Bab 8: Hidup Ini Membingungkan
Dean terlonjak heboh dan segera turun dari ranjang sambil menepuk-nepuk celananya yang basah. Aiden mengamati tingkahnya baik-baik. Saat melihat dirinya, Dean sampai menjatuhkan botol minum hingga tumpah. Ekspresi terkejut, pikir Aiden. Lalu Luna, dia banyak diam dengan tatapan kosong. Orang melamun atau bingung biasanya bertingkah seperti itu. Aiden bertanya-tanya, kenapa mereka melakukan itu saat melihat dirinya?
"Kamu tahu di mana kotak P3K?" Aiden bertanya sekali lagi pada Luna.
"K-kotak P3K ... aku bantu cari."
Luna beranjak dari tempatnya dan mencari sesuatu di lemari. Tak lama kemudian, dia kembali membawa kotak itu dan menyerahkannya pada Aiden. Setelah menerimanya, Aiden pergi ke salah satu ranjang sambil mencari kapas dari dalam kotak. Dia membersihkan lukanya sendiri.
"A-anu ... kamu kenapa?" tanya Luna yang terlihat berjalan ragu menghampiri Aiden.
"Aku dipukul orang."
"Apa? Kenapa?"
Aiden termangu sebentar. "Gak tahu."
"Kamu baru datang langsung kena pukul?" Kini Dean yang bicara. "Kamu gak mungkin dipukul tanpa alasan, kan?"
Aiden berhenti menekan lukanya dengan kapas dan menghela napas. "Sepertinya dia cuma mau memastikan sesuatu."
"Memastikan sesuatu?" Dean memandang Aiden sambil mengernyit. Dia tidak mengerti maksud perkataannya, pikir Aiden.
"Sepertinya dia mendengar gosip tentang diriku yang beredar belakangan ini."
Dean menoleh pada Luna, sedangkan gadis itu tidak bereaksi apa pun selain ikut menoleh padanya.
"Aku gak nyangka bisa pindah ke sekolah yang sama dengan kalian," kata Aiden mengalihkan perhatian mereka berdua.
"Aku juga gak nyangka kamu masih ingat sama kami. Padahal kita berpisah saat kelas lima. Udah lama banget," ujar Luna.
"Sebenarnya muka kalian agak berbeda dengan waktu masih kecil. Syukurlah aku gak salah orang."
"Oh, begitu?" Luna tertawa, sementara Dean tergeming.
"Dean, kamu lagi sakit? Kenapa ada di sini?"
"Apa?" Dean tersentak. "Oh, iya. Aku kurang enak badan."
"Sebenarnya aku gak ngerti dengan reaksi kalian. Kenapa menatapku seperti itu?"
"Apa?"
Luna dan Dean berujar kompak, kemudian saling bertukar pandang.
"K-kami ... cuma ... agak terkejut," jawab Dean sambil tertawa samar.
Luna menghindari tatapan Aiden, sementara Dean mengemasi botol minum ke dalam tas dan menyandangnya. Setelah itu, dia membawa Luna keluar dan berdalih ada sesuatu yang harus mereka urus.
Aiden termangu. Memikirkan alasan paling masuk akal kenapa mereka bertingkah seperti itu. Tiba-tiba Aiden kepikiran dengan seorang anak laki-laki yang meninjunya. Aiden tidak sengaja menabraknya saat buru-buru pergi ke toilet. Sebagai sopan santun, Aiden sudah meminta maaf. Namun anak itu bilang, Aiden tidak menunjukkan ekspresi menyesal.
"Apa gosip itu benar?" tanya anak itu. "Katanya kamu monster yang gak punya perasaan."
"Aku bukan monster."
Anak itu tertawa dan menepuk-nepuk bahu Aiden. "Kamu serius? Katanya kamu biasa aja melihat papa kamu dibunuh di depan mata kamu sendiri. Kalau kamu orang normal, setidaknya kamu teriak memaki pembunuh itu atau berusaha menghentikan dia."
"Kamu gak tahu apa-apa. Kamu cuma bermodal 'katanya' dan langsung menyimpulkan. Apa itu yang biasa dilakukan orang normal seperti kamu?"
Aiden tidak merasa ada yang salah dengan perkataannya. Namun entah kenapa, anak itu jadi marah dan melayangkan tinju padanya. Aiden memang sering membuat kesalahan sehingga orang-orang menjauh. Sayangnya, dia tidak pernah tahu letak kesalahannya di mana. Dia hanya bisa memandang orang-orang yang berpaling dan menuduh dirinya sebagai monster, psikopat, dan sebutan lain yang tidak manusiawi.
Satu hal yang Aiden pelajari selama ini, perkataan yang terlalu jujur ternyata bisa melukai atau membuat seseorang marah. Mungkin Aiden bisa paham jika seseorang marah padanya setelah dia salah bicara. Namun Luna dan Dean, Aiden tidak mengerti kenapa mereka berdua tampak menghindar. Padahal, dia cuma mengobrol basa-basi dengan mereka. Sebagai teman lama yang baru bertemu lagi, bukankah seharusnya mereka senang melihat Aiden? Lalu tentang pengakuan Dean yang bilang terkejut, terkejut karena apa? Atau mungkin, mereka menghindar karena mereka juga tahu kalau Aiden adalah seorang monster.
