The Red Shoes

"Kamu pernah mendengar tentang film "The Red Shoes?"

Mata Kai menelusuri label roll film yang berderet secara acak. Kai menghela napas pelan. Beres-beres ruang roll film tampaknya akan memakan waktu cukup lama tapi dia tidak bisa menolak permintaan Baekhyun-ssi, pemilik guest house yang ditinggalinya. Dia sudah cukup tua untuk merapikan gudang penyimpanan kaset berukuran cukup besar dan berdebu.

Kai mengambil beberapa roll film, dan meniup permukaannya. Debu yang berterbangan membuatnya terbatuk-batuk. Dia berdeham pelan kemudian berusaha mengurutkan roll film berlabel 'J' di rak penyimpanan.

"The Red Shoes" bercerita tentang seorang cewek yang menemukan sebuah sepatu berwarna merah di sebuah ruang penyimpanan tersembunyi di gedung teater. Film "The Red Shoes" itu menarik perhatian jutaan orang pada tahun 1765, tapi setelah satu bulan film itu ditarik oleh produsernya untuk suatu alasan.

Roll-roll film dibuangnya ke lantai hingga menimbulkan suara berisik. Perkataan Suho tadi siang terus terngiang-ngiang di pikirannya. Dia tahu cerita itu hanya bohongan seperti cerita tahayul lainnya, tapi dia terus memikirkan cerita itu.

The Red Shoes akan membawa pemakainya ke suatu tempat yang tak pernah diketahui oleh siapapun dan tidak akan pernah kembali lagi ke dunianya.

Roll film berjatuhan dari rak. Seekor kucing hitam mengeong setelah meloncat turun dari atas rak. Rupanya tanpa sepengetahuan Kai, kucing itu sejak tadi berada di sana. Kai mengusir kucing itu keluar, lalu berjongkok untuk memungut roll film di lantai. Dia tersenyum saat mengamati judul yang tertera di lingkaran paling dalam roll film. Beberapa di antaranya adalah film tentang istri Baekhyun beserta kedua anaknya, sedang yang lain adalah film yang digarapnya beberapa tahun silam.

Baekhyun-ssi dulunya adalah seorang sutradara terkenal, tapi memasuki era 2000 an film-film yang digarapnya kurang berhasil. Pemuda-pemudi bangsa telah mengalahkannya. Dengan terpaksa dia mengucapkan selamat tinggal pada dunia perfilman dan mendirikan guest house ini.

Tangan Kai berhenti memungut roll film. Tatapannya terpaku pada sebuah kaset tua berwarna hitam dengan label putih di tengahnya yang ditulis dengan tinta merah. Dia tidak peduli mengapa kaset itu berada bersama roll film lain, tapi tulisan itu benar-benar mencengangkannya. Dalam keadaan setengah syok, dia mengambil kaset itu dan membaca tulisannya berulang-ulang.

'The Red Shoes'

"Tidak mungkin..," gumamnya berusaha tidak mempercayai penglihatannya. Dia membolak-balik kaset yang masih menunjukkan tulisan yang sama, dan bergidik. Apa yang ditakutkannya terjadi.

Kai segera berlari keluar gudang dan masuk ke sebuah rumah bercat putih di sampingnya. Rumah itu bertingkat dua dengan ukuran minimalis. Tidak cukup sampai di situ, pekarangan rumah itu dihiasi dengan rumput hijau dan pohon besar yang menjulang tinggi.

Seorang pria yang sedang mengurusi tanaman menyapa Kai saat melihat anak laki-laki itu masuk, tapi Kai menghiraukannya. Dia sudah terlalu pusing untuk sekedar membalas sapaan pria itu. Sekarang yang harus dia lakukan adalah memastikan sesuatu.

"Baekhyun-ssi!" teriak Kai saat memasuki rumah. "Baekhyun-ssi!" panggilnya lagi sambil berlari mengelilingi lantai satu. Menyadari kalau paman guest house nya tidak di rumah, ia mulai mencari teman-temannya di lantai dua. Hasilnya nihil. Tidak ada seorang pun di rumah. Kai membanting badannya di sofa empuk berwarna putih yang terletak di ruang tengah. Dia melirik kembali kaset yang membuatnya berlari kesetanan dari gudang dan melemparnya ke meja.

"Kemana semua orang?" kata Kai sambil celingukan.

Saat Kai mengedarkan pandangan ke sekeliling sebuah pintu yang terbuka di pojok ruangan menarik perhatiannya. Kai mendekati ruangan itu untuk mengecek apakah Baekhyun-ssi ada di sana, seperti yang sering ia lakukan tiap malam untuk mengenang masa lalu. Kai mengintip ke dalam. Tidak ada orang di dalam selain film yang masih terputar di layar. Kai menekan tombol 'stop' dan mengeluarkan kasetnya.

Sebelum mematikan monitor, matanya menangkap kaset yang tidak sadar dibawanya ke ruangan itu. Meskipun masih ragu, tangannya bergerak memasukkan kaset itu ke dalam pemutar kaset. Pemutar kaset itu membunyikan bunyi berisik, hal lazim untuk sebuah pemutar kaset model 90 an. Film pun terputar.

This is to certify that "The Red Shoes" has been passed.

Tulisan itu berganti ke adegan seorang gadis yang berjalan di atas panggung dengan lampu sorot yang menyinarinya. Matanya mengamati sekelilingnya. Dia menghela napas lalu menoleh ke belakang.

