Bab 36: Mengantarmu Pergi
Hari Minggu pagi, suasana rumah ini mendadak sendu. Ayah tidak menyadari kesenduan itu karena dia masih asyik bercengkerama bersama Xavier di meja makan. Dia belum tahu, hari ini Xavier akan pulang. Sampai akhirnya Xavier sendiri yang bilang padanya.
"Ayah, hari ini aku akan pulang," katanya.
Luna dan Dean saling bertukar pandang. Wajah mereka sama-sama muram.
"Ke rumah Aiden?" tanya Ayah.
Xavier menggeleng dan tersenyum tipis. "Ke keluargaku yang dulu."
Ayah menghela napas dan menatap Xavier beberapa saat. "Kenapa tidak ke rumah Aiden?"
"Kami memutuskan untuk tetap tinggal di keluarga masing-masing. Bagaimanapun, sejak kecil aku berada di sana. Kasihan ayah dan ibuku kalau tiba-tiba aku memilih tinggal di sini."
Ayah manggut-manggut. "Tapi kamu akan sering main ke sini, kan?"
Xavier tertunduk dan terdiam. Dia tampak kesulitan menjawab. Meski begitu, dia berusaha menampakkan senyum dan berujar lagi. "Sepertinya akan sulit. Tempat tinggalku sangat jauh."
"Apa di luar negeri?"
Tanpa menjawab, Xavier tersenyum lagi. Dan seolah menemukan jawaban lewat senyumnya, Ayah menghela napas dan mengangguk.
"Meski tidak memungkinkan untuk berkunjung, jangan sampai kalian hilang kontak. Catat nomor anak-anak ini dan hubungi mereka di mana pun kamu berada," ujar Ayah.
Xavier tersenyum lagi dan mengangguk. Luna bisa melihat genangan di pelupuk matanya. Tidak mau genangan itu menular padanya, Luna buru-buru mengalihkan perhatian pada makanan dan melahapnya.
Meski hari libur, bakery tetap buka. Malah, pengunjungnya makin ramai. Ayah sudah turun ke bakery dan berjibaku dengan pekerjaan bersama beberapa karyawannya. Setelah selesai makan, Xavier pergi ke sofa dan memangku kucingnya. Dia melamun sembari mengelus-elus Sky. Luna hanya bisa menghela napas menatapnya di jarak beberapa meter, sementara Dean pergi ke kamarnya dan kembali membawa sesuatu.
"Xavier, aku punya hadiah buat kamu," katanya sembari duduk di samping Xavier dan menyodorkan sebuah tas.
"Ini tas sekolah? Kenapa bolong-bolong?"
Dean berdecak. "Ini bukan tas sekolah. Ini tas kucing."
"Heh?" Xavier mengangkat alis keheranan.
"Kamu bisa bawa Sky di tas ini biar gak pegal. Lihat, deh. Tasnya transparan terus ada lubang udaranya juga. Ini memang didesain khusus buat kucing."
"Wah!" Xavier melongo takjub sembari membolak-balik tasnya. "Kapan kamu beli ini?"
"Eng ... sebenarnya ... itu bekas si Oyen." Dean menggaruk tengkuknya. "Tapi masih bagus, kan?"
Xavier mengangguk dan tersenyum lebar. "Masih bagus. Sky pasti suka. Iya, kan, Sky?" Dia kemudian mengucek-ngucek kepala Sky.
"Aiden belum datang? Telepon, gih!" perintah Dean pada Luna.
Baru juga Luna merogoh handphone-nya dari saku celana, Aiden sudah datang. Dia ikut bergabung bersama Xavier dan Dean yang memasukkan Sky ke dalam tas. Kucing itu sempat mengeong seperti tidak nyaman, tetapi kembali tenang setelah Xavier bicara padanya.
"Tenang, ya. Kita akan pulang sekarang," katanya.
Meski hatinya bagai ditohok mendengar perkataan Xavier, Luna berusaha tetap tegar. Mereka kemudian turun dari rumah dan Xavier pamitan dulu pada Ayah. Mereka berpelukan cukup lama dan Xavier sempat meneteskan air mata meski bibirnya tetap tersenyum.
"Kalian mau mengantarnya ke bandara?" tanya Ayah membuat Luna dan yang lain saling bertukar pandang.
"Iya," jawab Dean buru-buru.
"Hati-hati, ya."
Mereka semua akhirnya pamitan pergi. Xavier berjalan memimpin mereka di depan. Di punggungnya tampak Sky celingukan di dalam tas. Setelah melewati jalan raya, mereka tiba di jalan gang yang lebih sepi. Tidak seperti perjalanan karya wisata yang menyenangkan, tidak ada percakapan apa pun selama mereka menyusuri gang-gang itu. Langkah Xavier melambat ketika mereka makin dekat dengan portal. Dia berbalik dan menyunggingkan senyum lebar, tetapi Luna bisa menangkap kesedihan di sana.
"Ini portalnya," kata Xavier.