Aiden menghela napas panjang. Makin rumit saja hidupnya. Apalagi setelah kepergian papanya, Aiden seperti kehilangan petunjuk arah. Dahulu, papanya mengajari hal-hal yang harus dilakukan dalam pertemanan. Seperti memberi selamat jika teman mencapai sesuatu, meminta maaf saat membuatnya marah, atau memeluknya dengan senyum lebar setelah lama tidak bertemu. Semua itu adalah cara agar Aiden terlihat seperti orang normal. Namun sekarang, meski Aiden masih mengingat hal-hal itu layaknya rumus, tetap saja kehidupan bukanlah soal matematika yang bisa diselesaikan dengan rumus-rumus. Buktinya, walaupun dia sudah meminta maaf atas suatu kesalahan, tidak serta-merta masalah selesai.
Suara pintu yang dibuka menyadarkan Aiden dari lamunannya. Seorang pria memasuki ruang kesehatan dengan tergesa-gesa. Dia segera menghampiri Aiden dan memeriksa wajahnya.
"Kamu gak apa-apa? Mau ke rumah sakit?" tanyanya.
"Om Alfi kenapa ada di sini?"
"Wali kelas kamu telepon Om. Katanya kamu berkelahi."
"Cuma masalah kecil."
Om Alfi menyemburkan napas kasar, kemudian duduk di samping Aiden. Ditepuknya punggung Aiden dan dia berkata, "Baru hari pertama, kenapa udah kena masalah?"
"Aku gak bisa berpura-pura normal di hadapan semua orang. Sekarang semua orang udah tahu."
Om Alfi tergeming dan hanya memandang Aiden.
"Enggak masalah. Bagaimanapun, aku akan mengatasinya," kata Aiden.
"Caranya? Kamu mau menerima semua pukulan itu begitu saja? Aiden, kamu tidak akan mau membalas mereka. Bagaimana caranya kamu membela diri?"
"Om pikir aku akan terus hidup untuk dipukuli?"
"A-apa?"
"Seseorang memukulku karena suatu alasan. Caraku membela diri adalah menemukan alasan itu dan mengatasinya biar gak terulang lagi."
"Lalu kenapa hari ini kamu dipukul? Sudah ketemu alasannya?"
Aiden menunjuk bibirnya sendiri. "Sepertinya aku punya masalah dengan perkataanku."
Om Alfi mendesah. "Itulah alasannya kenapa orang-orang bilang diam adalah emas."
"Tapi itu gak berlaku buat aku. Ngomong dibilang monster, diam disangka psikopat."
"Aiden ...."
"Aku baik-baik aja."
Om Alfi manggut-manggut dan menepuk punggung Aiden lagi.
"Om bilang, perasaanku akan kembali kalau ada pemicunya," kata Aiden. "Kalau aku sering berantem, mungkin emosiku bisa terpancing."
"Aiden! Anak ini—"
Tangan Om Alfi terangkat mau menjitak Aiden, tetapi kedatangan seseorang mengagalkan rencananya. Seorang perempuan tergopoh-gopoh menghampiri Aiden dan omnya. Dia kemudian membungkuk sembilan puluh derajat sambil meminta maaf.
"Maafkan saya karena terlambat. Motor saya tiba-tiba mogok dan harus saya dorong sampai ke bengkel. Saya mengabaikan seorang siswa yang terluka. Saya pantas mendapat hukuman."
Aiden menoleh pada Om Alfi yang juga menoleh padanya.
"Anda sedang apa?" tanya Om Alfi.
Perempuan itu kemudian menegakkan tubuhnya dan memandang Om Alfi juga Aiden bergantian.
"Ini Aiden, kan? Murid spesial itu? Saya barusan dari ruang kepala sekolah. Katanya Aiden dipukul seseorang sampai terluka. Tapi karena saya terlambat datang, sepertinya Aiden harus mengobati lukanya sendiri," tutur perempuan itu.
"Saya bukan murid spesial," jawab Aiden.
Perempuan itu mengernyit. "Lo? Beberapa hari lalu, dalam rapat karyawan, Pak Kepala Sekolah bilang ada siswa pindahan bernama Aiden Xavier Bagaskara. Dan karena kondisi khususnya, kami diberi amanat agar menjaga kamu. Beliau bilang, di sekolah sebelumnya kamu sering menjadi sasaran perundungan."
"Saya emang sering di-bully gara-gara kondisi saya. Tapi kenapa Bapak Ibu Guru di sini harus repot-repot menjaga saya? Ada banyak siswa yang juga harus diperhatikan di sini."
"Eng ...." Perempuan itu menggaruk tengkuknya, " ... katanya itu amanat dari wali kamu."
"Wali?" Tatapan Aiden kemudian tertumbuk pada Om Alfi.
