Bab 7: Dunia Paralel
"Bagaimana caranya mereka masuk ke sana?"
Luna yang sedang berjalan menuju dapur tiba-tiba menoleh ketika mendengar Xavier bicara sendiri. Ternyata dia sedang menonton TV sambil memeluk Sky di atas sofa.
"Kamu baru lihat TV?" tanya Luna.
Xavier menoleh dan terdiam sebentar sebelum akhirnya mengangguk. "Di tempatku tidak ada benda seperti ini."
"Kalau ini?" Luna menunjukkan handphone-nya.
"Itu juga tidak ada."
"Lalu gimana caranya kamu berkomunikasi dengan orang yang jauh?"
"Pasukan kerajaan ada yang bertugas mengantar surat."
Luna mendesah. "Beruntung sekali putra mahkota seperti kamu punya tukang antar surat. Gimana dengan rakyat biasanya?"
"Mereka menggunakan burung merpati."
Luna mengernyit. Xavier seperti datang dari negeri dongeng saja, pikirnya. "Jangan-jangan kamu juga menunggangi kuda putih?"
"Dari mana kau tahu?"
Luna ternganga. "Beneran punya kuda putih?"
Xavier mengangguk dengan wajah polos. Luna menyemburkan napas kasar dan pergi ke meja makan setelah mengajak Xavier ikut sarapan. Dia baru saja membeli bubur ayam di seberang bakery.
"Kak Dean mana? Belum bangun?" tanya Luna ketika Xavier sudah duduk di salah satu kursi.
"Aku panggilkan dulu."
Xavier bangun lagi dan bergegas pergi mencari Dean. Beberapa saat kemudian, dia kembali bersama Dean yang sudah berseragam lengkap.
"Kak Dean udah mau masuk sekolah?" tanya Luna.
"Aku udah gak apa-apa, kok."
Dean duduk kursi dan memakan bubur ayamnya dengan lahap. Xavier yang duduk di sebelahnya juga melakukan hal yang sama. Luna jadi penasaran dengan kehidupan Xavier di dunia lain.
"Cloudpolis itu ... tempat seperti apa?" tanya Luna.
Xavier menelan makanannya sebelum menjawab. "Negeri yang tidak terlalu damai karena banyak penyihir usil."
"Kalau sampai menyerang kerajaan segala bukan usil lagi namanya," sanggah Dean.
"Tapi kenapa mereka menyerang kerajaan?" Luna bertanya lagi.
"Tentu saja untuk melengserkan ayahku dan menguasai seluruh Cloudpolis."
Luna termangu. Nama Cloudpolis memang terdengar tidak asing di telinganya. Namun sekarang, kisah hidup Xavier pun terasa tidak asing baginya. Apa karena dia merasa kehidupan Xavier seperti tokoh dongeng sehingga terdengar pasaran? Luna mengernyit dan memandang Xavier baik-baik. Lalu, Xavier tersedak karena menyangka Luna tidak suka dia ikut makan.
"Maaf jadi merepotkan kalian," kata Xavier.
"Makan aja buburnya." Dean yang menjawab sebelum Luna sempat bicara. "Biar punya tenaga buat cari portal lagi."
Xavier tertegun dan wajahnya berubah murung. Sementara itu, Dean buru-buru menghabiskan buburnya kemudian minum obat.
Setelah selesai sarapan, Luna dan Dean berangkat sekolah. Xavier diajak oleh ayahnya untuk bantu-bantu di bakery. Dia tampak antusias, tetapi Luna mendadak khawatir mengingat Xavier mungkin saja tidak familier dengan barang-barang yang ada di sini.
"Kamu jangan bikin kekacauan. Jangan sampai Ayah curiga." Luna berpesan dengan suara pelan, tetapi penuh penekanan.
Xavier mengangguk paham. Luna bisa bernapas lega dan berangkat sekolah bersama kakaknya menggunakan taksi online.
Tidak ada yang istimewa dari kehidupan sekolah Luna. Dia berada di kelas anak-anak dengan kemampuan standar. Namun jika ada olimpiade menggibah, sepertinya mereka akan memboyong piala juara. Setiap harinya ada saja bahan gosip di kelas itu. Akan tetapi, sudah beberapa hari ini gosipnya belum berganti topik. Masih seputar seorang penulis buku anak yang meninggal dengan cara tragis. Kabar kematiannya sempat seliweran pula di berbagai acara berita sampai masuk akun gosip media sosial segala. Yang paling menjadi pusat perhatian adalah anak dari penulis itu yang konon tidak bereaksi apa pun meski sang ayah meninggal tepat di hadapannya.
"Lun, kamu masih belum menemukan fakta apa pun?" tanya Felly.
