Chap. 3 : Setan Merah yang Jahil
"Cocok sebagai apa?"
Dengan langkah lebar berbalut rasa bingung, Davin menyusul Stevi yang sudah berada di depan lift. Kedua tangan yang terlipat di depan dada, menandakan betapa Stevi tak ingin membuang waktunya yang berharga hanya dengan menunggu. Stevi menoleh sekilas, menatap Davin yang berdiri di sampingnya.
"Cocok sebagai bawahan saya yang kompeten dan dapat diandalkan." Ia menegaskan posisi mereka serta menyadarkan Davin dari kabut curiga yang sempat terbentuk akibat sikapnya yang sedikit hangat sebelumnya. Menyadari ketegasan dalam nada bicara Stevi, Davin pun terdiam.
Tak lama kemudian, pintu lift terbuka. Mereka berdua melangkah masuk, tapi tak seorang pun berinisiatif menekan tombol lantai yang akan dituju. Stevi menoleh heran ke Davin yang tampak sibuk mengetik sesuatu di layar ponsel. Sadar ditatap oleh Stevi, Davin pun menoleh.
"Kenapa?" tanya Davin seraya mengerut bingung.
"Kamu mau kita di sini sepanjang hari?" tanya Stevi dengan sebelah alis terangkat dan kedua tangan terlipat di depan dada.
Kening Davin semakin mengerut, kemudian mengalihkan pandangan ke tombol-tombol lift. Belum ada yang ditekan. Davin kembali menatap Stevi, siap melawan.
"Tombolnya kan di sebelah kamu."
Mata Stevi menyipit mendengar jawaban Davin. Itu adalah sebuah pernyataan, bukan pertanyaan. Pernyataan sarat perlawanan.
"Davin, ingat, ya. Tugas kamu adalah melayani saya. Jadi, menekan tombol lift adalah bagian dari melayani saya."
"Itu namanya perbudakan!" Davin berkata dingin.
Stevi memutar tubuhnya menghadap Davin, lalu menurunkan kedua tangannya, dan maju selangkah ke arah Davin. Tak berniat tunduk dan patuh, pria itupun memutar posisi menghadap Stevi.
"Perbudakan itu ... kamu bekerja siang-malam tanpa henti dan tidak dibayar. Sedangkan kamu ... saya bayar gajimu setiap bulan, bahkan kamu mendapat bonus ketika lembur. Sekarang, cuma disuruh menekan tombol lift saja, kamu berani bilang ini perbudakan? Jangan berlebihan, Davin!" Stevi menatap lurus tepat pada netra gelap Davin.
"Menekan tombol lift yang ada di dekatmu, sebenarnya bukan pekerjaan yang sulit," balas Davin datar dan tak sedikit pun berniat memutuskan tautan mata mereka yang saling menunjukkan keteguhan.
"Kita bisa terus berdebat di sini sampai malam," Stevi menyunggingkan senyum, tanda siap menghadapi Davin dan segala pembelaan yang akan pria itu lontarkan.
Namun ternyata, Davin malah menghela napas, menyerah. Secercah kelegaan mengisi dada Stevi saat mengetahui bahwa pria itu lebih memilih berhenti melawannya daripada harus menghadapi keegoisannya yang besarnya melebihi dunia. Pria itu melangkah maju ke arah Stevi, lalu menekan tombol lantai yang akan mereka tuju. Tubuh Davin yang sangat dekat membuat aroma parfum pria itu menguar memenuhi indra penciuman Stevi. Wanginya cukup kuat, tapi menenangkan, menandakan kejantanan dan kehangatan di saat yang bersamaan. Tanpa sadar, Stevi memejam dan menghirup aroma parfum Davin dalam-dalam.
"Kamu ngapain?"
Pertanyaan Davin seketika menarik Stevi keluar dari ketenangan semu yang tak pernah ia harapkan.
Stevi terbelalak, terkejut sekaligus salah tingkah. Ia tak pernah berencana untuk terlihat aneh di depan Davin.
Oh, Tuhan! Ini konyol sekali, batin Stevi mengutuki dirinya yang mudah hanyut hanya karena aroma parfum Davin.
Stevi berdehem canggung dan kembali menghadap ke arah pintu lift sambil melipat kedua tangan di depan dada. Tak menghiraukan tingkah aneh Stevi, Davin kembali mengetik sesuatu di layar ponsel.
***
"Mas Davin, sekarang job desk-nya nambah, ya," celetuk Ira, wanita berusia dua puluh lima tahun, yang bertugas menangani dan mengatur segala proyek di Gun Media Group, ketika memasuki ruang pantri lantai tiga. Divisi administrasi dan proyek.
