Chap. 1: Bos Baru
Protected by Indonesian law (copyright law of the Republic of Indonesia No. 19 of 2022).
There is no part in this book that can be taken, imitated, diplomatic, reprinted without the author's permission. This work is a fiction, all stories are purely author imagination. If there is a common background, place and name, it is purely accidental.
⛔⛔⛔
"Saya akan pensiun."
Davin yang sedang sibuk merapikan berkas-berkas hasil rapat tadi pagi, seketika menoleh saat Pak Agung Gunadi, atasannya, mengutarakan kabar yang cukup mengagetkan. Selaku asisten yang sudah bekerja selama empat tahun, tentu saja Davin tak menyangka akan mendengar berita tersebut.
"Saya sudah memikirkannya. Nanti, Stevi yang akan menggantikan saya," lanjut Pak Gunadi dengan senyum lembutnya, seraya berdiri di samping Davin.
"Mulai kapan, Pak?" tanya Davin penasaran, terlebih setelah mendengar nama wanita yang akan menjadi atasannya.
"Mungkin ... bulan depan."
"Jadi, saya akan menjadi asisten Ibu Stevi?" Davin memastikan.
"Ya. Saya yakin, kamu pasti cocok dengan Stevi. Dia mungkin akan sedikit menyusahkanmu di awal, tapi, dia mudah beradaptasi, kok. Kalau kamu tidak sanggup menghadapinya, kamu bicarakan saja dengan saya."
"Tenang, Pak. Saya pasti bisa menghadapi Ibu Stevi," ucap Davin penuh percaya diri. Mengetahui bahwa Pak Gunadi ternyata tetap memerhatikan kenyamanan Davin dalam bekerja meskipun pria itu sudah tidak menjadi atasannya, senyum formal penuh rasa hormat pun seketika mengukir wajah Davin. Ah, memangnya sesulit apa sih menghadapi si Stevi ini?
"Baguslah kalau begitu. Karena, hanya kamu orang yang paling saya percaya, Davin," ungkap Pak Gunadi seraya menepuk lembut pundak Davin. Sementara, sorot hangat yang Pak Gunadi tujukan, mempertegas besarnya kepercayaan pria itu pada Davin.
"Terima kasih, Pak!"
***
Waktu berlalu begitu cepat. Tibalah hari dinyatakannya, peralihan jabatan ke Ibu Stevi Putri Gunadi, anak dari Bapak Agung Gunadi-sang pemilik perusahaan.
"Saya senang sekali kalian semua bisa berkumpul di sini," ungkap Pak Gunadi sembari melayangkan pandangan ke para karyawan yang hadir, "saya juga ingin mengucapkan banyak terima kasih atas pesta meriah yang kalian siapkan untuk saya," lanjut Pak Gunadi tulus.
Hari ini, mereka semua berkumpul di sebuah ballroom besar yang memang biasa digunakan untuk mengadakan acara-acara besar perusahaan. Saat ini, Pak Gunadi sedang berpidato di atas panggung. Sebenarnya, ini adalah acara perpisahan Pak Gunadi sekaligus penyambutan bos baru, yaitu, Ibu Stevi.
Acaranya tidak mewah, bahkan lebih mengusung tema kekeluargaan. Pak Gunadi merupakan pimpinan yang berjiwa sederhana, tidak muluk-muluk, dan sangat baik kepada semua karyawan. Itulah mengapa seluruh karyawan sangat menghormati beliau.
"Tentunya, kalian semua sudah tahu kalau saya memutuskan untuk pensiun. Oleh karena itu perkenalkan, pengganti saya sekaligus pimpinan baru kalian. Ibu Stevi...," lanjut Pak Gunadi memperkenalkan Stevi yang masih duduk di bangku paling depan.
Seorang wanita cantik dan, memesona, dengan rasa percaya diri yang tinggi bangkit dari kursinya.
Ketika wanita itu berjalan bak seorang model, waktu seolah berhenti dan semua pandangan terpusat padanya.
Stevi Putri Gunadi.
