Bab 4: Menghilang
Dean terduduk menyandarkan punggungnya ke pantri sambil memeluk lutut. Tubuhnya bergetar hebat. Berkali-kali dia menatap darah di hadapannya hanya untuk memastikan apakah dia tidak salah lihat. Saat terdengar sesuatu yang jatuh, Dean bergegas memeriksa karena takut Xavier merusak barang-barang. Ternyata bukan cuma barangnya saja yang rusak, melainkan juga Xavier. Dia tidak hanya rusak, tetapi juga lebur tak bersisa. Cahaya kecil-kecil seperti kunang-kunang telah melenyapkannya, tepat di hadapan Dean.
Dengan tangan yang masih gemetar, Dean menelepon Luna. Dia bahkan bisa mendengar tremor dalam suaranya sendiri ketika menyuruh Luna buru-buru datang ke rumah bakery. Setelah itu, tangannya terkulai lemas tanpa sempat menutup sambungan. Perasaan bingung dan juga takut kini bercampur di dadanya.
Tak berselang lama, terdengar suara Luna yang berteriak memanggil namanya. Namun, leher Dean terlalu kaku bahkan hanya untuk menoleh. Pandangannya terus terpaku pada darah itu. Hingga terdengarlah langkah mendekat, dan suara Luna menyadarkan Dean.
"Kak ... ada apa?"
Dean mengangkat kepalanya yang masih terasa kaku. Dia kemudian bicara tergagap, "X-xavier ...."
"Xavier kenapa?" Luna menatapnya bingung.
Dean tidak menjawab. Dia hanya menoleh pada darah di lantai dan Luna menyimpulkan sendiri apa yang terjadi.
"D-darah ... apa yang terjadi?" Terdengar kengerian dalam suara Luna.
Luna kemudian ikut duduk dan mengguncang tubuh Dean. "Ada apa dengan Xavier? Dia kenapa? Kenapa ada darah di sini?"
"X-xavier ...."
Entah kenapa lidah Dean terasa begitu kelu. Dia tidak bisa berkata apa pun selain menyebut nama Xavier. Sampai Luna menuntut penjelasannya dan hampir menangis.
"Kak Dean gak bunuh orang, kan? Di mana Xavier?" Luna mengguncang tubuh Dean lagi.
Dean makin ketakutan. Dia memeluk lututnya lebih erat dan menenggelamkan kepalanya di sana.
"Xavier ... mati ...."
Dean terisak begitu saja di dalam lututnya. Luna berusaha mengangkat kepala Dean agar wajah mereka berhadapan. Lalu, Dean menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
"Aku gak bunuh dia," katanya sambil berurai air mata, "tapi dia mati."
Luna menangkup wajah Dean dan bicara meyakinkan, "Aku percaya sama Kak Dean. Tenang dulu dan ceritakan semuanya. Oke?"
Dean masih menangis dan Luna memeluknya. Tangannya menepuk-nepuk punggung Dean sampai tangisnya mereda. Setelah Dean sudah lebih tenang, Luna bergegas membersihkan kekacauan yang ada di dapur. Raut ketakutan juga tampak jelas di wajahnya. Gadis itu berulang kali menoleh ke pintu, seperti khawatir seseorang akan melihatnya.
Setelah itu, Luna kembali duduk di hadapan Dean dan menggenggam erat kedua tangannya. Tatapannya lekat-lekat memandang Dean.
"Aku percaya sama Kakak, dan Kakak juga percaya sama aku, kan? Ceritakan semuanya dengan jujur," kata Luna.
Dean menunduk dan memikirkan apa yang harus dia katakan. Dia bingung harus mulai dari mana.
"Dia ... mati begitu saja." Dean berujar dan kepalanya menunduk makin dalam.
"Lalu sekarang di mana jasadnya?"
Dean menggeleng. "Enggak tahu. Dia hilang."
"Kak, percaya sama aku. Aku ada di pihak Kakak. Katakan dengan jujur. Ya?"
"Aku gak bohong." Suara Dean mencicit dan air matanya keluar lagi. "Dia menghilang entah ke mana."
"Gimana ceritanya dia bisa menghilang? Kak Dean menyimpannya di suatu tempat?"
"Aku gak bunuh dia!"
Luna tersentak karena Dean berteriak padanya. Gadis itu kemudian membawa Dean ke dalam pelukannya lagi.
"Maaf. Aku gak bermaksud menuduh Kakak. Tapi tolong, ceritakan semua dengan jujur supaya kita bisa mengatasinya," ujar Luna seraya menepuk-nepuk punggung Dean.