"Cantik.." gumam Kai mengagumi gadis dalam film. Film itu hanya berwarna hitam putih, tapi tidak memudarkan kecantikan gadis itu.

Would you take me there..?

Sepasang sepatu disorot lampu. Sepatu itu tampak menyedihkan tergeletak di depan sebuah cermin berukuran 1 meter. Gadis itu mendekati sepatu itu dan memakainya. Sepatu itu dengan ajaibnya melingkupi kaki telanjang gadis itu dan berubah menjadi warna merah. Gadis itu mendekati cermin, kemudian... monitornya mati.

"Apa-apaan?" seru Kai jengkel, kemudian segera melirik pemutar kaset. Masih menyala. Kai mengeluarkan kaset itu lalu memasukkannya kembali. Dia melirik layar. Hitam. Tidak ada gambar apapun di sana.

Tiba-tiba terdengar suara jatuh di ruang tengah diikuti suara cewek meringis. Mendengar suara itu, Kai cepat-cepat keluar.

"Aduh, sakit sekali! Kenapa harus jatuh di sini, sih!"

Suara teriakan cempreng terdengar dari seorang gadis yang terduduk di atas meja makan. Pemilik suara itu menendang-nendang piring yang menimpa kakinya hingga membuat makanan di dalamnya berjatuhan ke lantai. Tak lama, dia turun dari meja makan dan menepuk roknya. Dia mengamati sekeliling dengan kedua mata bulatnya. Ruangan ini memang tidak begitu besar tapi cukup nyaman untuk ditinggali. Matanya menangkap sebuah lemari kecil yang menampilkan sederet pigura sepasang suami istri lansia dengan berbagai gaya. Gadis itu mengambil salah satu foto dan tersenyum.

Kai masih belum mengedip saat membuka pintu. Seorang gadis asing berdiri membelakanginya dengan terusan putih berenda. Jantung Kai terasa berhenti berdetak menyadari sepatu merah yang dikenakan gadis itu. Kai mengerjapkan mata beberapa kali, lalu akhirnya berkata, "Kamu siapa?"

Gadis itu menoleh. Dia terkejut melihat Kai yang sama terkejutnya dengan dirinya. Gadis itu mendatangi Kai yang masih tak lepas menatapnya. Dia mengamati wajah Kai dan menyentuh pipinya. Punggung Kai terdorong ke belakang.

Gadis itu melepas pipi Kai dan bertanya, "Kamu siapa?"

"Aku Kai, salah satu penghuni guest house ini." jawab Kai, berusaha tidak tercengang. "Kamu kenapa bisa masuk ke sini?"

"Aku jatuh dari atas." Gadis itu menunjuk ke atap.

"Ha?" tanya Kai bingung.

Suara pintu depan dibuka terdengar. Chen dan Xiumin, dua penghuni guest house, masih sibuk berkicau tentang supermarket yang baru saja mereka datangi. Kicauan mereka terhenti ketika melihat Kai dan seorang gadis berduaan di ruang tengah. Mereka saling tatap, seolah memiliki pertanyaan di pikiran masing-masing.

****

"Jadi kamu tidak ingat kenapa kamu bisa sampai ke sini?"

Gadis itu menjawab pertanyaan Chen dan Xiumin dalam sekali anggukan. Dia menggigit ddeokkbukki yang dibeli Chen dan Xiumin di depan supermarket tadi.

"Pedas!" seru gadis itu.

Kai memberikan segelas air pada gadis itu, lalu gadis itu meminumnya. Baru saja gadis itu menusukkan garpunya pada ddeokkbukki lagi, Kai langsung menggeser piringnya.

"Kamu tidak bisa makan makanan pedas. Nih, makan ini saja." Kai memberikan jjajangmyeon nya pada gadis itu. Dengan semangat gadis itu melahapnya.

Kai mengamati gadis itu. Tidak ada yang salah darinya, dia bisa makan dengan lahap, bicara, dan melakukan segala sesuatu selayaknya manusia normal tapi katanya dia datang dari atas? Mungkin pikirannya agak sedikit bergeser sebelum ini. Atau dugaannya bahwa gadis itu datang dari dalam kaset benar.

"Kalau apa yang kamu katakan tadi betul berarti dia ini semacam 'hantu' begitu?" bisik Chen pada Kai, masih menatap heran perempuan itu yang makan dengan sangat lahap.

"Aku nggak tahu. Yang pasti cewek ini harus terus bersama kita sampai ingatannya benar-benar pulih."

Chen menggangguk mengerti dan menusuk ddeokkbukki nya. Sebenarnya dia tidak begitu setuju dengan keputusan Kai menampung gadis itu. Gadis itu adalah orang asing. Hanya saja bukan tindakan baik menelantarkan orang yang membutuhkan pertolongan.

"Aaa.." seru gadis itu tiba-tiba pada Chen yang melamun. Gadis itu menyodorkan sesendok jjajangmyeon pada Chen. "Makanan ini enak. Ayo, aaa.."

Chen menurut saja, dia melahap jjajangmyeon itu dan mengunyahnya sambil tersenyum pada gadis itu. Gadis itu berkata dengan senyum sumringah, "Enak, kan?"

"Sangat!" jawab Chen melebih-lebihkan.

