Chap. 2 : Kita Cocok
"Kamu telat, Davin!"
Suara tegas Stevi terdengar tajam di telinga Davin ketika ia baru saja menutup pintu apartemen wanita itu. Ia tidak menyangka, akan disambut dengan suara dingin padahal, hari ini cerah sekali. Cahaya matahari yang terlihat dari balik jendela apartemen,
memancarkan kehangatan yang mampu membuat setiap orang, bahkan setiap sudut tempat terasa hangat. Namun tampaknya kehangatan itu tak mampu menembus dinginnya hati wanita yang saat ini menjadi atasan Davin.
"Maaf, Bu," ujar Davin seraya menunduk hormat.
"Jangan panggil saya Ibu. Saya bukan ibu kamu!" Stevi yang sudah rapi, berjalan menuju dapur melewati Davin begitu saja dan mengambil air minum dari dispenser.
"Maaf, Stevi." Sebisa mungkin Davin bersabar menghadapi keketusan wanita itu pagi ini.
"Saya enggak butuh maaf kamu. Kenapa telat?" tanya Stevi tegas setelah menenggak air minumnya.
"Saya harus antar adik—"
"Sudah! Saya enggak butuh penjelasan kamu," potong Stevi cepat seraya mengibas telapak tangan ke udara seolah ada serangga mengganggu pandangannya. Lah! Bukannya tadi dia yang nanya? gerutu Davin dalam hati seraya tertunduk. Demi mencari aman, Davin berusaha menghindari tatapan mata Stevi yang selalu menatap sinis setiap karyawan.
Wanita itu meletakkan gelas dengan cukup keras hingga menimbulkan dentingan nyaring ketika benda tersebut menyentuh permukaan meja. Dengan langkah tegas, Stevi melangkah menuju pintu apartemen
"Ayo! Kenapa bengong?"
Davin tersentak kaget, lalu menoleh ke arah Stevi yang sudah berdiri tepat di dekat pintu. Kening wanita itu mengerut, sementara matanya menatap bingung Davin yang sedari tadi berdiri diam bak patung. Davin bergegas beranjak berjalan menghampiri Stevi.
"Itu, tas saya. Jangan lupa kamu yang bawa!" perintah Stevi seraya menunjuk ke meja makan. Davin menoleh ke arah yang ditunjuk dan menemukan tas tangan bertuliskan PRADA di bagian depannya. Tas berwarna merah dengan hiasan emas di pinggirannya, sangat serasi dengan high heels yang Stevi kenakan.
Jujur, penampilan Stevi hari ini sangat cantik. Kemeja hitam yang dihiasi renda putih nan manis, ditutupi blazer panjang berbahan beludru dan berwarna putih. Rok pendek yang berwarna senada dengan blazer, menampilkan kaki jenjangnya yang mulus dan menggoda. Rambut panjang, kecoklatan, dan terawat itu sengaja digerai, yang entah mengapa malah menambah kesan elegan pada wanita berbibir ketus itu. Kacamata yang saat ini sengaja dibiarkan berada di kepala bak bando semakin mempermanis tampilannya pagi ini.
Di mata Davin, Stevi lebih pantas menjadi model internasional. Namun sayang, kecantikan yang mampu menghipnotis semua pria di muka bumi, tak sesuai dengan keketusan dan keangkuhan wanita itu. Bahkan, Davin yang sebelumnya mengagumi, mulai kesal dengan kelakuan Stevi.
"Kenapa enggak kamu bawa sendiri?" jawab Davin blak-blakan. Sedetik kemudian, Davin menyesali ucapannya tersebut. Ia bahkan tidak tahu dari mana keberaniannya muncul hingga melontarkan kalimat perlawanan seperti itu.
Stevi terdiam sesaat ketika mendengar pertanyaan Davin. Suasana hening yang didukung oleh perubahan raut wajah Stevi, meningkatkan ketegangan yang sudah menyapa Davin sejak ia melangkah masuk ke tempat ini.
Tiba-tiba, Stevi berjalan menghampiri Davin. Langkahnya lambat, tapi mantap malah terlihat bak slow motion dalam film. Masalahnya, gerakan lambat itu malah memperkuat aura seksi Stevi. Davin bahkan harus menggeleng pelan demi mengaburkan bayangan tak pantas itu.
"Kamu asisten saya, kan?" Stevi bertanya lembut ketika berhenti tepat di hadapan Davin. Jemari berkuku panjang nan runcing dengan kuteks merah menyala, mendarat halus di pundak Davin. Jemari lentik itu mengusap lembut pundaknya selama beberapa detik sebelum bergerak turun menelusuri dada Davin yang masih tertutup jas.
