Bab 38: Akhir Bahagia (Bagian 2)
Adegan kini berlanjut lagi. Lebih kacau dari sebelumnya. Pertumpahan darah terjadi di dalam istana karena pasukan kerajaan—yang semuanya sudah diganti oleh klan penyihir—mengepung dan menyerang Xavier. Xavier kewalahan karena selain dirinya, dia juga harus melindungi Sky yang ada di punggungnya. Sembari menghalau serangan, Xavier melepas tas dan menendangnya di atas lantai hingga tas itu meluncur seperti mobil ke tempat yang lebih aman. Ada yang membuat Xavier keheranan selama perkelahian. Penyihir yang sudah mengkhianatinya kini bergabung untuk melawan pasukan kerajaan. Dia berhasil meloloskan diri saat diseret ke penjara bawah tanah. Dan, pengakuan mengejutkan keluar dari mulut penyihir itu ketika Xavier bertanya alasannya. Sebenarnya, yang membocorkan informasi kerajaan ke klan penyihir bukanlah dirinya, melainkan orang dalam kerajaan yang lain. Dia hanya dijebak karena latar belakangnya dari klan penyihir, sehingga mudah dikambinghitamkan.
"Kenapa Reynand
di mana-mana sama saja?
Nasibnya difitnah orang."
Mulut Xavier mengomel,
tangannya menodongkan pedang.
Luna dan Dean tergelak, sedangkan Aiden hanya menghela napas ketika tiba di bagian dialog itu. Dia kemudian lanjut membaca. Xavier dan penyihirnya berhasil melumpuhkan musuh satu per satu. Meski sebagian dari mereka ada yang masih hidup, tetapi mereka tidak cukup kuat untuk bangun. Sekarang hanya tinggal raja yang posisinya terpojok. Meski begitu, dia masih dengan gagah berani menyerang Xavier. Dibantu si pengkhianat, Xavier juga berhasil melumpuhkan sang raja.
Setelah semua orang terkapar, si pengkhianat menyuruh Xavier buru-buru pergi menyelamatkan keluarganya. Sementara itu, dia sendiri akan mengurus para penyihir yang bergelimpangan. Katanya, dia sudah menyiapkan penjara berlapis sihir, khusus untuk memenjarakan mereka yang masih hidup. Xavier makin heran saja dengan orang ini. Karena katanya selama ini pun, dia mendesain pedang dengan kekuatan sihir sangat kuat untuk menghabisi mereka sendirian dan mengembalikan posisi Raja Antonius. Dia pikir, Xavier sudah gugur di medan perang dan tidak ditemukan mayatnya.
"Kenapa kau
melakukan ini?"
Xavier masih
tak habis pikir.
"Ini karena kemurahan hati
Tuan Muda Xavier
yang telah menolong saya
di masa lalu."
"Kapan?
Aku tidak ingat
pernah menolongmu."
"Tuan Muda Xavierlah
yang membuat saya
berada di tempat ini
ketika saya dikucilkan
dan tidak punya siapa-siapa."
"Tunggu dulu," sela Luna ketika Aiden masih membaca. "Bukannya penyihir itu datang sendiri ke istana dan minta dipekerjakan?"
"Aku rasa alurnya memang agak berubah. Seperti yang aku perkirakan, Xavier menciptakan alurnya sendiri sekarang," jawab Aiden.
"Memangnya tokoh fiksi bisa menciptakan alurnya sendiri?" Dean terheran-heran.
"Papa pernah bilang, kadang-kadang alur cerita itu bukan dia yang bikin. Karakter yang melekat pada tokoh bisa menentukan alur akan berjalan seperti apa. Mungkin saja alam bawah sadar Xavier gak mau Reynand jadi pengkhianat, karena di sini mereka sudah telanjur berteman."
"Tapi ngomong-ngomong, penyihirnya juga jadi mirip Reynand banget, iya gak sih?" Luna menimbrung. "Reynand juga dikucilkan sebelum akhirnya ketemu Aiden dan Xavier."
"Semoga akhirnya mereka bisa berteman juga di sana," kata Aiden lagi sebelum kembali melanjutkan cerita.
Xavier akhirnya pergi ke penjara bawah tanah dan menemukan keluarganya terkapar tak berdaya. Dari pengakuan Dean sang pengawal, beberapa hari ini mereka tidak diberi makan. Katanya, raja yang baru akan membiarkan mereka mati kelaparan. Meski amarahnya tersulut lagi, Xavier tidak bisa melampiaskan pada raja kurang ajar itu karena dia sudah mati. Yang dilakukannya sekarang adalah membawa kedua orang tua serta pengawalnya kembali ke istana. Tak lupa dia juga membebaskan beberapa pasukan ayahnya yang masih bertahan hidup dan berakhir di penjara. Di balik jeruji besi yang lain, Xavier melihat cahaya berkilauan. Dan beberapa saat kemudian, berjatuhanlah orang-orang yang dia hajar tadi. Ternyata itulah penjara khusus yang dimaksud si penyihir pengkhianat, dan dia memindahkan orang-orang itu dengan sihirnya.
