopan pada Ivarios dan mengangguk pelan.

"Salam kenal, Lady. Saya mohon bantuannya untuk kedepannya, dan..."

Ivarios sesaat berbicara dengan sopan pada Ivory, sebelum memandang Elxyera yang sama sekali tidak meliriknya, namun justru menunduk dengan kedua tangan berada di bawah meja bergerak-gerak gelisah. Sehingga hal itu jelas membuat perhatian Diziel dan Ivory kembali tertuju pada wanita berambut pirang itu.

"Elxyera?"

"A-ah, ya??"

Elxyera sedikit tersentak begitu namanya dipanggil dengan pelan oleh Diziel agar tidak menarik perhatian Halafena yang menjelaskan tentang sistem baru pembelajaran untuk tingkat akhir. Sehingga sang wanita berambut pirang itu kembali menoleh dan memandang Ivarios dengan malu-malu.

"Maaf, kau hanya..."

"Ah, Anda adalah Tuan Putri Elxyera, kan? Saya rasa awalnya familiar dengan wajah Anda, tapi ternyata itu betul adalah Anda." Ivarios segera berucap kagum. Walaupun nada suara itu pelan di sela-sela kelas yang lumayan ramai itu pun, Elxyera masih bisa mendengarnya dengan baik. "Semoga kita bisa berteman akrab ya."

Mata Elxyera membelalak mendengar ucapan itu, dan ketika dia bertemu dengan mata unik Ivarios yang menarik, Elxyera merasa ada yang aneh. Tapi dia bilang Tuan Putri, kan? Tapi berdasarkan apa yang dilihat dalam mimpi, sosok ini tidak bersikap layaknya seorang dewa yang memperkenalkan diri dalam mimpinya.

"A-ah, iya," balas Elxyera seadanya. Sebelum kembali tersenyum canggung dan menunduk sedikit. Rasanya berat melanjutkan percakapan ini dengan sang pria yang muncul seenaknya dalam mimpinya nya. Segera berharap pria berambut putih perak itu tidak banyak bertanya lagi.

"Oh, ya. Apa itu artinya kau berasal dari Fargaven?"

Diziel tiba-tiba angkat bicara ketika merasa percakapan Elxyera dan Ivarious berhenti sampai disana. Pria berambut abu-abu gelap itu terlihat memikirkan sesuatu. Sedangkan Ivory di sisi Elxyera hanya memandang tuannya dalam diam. Sekarang karena Diziel menanyakan itu, Ivory jadi penasaran juga.

Di sampingnya, Ivarios menganggukkan kepala. "Hmm, walaupun keluargamu bukanlah bangsawan. Kami tinggal di sebuah desa di sisi Utara kekaisaran Fargaven."

Jawaban itu seketika menarik perhatian Elxyera. Apa yang dilontarkan Ivarious sama sekali tidak memiliki hubungan dengan identitas pria yang muncul dalam mimpinya. Apakah kebetulan mereka hanyalah orang yang mirip? Tapi kalau Elxyera tidak tahu nama itu, tidak mungkin dia akan berpikiran seperti ini.

Jelas-jelas Dei Blanche mengakui sebagai sosok bernama Ivarios Blanchius. Dan pria yang muncul di hadapan mereka ini pun bernama sama. Tidak mungkin kan suatu kebetulan terjadi pada orang yang bahkan memiliki nama yang sama dengan salah satu bahasa kuno masa lalu.

Apa pria ini mengarang cerita?

"Oh, aku baru tahu hal itu. Kau pasti murid yang hebat karena bisa masuk disini! Sebelumnya kau bersekolah dimana?"

Diziel seketika terkagum-kagum mendengarnya. Lalu bertanya asal sekolah Ivarios. Di satu sisi, pria berambut putih perak itu hanya tertawa kecil. Sejenak tersadar dengan lirikan Elxyera dan memandang balik wanita itu yang hanya membuat Elxyera kembali menundukkan kepalanya.

Ada apa dengan sang pria dan tatapannya itu? Rasanya membuat Elxyera jadi tidak nyaman juga.

"Ah, itu. Sebelumnya aku bersekolah di salah satu Akademi sederhana di desaku. Tapi karena kemampuan sihirmu adalah yang paling baik di akademi, tiba-tiba saja aku mendapatkan beasiswa untuk bisa ditransfer ke sekolah ini."