Davin mengangguk bodoh, menjawab pertanyaan Stevi. Sementara, mata mereka saling bertautan. Tiba-tiba, Stevi mendekatkan bibirnya ke telinga Davin. Embusan hangat dari bibir wanita itu berhasil menggoda bulu-bulu halusnya hingga meremang liar.
“Jadi … tugas kamu adalah … melayani saya,” bisik Stevi lembut dan menggoda di telinga Davin. Kedekatan mereka yang begitu intens dan aroma parfum Stevi yang menggoda, berhasil menghipnotis Davin dalam sekejap.
Stevi kemudian menjauhkan tubuhnya lalu, menatap Davin dalam-dalam diiringi senyum miring yang membuat napas Davin tercekat. "Sekarang, bawa tas saya!"
Ketegasan yang meluncur tajam dari bibir Stevi, menarik Davin keluar dari fatamorgana sarat gairah yang sempat menghipnotisnya. Wanita itu berbalik secepat kilat dan melenggang angkuh menuju pintu apartemen.
Patuh, Davin meraih tas cantik itu dan bergegas menyusul Stevi. Dengan gerakan menawan, Stevi menurunkan kacamata dari kepala, dan mengenakannya. Davin mengagumi setiap gerakan Stevi, meski sebagian dari dirinya masih menyimpan kekesalan terhadap wanita itu.
Setibanya di parkiran basement, Davin bergegas mendahului Stevi demi membukakan pintu penumpang bagian belakang. Masih dengan gayanya yang angkuh, Stevi masuk ke mobil. Davin memberikan tas cantik yang sedari tadi dibawanya kepada wanita itu, lalu menutup pintu dan bergegas duduk di belakang kemudi. Mulai hari ini—tanpa perlu dipertegas—Davin resmi menjadi sopir pribadi Stevi.
Kambing emang!
***
"Jadi, Mbak Stevi ... untuk launching novel Cinta SMA, saya sudah atur tempatnya di toko buku di daerah Melawai. Acaranya terdiri dari, meet and greet dengan penulis, tanya jawab, dan games." Ibu Lauren yang bertugas sebagai divisi kreatif di Gun Media Group sedang berdiri di depan layar proyektor, menjelaskan beberapa acara yang akan dilakukan bulan depan dengan optimis dan bersemangat.
Wanita berusia tiga puluh lima tahun itu sudah bekerja di Gun Media Group selama tujuh tahun. Seorang janda beranak satu itu, merupakan sosok yang kuat dan penuh percaya diri. Ibu Lauren juga merupakan salah satu orang kepercayaan Pak Gunadi.
Dengan pandangan tertuju pada layar proyektor, Stevi duduk menyilangkan sebelah kakinya. Tak ada sepatah kata pun terucap, seolah dirinya sedang memikirkan sesuatu. Kuku jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja. Sesaat, keheningan yang melingkupi ruangan hanya diisi oleh bunyi ketukan yang monoton sarat ancaman.
"Hmm, baiklah!" Stevi membenarkan posisi duduknya. Tatapannya datar dan lurus mengarah pada Ibu Lauren.
"Saya ingin lokasinya di Grand Indonesia. Cari tempat tertutup. Kita akan buat acara ini lebih eksklusif dan seintim mungkin, antara penulis dan pembacanya," ujar Stevi.
Ibu Lauren hanya bisa melongo. Rencana launching buku yang sudah dipersiapkan dengan sebaik mungkin malah ditolak mentah-mentah oleh Stevi—bos yang baru saja memimpin perusahaan ini.
"Ta—tapi, Mbak Stevi ... menurut saya, lebih baik langsung di toko bukunya. Seperti yang sudah-sudah—"
"Ya! Seperti yang sudah-sudah, tidak ada upgrade sama sekali. Selalu saja terpaku pada keadaan lama. Boring!" potong Stevi cepat, yang langsung membuat Ibu Lauren mengernyit tidak terima.
"Pasar kita adalah anak remaja. Ke toko buku? Hah!Lebih baik di mal, terlihat lebih keren dan hit. Lalu, hadiah game-nya apa saja?" lanjut Stevi penuh penekanan tanpa berusaha memberikan kesempatan bagi Ibu Lauren untuk melawan.
"Hadiahnya tumbler dan tas reuseable," jawab Ibu Lauren.
"Ganti dengan masker wajah dan skincare anak remaja sekarang yang lagi populer. Tentu saja, sesuaikan dengan usia mereka. Bagaimana? Ada yang keberatan?" Stevi memastikan sembari melayangkan pandangan ke para anggota rapat yang hadir. Tak berani melawan, mereka hanya menggeleng kebingungan.