Dengan high heels berwarna merah berani, Stevi melangkah mantap tanpa melirik ke arah karyawan yang ia yakini sedang menatap takjub ke arahnya. Rambutnya yang panjang, sengaja ia biarkan tergerai indah penuh kebanggaan. Ia bahkan menyukai sensasi ketika rambut itu berayun lembut mengikuti setiap langkahnya.
Semua mata tertuju pada Stevi. Banyak yang memuji kecantikannya dan keanggunannya, tapi tak sedikit juga yang iri. Tentu saja, yang iri pasti karyawan wanita.
"Halo, selamat siang semuanya, dan salam kenal. Saya Stevi, yang akan mulai memimpin terhitung sejak hari ini. Semoga kita semua bisa bekerjasama dengan baik." Stevi menunduk hormat kepada karyawan perusahaan Gun Media Group. Semua karyawan bertepuk tangan, menyambut Stevi dengan sukacita.
"Silakan dilanjutkan kembali menikmati hidangannya." Kata penutup dari Pak Gunadi.
Ketika para karyawan mulai menikmati hidangan, Pak Gunadi menarik lengan Stevi. "Ayo, papa perkenalkan kamu dengan Davin."
Tanpa banyak bicara ataupun berusaha memberi penolakan, Stevi berjalan di samping papanya menghampiri seorang pria berusia dua puluh sembilan tahun, dengan tubuh tinggi, berwajah ramah dan senyum manis melengkung di wajahnya. Pria tersebut tampak terlihat profesional, dengan setelan jas membalut tubuhnya.
"Stevi, ini Davin. Dia asisten kepercayaan Papa," Pak Gunadi memperkenalkan Davin pada Stevi.
"Selamat datang Bu Stevi. Saya Davin, asisten yang akan membantu Ibu nanti." Dengan hormat, Davin memperkenalkan diri seraya menunduk sekilas. Stevi menyambut perkenalan itu dengan senyum hangat dan ramah.
Setelah berbincang sejenak, Pak Gunadi memisahkan diri, membiarkan Stevi dan Davin berdua. Dengan sikap formal dan penuh hormat, Davin memperkenalkan Stevi ke para manajer dan staf. Semua yang hadir, begitu menikmati pesta. Bahkan, para karyawan tak segan berbincang ringan dengan Stevi dan menunjukkan betapa mereka menyambut kedatangannya dengan tangan terbuka di perusahaan Gun Media Group.
***
Gedung Gun Media Group, terletak di pusat Jakarta. Memiliki 29 lantai, dengan ruangan CEO terletak di lantai 29. Untuk menuju ruang CEO, tersedia lift khusus. Di lantai 1 sampai 20, disewakan untuk perusahaan lain.
Pagi ini, suara ketukan high heels sepatu terdengar sangat jelas di kantor. Sejak pintu lift terbuka tadi, ketukan demi ketukan high heels menggema di lorong panjang yang mengarah langsung ke ruangan CEO. Seperti biasa, Davin sudah berada di ruangan atasannya untuk mengingatkan Stevi akan jadwal kegiatan hari ini. Baru saja ia meletakkan tablet di meja kerja, pintu ruangan terbuka lebar dan Stevi melenggang masuk bak model papan atas.
"Selamat pagi, Bu Stevi," sapa ramah Davin.
Stevi yang terus berjalan dengan langkah mantap, tampak tidak berniat menjawab sapaan Davin. Wanita itu malah langsung memberikan tas tangan berlogo H kepada Davin. Dengan canggung seraya mengerut bingung, Davin menerima tas tersebut, sementara Stevi langsung duduk di kursi kebesarannya.
"Ini apa?" Stevi menanyakan tablet yang tadi Davin letakkan di meja dengan posisi langsung menghadap ke wanita itu, sama seperti yang biasa Davin lakukan
ketika Pak Gunadi masih menjabat.
"Itu jadwal Ibu sepanjang hari ini," jelas Davin.
"Revisi."
"Maksudnya, Bu?" Untuk kedua kalinya, pagi ini Davin kembali mengerutkan kening, bingung.
