Bab 37: Akhir Bahagia (Bagian 1)

Sudah beberapa minggu berlalu. Tidak ada yang berubah dari langit yang dipandang Aiden. Masih biru diselimuti awan putih. Kadang-kadang gerimis mulai datang, menandakan sebentar lagi akan musim hujan. Namun, gerimis itu segera pergi setelah urusannya selesai. Sama seperti Xavier yang juga kini telah pergi.

Aiden mengangkat tangan kirinya yang memakai gelang. Telapaknya dia rentangkan mengadang silau. Suasana belakang sekolah ini sepi tak berpenghuni, meski rumputnya tetap hijau dan ditata rapi oleh tukang kebun. Aiden menjadikannya matras untuk berbaring di bawah pohon. Di sudut pekarangan sisi kiri, ada tembok pagar yang digunakannya memanjat bersama Dean tempo hari. Dan, di seberang tembok sana ada warung tempat Xavier menunggu. Ingatan Aiden secara otomatis memutar ulang kenangan-kenangan itu. Semuanya. Sampai Xavier berakhir melambaikan tangan, kemudian hilang ditelan cahaya. Dan setiap kali Aiden mengingat hal itu, tenggorokannya terasa ngilu. Matanya basah dalam sekejap. Om Alfi bilang, Aiden mengalami peningkatan yang sangat pesat. Meski terkadang dia masih merasa bingung terhadap reaksi dari tubuh dan hatinya sendiri.

Aiden terkesiap saat handphone-nya berdering di saku celana. Dia merogohnya tanpa beranjak. Dia juga menjawab teleponnya dalam posisi berbaring. Sederet nomor tak dikenal kini memanggilnya.

"Halo, Aiden?"

Aiden termangu ketika mendengar suara seorang perempuan di seberang sana.

"Ini Mama Marina, Nak," katanya lagi.

"Ada apa?"

"Pulang sekolah nanti Mama jemput, ya. Mama masak makanan kesukaan kamu di rumah."

"Pulang sekolah aku mau ke rumah teman."

Mamanya terdiam beberapa saat, lalu kembali bicara dengan suara agak bergetar. "Mama masaknya banyak banget, lo. Sayang kalau kamu gak bantuin makan."

Setelah berpikir sebentar, akhirnya Aiden mengiakan permintaan Mama. Hanya karena ingin mengakhiri pembicaraan itu cepat-cepat. Perasaan itu muncul secara tiba-tiba. Aiden pun tidak tahu kenapa.

Handphone Aiden masuk lagi ke dalam saku. Dia kembali memandang langit. Bukan tanpa alasan. Nama Cloudpolis adalah gabungan bahasa Inggris "cloud" yang berarti "awan", dan bahasa Yunani "polis" yang berarti kota. Cloudpolis adalah "kota di atas awan". Oleh karenanya, Aiden yakin tempat tinggal Xavier adalah di atas awan sana.

"Xavier, kamu apa kabar?" Aiden bicara sendiri.

Sejak kepergian Xavier, novel Sang Legenda dari Cloudpolis masih kosong separuhnya. Luna terus mendesaknya dengan pertanyaan "kenapa". Namun jangankan Luna, Aiden pun tidak tahu alasannya. Satu-satunya yang ditakutkan Luna adalah, Xavier tidak kembali ke Cloudpolis dan lenyap begitu saja mengikuti ceritanya. Namun, Aiden punya keyakinan lain. Xavier akan menciptakan alur ceritanya sendiri sekarang. Halamannya akan kembali terisi suatu saat nanti. Aiden sampai membawa bukunya ke mana-mana hanya untuk memeriksa. Sekarang pun, buku itu tergeletak di sampingnya.

Kepala Aiden menoleh pada buku itu, kemudian dia mengambilnya. Dia membuka lembaran dengan cepat agar lekas menuju ke halaman yang diberi pembatas. Halaman yang ceritanya kosong. Ketika Adien tiba di halaman itu, tatapannya menajam. Impulsif dia bangun dari posisinya dan melihat buku itu dengan lebih saksama. Halaman kosong itu kini telah kembali terisi. Lengkap sampai akhir. Begitu saja senyum Aiden mengembang, dan dia segera memacu kakinya berlari mencari Luna juga Dean. Dia harus memperlihatkan ini pada kedua sahabatnya dan membaca ceritanya sama-sama.

Aiden menemukan Luna dan Dean sedang berada di kelas. Sama-sama tiduran di meja tidak ada tenaga.

"Luna, ada sesuatu yang mau aku tunjukkan," ujar Aiden membuat Luna mengangkat kepala dan menoleh pada kakaknya di belakang. Aiden merasakan bibirnya terbentang membentuk senyuman.

"Ayo!" Aiden menarik tangan Luna keluar dari tempat duduknya dan menyuruh Dean agar ikut serta. Dia membawa kakak beradik itu ke halaman belakang tempat dirinya tiduran barusan. Sebenarnya bisa saja Aiden memanggil mereka dengan telepon. Namun entah kenapa, perasaannya meledak-ledak dan tidak sabaran. Dia pikir akan segera menemukan Luna dan Dean jika berlari.

Mereka kemudian duduk melingkar di bawah pohon. Aiden membentangkan buku, lalu menunjukkannya pada Luna dan Dean.