Davin, yang sedang serius menyeduh kopi untuk dirinya sendiri, langsung menoleh ketika wanita itu melangkah masuk diikuti Dinda, bagian administrasi. Berusaha mengabaikan ucapan Ira, Davin kembali memusatkan perhatian pada cangkir kopinya.
"Mas Davin, sekarang merangkap sopir pribadinya Mbak Stevi. Hihihi," seloroh Dinda, yang seumuran dengan Ira.
"Namanya juga kerja, Mbak. Jadi, harus nurut sama bos," jawab Davin santai.
"By the way, si Mbak Stevi, setiap hari selalu pakai high heels merah terang. Vibe-nya berasa kayak lagi lihat film Hell Boy," lanjut Ira yang langsung tertawa geli diikuti Dinda.
"Serem tahu, enggak, sih? Kayak bos killer," sambung Dinda.
Davin berbalik, kemudian menatap kedua wanita yang saat ini menunggu reaksinya dengan antusias.
"Red Devil, Mbak. Stevi cocoknya dijuluki Red Devil. Setan merah yang tanduknya keluar kalau kerjaan bawahannya enggak sesuai sama keinginannya. Masa, tekan tombol lantai lift saja enggak mau. Dia bilang kalau, saya berlebihan karena enggak mau tekan tombol buat dia. Sebenarnya, yang berlebihan itu siapa?"
"Eh, mas-nya curhat. Yang sabar ya, Mas Davin," ujar Ira, menyambut keluh kesah Davin dengan raut prihatin. Ira kemudian bertukar pandang dengan Dinda, sebelum akhirnya kedua wanita itu sama-sama menatap Davin dengan sorot kasihan.
Sebagai rasa simpati, Ira menepuk pelan pundak Davin. Davin yang tidak sadar sudah terlalu lancang membicarakan Stevi, langsung berdehem malu seraya membenarkan posisi dasinya yang masih rapi.
"Saya pamit dulu, Mbak." Davin bergegas keluar dari pantri seraya membawa cangkir kopinya. Davin menggeleng kecil, tak habis pikir, mengapa ia bisa keceplosan. Itu benar-benar di luar kendalinya.
Ketika sedang berjalan menuju lantai lima,yaitu tempat food court berada, ponsel Davin berdering. Dengan tangannya yang bebas, Davin merogoh saku jas untuk mengeluarkan ponsel. Ia pun berhenti sejenak demi melihat siapa yang menghubunginya. Namun, tidak ada nama di situ. Nomor baru.
"Halo."
"Kamu di mana? Saya lapar!" Suara di seberang telepon terdengar kesal.
"Ini siapa, ya?" tanya Davin bingung.
"Stevi. Jangan pura-pura enggak kenal suara saya, ya!" Stevi menjawab ketus.
Davin terdiam selama sepersekian detik, kaget.
Seingatnya, ia belum pernah saling bertukar nomor dengan Stevi.
"Kamu di mana?" tanya Stevi cepat.
"Emm, saya mau ke food court."
"Tunggu saya di depan lift food court! Saya mau ke sana juga."
Stevi memutuskan panggilan begitu saja tanpa menunggu jawaban dari Davin.
Ya, ampun! Jam istirahat terasa seperti jam kerja, gerutu Davin dalam hati seraya memasukkan kembali ponselnya ke saku jas.
Aku harus membicarakan masalah ini pada Stevi. Dia tidak boleh semena-mena seperti ini padaku! tekad Davin sembari melangkah kesal menuju pintu lift.
***
Sudah pukul 21.10, tapi Davin masih di sini, menemani Stevi makan es krim Cold Stone-es krim favorit wanita itu. Davin hanya duduk di depan Stevi, memerhatikan betapa wanita itu menikmati es krim rasa rhum raisin.
Davin sudah melepaskan jas dan menyampirkannya di sandaran bangku. Lengan kemejanya pun sudah ia gulung hingga batas siku. Rambut Davin sedikit acak-acakan, pertanda betapa pusingnya ia melihat tingkah Stevi.
Sudah seminggu Davin bekerja di bawah Stevi. Rasanya?
Sangat luar biasa tidak masuk akal!
Setiap hari, Davin harus sudah tiba di apartemen Stevi pukul 7.00. Ketika di kantor, Davin harus bisa menekan kekesalannya demi menghadapi permintaan Stevi yang luar biasa aneh. Seperti, minta dipesankan tiket nonton bioskop saat sedang rapat. Lebih aneh lagi karena wanita itu mengharuskan Davin untuk nonton berdua begitu jam kantor selesai. Akibatnya, Davin baru bisa sampai di rumah saat tengah malam.