"Aku gak tahu." Dean berujar sambil menangis. "Dia tiba-tiba muntah darah dan gak sadarkan diri. Habis itu tubuhnya hilang."
Tidak ada lagi kata-kata yang keluar dari mulut Luna. Gadis itu pasti sedang kebingungan. Jangankan Luna yang hanya mendengar kabar, Dean yang melihat semua dengan mata kepalanya sendiri pun masih tidak bisa mencerna dengan baik apa yang sebenarnya terjadi.
Hingga langit kota Bandung berganti warna menjadi hitam pun, Luna tidak mengungkit-ungkit masalah itu lagi. Dia tidak pulang bersama Ayah ke rumah yang satunya lagi. Sepertinya Luna juga tidak bilang apa-apa pada Ayah. Kalau sampai Ayah tahu, dia pasti tidak kalah panik. Luna sudah membawa Dean ke kamarnya. Namun di atas kasurnya, Dean hanya bisa memeluk lutut sambil bengong. Dia bahkan tidak menyentuh makanan yang ditinggalkan Luna. Hanya dibiarkan tergeletak di atas nakas sampai dingin.
Setelah beberapa lama, Luna datang ke kamarnya untuk memeriksa. Dia mendesah lemah menatap pada makanan di atas nakas. Kemudian, diambilnya piring berisi makanan itu dan dia menyendoknya.
"Kak Dean harus makan," kata Luna sembari menyodorkan sendok berisi makanannya pada Dean.
Dean masih bergeming. Dia tidak berselera sama sekali. Membayangkan mengunyahnya saja sudah membuat dia mual. Peristiwa yang baru saja terjadi sepertinya sudah mengguncang mental Dean. Dia terlalu kaget sampai tidak bisa melakukan apa-apa selain bengong.
"Makan dulu, ya. Sedikit aja gak apa-apa," kata Luna.
Gadis itu menyodorkan sendoknya lagi. Ragu-ragu Dean membuka mulut dan melahap makanannya. Namun belum sempat sampai kerongkongan, bayangan Xavier memuntahkan darah membuat Dean merasa mual. Anyir darah itu seolah menempel di hidung Dean. Alhasil bukan hanya makanan di dalam mulutnya saja yang keluar, melainkan juga isi perutnya. Lagi-lagi Luna harus membersihkan kekacauan itu. Namun, dia tidak menyerah memberi makan Dean. Gadis itu kembali membawa bubur.
"Ini gak perlu dikunyah. Langsung telan aja sebelum keluar," katanya.
Dean memaksakan diri untuk makan. Dia tidak tega pada Luna yang sudah berusaha keras merawatnya. Seperti perintah Luna, dia langsung menelan buburnya seperti obat. Dean menutup mulutnya rapat-rapat ketika rasa mual itu datang lagi. Luna buru-buru memberinya minum air hangat. Setelah air itu masuk ke perutnya, Dean merasa lebih baik. Dia bisa makan sampai beberapa suap.
"Udah malam. Kak Dean tidur, ya?" kata Luna.
Dean berbaring, tetapi matanya masih terbuka. Karena jika dia menutup mata, bayang-bayang Xavier tampak lebih jelas. Luna menyelimuti tubuhnya sampai ke leher. Dia terus berada di kursi samping ranjang Dean tanpa berniat pergi.
"Mau aku bacakan dongeng?" tanya Luna.
Dean menoleh dan Luna tersenyum. Gadis itu kemudian pergi ke meja belajar dan kembali setelah mencabut sebuah buku yang terselip di antara buku pelajaran. Dia mulai membaca, dan Dean memandangnya dalam diam. Sejak kecil, Luna suka membacakan dongeng untuknya. Dean tidak suka membaca, tetapi dia suka mendengarkan Luna membaca untuknya. Kali ini pun suaranya terdengar menenangkan. Seperti buaian seorang ibu hingga membuat Dean mampu memejamkan mata.
Suara Luna makin sayup dan akhirnya tidak terdengar lagi. Kini yang terdengar hanyalah suara piring jatuh ke lantai, juga suara Dean sendiri yang memanggil nama Xavier. Xavier tidak sadarkan diri setelah memuntahkan darah. Ketika Dean mengguncang tubuhnya, Xavier membuka mata tiba-tiba. Tatapannya seperti hantu yang pernah dilihat Dean di film horor. Kemudian, tangan Xavier terulur ke leher Dean dan mencekiknya.
"Kau yang membunuhku! Beraninya kau menyuruhku cuci piring! Gara-gara kau aku mati!" kata Xavier yang cekikannya makin kencang.