Luna yang baru saja datang dan menyimpan tasnya di atas meja menjawab dengan pertanyaan pula, "Fakta apaan, sih?"
"Kamu, kan, penggemarnya Pak Anton Bagaskara. Kamu gak punya pembelaan buat anaknya? Dia gak mungkin beneran psikopat, kan?"
Luna menjatuhkan diri di kursi sembari menyemburkan napas. "Kalau kamu gak percaya dia psikopat, harusnya kamu gak perlu dengar pembelaan apa pun."
Felly berdecak sambil memandang handphone. "Padahal ganteng begini. Lihat, deh. Walaupun wajahnya diblur, tetep aja ganteng." Felly menyodorkan handphone-nya pada Luna.
Suara gedebuk dari meja belakang mengalihkan perhatian Luna dan Felly. Dean menjatuhkan tasnya di meja dan dia tiduran di atasnya.
"Dean, katanya kemarin kamu sakit? Udah mendingan?" tanya Felly.
"Hmm." Dean mengangguk tanpa menoleh atau mengangkat kepalanya dari atas tas.
"Kalau masih gak enak badan, tidur di ruang kesehatan aja," kata Luna. "Lagian ngapain sekolah, sih?"
Dean kemudian mengangkat kepala dengan wajah mengantuk.
"Aku cuma ngantuk. Kayaknya gara-gara minum obat, deh. Aku tidur ajalah," kata Dean yang kemudian keluar dari kelas. Sepertinya pergi ke ruang kesehatan seperti yang diperintahkan Luna.
Felly mengekor kepergian Dean dengan matanya, lalu menoleh pada Luna dan berkata, "Dean lagi sakit aja ganteng, ya? Kalau lihat dia berasa kayak lihat Doyoung NCT."
"Doyoung NCT? Ikan duyung, kali."
Felly menggebuk lengan Luna. "Durhaka! Kakak sendiri dikatain ikan duyung."
Luna tergelak melihat wajah kesal Felly.
Felly berdeham dan menyelipkan rambut ikalnya ke belakang telinga. "Kalau kita jadi iparan kayaknya seru, ya?"
Luna memutar bola mata kesal, dan Felly tergelak.
"Tapi ngomong-ngomong," kata Felly, "kamu gak pernah goyah sedikit pun?"
"Goyah apanya?"
"Kamu tinggal bareng cowok seganteng itu—"
"Dia kakakku, Felly!" bentak Luna.
"Ya, tetep aja ...."
"Jangan ungkit-ungkit status dia di hadapanku. Udah berapa kali aku bilang?"
"M-maaf. Aku gak bermaksud ...."
Felly tidak bersuara lagi sampai bel berbunyi. Anak-anak berebut kembali ke tempat duduknya setelah mereka berkeliaran di seluruh penjuru kelas. Seorang wanita memasuki ruangan dengan bunyi "klotak" dari sepatunya. Di belakang wanita itu, ada seseorang yang ikut masuk. Wajahnya sukses membuat kedua bola mata Luna nyaris keluar.
"Xavier?" gumam Luna.
"Anak-anak, hari ini kita kedatangan teman baru," kata Bu Melani yang kemudian mempersilakan anak itu memperkenalkan diri.
"Hai. Namaku Aiden Xavier Bagaskara. Senang bertemu dengan kalian."
Meski dia menyebut kata "senang", sedikit pun tidak tampak semburat kebahagiaan di wajahnya. Wajahnya sedatar tembok kelas dan nada bicaranya sedingin air kulkas. Suasana kelas mulai terdengar bisik-bisik. Lalu, seorang anak laki-laki dari samping kanan Luna melontarkan pertanyaan begitu saja.
"Apa kamu anaknya Pak Anton Bagaskara?"
Tanpa ragu anak itu menjawab, "Iya."
Riuh terdengar makin keras sampai Bu Melani harus memukul meja untuk menenangkan keributan.
"Apa Dean belum masuk sekolah?" tanya Bu Melani.
Luna tersentak saat tatapan wanita itu tertuju padanya. "Kak Dean sudah masuk, tapi belum sehat betul. Dia sedang istirahat di ruang kesehatan."
Bu Melani mengangguk kemudian bicara pada Aiden, "Kamu duduk di kursi Dean dulu sebelum ada kursi baru. Petugas akan membawakannya nanti."
Aiden mengangguk kemudian berjalan ke kursi Dean. Tiba di dekat Luna, cowok itu sempat berhenti dan memandangnya. Luna buru-buru mengambil tas kakaknya dari atas meja dan dia simpan di atas pangkuan. Felly yang duduk di sisi kiri Luna mencolek lengannya. Dia menunjuk Aiden dengan dagunya. Mulutnya sedikit menganga dan matanya membulat. Sepertinya dia sama-sama terkejut. Meski alasannya terkejut pasti berbeda dengan Luna.
