Bab 6: Dari Mana Aku Berasal?

Jeritan Luna terdengar membahana sampai Xavier khawatir kaca-kaca rumah akan pecah. Dean yang semula berbaring pun melompat turun melewati sandaran belakang sofanya, sambil memeluk Sky erat-erat sampai kucing itu mengeong dengan keras. Dean berlari menghampiri Luna dan bersembunyi di balik punggung gadis itu. Wajahnya makin pucat saja. Kakak beradik itu memandang Xavier sambil pelan-pelan melangkah mundur, padahal Xavier hanya diam di tempatnya.

"S-siapa kamu? K-kenapa bisa ...." Luna tidak melanjutkan kata-katanya dan hanya terbelalak sambil menganga.

"Lun, dia hidup lagi." Dean berpegangan pada lengan Luna dan terus bersembunyi di belakang gadis itu.

"Teman-teman, aku bisa jelaskan," kata Xavier yang kemudian diinterupsi oleh seseorang yang datang.

"Ada apa, Luna? Kenapa teriak-teriak?" Sang ayah datang dengan wajah panik, tetapi kedua anaknya tidak bisa melakukan apa-apa selain memandang Xavier.

Akhirnya, pertanyaan pun beralih pada Xavier. "Kamu temannya Dean, kan? Apa yang terjadi?"

Xavier buru-buru menggeleng. "Tidak ada apa-apa. Kami hanya bermain."

Pria paruh baya itu menghela napas sambil geleng-geleng, kemudian mengomel sembari berjalan pergi. "Kalau main jangan bikin keributan! Nanti pelanggan pada kabur dikira ada apa."

Hening beberapa saat setelah kepergian pria itu. Tatapan Luna dan Dean masih terpaku pada Xavier. Xavier bingung apa yang harus dia lakukan. Dia pun bangun dari posisinya dan menghampiri mereka untuk menjelaskan. Namun, kedua orang itu malah makin mundur.

"Jangan mendekat!" Luna mengacungkan telunjuknya pada Xavier. "Siapa kamu sebenarnya?"

"Aku Xavier."

"Makhluk apa kamu? Kenapa kamu keluar dari tubuh kucing ini?" Luna menoleh pada kucing di pelukan Dean. "Kak, buang kucingnya!"

Dean buru-buru menjatuhkan Sky ke lantai sampai kucing itu berbunyi "hek". Sky pun berlari pada Xavier dan tampak ketakutan. Xavier menggendongnya dan mengelus kucing itu agar kembali tenang.

"Maaf sudah membuat kalian terkejut," kata Xavier. "Aku akan jelaskan semuanya. Tapi tolong rahasiakan ini dari semua orang."

Luna dan Dean bertukar pandang, kemudian beralih lagi memandang Xavier.

"Namaku Xavier, dan ini adalah kucingku, Sky." Xavier mulai menjelaskan.

"Kerajaanku diserang oleh klan penyihir. Aku melarikan diri bersama Sky juga pengawalku ... Dean."

Dean tampak terkejut karena mendengar namanya disebut.

"Dean meninggalkanku di gua bersama Sky untuk mencari Ibu. Tapi karena sihir sudah menjalar ke seluruh tubuhku dan aku tidak sempat meminum penawar, tubuhku lebur dan akhirnya masuk ke tubuh Sky. Lalu kenapa kami bisa berakhir di sini ... aku juga tidak tahu. Saat aku sudah masuk ke tubuh Sky, aku keluar dari gua dan menyusul Dean. Tapi serangan sihir melemparku sampai ke tempat ini. Begitulah ceritanya."

"Kamu gak lagi ngarang bebas, kan? Cerita kamu kedengaran kayak fiksi tahu, enggak?" kata Luna sewot.

"Mungkin memang terdengar aneh. Aku sendiri juga bingung kenapa ini terjadi pada diriku. Tapi inilah kenyataannya."

Luna dan Dean bertukar pandang lagi.

"Kamu bukan manusia?" tanya Dean kemudian.

"Tentu saja aku manusia biasa seperti kalian."

"Terus kenapa kamu bisa keluar masuk tubuh kucing? Ini gak masuk akal." Luna menyela.

Xavier menghela napas. "Aku juga tidak tahu."

"Tunggu dulu. Tadi kamu bilang, nama pengawal kamu adalah Dean?" tanya Dean.

Xavier mengangguk. "Iya."

"Apa wajahnya seperti ini?" Dean menunjuk wajahnya sendiri.

Xavier mengangguk lagi.

"Jadi waktu itu kamu ngira aku ini pengawal kamu?"

Sekali lagi Xavier mengangguk.

"Apa-apaan ini? Apa dia datang dari dunia paralel?" Dean bertanya pada Luna.

Gadis itu hanya menggeleng bingung. Kemudian, dia menatap Xavier serius.

"Jadi kamu udah ada di tubuh kucing itu sejak dikejar-kejar anjing?" tanya Luna.