"Kamu beneran harus pergi sekarang? Gak bisa satu atau dua hari lagi?" ujar Dean terdengar sedih.
Xavier tertawa kecil dan mengampiri Dean kemudian memeluknya. Ditepuknya punggung Dean keras-keras seraya berujar, "Katanya kamu tidak akan sedih kalau aku pergi."
"Siapa yang bilang aku sedih?" Dean masih berusaha menyangkal walau tremor dalam suaranya terdengar sangat jelas, dan bola matanya bergerak-gerak menahan genangan agar airnya tidak jatuh.
"Kalau begitu jangan menangis."
Tidak tahan lagi, Dean akhirnya terisak. "Maafin aku udah ngatain kamu maling waktu kamu datang ke sini."
"Jadi kamu menangis karena merasa bersalah?" Xavier tertawa pahit.
"Kalau kamu bisa bertahan lebih lama lagi di sini, aku akan memperlakukan kamu dengan lebih baik."
Xavier terdiam. Dia menggigit bibirnya seraya terus menepuk punggung Dean. "Selama ini kamu sudah sangat baik. Aku sangat berterima kasih sudah diterima di tempat ini."
Xavier melepas pelukan dan Dean menghapus air matanya. Kini giliran Aiden yang mendapat pelukan. Seperti biasa, dia masih bersikap sangat tenang.
"Hati-hati di jalan," kata Aiden.
"Meskipun aku pergi, aku akan hidup di dalam dirimu. Segala yang aku rasakan, kini akan kembali padamu. Aku yakin."
Setelah menepuk bahu Aiden dan tersenyum, Xavier beralih pada Luna. Luna buru-buru menunduk dan tidak berani lagi mengangkat kepala. Takut dengan melihat wajah Xavier, Luna akan makin sedih. Namun sebagai konsekuensi, air matanya jadi lebih mudah terjatuh. Dia bisa melihat butir demi butir membentur aspal di hadapanya.
"Kamu akan melepas kepergianku dengan wajah seperti itu?" ujar Xavier. Luna masih pada posisinya, tidak mengangkat kepala barang sedikit pun.
"Kalau aku tidak melihat wajahmu sekarang, aku mungkin akan lupa padamu saat tiba di Cloudpolis," kata Xavier lagi.
Akhirnya Luna mau mengangkat kepala dan menatap Xavier. Cowok itu tersenyum kemudian menyeka air mata di pipinya.
"Kamu juga jaga diri, ya. Jangan bertengkar terus dengan kakakmu," pesan Xavier.
Luna hanya bisa mengangguk. Karena kalau menjawab, dia takut suaranya tidak keluar, terkalahkan oleh tremor. Setelah mengusap kepala Luna, Xavier mengambil langkah mundur dan melambai. Senyum lebarnya adalah hal yang terakhir kali dilihat Luna sebelum tubuh Xavier tersedot portal dan cahayanya perlahan menghilang. Seperti jejak kaki yang terhapus air hujan, begitulah Xavier hilang tak berbekas.
Sudut gang ini terasa sunyi sepeninggalnya. Luna dan Dean sama-sama mengulum tangisnya di dalam mulut. Namun, samar-samar Luna mendengar isakan. Makin lama suara itu makin jelas. Aiden tiba-tiba terjatuh dan berlutut sembari memegang dada. Dia menangis. Untuk pertama kalinya dibarengi isakan. Sontak saja Luna dan Dean meraih tubuhnya yang terkulai seolah tidak ada tenaga.
"Aiden, kamu gak apa-apa?" tanya Luna panik.
Dalam tangisnya, Aiden menggumam, "Xavier ...."
Luna dan Dean bertukar pandang. Kemudian, Luna teringat dengan kata-kata terakhir Xavier pada Aiden.
"Apa Xavier memberikan perasaannya padamu?" ujar Luna.
"Memberikan apanya?" Dean menyela. "Kalau perasaan dia diberikan ke Aiden, berarti sekarang dia yang kehilangan perasaannya."
Aiden masih menangis, Luna jadi tambah panik. "Gimana ini? Gimana kalau Xavier gak bisa melanjutkan cerita sesuai alur kalau dia kehilangan perasaannya?"
"Tapi kalaupun dia kehilangan perasaannya, dia masih bisa mengandalkan logika. Dia pasti gak akan biarin keluarganya jadi tawanan penyihir."
Luna tertegun. "Ini malah lebih bahaya. Gimana kalau dia malah jadi psikopat berdarah dingin yang membunuh semua orang tanpa rasa bersalah?"
"Aaahhh! Enggak tahu!" Dean berteriak frustrasi. "Sekarang gimana caranya kita tenangkan Aiden dulu?"
Luna pun tak kalah frustrasinya. Dia hanya bisa mengusap-usap punggung Aiden berharap dia kembali tenang, sementara pikirannya masih mengembara ke Cloudpolis. Sudah sampai mana Xavier sekarang? Apa yang akan dia lakukan di sana jika seandainya benar perasaannya bertukar dengan Aiden?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top