Sepanjang pelajaran, semua orang dari arah depan Luna terus menoleh pada Aiden. Anak-anak di barisan sejajar dengan Aiden mungkin tidak perlu repot-repot membalik badan dan kena damprat Bu Melani. Namun seolah tidak ada kapoknya, mereka terus melakukan itu. Sampai Bu Melani capek sendiri dan akhirnya dia bicara sendiri saja di depan. Sepertinya bodo amat mau didengarkan atau tidak.
Pelajaran berganti dan sudah sampai pada waktu istirahat. Dean mengirim pesan agar tasnya dibawakan ke ruang kesehatan. Namun belum sempat bangun dari tempat duduknya, Luna sudah dikejutkan dengan Aiden yang tiba-tiba berdiri di sampingnya. Dia menatap Luna dengan ekspresi datar.
"Calluna Adsila," katanya.
"Heh?" Luna mengangkat alis, bingung apakah itu pertanyaan atau pernyataan. "O-oh. Iya."
"Lama gak ketemu."
Luna terdiam. Dia merasa semua mata kini tertuju padanya. Padahal sudah istirahat, tetapi suasana kelas mendadak hening, mengalahkan saat jam pelajaran.
"Kamu masih ingat aku? Dulu waktu kecil kita sering ketemu di toko buku," kata Aiden.
Luna berpikir sejenak. "O-oh ... kamu Aiden yang itu? Aku gak ngenalin kamu. Kamu banyak berubah."
"Maksud kamu ini?" Aiden menunjuk kacamatanya. "Sekarang penglihatanku gak terlalu baik."
"Begitu, ya?"
Luna tersenyum canggung karena menjadi pusat perhatian. Dia akhirnya buru-buru menyambar tas Dean dan pamitan pergi. Langkahnya lebar-lebar menuju ruang kesehatan. Dia menemukan Dean sedang berbaring di salah satu ranjang yang tirainya dibiarkan terbuka. Setelah Luna menghampirinya, Dean kemudian bangun dan mengambil botol minum dari dalam tasnya.
"Kamu kenapa bengong?" tanya Dean setelah meneguk minumannya.
Luna menatap wajah Dean serius setelah menyelipkan rambut panjangnya di kedua telinga. "Kak, dunia paralel itu kayak gimana, sih?"
"Kenapa tiba-tiba tanya?"
"Apa mungkin di semesta yang lain, ada diri kita dengan versi berbeda? Maksud aku, di sini aku anak tukang roti, tapi di semesta yang lain aku anak seorang mafia. Apa bisa seperti itu?"
"Kata teori infinite universe, sih, bisa aja kayak gitu. Aku pernah baca di mana, ya?"
Luna membuang napas lemah. "Jadi beneran Xavier itu dari dunia paralel?"
"Gak usah mikirin anak itu, deh. Gak lihat ini kakakmu sampai sakit begini gara-gara dia?"
"Dia bilang Kak Dean ada di dunianya sebagai pengawal. Kak Dean tahu? Xavier ada di dunia ini sebagai anak baru di kelas kita!"
Dean yang mendengarkan Luna sambil minum tiba-tiba menyemburkan air dari mulutnya. Untung saja Luna tidak kena semburan karena dia duduk di ranjang lain yang bersebelahan dengannya.
"Kamu bilang apa?" Dean menatap Luna sambil memelotot.
"Kakak ingat anak yang sering kita temui di toko buku waktu kecil? Anaknya penulis favorit aku itu."
"Aiden?" Dean termangu sebentar. "Jadi muka Xavier gak asing karena dia mirip Aiden?"
"Bukan cuma mirip. Sama persis! Seperti kembar identik. Bedanya sekarang Aiden pakai kacamata."
"Kamu seriu—"
Suara pintu yang tiba-tiba terbuka memotong perkataan Dean dan mereka berdua kompak menoleh. Ternyata Aiden yang masuk ke sana. Luna terbelalak karena penampilan Aiden jadi berantakan. Bibirnya bengkak dan sudutnya mengalirkan darah. Dia celingukan seperti mencari sesuatu. Kemudian, pandangannya bertemu dengan Luna. Dia kemudian berjalan menghampiri Luna.
"Kamu tahu di mana kotak P3K?" tanyanya dengan ekspresi datar.
Tatapan Aiden kemudian beralih pada Dean yang menjatuhkan botol minumnya ke ranjang. "Dean, ya? Hai. Ketemu lagi."
Luna menoleh pada Dean dan kakaknya menelan ludah memandang Aiden. Kemudian, Dean terlonjak karena air dari botol minumnya sudah tumpah ke kasur dan celana dia sendiri jadi basah karenanya.
__________________________
Hayoloh kok Xavier jadi ada dua 🙂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top