Oh, itu mungkin adalah hal yang biasa. Tidak jarang Akademi Philosthilea memang mencari murid-murid berbakat dan memberikan beasiswa. Walaupun rasanya jarang sekali mencari murid baru untuk dimasukkan ke dalam tingkatan akhir seperti ini.

Sesaat Elxyera kembali melirik Avyce yang duduk di kursi bagian tengah barisan. Murid-murid lain yang berbicara padanya sepertinya terlihat ramah. Apalagi ketika melihat wanita itu tersenyum manis. Ahh, rasanya Elxyera seperti melihat sebuah cahaya yang begitu menyilaukan.

Sungguh sosok yang akan menjadi pusat perhatian di masa depan. Walau di satu sisi hati Elxyera merasa tidak tenang ketika melihat wanita itu ada disini.

Berdasarkan ingatan kehidupan sebelumnya, Elxyera rasanya tidak pernah mendengar kalau Avyce memiliki sihir selain kemampuan sihirnya yang bangun di usianya yang ke 20 tahun itu.

Kekuatan cahaya adalah salah satu kekuatan langka dan Termulia di daratan Blanche. Ditambah dengan kekuatan penyembuhan yang menurut orang-orang adalah salah satu berkah terhebat di daratan Blanche.

Kekuatan penyembuhan memang bisa dikuasai oleh berbagai penyihir dengan elemen yang berbeda-beda. Namun kekuatan penyembuhan dari sihir cahaya itu berbeda. Katanya bahkan bisa menyembuhkan wabah penyakit mengerikan. Dan Elxyera ingat bahwa seorang anak dengan sebuah penyakit mematikan akhirnya disembuhkan oleh Avyce dengan sangat mudah.

Berkah dewa Blanche. Sang dewa telah mengirimkan penyelamat bagi kekaisaran Fargaven.

Elxyera rasanya masih bisa mengingat nyanyian khusus yang dibuat untuk menghormati sang calon Permaisuri baru. Cerita-cerita hebat yang diceritakan di berbagai area mengenai pengalaman sang Gadis Suci memulihkan kekaisaran Fargaven.

Walaupun tidak bisa menghidupkan orang mati.

Ah, tidak. Elxyera ingat bahwa kekuatan Avyce bahkan bisa menyadarkan kembali seorang wanita muda yang katanya koma selama bertahun-tahun.

"Dan keluarga Blanchius sendiri?"

Suara Diziel yang kembali bertanya membuyarkan lamunan Elxyera. Sudah cukup baginya memenuhi benaknya dengan hal-hal tidak berguna di masa lalu. Meskipun ragu, entah mengapa ini bisa menjadi jalan baginya.

Apa Avyce disini telah menjadi sosok yang penting? Apakah wanita itu adalah gadis suci yang dikenal Elxyera?

Mengingst bagaimana perubahan drastis terjadi pada Arsen dan Astrella di dunia ini, bisa saja ada perubahan lain pada orang-orang di sekelilingnya. Apa dewa telah mempermainkan nyawanya? Setelah melemparnya kembali ke saat ini, dia justru tidak mendapatkan jawaban apa-apa.

Dan sekarang dia harus mendengarkan pembicaraan Diziel dan Ivarios yang sudah akrab itu. Dia tidak pernah tahu kalau Duke of Evenezer adalah orang sesantai ini. Sang pria yang dikagumi dari berbagai daerah, yang begitu sopan dalam berbicara pada orang lain, memiliki sisi seperti ini.

Andai Elxyera pun bisa seperti itu.

"Keluargaku hanyalah orang biasa. Ibuku adalah wanita baik hati yang suka membuat kerajinan tangan membantu ayahku yang seorang pemahat di desa kami," jawab Ivarios tanpa keraguan. Senyuman manis tersemat di wajahnya ketika dia berbicara. Menceritakan sebagian kecil tentang keluarga yang terdengar begitu disayanginya.

Elxyera mengernyit mendengarnya. Sebuah keraguan lain merambat di hatinya. Keluarga sederhana yang rasanya terlalu sempurna untuk dijadikan alasan.

Apa itu suatu kebohongan lain?