"Makan yang banyak supaya tidak kurus lagi!" sahut gadis itu dengan polosnya. Kai dan Xiumin menertawai Chen yang menganga.

"Apaan, sih, kalian ini. Jangan tertawa!" gerutu Chen tidak terima. Tetapi akhirnya dia ikut tertawa melihat gadis itu tertawa dengan polosnya.

Mereka akhirnya bercengkrama lama. Banyak sisi lucu dari gadis itu yang ditemukan Kai, misalnya dia tidak tahu apa itu TV dan segera kabur saat melihat TV menyala, dia juga baru pertama kali mengetahui ponsel, dan banyak hal lain. Kai tidak tahu gadis itu hidup di zaman apa tapi Kai terhibur dengan kedatangannya.

Tidak lama kemudian, Suho pulang. Kai menceritakannya panjang lebar tentang semua yang terjadi, kemudian Suho ikut bergabung dengan mereka. Pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Suho langsung membuka otak tiga orang lemot itu. Satu pertanyaan yang tidak pernah mereka pikirkan sejak gadis itu datang.

"Jadi, kita mau beri dia nama apa?"

"Iya juga, ya, dia pasti butuh nama. Tidak mungkin kita terus memanggilnya 'dia'." kata Xiumin menyetujui. "Bagaimana kalau Ga-eul? Kan katanya dia jatuh dari atas." cetus Kim Minseok alias Xiumin itu.

Ketiganya menggeleng.

"Bagaimana kalau Min-yeon? Dia, kan, min-yeon." cetus Suho mengagumi kecantikan gadis itu.

"Jangan lihat-lihat!" sahut Kai, Xiumin, dan Chen memblokade pandangan Suho.

"Aku mau nanya!" seru gadis itu tiba-tiba membuat perhatian kembali padanya. "Ini namanya apa?" tunjuknya pada liontin kalung bening berbentuk kristal yang dipakainya.

"Itu soo-jung. Kamu suka?" tanya Kai pada gadis itu yang disambut dengan anggukan antusias. "Baiklah. Mulai detik ini kamu akan kami panggil Kim Soo-jung."

"Kim? Kenapa harus Kim?" tanya Chen bingung.

"Karena kita semua Kim, pabbo!" Xiumin menjitak kepala Chen. Pemiliknya, melirik sinis lalu memiting kepala Xiumin dengan tangannya.

Kim Soo-jung, gadis cantik berambut hitam legam itu tertawa dengan girang. Dia senang jatuh ke tempat yang tepat. Bertemu dengan orang-orang baru, juga tinggal di guest house bersama mereka. Dia berharap hari-hari seperti ini dapat mengisi ingatannya yang hilang.

"Suho," panggil Kai, membuat Suho menoleh. Soo-jung juga sejenak menoleh tetapi perhatiannya segera teralih saat Chen memanggilnya. Memastikan kalau Soo-jung tidak mendengarnya, Kai lanjut berbisik pada Suho. "Baekhyun-ssi ke mana?"

"Dia dapat panggilan mendadak dari keluarganya di Busan jadi langsung berangkat tadi sore. Wae?" kata Suho, masih tidak lepas menatap Soo-jung, Chen, dan Xiumin yang mulai saling melempar bantal. Bulu-bulu yang keluar dari bantal berterbangan di udara.

"Tidak apa-apa," jawab Kai mengakhiri pembicaraan.

Kai terdiam. Dia tidak bisa membiarkan Baekhyun-ssi tahu kalau Soo-jung ada di sini. Kemungkinan bahwa gadis itu akan diusir, atau lebih buruknya, disuruh kembali ke alam sana-apabila benar gadis itu keluar dari kaset. Yang pasti, dia harus merahasiakan kebenaran ini dari semuanya. Termasuk dari Soo-jung sendiri, sampai dugaannya terbukti.

Soo-jung melempar bantal pada Kai. Kai membalas perbuatannya. Mereka pun terlarut dalam permainan itu hingga semuanya capek dan tertidur di ruang tengah.

****

Kai mengetuk-ngetukan jari panjangnya di stir mobil sambil menghembuskan napas. Soojung belum muncul juga, padahal katanya dia akan kembali dalam 10 menit, dan sekarang sudah 20 menit berlalu. Kalau begini terus mereka akan terlambat memasak makan malam seperti yang direncanakan.

Sudah dua hari berlalu sejak Soo-jung datang dan 2 hari pula mereka berfoya-foya. Jadi, di hari ketiga ini, mereka memutuskan untuk mengurangi pengeluaran dengan memasak. Tentu saja Soo-jung sangat setuju. Sayangnya niatnya tidak dibarengi dengan perbuatan. Buktinya, sekarang, hari sudah sore dan bahan makanan belum dibeli. Mungkin ini salahnya juga karena membiarkan seorang pendatang berkeliaran di market seberang jalan.

"Lebih baik aku nyusul." gumam Kai sambil melepas seat belt nya.

Baru saja Kai ingin mematikan mesin mobil, sesuatu di saku celananya bergetar. Kai mengeluarkan ponselnya dan mengangkatnya.

"Bagaimana?" tanya Kai pada orang di seberang telepon.

"Nol! Aku sudah menanyakannya di seluruh pos kepolisian Gangnam dan rumah sakit tapi tidak ada pengumuman pencarian orang hilang seperti ciri-ciri Soo-jung! Jangan-jangan dia tersesat ke sini lagi.." gumam orang di seberang dengan nada kesal.