"Ceritanya berlanjut lagi," ujar Aiden.

"Serius?" Luna dan Dean berujar serempak. Mereka berdua berebut buku ingin membacanya duluan, tetapi Aiden buru-buru menengahi.

"Aku saja yang bacakan untuk kalian."

Aiden pun mulai membaca. Paragraf pertama dimulai dengan adegan Xavier terjatuh di daerah perbatasan, tempat dirinya juga terlempar dahulu. Dia tiba di sana saat hari sudah hampir gelap. Agar bisa tiba di istana sebelum kesulitan melihat jalan, Xavier memacu kakinya berlari secepat mungkin. Sky yang terombang-ambing di punggungnya mengeong panik, dan Xavier hanya bisa mengajaknya bekerja sama.

Setelah nyaris kehabisan napas dan hari makin gelap, Xavier bisa melihat cahaya berpendar di kejauhan. Istananya sudah terlihat dan makin dekat. Namun secara impulsif, dia memilih jalan masuk dari arah belakang istana. Sebelum masuk ke istana utama, dia berbelok ke sebuah paviliun untuk mencari penyihir istana yang telah berkhianat. Seperti sudah menyiapkan rencananya dengan sangat matang, Xavier segera menyusup ke kamar penyihir tersebut dan mengambil pedang di samping tempat tidurnya. Alhasil, ketika dia ketahuan pun, penyihir itu mengangkat tangan menyerah saat Xavier menodongkan pedang tepat ke lehernya.

Sang penyihir terbelalak,
lalu berujar tergagap,
"T-tuan Muda Xavier?"
Gigi Xavier gemeretak,
menahan agar pedangnya
tidak menancap di leher
si pengkhianat.

"Siapa yang mengambil alih
posisi raja sekarang?"
Xavier bertanya,
mengintimidasi.

Sang penyihir mundur,
menghindari ujung pedang
yang makin dekat
dengan urat lehernya.
"Y-yang Mulia Marcopolo."

"Kau bisa mengubah wajah, kan?
Ayo kita bertukar wajah!"

"A-apa maksud Tuan Muda?"

"Jangan banyak tanya!
Atau kau akan mati
dengan sihir
yang kautanam sendiri
di pedang ini."

Setelah meneguk ludah, penyihir itu mengayunkan tangan mengeluarkan cahaya yang berpendar mengerubungi keduanya. Dalam sekejap Xavier bisa melihat wajah dirinya sendiri di wajah penyihir itu, bahkan lengkap dengan pakaiannya. Untuk memastikan, Xavier menoleh pada cermin, dan dia menyeringai setelahnya.

Tanpa mengulur waktu lagi, Xavier membawa penyihir itu memasuki istana dan menghadap raja. Seolah-olah baru saja menangkap putra mahkota yang selama ini hilang, dia menyombongkan diri di hadapan semua orang. Penyihir dengan wajah Xavier dipaksa bertekuk lutut. Raja kemudian memerintahkan agar orang itu diseret ke penjara bawah tanah, berkumpul bersama Raja Antonius beserta istri dan pengawal pribadi putranya.

Xavier geram mendengar keluarganya diperlakukan demikian. Dia mengayunkan pedang dan membuat kekacauan. Tempat itu nyaris porak-poranda karena hantaman sihir dari pedang. Raja sontak terkejut dan balik marah. Dia melayangkan sihir dari tangannya, tetapi pedang yang dipegang Xavier bisa menangkalnya. Xavier sampai terkejut sendiri ketika raja terbanting ke lantai dengan keras.

"Hebat juga sihirmu, Reynand,"
ujar Xavier.

Aiden termangu ketika membaca dialog itu. Dia kemudian menatap Luna dan Dean yang juga menatap padanya. "Apa nama penyihir itu Reynand? Perasaan Papa gak ngasih dia nama. Cuma disebut sebagai Penyihir Istana yang kemudian berubah jadi Penyihir Pengkhianat."

Hening beberapa detik sampai Dean berjengit dan berujar penuh semangat. "Xavier pernah mau menghajar Reynand karena dia kira Reynand itu penyihir pengkhianat yang juga terlempar ke dunia ini."

"Maksud kamu penyihir itu makanya kayak Reynand?"

"Iya." Dean mengangguk yakin.

"Itu artinya ... Xavier mengingat semua yang terjadi di tempat ini?" Luna berujar sembari menatap Dean dan Aiden bergantian. "Itu artinya dia ingat sama kita?"

"Tentu saja dia harus ingat kita. Kalau enggak, aku susul dan labrak dia!" ujar Dean yang kemudian dipukul oleh adiknya.

Aiden menghela napas dan kembali fokus pada buku. Ketika dia bersiap untuk melanjutkan cerita, bel masuk keburu berbunyi. Aiden mau melanjutkan ceritanya nanti saja, tetapi Luna dan Dean ingin mendengarkannya sekarang juga. Bahkan ketika Aiden tidak mau bolos pelajaran, keduanya merayu dengan dalih "tidak apa-apa bolos sekali ini saja", karena sebelum-sebelumnya mereka memang belum pernah bolos. Akhirnya, Aiden mengikuti kata-kata kedua temannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top