"Iya."

Luna tiba-tiba membeliak dan bicara tergagap. "J-jadi ... selama ini ... aku bawa masuk cowok ... ke rumah ...."

"Aku, kan, tidak macam-macam. Aku bahkan menunggu di luar saat kau ganti baju."

"HEI!" Luna berteriak sambil memeluk dirinya sendiri. "Astaga. Aku benar-benar gak percaya ini."

"Terus apa yang kamu lakukan di sini sekarang?" sela Dean. "Kenapa gak pulang ke tempatmu?"

"Aku sudah pulang dari kemarin kalau tahu bagaimana caranya."

Dean menyemburkan napas. "Jadi kamu mau tetap tinggal di sini?"

Xavier menunduk bingung. Sebenarnya dia juga tidak mau merepotkan seperti ini. Namun jika dia pergi, yang ada dirinya malah menggelandang di jalanan. Syukur-syukur kalau dia menemukan jalan kembali ke Cloudpolis. Kalau tidak?

"Apa aku boleh tinggal di sini untuk sementara?" tanya Xavier pada akhirnya. "Aku akan mengerjakan pekerjaan rumah seperti yang kau bilang sebelumnya."

"Apa?" Dean terbelalak. "Gak, gak. Kalau mau tinggal di sini, tinggal aja. Aku tarik lagi ucapanku waktu itu."

Luna menatap kakaknya tak percaya. "Serius mau biarin dia tinggal di sini? Gimana kalau dia vampir pengisap darah?"

Luna berkata pelan-pelan, tetapi Xavier masih bisa mendengarnya.

"Aku bukan vampir," kata Xavier.

Luna menoleh dan berdeham. Kemudian, dia bersedekap sambil berujar, "Kalau bukan vampir pasti penyihir. Iya, kan?"

"Sudah kubilang aku manusia biasa. Aku tidak punya kekuatan apa pun selain kekuasaan sebagai putra mahkota kerajaan Cloudpolis."

Kakak beradik itu bertukar pandang, dan Dean bertanya pada Luna, "Cloudpolis teh di mana?"

"Asa pernah dengar, tapi di mana, ya?"

Dean menatap Xavier lekat-lekat. Dahinya tampak mengerut. "Tapi kalau dilihat-lihat mukanya juga agak gak asing. Iya gak, sih?"

"Mungkin karena muka dia pasaran," jawab Luna kemudian.

"Serius kalian tahu di mana Cloudpolis?" Xavier memotong pembicaraan dua orang itu sambil maju satu langkah saking antusiasnya, tetapi kakak beradik itu mundur, masih menghindarinya.

"Aku gak yakin, sih. Coba aku cek dulu," ujar Luna.

Luna kemudian mengeluarkan handphone dari saku roknya. Xavier terkesima sendiri karena ternyata benda itu bisa dipakai untuk mencari tempat tinggalnya juga. Dia menghampiri Luna untuk ikut melihat, tetapi gadis itu tidak mau dekat-dekat dengannya.

"Izinkan aku melihatnya. Kau ingin aku cepat-cepat pergi dari sini, kan?" kata Xavier.

Setelah terdiam sebentar, akhirnya Luna mengizinkan Xavier melihat handphone-nya. Diotak-atiknya benda itu, dan Xavier hanya garuk-garuk kepala karena tidak mengerti cara kerjanya.

"Cloudpolis gak ada di peta. Di mesin pencari juga gak ada," kata Luna.

"Itu artinya apa?" Xavier plonga-plongo.

"Itu artinya kampung halaman kamu gak ada di dunia ini."

Bahu Xavier merosot dan wajahnya berubah murung. "Kenapa aku terlempar begitu jauh sampai ke dunia lain?"

"Cloudpolis bukannya di Yunani?" tanya Dean kemudian.

"Itu Akropolis." Luna menjawab kesal.

Dean kemudian memandang Xavier dari atas sampai bawah. "Aku gak nyangka kamu beneran dari negeri antah-berantah."

"Lalu sekarang bagaimana? Masa aku tinggal di sini selamanya? Aku harus menyelamatkan keluargaku. Para penyihir itu pasti sudah menangkap mereka."

Luna dan Dean menatap Xavier dengan ekspresi kasihan, sedangkan Xavier memeluk Sky dengan wajah sedih.

"Gak usah terlalu khawatir," kata Luna berusaha menghibur. "Pasti ada jalan keluarnya, kok."

"Kau bilang tempat tinggalku tidak ada di dunia ini."

"Tapi kalau kamu bisa sampai ke tempat ini, berarti ada portal yang menghubungkan dunia kamu sama dunia ini, kan?"

Xavier terbelalak. "Kau benar. Mungkin saja portalnya ada di sekitar rumah itu. Aku, kan, jatuh di sana."

Xavier kemudian bergegas pergi. Luna dan Dean mengejarnya dari belakang.