Kai menghela napas berat, lalu berkata, "Kalau.., informasi tentang film 'The Red Shoes' kamu sudah dapat?"

"Sudah, sih." jawab Suho pelan. "Sebenarnya ada apa dengan film itu sampai kamu sepenasaran ini?"

"Katakan saja. Aku cuma penasaran."

Nafas berat Suho terdengar. "Baiklah. Aku baru dapat sedikit. Seperti yang kukatakan kemarin, 'The Red Shoes' itu dibuat tahun 1765 dan ditarik 1 bulan kemudian. Aku baru tahu alasannya kenapa, parah sekali pokoknya."

Kai mendengarkan penjelasan Suho dengan baik sambil sesekali melirik jendela, takut Soo-jung datang dan memergokinya. Dia tidak tahu harus memberi penjelasan apa perihal ini.

"Dua orang hilang secara misterius setelah pemutaran film perdana. Satu staff film dan satunya lagi aktris." Napas Kai tertahan. "Setelah itu satu per satu staff nya mengundurkan diri, dan tiba-tiba sutradaranya menarik film itu."

Kai hampir meloncat dari kursinya ketika mendengar ketukan dari jendela mobil. Di balik kaca jendela gelap, dia melihat Soo-jung melambaikan tangannya.

"Tolong cari identitas aktris dan staff film yang hilang itu lalu kabari aku." Kai menutup teleponnya sebelum Suho sempat menjawab. Dengan sedikit was-was Kai menekan tombol untuk membuka kunci mobil. Soo-jung masuk ke dalam mobil dengan beberapa kantung belanjaan, beberapa bahan makanan mencuat keluar karena penuhnya kantung itu.

"Kamu belanja.., banyak." kata Kai tercengang.

"Bisa saja kamu." balas Soo-jung dengan senyum manis. Dengan cekatan Soo-jung mengikat satu per satu kantung belanja dan meletakkannya di kursi belakang. Dia memakai seat belt lalu berkata, "Habis ini kita mau kemana?"

"Pulang." Kai memutar kunci mobil, dan mesin mobil mulai berjalan.

"Bisa mampir sebentar, nggak?"

Kai menatap Soo-jung lama. Sepertinya dugaannya kali ini benar.

****

Hidup itu penuh dengan pilihan. Pilihan untuk hidup, untuk mati, bahkan dalam hal sesimpel memilih makanan yang akan kita makan. Manusia selalu diperhadapkan dengan pilihan. Sulit ataupun mudah. Termasuk saat ini.

"Yang merah lebih bagus." tunjuk Kai pada terusan merah tanpa lengan yang dipegang Soo-jung. Soo-jung mengamati terusan itu lama kemudian mengembalikannya beserta terusan warna kuning yang dipegangnya ke gantungan.

"Setelah kupikir-pikir semua terusan itu terlalu pendek buatku," Soo-jung mengangkat satu baju lagi dari rak dan berkata, "Ini cantik."

Kai menghela napas. Ternyata menemani cewek memilih baju benar-benar pekerjaan yang tidak mudah. Sudah setengah jam mereka berada dalam toko tapi mereka masih belum mendapat apapun. Sebenarnya bukan karena Soo-jung memiliki selera tinggi, tinggi badannya saja yang kurang normal untuk seorang cewek. Dan, karena itu juga Soo-jung sampai bisa memakai baju Xiumin-yang berjarak beberapa sentimeter dari tinggi Soo-jung. Kai menghela napas panjang melihat Soo-jung yang tampak mengerikan dengan kaos lengan panjang dan celana jeans kelonggaran milik Xiumin.

"Terusan yang warna hitam ini cantik, lho. Pasti sangat cocok untuk Eonnie!" kata salah seorang pegawai toko yang berumur belasan tahun. Dia menunjukkan sebuah terusan hitam berlengan panjang dengan motif bunga-bunga transparan.

Soo-jung terpana melihatnya, kemudian mengambil terusan hitam itu dan tersenyum puas. "Kai, tunggu di sini ya. Aku mau coba."

Soo-jung berjalan ke belakang kasir yang bertuliskan papan 'Fitting Room' dan menghilang di balik tembok. Kai duduk di sofa hitam di depan kasir lalu meregangkan tangan. Tidak lama kemudian pegawai tadi menyapanya.

"Pacarnya, ya?" tanya pegawai toko itu.

"Cuma teman." jawabnya pendek.

"Sayang tuh, kalau cuma teman. Eonni cantik begitu. Nanti Eonnie keburu dapat pacar sebelum Oppa tembak!"

Pegawai itu pergi setelah dipanggil pelanggan lain yang juga sedang memiliki kasus yang sama dengan Soo-jung. Kai tersenyum geli melihat pegawai itu. Umur masih belasan tapi nasihatnya seperti orang tua.

"Kai!"

Kai mendongak mendengar namanya dipanggil. Soo-jung berdiri tidak jauh darinya dengan terusan hitam yang membalut tubuhnya. Kaki panjang Soo-jung terlihat, atasannya yang transparan dilapisi dengan kain hitam di dalamnya membuatnya tampak seksi sekaligus manis. Intinya, Soo-jung sangat cantik saat itu.

"Cantik, nggak? Atau aneh?" tanya Soo-Jung.