"Oh, maka kurasa itu lebih baik lagi. Dengan prestasimu, kau pasti bisa membanggakan orang tuamu," puji Diziel. Pria santai itu memang tidak memandang-mandang kasta. Selama mereka berada di akademi, siapapun bebas menjadi apapun. Setidaknya itulah yang dipikirkan Diziel.

"Apa Anda berasal dari desa yang sama dengan Nona Avyce Heiligheid?"

Pertanyaan lain dilontarkan oleh Ivory kali ini. Wanita itu sedikit menoleh ke arah dimana Avyce duduk dan berbincang dengan murid lainnya. Sebelum mata biru tua itu kembali terpusat pada Ivarios.

Dia bisa melihat sang pria berambut putih perak itu menggeleng cepat. Justru raut wajah kebingungan itu sudah cukup menjadi bukti bahwa dia dan Avyce hanya kebetulan muncul bersamaan disini sebagai murid baru.

"Tidak. Aku dan Nona Heiligheid memang merupakan murid baru yang bersamaan. Setidaknya itu yang aku ketahui saat dipanggil ke ruangan kepala sekolah. Tapi kudengar kalau dia berasal dari desa di pinggiran kekaisaran Fargaven," jawab Ivarios. Nampak memasang ekspresi seolah mengingat-ingat apa yang didapatkannya sebagai sebuah informasi yang entah penting atau tidak.

Tidak saling mengenal dan hanya kebetulan. Sesaat Elxyera kembali dibungkam dengan kenyataan dari masa lalunya dan kehidupan sebelumnya.

Baik Diziel dan Ivory pun mengangguk-angguk mengerti. Tidak kembali bertanya karena suara Halafena yang lebih keras kali ini menarik perhatian semua murid di dalam kelas. Sejenak, saat Elxyera menoleh memandang ke depan, dia melihat Ivarios dari sudut matanya.

Dan kali ini dia kembali melihatnya. Senyuman yang terus saja membayang-bayang membuat Elxyera penuh keraguan dengan pikirannya sendiri, menjadi jawaban tersendiri baginya. Jemari salah satu tangan sang pria bergerak naik menuju bibirnya sendiri. Memberikan isyarat tanpa kata untuk membuat Elxyera bungkam.

Sudah diduganya!

Jikalau itu semua hanyalah sebuah kebohongan yang dilontarkan sang dewa untuk menutupi kenyataan bahwa Ivarios Blanchius tahu sesuatu di masa depan, Elxyera rasa dirinya tidak bisa diam. Pria ini jelas mengingatnya!

--

Beberapa jam berlalu dan sekarang bel yang menandakan bahwa jam istirahat telah tiba pun terdengar menggema ke segala penjuru akademi. Halafena pun menghentikan pergerakan jarinya yang menuliskan sesuatu di papan dengan tinta sihir, membuat tulisan itu pun berhenti total dana segera menghilang ketika Halafena mengibaskan tangannya ke samping.

Hari pertama di akademi sepertinya masih belum terlalu berat. Sedari tadi hanya materi-materi baru yang diterima oleh murid. Walaupun Elxyera sendiri merasa bahwa materi-materi ini adalah gabungan dari berbagai materi yang dipelajari pada tingkatan sebelumnya.

"Pembelajaran dariku sampai disini saja hari ini. Jangan lupa untuk mengingatkan Professor Hoston  untuk membagikan buku ajaran baru saat beliau masuk nanti. Kalian tahu bahwa pria tua itu selalu melupakan hal sepenting itu jikalau sudah membahas sihir yang sangat disukainya," peringat Halafena tanpa ragu membicarakan sosok yang lebih tua darinya sebelum dia melangkah keluar dari dalam kelas.

Suasana kelas yang hening seketika kembali ramai ketika pintu itu ditutup sang guru dari luar. Suasana menegangkan yang sedari tadi menemani pembelajaran mereka pun sirna digantikan dengan suara ceria dari berbagai murid di dalam kelas.

"Akhirnya selesai juga," gerutu Diziel membaringkan kepalanya di atas meja. Setelah melewati pembelajaran dimana dia menjadi target Halafena untuk menjawab sebagian besar pertanyaan wanita itu, Diziel merasa tenaganya terkuras habis.