Cerita kemudian melompat ke beberapa minggu kemudian. Istana sudah kembali kondusif. Raja Antonius sudah kembali memimpin kerajaan, tetapi dia juga segera mewariskan takhtanya kepada Xavier. Seperti di versi aslinya, Xavier menjadi raja di akhir cerita. Sebagai bentuk penghargaan dari sang ayah karena sudah berhasil merebut kerajaan Cloudpolis kembali. Namun meski sudah menyandang status sebagai raja, Xavier tetaplah Xavier. Dia hanya anak belasan tahun yang masih senang bermain. Kalau tidak ada yang harus diurus di kerajaan, Xavier akan bermain dengan Sky, atau memancing bersama Dean. Kadang-kadang dia juga pergi berburu mengajak penyihir pengkhianat yang secara resmi dia beri nama Reynand.
Kisah itu kemudian ditutup dengan adegan Dean sang pengawal menemukan gelang dan cincin yang dikenakan Xavier. Xavier mengaku barang-barang itu dia dapatkan dari sahabatnya di dimensi lain. Cerita kini sudah menemui paragraf terakhir.
"Dia cuma bawa gelang kembar ini, kan?" Dean bertanya pada Aiden. "Kenapa tiba-tiba ada cincin juga? Dapat dari mana?"
Aiden menggeleng. Dia juga tidak tahu.
"Tunggu dulu. Cincin kamu gak ada, Lun?" Dean menunjuk jari Luna. "Kamu kasih ke dia?"
Luna tersenyum meringis sambil menggaruk tengkuk, sedangkan kakaknya menghela napas sambil geleng-geleng.
"Apa kisah Xavier berakhir di sini? Apa dia akan tumbuh dewasa, masuk kuliah, nikah, punya anak, kayak kita-kita nanti?" ujar Dean dengan suara agak lirih.
"Mungkin," jawab Luna. "Siapa tahu dia punya kisah di balik layar yang gak ditampilkan di buku."
Mereka bertiga termenung dengan pikiran masing-masing. Handphone Aiden tiba-tiba berdenting hingga menyita perhatian ketiganya. Aiden mendapat pesan dari Mama yang mengirimkan alamat rumahnya.
"Kalian mau ikut aku ke rumah Mama?" tanya Aiden. Dean dan Luna saling bertukar pandang.
"Dia bilang masak makanan banyak banget. Sayang kalau gak ada yang bantuin makan," ujar Aiden lagi.
Dean tertawa kecil. "Kamu percaya dengan kata-katanya?"
Aiden terdiam, tidak paham kenapa Dean bertanya demikian.
"Itu artinya mama kamu pengin banget kamu datang ke sana sampai cari-cari alasan," tambah Luna.
Aiden manggut-manggut.
"Kamu bisa pergi ke sana sendirian?" tanya Dean.
"Oke."
Dean tersenyum dan menepuk bahu Aiden.
"Masuk kelas, yuk!" ajak Aiden.
"Ngapain? Udah bolos, mending nyantai aja sekalian di sini," jawab Dean yang kemudian berbaring di atas rumput, tetapi tak lama kemudian bangun lagi karena tiba-tiba mau ke toilet.
Suasana hening sepeninggal Dean. Hanya terdengar suara burung di atas pohon. Saat Aiden mendongak, tampak beberapa ekor sedang melompat dari dahan satu ke dahan lain. Pohon kelengkeng ini sangat rindang. Di sela-sela salah satu dahan, tampak sebuah sarang burung. Aiden tebak burung-burung yang ada di dahan itu menyimpan anak-anaknya di sana.
"Ngomong-ngomong, apa Xavier akan selamanya ada di dalam buku?" tanya Luna tiba-tiba. Aiden beralih menoleh padanya.
"Itu, kan, memang tempat tinggal dia."
"Kamu gak mau manggil dia lagi?"
"Buat apa?"
"Kamu gak kangen dia?"
"Kamu kangen dia?"
Luna tidak menjawab dan menghindari tatapan Aiden.
"Padahal aku ada di hadapan kamu," ujar Aiden membuat Luna kembali menatapnya.
"Apa?"
"Xavier itu, kan, aku. Kenapa mesti manggil dia segala?"
Luna tertawa. "Xavier ya Xavier. Kamu ya kamu."
Aiden terdiam sejenak. "Kamu gak suka lihat aku?"
Luna tertawa lagi, lebih keras dari sebelumnya. "Kamu kenapa, sih?"
"Kayaknya kamu cuma pengen lihat Xavier."
"Enggak gitu."
"Aneh. Aku kenapa, sih? Biasanya juga aku biasa aja. Kenapa sekarang kata-kata kamu terdengar gak enak di telinga?"
Luna mengerjap beberapa kali. "Kata-kata yang mana?"
"Yang minta aku buat manggil Xavier."
"K-kamu ... gak suka dengernya?"
"Iya."
Luna terdiam. Aiden bisa melihat semburat merah di wajah Luna. Gadis itu melengos, dan Aiden hanya bisa memandangi wajahnya yang tampak makin imut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top