Davin benar-benar lelah dan muak. Ia hanya ingin pulang ke rumah, lalu tidur. Ketika bekerja di bawah Pak Gunadi, hidup Davin teratur dan terencana dengan sangat baik. Sekarang, hidupnya berubah drastis, bak roller coaster. Terkadang memang bisa aman, tetapi tak jarang ia seperti diburu oleh waktu.
Davin harus berani mengatakan ketidaknyamanannya sekarang juga. Tadi siang, saat di foodcourt kantor, ia tidak sempat mengatakannya pada Stevi. Wanita itu malah sibuk berkomentar perihal menu makan siangnya. Ya, Ini adalah waktu yang tepat.
"Stev, ada yang mau saya bicarakan." Davin mulai memberanikan diri.
Stevi mengarahkan pandangannya ke arah belakang Davin, tak lama kemudian, ia menatap ke Davin
"Kamu duduk sini, saya enggak dengar." Stevi menepuk kursi di sebelah wanita itu, menyuruh Davin pindah.
Davin menuruti perintah itu dan duduk di samping Stevi. Sepertinya suasana hati Stevi sedang aman, jadi Davin tak akan menunda-nunda lagi.
"Stev, saya cuma mau-"
"Halo, Stevi!" sapa seorang wanita yang muncul tiba-tiba.
"Wah, aku enggak nyangka bakalan ketemu kamu di sini."
Davin menatap kesal wanita cantik yang bertubuh tinggi semampai dan berkulit putih karena telah menyia-nyiakan kesempatannya untuk melemparkan keluhan pada Stevi. Wanita itu mengenakan kemeja biru lengan panjang berbahan satin. Satu kancing paling atas sengaja dibiarkan terbuka hingga belahan dadanya terlihat jelas. Skinny jeans yang wanita itu kenakan, membentuk lekuk kakinya dengan tepat. Sementara, high heels hitam yang menghiasi kaki wanita itu, menambah kesan seksi dan elegan.
"Hai, Win." Stevi menyapa balik pada wanita itu. Tiba-tiba, lengan Stevi mengapit lengan Davin. Bingung, Davin hanya bisa diam sambil menatap Stevi dan wanita di depannya yang masih berdiri.
"Ini siapa?" tanya wanita tadi.
"Ini Davin, pacar baru aku," jawab Stevi, yang kemudian menoleh ke arah Davin sambil tersenyum lembut. Lengan Stevi semakin erat mengapit lengan Davin
"Waw! Aku kira kamu masih enggak bisa move on dari Daniel. Asal kamu tahu aja, aku sama Daniel sudah putus. Kalau kamu mau ambil Daniel lagi, silakan tuh." Wanita tersebut melipat kedua tangan di depan dada. Ucapan wanita itu terkandung niat merendahkan Stevi.
"Sorry! Aku enggak tertarik lagi sama Daniel. Sekarang aku sudah punya Davin." Stevi tersenyum penuh kemenangan, kemudian menatap Davin. Tak ingin membuang waktu berbasa-basi dengan wanita itu, Stevi pun bangkit seraya menarik Davin. Tak lupa, Stevi menenteng tasnya dengan gerakan anggun.
"Wina, aku pergi dulu, ya. Ayo, sayang." Setelah berpamitan pada wanita yang bernama Wina itu, Stevi menoleh pada Davin dengan tatapan lembut dan mengajaknya keluar dari kedai es krim tersebut.
"Ada apa, sih?" tanya Davin penasaran ketika berjalan menuju pintu keluar.
"Ssst! Nanti aja nanyanya. Sekarang biar kita gandengan kayak gini dulu," jawab Stevi pelan. Mereka berjalan hingga masuk ke supermarket.
Davin, yang sadar lengannya masih saja digapit oleh Stevi, ketika mereka sudah berada jauh di dalam supermarket, langsung bicara, "Kamu udah bisa lepas tangan saya."
"Kenapa? Kamu enggak suka, ya?" tanya Stevi santai tanpa berniat melepaskan lengannya.
"Wina udah enggak ada, kita enggak harus akting lagi," jawab Davin.
"Biarin! Saya nyaman, kok. Kamu keberatan, enggak?" tanya balik Stevi.
"Enggak, sih! Cuma, kan nanti-"
"Kamu pegang tas saya." Stevi menyerahkan tas tangannya pada Davin yang langsung meraih benda itu tanpa penolakan. Mereka terus berjalan menuju rak aneka makanan ringan layaknya sepasang kekasih.
"Stev, lebih baik lepasin tangan kamu," saran Davin ketika Stevi masih bingung memilih aneka cokelat.