Sedangkan Ivory hanya tertawa di sampingnya, diikuti dengan Ivarious yang juga bertanya dengan penasaran mengapa Diziel yang menjadi target sang guru sedari tadi. Ketiganya larut dalam perbincangan sedangkan Elxyera sendiri menoleh memandang Avyce sekali lagi.

Meja sang wanita semakin banyak dikerumuni oleh murid-murid perempuan. Tidak jarang pun murid laki-laki mencoba meliriknya atau menyapa dengan alasan sekedar lewat. Di satu sisi, Avyce meladeni semua pembicaraan itu dengan perilaku yang manis dan sopan. Hampir membuat Elxyera kembali teringat dengan betapa sempurnanya calon Permaisuri masa depan kekaisaran Fargaven.

Senyuman manis tanpa celah, nada suara yang terdengar begitu lembut diantara rasa penasaran murid-murid yang mengelilinginya, mata emas yang memancarkan keindahan tanpa batas. Apa Avyce sendiri bisa diyakini sebagai definisi sempurna?

'Kenapa dia muncul sekarang?' batin Elxyera bertanya-tanya. Tanpa sadar bertopang dagu dan sudah cukup lama memperhatikan Avyce. Jelas tidak habis pikir dengan kemunculan wanita itu disini. Terlebih lagi karena akademi tidak pernah memiliki hubungan langsung dengan kehadiran Avyce.

Atau mungkin Elxyera saja yang tidak sadar kalau wanita itu ternyata bersekolah di Akademi Philosthilea juga di kehidupan Elxyera sebelumnya? Sama halnya dengan dia yang tidak menyadari bahwa Diziel dan Ivory juga merupakan murid di sekolah ini sampai beberapa bulan lalu di pertemuan pertama mereka.

"Elxyera, apa kau mau ikut?"

Pertanyaan dari Diziel yang sekarang sudah berdiri bersama Ivarios membuat Elxyera menoleh. Ah, ini adalah jam istirahat, ya. Kemungkinan besar mereka akan ke kantin akademi. Walaupun biasanya Elxyera menghabiskan waktu di perpustakaan atau setidaknya pergi ke tempat rahasianya pada salah satu area akademi ini.

"Kalian ingin ke kantin?" tanya Elxyera memastikan. Dijawab anggukan dari Ivory yang tengah mengatur barang-barangnya di atas meja.

Sang wanita berambut biru gelap itu pun segera mengajak.  "Ayo ikut, Tuan Putri."

Elxyera bimbang. Rasanya dia ingin pergi. Apalagi ini tahun pertama dan terakhir dimana dia bisa menghabiskan waktu dengan sosok yang bisa dia percaya. Tapi sekali lagi ketika melihat wajah Ivarious di samping Diziel, dia menjadi bimbang. Hatinya berkata untuk tidak mencari gara-gara dengan pria satu itu.

"Ah, aku masih ingin mengurus sesuatu. Ada guru yang perlu kutemui. Kalian pergilah lebih dulu. Jikalau sempat, aku akan menyusul." Elxyera mencari-cari alasan untuk menolak. Walau dalam hatinya dia merasa kecewa dengan dirinya sendiri karena tidak bisa ikut bersenang-senang.

"Hmm, baiklah kalau begitu. Pastikan saja kau bisa menyusul, Elxyera. Kami akan menunggumu." Diziel mengangguk kecil, berjalan ke arah pintu. Sedangkan Ivory pun ikut berdiri dan melempar senyum lembut sejenak pada Elxyera sebelum mengikuti Diziel. Tapi lagi-lagi langkah keduanya terhenti saat tersadar sosok lain yang mereka ajak tidak mengikuti.

Ivarious sekarang berdiri di depan meja Elxyera. Dalam suasana kelas yang ramai ini, tadinya Elxyera ingin mengabaikan sang pria. Tapi melihat bayang-bayang Ivarios saja membuatnya mendongak menatap pria itu.

"Kalau begitu, apakah aku bisa ikut denganmu? Aku ingin mengunjungi ruangan guru, tapi tidak tahu tempatnya."

Sesaat Elxyera bungkam mendengar permintaan itu.  Benaknya memproses sepersekian detik. Padahal sosok yang paling ingin dihindari Elxyera adalah pria tidak jelas ini, tapi entah mengapa pria ini seperti memberikan sebuah kode baginya.