"Cantik"

Pipi Soo-jung memerah mendengar satu kata itu keluar dari mulut Kai. Baru sekali ini dia mendengar kata itu keluar dari mulutnya, dan ia sangat senang kata itu keluar untuknya.

Soo-jung tersenyum malu lalu berkata, "Gomawo."

Kai mengamati Soo-jung untuk kesekian kalinya, masih terpukau. Tatapannya jatuh pada sepatu merah yang dipakai Soo-jung, Sepatu merah yang mengingatkannya akan dugaannya kemarin-kemarin. Juga pada cerita yang membuat Kai bergidik.

Kai menunjuk sepatu Soo-jung. "Bagaimana kalau ganti sepatu juga?"

Soo-jung melirik sepatu merah yang dikenakannya, kemudian berganti menatap Kai yang mulai celingukan di rak sepatu. Dia memilih high heels pink dengan ujung lancip yang sangat manis di mata Soo-jung. Kai melepaskan sepatu merahnya dan menggantinya dengan high heels pink. Soo-jung agak kaget dengan perbuatannya namun senyuman Kai membuatnya lupa semuanya dan ikut tersenyum.

"Nah, sekarang sudah sempurna." Kai meraih tangan Soo-jung. "Ayo kita pulang!"

"Dengan baju ini?"

Kai menelengkan kepala, "Ne. Wae? Kamu kelihatan cantik pakai baju ini daripada pakai baju usang punya Xiumin. Kajja!"

Soojung tersenyum, lalu mengangguk. Dia mempererat genggaman tangannya. Tangan Kai yang besar dan hangat membuat hatinya tenang. Dia berharap waktu berhenti.

"Jam apa itu?"

"Itu jam Benlin." ucap Kai melirik jam besar yang dikelilingi gedung-gedung menjulang tinggi. Kai kembali melihat jalan raya yang padat di depannya saat klakson mobil belakang terdengar.

"Jam Benlin?" ulang Soo-jung.

Kai mengangguk. "Meskipun jam itu sudah rusak tetapi karena jam itu dipandang sebagai salah satu benda bersejarah jadi jam itu tidak dirobohkan. Ajaibnya jam itu pernah 5 kali berdentang dan tiap jam itu berdentang selalu ada orang yang menghilang."

Mata Soo-jung membulat. "Benarkah?"

"Kabarnya, sih, begitu." Kai menyeringai lalu berkata, "Kamu suka jam?"

"Tidak begitu, sih. Hanya saja dia terlihat antik di tengah kota modern seperti ini."

"Benar! Aku juga berpikir begitu ketika melihat jam itu. Sangat tidak cocok dengan kota Gangnam ini.., tapi mempertahankan barang bersejarah tidak buruk juga."

Soo-jung mengangguk. 'Red Shoes' milik IU berkumandang di seluruh penjuru mobil. Soo-jung menggumamkan lagu itu dan mendalami artinya.

****

"Selesai!"

Soo-jung menatap berbagai macam makanan yang tersedia di atas meja dengan puas. Akhirnya setelah beberapa kali mencoba, masakannya jadi juga. Kai yang tampak mendengar, menutup pintu kulkas sambil tersenyum.

"Kamu hebat juga bisa masak dalam sekali coba. Beda denganku yang sudah seratus kali memasak, masakanku selalu jadi arang." Kai mencomot sepotong kimbap, lalu terpaku saat memakan makanan itu. "Enak."

Soo-jung membalas perkataan Kai dengan seringaian. Tadi, Kai berusaha mengambil alih seluruh urusan memasak dan tidak memperbolehkan Soo-jung dekat-dekat dapur. Ternyata setelah itu masakannya gagal hingga Soo-jung pun menawarkan diri. Hasilnya malah melebihi dari yang Kai bayangkan. Soo-jung sangat senang Kai suka dengan hasilnya.

"Tas belanjaan tadi mana? Aku mau ambil baju ganti." tanya Soo-jung setelah selesai menyusun piring di meja makan. Tadi sore Soo-jung sudah memborong 2 tas belanjaan untuk bajunya. Dia tidak mau memakai kaos Xiumin lagi.

"Di atas sofa ruang tengah." Kai melepas celemeknya. "Aku panggil yang lain mandi, kamu mandi di kamarmu saja."

Soo-jung mengangguk singkat dan pergi ke ruang tengah untuk memindahkan barang-barangnya. Di kamar, dia tampak asyik mencoba baju barunya. Dia mengamati baju yang membalut tubuhnya dan bergaya ala model di depan cermin. Soo-jung tersenyum puas. Soo-jung kembali membongkar isi tas belanjaan untuk mencoba pakaian yang tersisa. Tangannya berhenti saat mendapati sebuah kotak sepatu berwarna hitam. Dia membuka penutup kotak tersebut dengan pelan dan muncullah sepatu merahnya. Soo-jung tersenyum mengamati sepatu merah itu. Lagi-lagi dia teringat dengan kejadian tadi sore. Kai benar-benar terlihat keren saat menggantikan sepatunya, apalagi saat tangan Soo-jung digenggam oleh Kai. Soo-jung hampir lupa cara bernapas.

"Tulisan apa ini?" Soo-jung mengamati sebuah kalimat di badan sepatu merah itu. Kalimat itu kurang jelas karena ditulis bersambung dan sangat kecil.

