Bab 35: Pada Akhirnya Semua Orang Pergi
Xavier memandang ke luar jendela ketika mobil yang dia tumpangi bersama Luna membawa mereka pulang. Aiden pulang dengan mobil terpisah menuju ke rumahnya. Dia harus segera melapor pada Om Alfi tentang apa yang baru saja terjadi. Xavier tersadar dari lamunannya ketika Luna tiba-tiba berbicara.
"Kamu gak apa-apa?" tanyanya.
Xavier menoleh dan tersenyum hangat. "Aku baik-baik saja."
Gadis itu mengangguk dan menatap ke depan lagi. Mereka berdua duduk bersebelahan di kursi belakang. Luna seperti ingin selalu memastikan bahwa Xavier baik-baik saja, dan itu membuat hati Xavier menghangat.
"Luna, kalau aku pulang, apa yang akan kamu lakukan di sini?" Xavier tiba-tiba ingin menanyakan hal itu.
Luna menoleh sedikit dengan ujung matanya dan kembali menatap ke depan sambil menjawab, "Apa lagi? Aku akan melanjutkan hidup."
Xavier tertawa kecil. "Dean ingin sekali sekolah di luar negeri."
"Terus?"
"Kamu akan terus melarangnya?"
Luna menjawab dengan semburan napas kasar.
"Kalau kamu melarang Dean pergi, memangnya kamu mau menjamin masa depan dia?" ujar Xavier.
Luna menoleh dengan dahi mengernyit. "Maksud kamu?"
"Dia pergi untuk mengejar cita-citanya, lalu kembali dan meneruskan Calluna Bakery. Yang namanya Dean di mana-mana memang tahu caranya balas budi."
"Itulah yang aku gak suka!" tegas Luna dengan suara meninggi. "Dia selalu ingin membalas budi dan sungkan padaku, juga Ayah. Aku merasa ada dinding di antara kami walaupun kami adalah keluarga. Makanya aku takut sekali kalau dia pergi ... kami benar-benar akan menjadi orang asing."
"Tapi dia tidak punya maksud buruk. Dia cuma sadar dari mana asal-usulnya. Lagipula, ada ikatan darah atau tidak pun, seorang anak memang harus berbakti pada keluarganya. Dia hanya ingin berbakti. Itu saja."
Luna terdiam. Hanya helaan napas yang terdengar.
"Lagipula dia juga tidak akan pergi tanpa beasiswa," ujar Xavier. "Coba saja tantang dia untuk mendapatkan beasiswanya dulu."
"Dia akan melakukan apa pun untuk mendapatkan apa yang dia mau. Lihat aja, dia diam-diam masih mengasah keterampilannya tanpa sepengetahuanku."
"Itu berarti dia memang seseorang yang pekerja keras."
"Dan keras kepala."
Xavier tertawa melihat Luna bersedekap dengan wajah cemberut. Gadis itu hanya menoleh sedikit dan memutar bola mata membuang muka. Xavier kemudian menyandarkan kepalanya ke jendela dan menatap gedung-gedung di luar sana.
"Di novel itu, kenapa ayahnya Aiden memberikan Dean padaku, bukan padamu?" tanya Xavier.
"Mana aku tahu?"
"Apa karena Aiden kesepian di dunia aslinya?"
"Ya, mungkin."
Xavier menghela napas. "Sayang sekali. Baik di novel maupun kenyataan, Dean tetap ditakdirkan jadi yatim piatu sejak kecil. Apa di sini, orang tuanya juga meninggal dalam insiden kebakaran rumah?"
"Iya. Dan Aiden tahu soal itu. Makanya cerita di novelnya juga kayak gitu."
"Apa di novel, kamu juga punya toko roti?"
"Iya."
"Kalau aku bertemu kamu yang ada di novel, bagaimana akhir dari kisah kita?"
Hening. Xavier menoleh pada Luna karena tidak ada jawaban. Ternyata gadis itu sedang memandang ke luar jendela.
"Apa akhirnya berpisah juga seperti ini?" tanya Xavier kemudian.
"Enggak. Mereka hidup bahagia di istana."