"Kamu mau ke mana?" teriak Luna ketika mereka sudah keluar dari bakery.

"Aku harus mencari portal itu secepatnya." Xavier menjawab sambil terus fokus pada jalan yang dia lalui.

Setelah melewati jalan besar dan memasuki gang, Xavier menyisir setiap tempat dan mengingat-ingat di mana dirinya jatuh waktu itu. Yang diingatnya hanya bunga thunbergia alata di atas pot gantung. Sebelum tiba di sana, Xavier sudah berlari cukup jauh, berbelok dari gang satu ke gang lain. Sekarang Xavier menyusuri gang yang kemungkinan pernah dilewatinya selama melarikan diri dari kejaran anjing, tetapi dia malah pusing sendiri. Gangnya terlihat sama semua.

"Apa tadi sudah lewat sini?" tanya Xavier.

"Belum. Ini sedang menuju ke RT sebelah." Luna menjawab dari belakang.

Xavier berbalik dan dia termangu bingung melihat kakak beradik di hadapannya. "Tapi ngomong-ngomong, kalian sedang apa?"

"Bantu kamu cari portalnya, lah. Dikira kami lagi olahraga jalan santai?" Wajah Luna tampak kesal.

"Tapi Dean, kan, sedang sakit."

"Dari mana kamu tahu aku sakit?" Dean membulatkan matanya.

"Luna yang bilang padaku."

Luna tampak merenung saat Dean menoleh padanya. "Oh, aku bilang sama kucing oren itu."

"Maaf sudah membuatmu terkejut sampai sakit," kata Xavier.

"Sudahlah. Yang penting kamu masih hidup. Kalau kamu mati beneran, aku bisa hidup sebagai pembunuh padahal gak ngapa-ngapain."

Xavier terdiam sejenak. "Kalau begitu kau pulang saja dan istirahatlah."

"Aku harus menjaga adikku. Kalau dia ikut kesedot ke portal itu gimana?"

Luna menyikut Dean sambil memelototinya. "Ngomongnya ngeri, deh."

Xavier tersenyum tipis. Ternyata dua Dean yang dia kenal tidak hanya mirip wajahnya saja. Mereka juga sama-sama seorang pelindung yang baik. Tidak peduli bagaimanapun kondisinya, dia akan tetap melindungi orang yang dia sayangi.

Mereka akhirnya kembali berkeliling, tetapi portal itu tidak ada tanda-tandanya sama sekali. Ditambah lagi Xavier pun tidak tahu bagaimana bentuk portalnya. Bahkan, dia juga tak yakin apakah portalnya benar-benar ada atau tidak. Hal itu makin menyulitkan pencarian.

"Kayaknya aku gak kuat jalan lagi, deh," keluh Dean sambil memegang sebelah pinggangnya, sedangkan tangan satunya lagi bertumpu pada tembok.

"Kita istirahat dulu di sini, deh."

Luna mengajak Dean untuk duduk. Gadis itu tidak ragu mengelap keringat di dahi Dean dengan tangan kosongnya. Dia memeriksa suhu dahi Dean dan membandingkannya dengan dahi dia sendiri.

"Suhunya masih normal," katanya. "Kak Dean kuat jalan buat pulang gak?"

"Aduh gak tahu, deh. Lemes banget."

Setelah berpikir sejenak, Xavier menyerahkan Sky pada Luna. Lalu, dia berjongkok di hadapan Dean.

"Naiklah," kata Xavier.

"Apa-apaan, nih?" Dean malah terdengar kebingungan.

"Naiklah. Kalau kau memaksakan diri, nanti sakitmu makin parah."

"Kamu mau gendong aku? Jauh, loh. Sampai rumah kamu bisa bongkok."

"Kalau lelah, aku tinggal menurunkanmu dan istirahat sebentar, lalu kita jalan lagi."

"Gak, gak. Aku jalan sendiri aja."

Dean bangun dari duduknya dan berusaha berjalan sendiri, tetapi malah oleng dan nyaris terjatuh. Untung saja Xavier menyambar tangannya.

"Jangan keras kepala! Naik saja!" kata Xavier yang kemudian berjongkok lagi di hadapan Dean.

"Udahlah naik aja. Masa aku yang gendong Kakak," omel Luna.

Setelah terdiam dan menghela napas panjang, akhirnya Dean naik ke punggung Xavier, tetapi sambil mengomel.

"Awas aja kalau sampai nyusruk," katanya.

"Kalau kau tidak diam, kita akan jatuh."

Dean mendengkus dan Xavier hanya tertawa kecil, sementara Luna memuji kekuatannya. Belum tahu saja beberapa meter kemudian Xavier sudah ngos-ngosan dan mulai oleng. Akhirnya, dia menurunkan Dean untuk beristirahat sebelum kembali melanjutkan perjalanan.

__________________________

Catatan:
Asa = (sunda) kayak

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top