"Oh, kau ingin ke ruang guru, ya? Kenapa tidak bilang? Kami bisa mengantar. Bagaimana kalau kita bersama-sama saja ke ruang guru lalu ke kantin?"

Diziel kembali mendekat. Kali ini berdiri di samping Ivarios dan menunggu jawaban. Namun Ivarios kembali menggeleng dan tersenyum sopan.

"Tidak apa-apa, Diziel. Aku tidak ingin merepotkan kalian. Lagipula karena Elxy akan--maksudku Tuan Putri Elxyera ingin sekalian ke ruang guru, mungkin aku bisa ikut. Setelahnya kami akan ke kantin. Jadi akan lebih baik jikalau kau dan Nona Ivory pergi duluan ke sana, Diziel."

Penolakan sempurna yang tanpa celah. Apalagi karena mendengar sang pria dengan tidak sengaja atau secara sengaja memanggilnya dengan nama panggilannya begitu saja. Perasaannya jadi tidak enak karena hal itu. Dan dia tidak bisa menolak karena pasti akan terlihat aneh di mata Diziel dan Ivory.

"Hmm, kau benar. Kalau begitu kami akan duluan ke kantin. Sampai bertemu disana." Diziel mengangguk mengerti, melambai tangan singkat dan menyeringai kecil. Dia dan Ivory pun berjalan keluar dari dalam ruang kelas tanpa membuang-buang waktu. Meninggalkan Elxyera dengan sosok yang ingin dia hindari sekarang.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita pergi sekarang, Tuan Putri?" tanya Ivarios tanpa menghilangkan jejak senyuman yang terpatri dengan jelas disana.  Kepalanya menunduk menatap Elxyera yang masih duduk. Dan keadaan ini justru membuat mereka jadi perhatian beberapa murid yang sedari tadi memang tertarik berbicara dengan Ivarios.

"Tidak baik menunggu Duke Diziel dan Nona Ivory menunggu."

Suara itu begitu santai, namun di satu sisi seolah menekan Elxyera untuk segera beranjak dan membawa pria itu pergi ke tujuan mereka yang sebenarnya hanya menjadi alasan Elxyera.

"Kenapa Tuan Ivarios tidak menerima tawaran Diziel saja tadi?" tanya Elxyera dengan nada suara pelan untuk meminimalisir perhatian. Namun Ivarios hanya tersenyum kecil bagaikan seorang anak tanpa dosa. Sekali lagi membuat Elxyera yakin bahwa di balik senyuman itu, ada sesuatu yang tersembunyi.

"Tujuan Diziel berbeda. Seperti kataku, Tuan Putri. Aku ingin bertemu dengan seorang guru di ruangan guru. Dan karena Tuan Putri ingin pergi ke sana, izinkan aku ikut," jelasnya kembali tanpa keraguan. Namun hasilnya itu justru membuat Elxyera menghela nafas panjang dan berdiri dari posisinya. Sesaat pergerakan yang dilakukannya menarik perhatian beberapa murid yang ada disana.

Sekedar rasa penasaran di sana sini, Elxyera langsung tahu apa yang akan menjadi topik pembicaraan orang-orang di dalam kelas. Alangkah baiknya jikalau dia bisa langsung keluar saja dari tempat ini, bahkan tanpa diikuti oleh Ivarios.

Sesaat sebelum keluar sepenuhnya dari dalam kelas, Elxyera yakin tatapan beriris emas yang indah milik Avyce mengikuti pergerakannya dengan tanda penasaran yang begitu besar.

--

Elxyera melangkahkan kakinya dalam diam di koridor sekolah yang sepi itu. Beberapa area sekolah memang cukup sepi karena jarang dilewati murid. Termasuk juga dengan koridor yang mengarah ke ruangan guru. Di lantai satu salah satu area bangunan akademi.

Ivarios terlihat mengikuti di belakangnya. Pria yang lebih tinggi dari Elxyera itu memandang sekeliling, seolah memeriksa apa yang bisa ditangkap matanya hingga dia memperlambat jalannya. Namun kembali di satu sisi dia berjalan menyusul Elxyera yang bahkan tidak berpikir untuk berbalik.