Jawaban Luna terdengar sedih. Suaranya bergelombang, dan beberapa saat kemudian terdengar isakan kecil. Xavier menegakkan tubuh, meraih kepala Luna dan menyandarkannya di bahu.
"Kamu sedih aku akan pergi?" tanya Xavier lirih.
"Pake nanya!" Luna menjawab dengan bentakan dan suara tangisnya makin kencang.
Antara mau tertawa dan ikutan sedih, Xavier menyandarkan kepalanya di kepala Luna.
"Maaf," kata Xavier kemudian.
"Kenapa minta maaf?"
"Maaf karena aku terlahir sebagai tokoh fiksi."
"Aku gak percaya ini. Aku gak pernah ngerti kenapa orang-orang cinta sama tokoh anime, sedangkan aku sendiri ...."
Xavier tersenyum, meski getir. Dia sendiri juga tidak percaya kisah cintanya akan berakhir seperti ini. Dia merasa lega karena ternyata Luna juga punya rasa yang sama. Namun bersamaan dengan itu juga, Xavier harus menelan kenyataan pahit. Luna menutup matanya dengan punggung tangan dan menangis meraung-raung. Sopir di depan sampai menoleh sedikit, tetapi fokus lagi pada jalan karena Xavier menatapnya.
"Tapi aku, kan, masih ada versi aslinya," ujar Xavier sembari mengusap-usap kepala Luna, menenangkannya.
"Versi aslinya gimana?"
"Aiden."
"Mana bisa gitu? Nama kalian aja beda."
"Tapi kamu lihat, kan? Aku bahkan bisa menangis karena perasaan Aiden. Jangan-jangan, perasaanku padamu juga milik Aiden."
Tidak ada jawaban dari Luna. Malah geplakan di paha yang Xavier dapatkan. Dia kemudian tergelak.
"Jadi kamu maunya tetap aku? Dasar keras kepala!" ujar Xavier.
"Kalau kamu udah kembali ke Cloudpolis, apa ingatan kamu di tempat ini akan menghilang?" tanya Luna sembari membersihkan air matanya.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Xavier terkejut mendengar pertanyaan Luna.
"Cuma tanya aja. Enggak adil kalau cuma aku yang mengingat kamu di sini."
Hati Xavier mendadak perih. Dia tidak kepikiran hal ini sama sekali. Bagaimana kalau benar ingatannya menghilang setiba di Cloudpolis? Karena jika dia kembali, itu artinya dia kembali pada alur cerita yang sudah dirangkai sebelumnya.
"Kalau ingatanku menghilang, apa kamu akan membenciku?" tanya Xavier khawatir.
Luna terdiam beberapa saat sebelum menjawab. "Mungkin aku akan kesal sebentar. Setelah itu terima kenyataan aja."
"Aku berharap bisa mengingat tentang semua hal di tempat ini, terutama kamu."
"Semoga."
Keduanya kemudian saling terdiam. Xavier ingin momen ini bertahan untuk beberapa lama lagi, tetapi mobil sudah menepi di depan bakery. Mereka berdua turun dan Luna berjalan masuk ke bakery lebih dulu. Langkah Xavier mendadak gontai karena dia jadi gelisah. Kepikiran terus perkataan Luna.
"Kalian udah pulang?" tanya Dean ketika mereka berdua tiba di ruang tengah. Tidak ada yang menjawab, dan Luna segera pergi ke kamarnya. Dean kemudian datang menghampiri Xavier.
"Kamu gak apa-apa?" tanyanya.
"Heh?" Xavier sedikit terkejut sekaligus bingung mendapat pertanyaan Dean.
"Mata kamu agak bengkak. Kamu habis nangis?"
"Oh ... ya, begitulah. Aku tidak bisa menahan air mataku saat bertemu ayahnya Aiden."
"Kalau kamu bisa nangis saat Aiden ketemu mamanya, gak heran kamu nangis juga saat kalian pergi ke makam."
"Tapi ngomong-ngomong, Aiden juga menangis."
Dean seketika terbelalak. "Serius?"
"Tapi dia masih kelihatan bingung. Hanya air matanya saja yang turun tanpa kontrol."