"Wanita berambut cokelat harus pergi untuk menemukan jalannya. Sepatu merah menuntunnya mengulang waktu musim panas. Musim panas yang akan ditelan kegelapan kelam." Soo-jung mengernyit bingung, masih menelaah maksud dari tulisan itu.

Tidak lama kemudian ketukan di pintunya terdengar. Soo-jung segera keluar dan mendapati Kai yang tersenyum manis padanya.

****

"Cheers!"

Suara gelas beradu terdengar di seluruh penjuru ruangan. Semua peminumnya meneguk habis isinya dalam sekali teguk. Satu-satunya cewek di kumpulan orang itu terbatuk hebat, lalu menatap gelas di tangannya bingung. "Apaan, nih?"

"Soju." jawab Chen enteng, tampak tidak kasihan dengan tenggorokan cewek itu yang terbakar. "Alkoholnya Korea."

Soo-jung menatap ngeri gelas yang setengah penuh di tangannya. "Tidak enak."

Chen tertawa. "Kamu harus sering-sering mencobanya." Chen menuang soju ke dalam gelas Soo-jung. "Minumlah dan rasakan hidup yang sesungguhnya."

Sebelum Soo-jung meneguk soju nya lagi, Kai terlebih dahulu mengambil gelas Soo-jung dan meminumnya. Dia mengelap bibirnya dan menatap tajam Chen.

"Sekali lagi kamu mengajarinya yang aneh-aneh akan kupatahkan tulangmu." ancam Kai. Chen bergidik dan meminum soju di gelasnya dengan sekali teguk.

Semua menertawai tingkah Chen, tidak termasuk Suho. Suho terlalu fokus menyusun kata-kata yang tepat untuk menyampaikan sebuah informasi penting pada Kai. Dia harus mengatakannya sekarang tapi keadaan membuatnya bungkam. Suho menyikut Kai, membuat laki-laki itu menoleh padanya.

"Tadi aku sudah minta tolong pada temanku untuk mencari identitas aktris dan staff yang hilang dan aku menemukan sebuah penemuan besar." bisik Suho dengan sangat pelan, takut yang lain mendengar. "Tapi aku tidak bisa menceritakannya sekarang."

"Ini hal yang tidak boleh diketahui siapapun?"

Suho mengangguk. "Aku sudah mengirimkan foto aktris dan staff nya ke ponselmu. Soal informasi lain nanti kita bicarakan setelah makan malam saja. Oke?"

Kai mengangguk paham. Apapun yang Suho dapatkan pastilah bukan hal sembarangan. Suho bukan semacam orang 'tong kosong nyaring bunyinya'. Ketika dia merahasiakan sesuatu, sesuatu itu pastilah hal yang serius. Kai benar-benar harus siap dengan informasinya.

"Kai!" panggil seseorang, membuat Kai menoleh.

Soo-jung menatap Kai dengan antusias. Pipi putihnya memerah akibat pengaruh alkohol. Kai berdecak mengamati keadaan gadis itu. Seharusnya sejak awal dia melarang gadis itu minum alkohol.

"Mau soju?" tanya Soo-jung dengan sumringah, berharap Kai mengiyakannya.

Kai berpikir lama kemudian mengangguk. Dia tidak tahan dengan bujukan Soo-jung. Kai meneguk soju dan merasakan panas di tenggorokannya.

"Nah, gitu dong. Mau pantang sampai kapan?" ejek Chen yang dibalas dengan injakan kaki dari Kai di bawah meja.

****

Karena dua gelas soju tadi sekarang Kai sudah terkapar di ruang tengah, tampak benar-benar mabuk. Dengan susah payah teman-temannya mengangkat Kai ke kamarnya. Mereka membuang Kai ke atas kasur dan pergi melanjutkan acara minum-minumnya. Hanya satu orang yang masih tetap bertahan di samping Kai. Soo-jung.

Gadis itu tersenyum dan duduk di samping Kai yang sudah terlena. Entah karena pengaruh alkohol yang diminumnya atau karena pengaruh laki-laki di depannya, yang pasti perasaannya sangat penuh. Soo-jung sangat senang melihat sisi lain dari Kai yang ini. Kai selalu tampak dingin dan tak tersentuh, tapi sekarang dia mabuk karena dua gelas alkohol.

'Tampannya..' kata Soo-jung dalam hati.

Soo-jung menyentuh hidung lancip Kai dan tersenyum. Dia sangat senang Kai sedang dalam keadaan tidak sadar. Kalau sadar pastilah dia tidak mengizinkan Soo-jung menatap dan menyentuhnya seperti ini.

Tahu-tahu Kai mengerang dan membuka mata. Tangan Soo-jung yang sedang mengeksplorasi wajah tampan Kai terhenti di udara. Sedapat mungkin Soo-jung tidak bernapas dan tidak bergerak. Kai menatap Soo-jung dengan wajah datar lalu tersenyum.

"Cantik" kata Kai dengan suara serak.

Pipi Soo-jung terasa panas. Kai tidak pernah memujinya semanis ini, dia jadi sangat malu dan senang dengan Kai yang begini.

"Kamu tahu sesuatu?" Kai lantas meraba tangan Soo-jung dan mengaitkan jari-jarinya di jari Soo-jung. "Aku selalu takut membayangkan bertemu denganmu hanya mimpi. Aku takut saat aku bangun kamu tidak ada di sisiku."

Soo-jung terdiam sejenak dan balas menatap Kai.