"Apa Anda memang seperti ini?"

Pertanyaan Ivarios adalah kalimat pertama yang memecah keheningan di antara mereka. Kali ini pria itu berjalan di samping Elxyera dan berbicara dengan sopan pada sang wanita. Sedikit menoleh untuk memandang wajah sang wanita di sisinya. Sadar betapa seriusnya raut wajah Elxyera.

"Seperti apa, Tuan Ivarios?" tanya Elxyera balik. Mengabaikan bahwa kemungkinan besar dia sedang berbicara dengan Dei Blanche itu sendiri, dia sadar Ivarios terlalu santai untuk segera disadari sebagai dewa Blanche.

Wanita itu pun sedikit menoleh, mengernyit lalu kembali memandang ke depan. Berbelok ke lorong kiri ketika tiba di perempatan lorong sekolah.

"Tidak menghiraukan sekitar seperti ini. Kau terkesan...suram?"

Ah, Elxyera tidak bisa menyangkal satu hal itu. Kata yang menusuk tubuhnya walau tidak menghasilkan luka dan darah.

"Jikalau Anda menganggap seperti itu, mari kita sesuaikan saja." Elxyera tidak ingin berdebat. Namun seketika dia mendengar tawa kecil dari pria di sisinya, membuatnya mau tidak mau harus kembali menatap sang pria di sisinya.

"Kau ini menarik sekali ya, Elxy."

Panggilan itu membekukan tubuh Elxyera. Kakinya terhenti di sisi lorong yang sepi, dan pandangannya itu bahkan tidak teralihkan ketika sekali lagi dia melihat Ivarios tersenyum padanya dan sedikit condong ke arahnya. "Bukan suatu kesalahan bisa melihatmu kembali seperti ini."

Bisikan itu bisa dirasakannya berhembus di depan wajah Elxyera. Sehingga spontan Elxyera mengangkat satu tangannya berniat mendorong wajah Ivarios menjauh. Tatapan dengan netra ungu, biru bercampur perak itu seolah menghipnotis. Dan Elxyera segera menjaga jarak sebelum dia terpengaruh.

"Jadi kau benar-benar mengingatnya!!" Seru Elxyera. Namun sekali lagi justru mendapatkan respon tawa kecil dari pria yang dikenalnya dalam mimpi itu. Kali ini Ivarios tidak mencari-cari alasan untuk bersembunyi. Pria itu berdiri di hadapan Elxyera, bersedekap dan menatap sang wanita dalam diam beberapa saat.

"Sudah kuduga dari kemampuan hebat Elxy sayangku! Kau masih mengingatku walau kita hanya bertemu sekali. Ah, bukan? Sepertinya kita bertemu sekali juga sebelum kau sepenuhnya mati saat itu."

Mata Elxyera membelalak mendengar ucapan itu. Seketika pikirannya kembali memproses sebuah ingatan yang terkubur. Yakin sebelum kematian sepenuhnya mengikat dirinya, Elxyera mendengar sosok asing menanyakan keinginannya.

Dan saat itulah pengharapan yang salah justru dikabulkan oleh Dei Blanche Yang Termulia.

"Kau membuatku kembali ke masa ini," lirihnya mundur menjauhi Ivarios. Namun sang pria hanya tersenyum tipis.

"Mari kita tetapkan saja pemikiran satu itu. Bukankah ini menarik?" Kekeh Ivarios.

Elxyera mengigit bibir bawahnya dengan gemas karena perasaan kesal yang seketika memenuhi hatinya. Sekarang dia sudah sangat diyakinkan dengan sosok ini. Dei Blanche yang menyamar sebagai manusia.

"Kenapa menjadi manusia, anda--tidak, kau bahkan datang ke sini seperti ini!" Elxyera sesaat berpikir tingkah egoisnya kembali. Takut dirinya kembali menjadi sosok penjahat dari kehidupan sebelumnya. Sedangkan Ivarios di hadapannya hanya tersenyum, masih tidak memberikan jawaban pasti atas pertanyaan itu.

"Karena menyenangkan. Sudah kuduga kau pun akan seperti itu. Apa kau marah?"

"A-Apa?? Aku meminta untuk dijauhkan dari Arsen jikalau dihidupkan kembali! Tapi kenapa aku justru berada di sisinya lagi! Apalagi dengan Arsen yang seperti itu!"