"Tapi, Mbak ... ide saya yang tadi, tidak jadi dipakai?" Ibu Lauren bertanya pelan. Suaranya bergetar, campuran rasa takut dan geram.
"Pakai ide saya yang tadi. Oh iya, segera sounding acara ini di Instagram. Siapa yang handle media sosial kita?" tanya Stevi, netranya berkeliling memperhatikan satu-satu anggota rapat yang hadir.
"Saya, Mbak Stevi." Seorang wanita berusia sekitar dua puluh empat tahun mengangkat tangannya.
"Siapa nama mu?" tanya Stevi, menatap tajam pada wanita tersebut.
"Adisti."
"Selesai rapat, segera sounding acara ini di Instagram kita. Yang akan meliput acara kita nanti, apa semuanya sudah disiapkan?" Tatapan Stevi kini beralih ke Ibu Lauren.
"Sudah, Mbak. Bagian dokumentasi, konsumsi, media sosial, semuanya sudah siap," jelas Ibu Lauren kaku.
"OK. Masih ada lagi yang mau dibicarakan?" Stevi lanjut bertanya pada staf lainnya yang langsung mendapat gelengan penuh ketakutan. Sementara, Davin yang sedari tadi duduk di sampingnya, mulai merapikan berkas di hadapan Stevi.
"Rapat ditutup. Saya harap acara ini dapat berjalan lancar dan sukses. Jika ada kegagalan, hal sekecil apapun ... siap-siap cari kambing hitamnya untuk dikorbankan!" Stevi bangkit, lalu keluar dari ruang rapat. Sementara para anggota rapat masih kasak- kusuk membahas hasil pertemuan pagi ini.
Davin berlalu meninggalkan ruangan rapat dan menyusul Stevi.
"Menurut kamu, bagaimana ide saya?" tanya Stevi setelah Davin berada di sampingnya.
"Bagus."
Stevi mendengus sinis, lalu tersenyum miring.
"Jawaban klise, Davin. Jawaban seperti itu, hanya untuk penjilat."
"Kalau saya jawab jujur, apa jaminannya kalau kamu enggak akan pecat saya? Setelah banyaknya peraturan yang kamu ubah, sepertinya memecat saya juga perkara yang mudah buat kamu," jawab Davin tanpa rasa takut sedikitpun.
Stevi seketika berhenti melangkah, begitu juga dengan Davin. Tak terima dengan ucapan Davin, Stevi segera berbalik menghadap pria itu. Seolah tak memiliki rasa takut, Davin pun melakukan hal yang sama hingga mereka saling berhadapan senyum manis mengukir wajah Stevi ketika melipat kedua tangannya di depan dada.
"Saya enggak akan sembarangan nendang kamu dari sini, Davin. Papa sangat memercayai kamu dan saya percaya dengan ucapan papa." Tatapan Stevi yang melembut berhasil membuat Davin mengerut curiga. Namun, pria itu masih menunjukkan sikap tenang seolah sudah biasa berhadapan dengan serigala berbulu domba.
"Jadi ...menurut kamu, ide saya bagaimana?" Stevi mengulang kembali pertanyaannya.
"Bagus," jawab Davin datar yang langsung mendapat tawa sinis dari Stevi. Sembari menggeleng kecil, Stevi mengalihkan pandangan dari pria itu, dan lanjut melangkah menuju ruang kerjanya. Davin pun menyusul dan kembali berjalan di samping Stevi.
"Kamu takut berpendapat, ya?" tanya Stevi dengan sedikit nada mengejek.
"Tidak,” jawab Davin datar dan cepat, “ide kita memang sama. Ini.” Davin memberikan buku catatannya pada Stevi. Penasaran, Stevi menerima catatan itu, kemudian membacanya. Ternyata, catatan itu ditulis seminggu yang lalu.
"Ibu Lauren itu dekat dengan saya. Dia sempat bertukar pikiran dengan saya mengenai launching buku itu seminggu yang lalu. Saya memberikan masukan, tapi ditolak mentah-mentah. Katanya, kalau acara launching novel diadakan di mal, pasti akan menghabiskan banyak dana. Jadi, saya diam saja. Tapi, untuk hadiah games-nya, itu enggak kepikiran sama saya."
Stevi menutup buku catatan Davin dan menyerahkan kembali pada pria itu.
"Papa benar, kita cocok, Davin!" Stevi menepuk kedua pundak Davin.
"Saya suka sama kamu," lanjut Stevi dan berjalan meninggalkan Davin yang tiba-tiba saja berhenti melangkah, mencerna kalimat Stevi barusan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top