"Mulai besok, tugas kamu antar-jemput saya ke apartemen. Pukul tujuh tepat, kamu harus sudah sampai di apartemen saya. Semua rapat yang sudah terjadwal, usahakan dilakukan di pagi hari. Saya tidak mau ada rapat di siang atau sore hari. Dan satu lagi, jangan panggil saya Ibu. Panggil saya Stevi." Perintah itu meluncur cepat dan tegas dari bibir Stevi, sedangkan mata cokelatnya yang indah menatap tajam Davin.
"Tapi, tugas saya hanya membuat jadwal. Saya tidak bertugas untuk antar-jemput Ibu ... maaf, maksud saya, kamu Stevi," jelas Davin.
"Itu kan tugas kamu saat atasan kamu adalah Bapak Gunadi. Sekarang atasan kamu siapa?"
"Ibu... kamu Stevi," jawab Davin canggung.
"Jadi, sayalah yang akan menentukan aturan-aturan baru di sini, dan kamu wajib menjalankannya. Ucapan saya adalah perintah untuk kamu! Sampai sini, ada pertanyaan?" Stevi duduk tenang bersandar pada kursi nyamannya.
Patuh, Davin pun mengangguk pasrah, kemudian bertanya, "Kenapa rapat hanya diadakan di pagi hari?"
"Karena, otak saya masih segar, jadi saya dapat menyerap pembicaraan mengenai pekerjaan dengan baik dan masih bisa menoleransi suasana rapat yang membosankan. Kalau siang atau sore hari, otak saya butuh sesuatu yang menyegarkan."
Davin melongo mendengar alasan bos barunya yang ...cukup aneh.
"Sekarang, buatkan saya kopi dengan creamer, satu banding dua. Lalu, siapkan ruangan rapat sekarang juga. Saya ingin briefing dengan para manajer dan staf."
Tanpa banyak bertanya, Davin segera pamit meskipun ia mulai dongkol dengan sikap atasannya yang baru ini.
"Davin," panggil Stevi pelan.
"Ya?" Davin berhenti dan menoleh pada Stevi yang terlihat nyaman duduk di singgasananya.
"Tas saya. Letakkan di sini, kenapa kamu bawa?" Stevi menunjuk tasnya yang masih dipegang oleh Davin tanpa sadar.
"Oh, maaf, Bu-Stev!" Davin langsung meletakkan tas mahal tersebut di meja kerja Stevi. Davin pun bergegas keluar dari ruangan itu dan menghambur ke pantri untuk membuat kopi pesanan bos barunya yang ...entahlah, sepertinya wanita itu lebih cocok jadi tukang perintah.
Begitu rapat dadakan yang diadakan oleh Stevi pagi ini, para manajer dan staf cukup terkejut dengan peraturan baru yang Stevi utarakan.
"Saya ingin para pria di sini, rambutnya tolong dirapikan. Jika ingin berambut panjang, tolong dikuncir. Untuk para wanitanya, saya tidak ingin ada yang memakai pakaian ketat dan super pendek. Dan untuk Bapak Ilham, saya ingin setiap pantri dicat dengan warna kuning cerah. Tolong cari tukang cat yang bagus." Stevi bicara dengan posisi duduk dengan menyilangkan sebelah kakinya yang jenjang.
Bapak Ilham, pria berusia awal empat puluh yang memegang posisi sebagai seorang editor senior di sana hanya melongo mendengar perintah Stevi yang menurutnya, itu bukanlah pekerjaannya.
"Dan satu lagi, saya ingin kalian semua pakai parfum. Saya ingin kalian itu wangi. Tidak ada alasan apapun. Contoh seperti Davin," jelas Stevi selanjutnya.
Semua orang mengarah pada Davin yang sedang serius mencatat hasil rapat kali ini. Sadar dengan tatapan aneh itu, ia menoleh ke arah para karyawan lain dengan tatapan bingung.
Davin hanya berdehem canggung seraya membenarkan posisi dasinya yang sebenarnya sudah rapi.
Setelah Stevi mengakhiri rapatnya, ia bangkit dan segera pergi lalu disusul Davin.
Para karyawan lain yang masih berada di ruang rapat, kini kasak-kusuk dan saling berargumen.
Sepertinya, bos baru ini akan membuat perubahan yang luar biasa.
Dalam artian, menyiksa karyawan.
Masak cantik begini dibilang menyiksa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top