"Aku tidak akan meninggalkanmu selamanya." Soo-jung tersenyum. "Aku janji."

Soo-jung tahu, pipinya sudah sangat merah karena perkataannya sendiri. Saat Kai menyentuh pipi Soo-jung, detak jantung Soo-jung berdetak berlipat ganda hingga terasa sesak. Terlalu cepat.

"Ooma loompa doom dubi duba doom." gumam Kai pelan. "Itu mantra untuk membuatmu berada di sisiku selamanya. Aku mempelajarinya dari nenekku."

Soo-jung tidak menanggapi perkataan Kai sehingga Kai memegang tangannya. Soo-jung masih terdiam. "Soo-jung?"

Mata Soo-jung terbuka. Ucapan Kai membuka matanya juga ingatan masa lalunya. Kini Soo-jung masuk ke dalam ingatannya.

Seorang wanita duduk sendirian di sebuah ruangan berwarna putih. Rambut ikalnya tergerai di bahu. Dia menghela napas berat. Saat mendengar suara langkah kaki mendekat dia tahu itu sudah waktunya.

Seorang laki-laki berdiri di belakang wanita itu. Dia memakai topi cokelat yang senada dengan warna mantelnya. Dia menurunkan topinya tanpa berbicara apapun selama beberapa saat.

"Maaf." Wanita itu menggigit bibirnya. Dia sudah tidak tahan lagi untuk menangis mendengar kata itu keluar dari mulut laki-laki itu. "Aku harus pergi."

Suara jam berdentang keras. Wanita itu menatap ke luar jendela, ke arah jam besar yang berdentang. Berharap waktu dapat kembali pada saat laki-laki di belakangnya ini bersamanya. Setitik air mata membasahi pipi wanita itu. Untunglah laki-laki itu berdiri di belakangnya sehingga tidak bisa melihatnya begini. Dia harus kelihatan kuat.

"Pergilah."

Laki-laki itu memakai topinya kembali dan pergi keluar ruangan. Suara langkah kakinya perlahan mengecil hingga hilang. Air mata wanita itu yang tak terbendung jatuh tak berurai. Dia menatap sebuah sepatu berwarna merah di pangkuannya.

"Soo-jung?" panggil Kai untuk yang kesekian kalinya. Tidak seperti sebelumnya, Soo-jung kini tersentak. Nafasnya memburu. Matanya berkaca-kaca, lalu celingukan. Dia tampak syok karena sesuatu. Soo-jung beralih menatap Kai.

"Soo-jung, kamu tidak apa-apa?"

"Sepatu" gumam Soo-jung pelan.

Kai masih menelaah perkataan Soo-jung sampai gadis itu berlari keluar. Kai yang masih setengah sadar mengikutinya.

"Aw!" teriaknya karena terjatuh saat keluar kamar. Kakinya terasa sangat lemas. Soo-jung sudah turun ke bawah dan menghilang di balik tembok. Kai menghela napas. Dengan sekuat tenaga dia bangun dan berjalan lagi.

Dia mendengar suara piano yang mengalun di ruang tengah dan mengintip. Tidak ada Soo-jung, hanya teman-temannya yang sudah mabuk. Suara derap langkah menaiki tangga terdengar. Secara tidak sengaja, Kai melihat dress hitam yang dikenalnya berkelebat menaiki tangga. Kai berjalan ke lantai dua.

Baru saja dia ingin menginjakkan kaki di anak tangga keempat, pintu kamar Soo-jung tiba-tiba terbuka. Soo-jung menuruni tangga dengan kepayahan dan melewati Kai yang memanggilnya. Kai mengejar Soo-jung hingga masuk ke ruangan di ujung rumah, perpustakaan. Kai membuka pintu itu dan disambut pukulan bertubi-tubi dari Soo-jung.

"Hei, hei! Ini aku, Kai!" Pukulan Soo-jung berhenti. Napasnya yang memburu perlahan tenang melihat Kai di depannya. Soo-jung memeluk Kai dengan erat hingga Kai sulit bernapas. Kai tahu ada sesuatu yang tidak beres saat sengukan terdengar di telinganya.

"Apa terjadi sesuatu?" tanya Kai sambil menyeka air mata Soo-jung. Soo-jung mengangguk sambil menyeka air matanya.

"Sepatu..., mengejarku...," kata Soo-jung terputus-putus.

"Apa-" Suara derap kaki mendekat terdengar, memutuskan perkataan Kai. Soo-jung segera mengunci pintu lalu beralih menatap Kai yang masih bingung.

"Sebentar lagi aku akan pulang ke tempatku." jelas Soo-jung, membuat Kai semakin bingung. "Apa kamu mau ikut denganku?"

Suara jam berdentang terdengar. Mata Kai membulat saat mendengar suara jam itu. Jam Benlin. Baekhyun-ssi pernah bercerita padanya tentang bunyi jam Benlin yang membuat bulu kuduk merinding, dan ia merasakannya sekarang. Fokus Kai beralih pada bunyi gedoran dari pintu di belakangnya. Gedoran itu sangat keras hingga mirip orang menendang pintu.

"Kamu mau ikut denganku?" tanya Soo-jung, tak mau diabaikan.

"Ke mana?" tanya Kai makin bingung.

"Ke tempatku. Kita akan hidup di sana selamanya."