"Tetap saja ini kemajuan besar. Iya, kan?"
Xavier mengangguk. Mereka berdua pergi ke sofa dan lanjut mengobrol di sana.
"Dean, aku boleh minta tolong?" ujar Xavier.
"Minta tolong apa?"
"Tolong jaga dan bantu Aiden supaya dia cepat sembuh."
Dean termangu menatap Xavier. "Kamu kayak orang mau pergi."
"Aku memang akan pergi. Aku akan segera pulang ke Cloudpolis."
"A-apa?"
"Barusan aku pamitan pada ayahnya Aiden. Mungkin nanti aku juga akan pamitan pada Ayah Bima."
Dean tidak bersuara lagi. Wajahnya mendadak muram. Dia tidak mau menatap Xavier dan hanya mengusap-usap kepala Sky di sampingnya.
"Kamu terlihat sedih. Kamu tidak mau aku pergi?" tanya Xavier.
"Sedih apanya? Kalau mau pergi, pergi aja." Dean menjawab seolah tak acuh, tetapi Xavier menangkap nada lain dalam ucapannya.
"Kalau begitu jaga Luna baik-baik. Lebih baik bicara jujur padanya dan berikan pengertian, bukannya malah menjaga jarak dengan dalih melatih mentalnya."
"Iya, iya."
"Sepertinya kamu juga berat meninggalkan Luna. Saranku, kalau kamu perginya setengah hati, lebih baik jangan."
"Apa kamu cenayang?" Dean menatap Xavier tajam. "Sok tahu banget!"
"Kenapa kamu jadi sinis begini padaku?"
Dean melengos dan memusatkan perhatian pada Sky. Wajahnya cemberut.
"Kamu marah padaku karena aku akan pergi?" tanya Xavier.
"Udah dibilangin enggak!" Dean menoleh pada Xavier dan bicara membentak.
Alih-alih marah, Xavier malah tergelak sambil menepuk-nepuk pungggung Dean.
"Emang kamu beneran harus pergi?" tanya Dean kemudian. "Kalau kamu ada di sini, kan, kamu bisa gantiin aku dulu buat jagain Luna."
"Kamu tahu aku juga punya keluarga di sana."
Dean mendesah sembari menyandarkan punggungnya di sofa. "Kalau semua orang pergi, Luna pasti sedihnya nambah."
"Emang! Bukan cuma orang, bahkan kucing pun mau pergi meninggalkanku!" teriak Luna tiba-tiba dan menunjuk Sky sambil berjalan ke dapur. Dean terlonjak dan tubuhnya menegak seketika, lalu bertukar pandang dengan Xavier.
Luna kembali membawa segelas air, Dean buru-buru menghampirinya.
"Luna ...," ujar Dean.
"Aku gak mau ngomong." Luna berjalan cepat-cepat ke kamar, dan Dean mengejarnya.
"Luna jangan marah gitu, dong," rengek Dean sambil menahan pintu kamar yang akan ditutup oleh adiknya.
"Aku gak mau ngomong sama Kakak. Pergi sana ke Prancis! Sekolah pastry atau apalah itu namanya bodo amat aku gak peduli lagi!"
"Tapi kalau kamu melepas akunya gak ikhlas gini, gimana hari-hariku di sana bisa diberkahi?"
"Kenapa, sih, semua orang mau ninggalin aku? Aku salah apa sama kalian?!" Luna tiba-tiba menangis histeris.
Pintu kamar Luna melonggar dan Dean bisa membukanya. Xavier ikut masuk bersama Dean. Luna sedang terduduk di lantai dan tersedu-sedu. Dean memeluknya dan memandang Xavier, seolah meminta solusi apa yang harus dia lakukan. Sedangkan Xavier, hanya bisa menatap kakak beradik di hadapannya tanpa berkata apa pun.
"Aku cuma mau berusaha dapetin beasiswa itu sekali lagi. Coba aja berdoa biar aku gagal kalau kamu gak mau aku pergi," ujar Dean. Sepertinya dia memang masih bimbang harus memilih beasiswa ke luar negeri atau adiknya sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top