Dean megap-megap kehabisan napas. Saat merasa hampir sekarat, dia terbangun dari tidurnya. Dean mengambil napas pendek-pendek dan terbatuk. Luna yang tidur di kursi tepi ranjang pun sampai terbangun. Dia bergegas naik ke ranjang dan menepuk-nepuk punggung Dean.
"Ada apa? Kakak mimpi buruk?" tanyanya terdengar panik.
Dean tidak menjawab. Dia memberi isyarat agar Luna mengambilkan minum di nakas. Air dalam gelas itu diminumnya sampai tandas. Luna mengelap keringat di dahi Dean kemudian terkejut.
"Badan Kak Dean panas banget," katanya.
Dean kemudian memeriksa dahinya sendiri. Ternyata benar-benar panas. Luna buru-buru pergi dan kembali membawa kompresan. Dean dibaringkan dan dahinya dikompres sambil sesekali disuruh minum. Biar tidak dehidrasi, katanya.
"Lun, kayaknya dia mati gara-gara aku, deh," kata Dean tiba-tiba.
Luna yang sedang memeras handuk menoleh dengan wajah terkejut. "Apa maksudnya?"
"Dia bilang, dia mati gara-gara aku nyuruh dia cuci piring."
"Demam Kak Dean kayaknya parah, deh, sampai meracau kayak gini. Mau ke klinik aja?"
Dean menggeleng. "Udah terlalu malam."
"Terus gimana? Di sini gak ada obat. Ada di rumah itu obatnya."
Dean menghela napas dan memejamkan mata karena merasa lemas.
"Tapi kenapa dia mati dengan cara seperti itu?" Dean berujar lemah.
"Kak Dean istirahat aja. Jangan mikir aneh-aneh. Nanti mimpi buruknya makin parah."
"Tubuh dia lebur dimakan cahaya. Habis itu hilang gak bersisa."
Terdengar Luna menyemburkan napas kasar. Dean masih memejamkan matanya. Berulang kali handuk menempel di dahinya, tetapi suhu tubuh Dean masih belum turun. Dean kemudian bangun dan mengambil alih handuknya.
"Biar aku aja. Kamu tidur, gih!" kata Dean.
"Aku mana bisa tidur kalau Kak Dean kayak gini?"
"Nanti kamu ikutan sakit. Jangan ngerepotin."
Luna manyun, Dean tidak peduli. Dia tetap mengompres dahinya sendiri. Gadis itu kemudian tidur lagi dengan kepala bertumpu di tepi ranjang, sedangkan tubuhnya tetap di atas kursi.
"Tidur di kamar kamu. Nanti leher kamu sakit." Dean berujar sambil memegang handuknya di dahi.
"Aku gak apa-apa."
Dean hanya bisa menghela napas menghadapi keras kepalanya Luna. Malam sudah sangat larut. Luna sepertinya memang mengantuk berat sampai dia bisa tidur dengan posisi seperti itu. Dean tidak tega melihatnya. Akhirnya dia turun dari ranjang dan memindahkan Luna ke tempat tidur. Untunglah tubuh Luna lumayan ringan dan Dean hanya perlu mengangkatnya dari jarak yang sangat dekat. Kini gantian Dean yang duduk di kursi dan menyelimuti Luna sampai leher. Wajah lelap gadis itu tampak begitu damai. Kasihan sekali kalau dia harus terjaga semalaman gara-gara Dean.
Dean memeriksa dahinya lagi. Masih panas, tetapi tidak separah tadi. Bisa-bisanya dia sampai demam segala. Bayang-bayang Xavier masih melekat di kepalanya. Dia tiba-tiba kepikiran, kalau Xavier mati dengan cara seperti itu, berarti dia bukan manusia biasa. Kalau dipikir lagi, sejak awal pun Xavier sudah aneh. Dia muncul di rumah secara tiba-tiba. Pakaiannya juga tampak aneh. Dia berpakaian seperti seorang pangeran, tetapi bukan pangeran yang ada film kolosal Indonesia. Dia lebih terlihat seperti pangeran yang ada di komik yang biasa dibaca Luna.
"Dia beneran kayak tokoh komik. Apa dia keluar dari komik koleksinya Luna, ya?" gumam Dean bicara pada dirinya sendiri, lalu menggeleng sedetik kemudian. "Demamku kayaknya parah, deh."
________________________
Hai, ini author. Gimana ceritanya sampai sini? Jangan bosen dulu ya. Ayo baca terus sampai tamat! Iya, ceritanya udah tamat. Gak perlu khawatir digantung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top