Kai tambah dibuat bingung. Tingkah Soo-jung tiba-tiba aneh, seperti kerasukan sesuatu. Baru saja Kai ingin membuka mulut, pintu ruang perpustakaan didobrak. Sepasang sepatu berdiri di depan pintu. The Red Shoes. Sepatu itu segera menyerang mereka. Kai menarik tangan Soo-jung yang tampak kaget dan berlari. Sepatu itu terus mengejar mereka sampai mereka terpojok di dinding.

Dengan ajaib, sepatu itu melekat di kaki Soo-jung. Sepatu itu mengendalikan tubuh Soo-jung, bergerak ke manapun dia inginkan. Kai mencoba menarik Soo-jung namun, dalam beberapa kali hentakan, Soo-jung menghilang. Pergi entah kemana. Hanya Kai yang tertinggal sendiri di perpustakaan itu. Terlarut dalam rasa syok dan kesedihan mendalam ditinggal gadis yang dicintainya.

****

"Ini artis yang menghilang." kata Suho mengeluarkan foto dari saku mantel cokelatnya. "Mirip dengan Soo-jung, ya."

Kai tidak menjawab. Badannya lemas tak berdaya. Pikirannya masih sangat syok telah kehilangan gadis yang dicintainya. Dan, menyesal. Dia tidak bisa melindungi gadis itu dan hanya berdiri diam di tempatnya.

"Kamu tahu ada lagi yang aneh?" kata Suho lagi. "Staff yang kukatakan waktu itu ternyata adalah salah satu pemain musik di film itu, juga pacar aktris itu. Dia tidak menghilang, melainkan pergi meninggalkan aktris itu karena status mereka. Tidak lama kemudian aktris itu pun menghilang bersama sepatu merah itu. Sutradara pun menarik film itu karena takut dilibatkan dengan rumor-rumor yang beredar."

Suho menyodorkan foto seorang laki-laki yang tersenyum. "Dan, orang itu mirip denganmu." Kai terkesiap.

Suho tertawa. "Tidak ada gunanya pencarianku ini. Soo-jung sudah pergi sekarang, bersama red shoes itu." Suho mengantongi foto itu. "Tadi Baekhyun-ssi menelepon. Dia menanyakan apakah salah satu dari kita mengambil kaset berjudul 'The Red Shoes' dari gudang penyimpanan."

Kai meliriknya, meminta penjelasan lebih lanjut. Suho tersenyum mengerti. "Dia tahu dari suara jam Benlin yang berbunyi. Dulu, dia juga pernah mencobanya karena penasaran dan berakhir sepertimu. Ditinggal cinta pertamanya."

Suho melanjutkan, "Tapi dia bersyukur karena telah melakukan itu,"

"Maksudmu?" Suho tersenyum mendengar Kai akhirnya angkat bicara.

"Dengan melakukan hal itu dia jadi bertemu dengan Taeyeon-shi, istrinya yang sekarang. Dia juga jadi tidak menghilang seperti lima orang lainnya."

Kai menundukkan kepala, menatap lantai keramik di depannya. Jika dia menarik tangan Soo-jung waktu itu dia pasti akan seperti lima orang yang lain yang menghilang entah kemana. Meskipun itu berarti harus kehilangan Soo-jung.

Suho memegang pundak Kai lalu pergi ke dalam rumah. Kai menghela napas berat.

Angin panas terasa membakar kulit Kai. Kai sangat tahu ini musim panas dan badannya sudah sangat matang untuk berlama-lama di bawah terik matahari siang. Tapi berada di teras membuatnya mengingat kembali dirinya yang berlari karena telah menemukan kaset 'The Red Shoes'. Melihat perempuan di film yang tiba-tiba keluar dari layar lalu jatuh cinta. Benar-benar ajaib. Kai sampai tidak tahu apakah itu mimpi atau kenyataan.

"Permisi!" teriak seseorang di depan pagar rumah. Kai mendongak.

"Apa di sini betul rumah Baekhyun-ssi?" tanyanya lagi.

Baru saja dia mengingat-ngingat kenangannya dengan Soo-jung, seseorang mengacaukannya. Kai menyahut dan berjalan mendekat. Dia terperangah.

"Kamu.."

"Krystal. Aku keponakan Baekhyun-ssi yang datang dari Busan, dan mulai hari ini akan tinggal di sini. Kamu siapa?"

Kai tersenyum geli. Tidak semua cerita berakhir seperti yang diinginkan. Terkadang, kita harus membuka lembar epilog untuk dapat mengetahui awal baru dari tiap tokoh. Misalnya, bertemu dengan orang dari masa lalu di masa depan.

"Ooma loompa doom dubi duba doom"

"Hm?" Krystal mengerutkan kening, bingung.

Kai menggeleng lalu menyodorkan tangannya dari sela-sela pagar, perempuan itu menyambutnya. "Aku Kai, Kim Jong-In."

Tangan Kai masih belum melepas tangan gadis itu. Kai tersenyum.

"Selamat datang kembali, Krystal."

**The End**

Notes:

Mi-yeon = jatuh

Soo-jung = kristal

Hi guys, this is none.
Ini fanfic yang none buat sdh lamaaa banget. Sudah pernah post buat lomba fanfic challenge di satu website dan baru repost di sini lagi. Fanfic ini terinspirasi dari mv the red shoes milik IU. Yang mau nonton di youtube ya silahkan...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top