"Saya enggak mau lepasin," balas Stevi, mempertahankan kemauannya.
"Kenapa, sih? Takut ketahuan pacar kamu, ya?" lanjut Stevi penasaran.
"Saya enggak punya pacar."
"Bagus. Jadi, enggak akan ada yang keberatan," ujar Stevi penuh kemenangan.
"Saya yang keberatan."
"Saya enggak peduli, Davin." Stevi menarik Davin kembali menuju rak buah segar. Wanita itu masih belum memutuskan ingin membeli apa. Atau, Stevi memang sengaja mengerjai Davin?
Davin juga tidak tahu. Akhirnya, ia pun menuruti kemauan Stevi dan mengikuti ke mana langkah wanita itu membawanya.
***
Setelah sampai di apartemen Stevi, Davin merapikan belanjaan wanita itu. Bukan karena rasa pedulinya, tapi tentu saja karena perintah Stevi. Wanita itu langsung masuk ke kamar tanpa memedulikan Davin yang berkutat merapikan semua belanjaan.
Waktupun berlalu, tak terasa sudah pukul 23.00. Davin merapikan plastik bekas belanjaan dan ia membuangnya ke tempat sampah. Tak lama kemudian, Stevi keluar dari kamar. Aroma stroberi menyeruak mengisi ruang dapur. Davin menoleh ke belakang dan menemukan Stevi yang berdiri tak jauh darinya. Wanita itu mengenakan jubah tidur berbahan satin putih. Walau jubah tersebut panjang, tetapi belahan dadanya sangat rendah. Rambut Stevi yang lembab, malah membuat penampilan wanita itu semakin seksi, indah, dan menggoda.
Stevi berdiri di sana sambil menempelkan sisi kiri tubuhnya di tembok memerhatikan Davin dengan seksama.
"Sudah selesai?" tanya Stevi datar.
"Sudah."
"Terus?" lanjut Stevi.
"Apa?" Davin bingung.
"Kenapa enggak pulang?" Stevi kembali bertanya.
"Oh. Iya, ini saya mau pulang, kok."
"Atau ...," Stevi beranjak dari tempatnya berdiri, lalu melangkah pelan menghampiri Davin dengan sorot mata menggoda, "kamu mau menginap di sini?"
Begitu sampai di depannya, Stevi mengusap rambut Davin perlahan. "Hmm ... kamu mau menginap di sini?"
Jemari Stevi mengusap rahang Davin, sementara mata mereka saling bertautan. Kilat liar yang menghiasi mata Stevi seketika mengaburkan pandangan Davin.
"Sa-saya..."
"Davin, kamu tegang banget. Ha-ha-ha." Tiba-tiba, Stevi tertawa terbahak-bahak. Davin, yang sempat terhipnotis oleh kecantikan wanita itu, mengernyit bingung selama beberapa detik, sebelum akhirnya tersadar bahwa dirinya sedang dikerjai Stevi
"Saya pulang!" ucap Davin sedikit kesal.
"Davin, kamu marah?" tanya Stevi masih dengan sisa tawanya.
"Enggak!"
"Davin," panggil Stevi seraya menyusul Davin yang langsung berbelok menuju pintu apartemen.
Davin tak menjawab, apalagi menoleh. Sungguh demi apapun, ia benar-benar kesal dengan tingkah laku Stevi.
Seenaknya saja mengerjai orang! gerutu Davin dalam hati saat memakai sepatu secepat mungkin. Kemudian, ia meraih jasnya yang digantung dekat pintu.
"Davin, kamu lucu banget, tahu. Gemes banget saya lihat wajah kamu," ucap Stevi masih tertawa kecil menganggap Davin bak hiburan semata.
Begitu Davin membuka pintu, ia menyempatkan diri untuk menatap si setan merah yang jahil itu dengan penuh kekesalan. "Iya, kamu juga lucu, senang banget nyusahin orang!"
Stevi tersenyum, lalu melangkah maju menghampiri Davin yang sudah berada di luar apartemen. Dengan sedikit berjinjit, wanita itu mendaratkan kecupan di pipi kanan Davin.
"Bye, Davin!" ucap Stevi setelah mengecup pipi Davin, kemudian masuk dan menutup pintu apartemennya begitu saja.
Davin masih berdiri diam, menatap daun pintu yang sudah tertutup di hadapannya. Lalu, tangannya memegang pipi yang tadi Stevi kecup. Hanya kecupan. Kecupan yang sangat sebentar
Segaris senyum muncul di bibir Davin. Sesaat kemudian, ia meninggalkan apartemen Stevi-si setan merah yang benar-benar menyusahkan Davin, tapi juga membuat hatinya malam ini berbunga-bunga.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top