Emosi Elxyera memuncak. Dia bahkan tidak peduli kalau ada yang mendengar pertengkaran mereka. Murid-murid lain mungkin akan berpikir kalau itu hanyalah pertengkaran pasangan.

Elxyera memang tidak menyangkanya. Dia bahkan tidak menolak pada awalnya. Bertemu dengan Arsen yang berbeda dari kehidupannya sebelumnya membuat sang wanita kebingungan.

Di satu sisi dia ingin percaya bisa mendapatkan cinta putra mahkota, namun di satu sisi dia sadar dia harus lari dan menerima kenyataan bahwa cinta Arsen tidak pernah benar-benar diberikan untuknya.

Pada akhirnya semuanya akan kembali pada Avyce. Dan mau bagaimana pun itu, Elxyera yakin bahwa Arsen akan beralih lagi walaupun sang pria bersikap semanis itu padanya. Karena itu dia ingin mencari cara agar bisa lepas.

Tapi mendengar amarah Elxyera, Ivarios kembali bergeming. Sesaat mata uniknya itu menatap mata rubellite Elxyera dengan serius, dan tangannya pun terulur berniat menyentuh sebelah pipi Elxyera. Namun sang wanita sudah lebih dulu mundur menjauh sebelum ujung jemari Ivarios sempat menyentuh kulitnya.

Senyuman kembali terkulum di wajahnya. Namun tangan itu justru tidak bergerak dan justru turun berniat meraih salah satu tangan Elxyera untuk menyambutnya. Wanita itu terlihat bingung sesaat, tapi ucapan Ivarios membekukannya.

"Benar, itu salahku," akunya tanpa keraguan. Tangannya bahkan masih terulur mencoba mendapatkan balasan uluran tangan dari wanita di depannya. Walaupun Elxyera tidak yakin ingin menyambutnya.

Dewa sudah sekali memberinya karma. Jikalau dunia ini adalah karma keduanya, maka dia tidak ingin berurusan lebih dalam dengan Dewa.

"Tapi aku disini untuk membantumu. Kau mengharapkan bantuan, kan?"

Kali ini pertanyaan Ivarios membuatnya tersentak. Bantuan katanya. Bantuan apa yang paling diinginkan Elxyera sekarang? Sang wanita tidak menjawab, dan dari senyuman Ivarios, dia sendiri tidak yakin apakah pria itu membutuhkan jawaban darinya.

"Menurutmu kenapa Avyce ada disini sekarang? Aku bukan dewa pemalas yang tidak mendengarkan harapan para manusia tersayangku."

Mata Elxyera mengerjap beberapa kali. Namun seketika dia sadar bahwa ini adalah sesuatu yang salah. Mulutnya membuka ingin mengucapkan sesuatu, namun tidak ada kata yang terungkap dari mulut Elxyera.

Jikalau pemikirannya benar, maka ini semua merupakan permainan dewa.

Ivarios mendekat ke arah Elxyera, menyadari sang wanita tidak bergerak. Benak Ivarios kembali memutar pertemuan keduanya dengan Elxyera. Ingin rasanya dia menarik sang pria ke dalam pelukan sama seperti hari itu di dalam mimpi. Namun pada akhirnya dia hanya merendahkan kepalanya, menyejajarkan mulutnya tepat di samping telinga sang wanita. Sebuah bisikan kembali terdengar.

Suara Ivarios yang penuh keyakinan membuat Elxyera larut dalam pikirannya sendiri.

"Kali ini aku akan membantumu, Elxy. Kau ingin kembali diabaikan Putra Mahkota agar bisa kabur dari karma kematianmu, kan? Maka dari itu, aku sudah menyiapkan rencana untuk membantumu."

Tangan Ivarios pun terulur, meraih beberapa helai rambut Elxyera yang lembut dan mengecupnya penuh perasaan. Sang pria kembali berucap penuh kepercayaan diri. Seolah tidak ada yang bisa memutarbalikkan fakta itu.

"Karena sebagai Dewa, tidak ada hal yang tidak bisa aku lakukan, selama itu masih dalam jangkauanku di dunia Blanche ini."

--🗝️--

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top