Om Alfi bergerak gelisah dan bicara gelagapan. "Eng ... begini, Aiden. Walaupun kamu bilang kamu bisa mengatasinya sendiri, tetap saja hal-hal tidak terduga harus dihindari. Jadi ... untuk jaga-jaga ...."
Om Alfi tidak melanjutkan kata-katanya, padahal Aiden terus memandangnya dan menunggu dia bicara sampai selesai.
"K-kamu paham maksud Om, kan?" katanya kemudian.
Aiden menggeleng. Om Alfi mendesah lemah sambil mengusap wajahnya. Dia kemudian menatap Aiden baik-baik dan bicara lagi.
"Seperti yang Om bilang sebelumnya, kamu gak akan bisa membalas mereka yang menyakiti kamu walaupun untuk membela diri," kata Om Alfi. "Karena seberapa pun orang menyakiti kamu, emosi kamu tidak akan terpancing. Kamu terlalu tenang untuk ukuran orang normal. Sedangkan luka di tubuh kamu bisa bikin kamu masuk IGD."
Aiden termangu sebentar, kemudian mengangguk setelahnya. Dia masih ingat saat suatu hari dirinya terlibat perkelahian dengan seseorang. Lebih tepatnya, dia diserang secara sepihak. Semua berawal ketika guru melakukan razia, dan Aiden tahu seorang siswa menyembunyikan rokok di kaus kakinya. Insiden hari itulah yang membuat Aiden mendapat pelajaran bahwa tidak semua kejujuran boleh dia katakan. Akibatnya, Aiden diserang. Dipukuli sampai babak belur dan dilarikan ke rumah sakit. Namun karena kondisinya, Aiden tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Jangankan membalas, marah pun tidak. Alih-alih marah, Aiden kebingungan. Aiden selalu memegang teguh pepatah papanya. Jangan sakiti orang lain, karena dia bisa terluka. Jika melukai orang lain, Aiden akan dalam masalah. Di saat dirinya diajari agar tidak membuat masalah, kenapa orang lain malah sebaliknya? Satu hal lagi yang membuktikan bahwa rumus kehidupan tidak selalu bekerja di semua situasi.
"A-anu ... kalau boleh tahu ... separah apa kondisi Aiden?" Suara perempuan di hadapannya membuyarkan lamunan Aiden lagi.
"Dia ini bukan orang sakit!" Nada bicara Om Alfi tiba-tiba meninggi. "Jangan perlakukan dia seperti orang sakit! Dia cuma punya kondisi khusus."
"M-maaf, saya gak bermaksud menyinggung. Sebagai perawat, tentu saya harus tahu bagaimana kondisi yang sebenarnya, bukan?"
"Dia tidak membutuhkan perawatan ekslusif dari Anda. Saya minta tolong karena khawatir fisiknya terluka dan dia tidak bisa mengatasinya sendiri. Selain itu, semuanya adalah tanggung jawab saya."
"B-baik. Maafkan saya sudah lancang."
Om Alfi menghela napas dan beranjak dari duduknya, kemudian mengajak Aiden keluar. Aiden menganggukkan kepala pamitan kepada perawat. Ketika tiba di lorong, bel masuk sudah berbunyi lagi. Namun ketika Aiden hendak pergi ke kelasnya, Om Alfi menahan.
"Kamu akan baik-baik saja?" tanyanya.
Aiden mengangguk tanpa ragu. "Iya."
"Setelah kejadian ini, mungkin akan lebih banyak orang yang penasaran sama kamu. Om khawatir, kamu jadi sasaran percobaan seperti sebelum-sebelumnya. Semua orang ingin memukulmu cuma untuk melihat reaksimu."
"Aku bilang saja yang sebenarnya biar mereka gak penasaran. Aku memang gak bisa berekspresi apa pun."
Om Alfi merapatkan bibirnya dan menunduk sebentar, kemudian memandang Aiden lagi. "Tapi itu bisa membuat mereka semena-mena sama kamu."
"Mungkin ... aku kehilangan kemampuan untuk mengenali perasaanku sendiri supaya aku gak menyadari kalau aku sedang sakit hati."
Om Alfi tersenyum, tetapi matanya tergenang dalam sekejap. Dia menepuk bahu Aiden dan berujar, "Aiden, kamu tahu? Dulu kamu hanyalah anak kecil yang akan menangis ketika melihat kucing kelaparan. Kamu adalah anak dengan perasaan berlimpah. Percayalah, kamu akan kembali seperti dulu."
Aiden terdiam sejenak. "Anak dengan perasaan berlimpah. Aku jadi ingat seseorang."
Om Alfi mengangkat alis. "Seseorang? Siapa?"
"Xavier."
Om Alfi memandang Aiden dan bertanya, "Bukannya itu kamu?"
"Dia memang aku."
"Kamu punya panggilan kecil?"
"Kadang-kadang Papa memanggilku Xavier."
Om Alfi manggut-manggut sambil tersenyum. "Begitu rupanya."
___________________________
Udah sampai sini, bingung gak sama ceritanya? 🙂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top