Bab 30: Mama

Aiden, Luna, dan Dean sedang menunggu taksi online di trotoar depan sekolah ketika sebuah mobil tiba-tiba berhenti di hadapan mereka. Luna dan Dean sudah mau masuk ke mobil itu kalau tidak ditahan Aiden.

"Pelat nomornya beda," kata Aiden.

Setelah Luna dan Dean kembali ke tempat semula, seorang wanita keluar dari mobil. Tatapan Aiden terpaku pada wanita itu. Dia masih sangat mengenali wanita di hadapannya walaupun sudah bertahun-tahun tidak bertemu.

"Mama?" ujar Aiden membuat Luna dan Dean menoleh padanya.

Wanita itu menuntun bocah laki-laki berseragam TK, menghampiri Aiden dan menyapanya. "Aiden."

Suaranya terdengar bergetar. Bibirnya tersenyum lebar, tetapi matanya berlinang. Kedua tangannya lalu menangkup wajah Aiden dan dia berujar lagi, "Kamu udah tinggi banget."

Tanpa berkata apa pun, Aiden hanya menatap wanita itu. Taksi online yang dia pesan akhirnya datang. Luna dan Dean bergegas masuk. Aiden juga mengikuti mereka.

"Aku harus pergi," kata Aiden pada mamanya.

Namun ketika dia hendak ikut masuk mobil, Luna melarangnya. "Nanti aja kamu nyusul. Ngobrol dulu sama mama kamu."

Mobil yang mereka tumpangi akhirnya berjalan menjauh. Tatapan Aiden kembali tertumbuk pada mamanya.

"Kamu udah makan?" tanya Mama.

Aiden menggeleng. "Belum."

"Kita ngobrol sambil makan, ya?"

Aiden terdiam menatap bocah yang juga mendongak menatapnya. Menyadari hal itu, mamanya buru-buru berujar,

"Ini adik kamu," katanya.

Rupanya dia sudah punya keluarga baru, batin Aiden.

"Aga, salim dulu sama kakak," katanya lagi pada sang anak.

Anak kecil itu mengulurkan tangan, dan Aiden menerimanya begitu saja. Mama kemudian membawa Aiden dengan mobilnya, lalu mereka berhenti saat menemukan sebuah restoran. Mama memesan makanan untuk Aiden. Namun ketika makanan itu tiba di hadapannya, Aiden tidak menyentuhnya sama sekali. Pun dengan mamanya. Hanya anak kecil di hadapan Aiden yang makan begitu lahap.

"Kenapa? Katanya belum makan. Kamu gak suka makanannya?" Mama bertanya sembari menatap Aiden baik-baik.

Aiden menjawab ringan. "Aku gak berselera."

"Kamu gak punya nafsu makan? Kamu lagi sakit?"

"Enggak."

Mama menghela napas dan terdiam cukup lama sampai kemudian dia kembali bersuara.

"Kamu pasti marah sama Mama. Kamu pasti membenci Mama." Suara wanita itu kembali terdengar bergetar.

Aiden hanya diam karena bingung harus menjawab apa.

"Mama gak tahu harus bilang apa sama kamu." Getaran itu terdengar lebih jelas dan air mata yang sejak tadi menggenang mulai berurai. "Bahkan Mama merasa gak pantas buat minta maaf sama kamu. Mama gak pantas mendapat maaf dari kamu."

Meski Mama sudah terisak, Aiden masih menatapnya dalam diam.

"Beberapa hari yang lalu om kamu nemuin Mama. Dia cerita semuanya tentang kamu," kata Mama lagi seraya menatap Aiden. "Apa semua itu benar, Aiden?"

"Kalau Om Alfi bicara tentang alexitimiaku, dia benar."

Isakan Mama makin keras, sampai orang-orang di sekitar meja mereka menoleh. Aga pun sampai berhenti makan dan memeluknya. Bibirnya berkedut, lalu ikut menangis meski suaranya kecil. Meski begitu, Aiden tidak menunjukkan kepedulian. Dia hanya membiarkan mamanya tetap menangis dan berhenti sendiri setelah merasa cukup.

"Aiden, kamu ikut pulang sama Mama, ya?" ujar Mama setelah membersihkan air matanya dengan tisu.

"Enggak mau."

"Kenapa gak mau tinggal sama Mama?"

"Kenapa aku harus tinggal sama Mama?"

Mama tampak ingin menangis lagi, tetapi kali ini dia menahannya. Dia segera menyeka air mata yang keluar lagi.

"Ada satu hal yang ingin aku tanyakan sejak lama," kata Aiden. Mamanya memusatkan perhatian. "Apa Mama tahu buku Papa akhirnya best seller?"

Mama terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk.

"Ada juga bukunya yang diadaptasi jadi serial animasi. Terus, ada yang jadi karakter game juga. Mama tahu?" tanya Aiden lagi.

Mama hanya mengangguk lagi sebagai jawaban.

"Apa itu belum cukup sukses di mata Mama sampai Mama gak mau kembali? Mama masih takut hidup kekurangan kalau sama Papa?"

"Bukan begitu, Aiden. Mama ...." Mama terdiam sejenak selagi menyeka air matanya. "Mama sudah punya keluarga baru."

Aiden menatap wajah mamanya baik-baik. "Mudah sekali buat Mama menemukan keluarga baru. Padahal, Papa masih sering memandangi foto Mama kalau lagi sendirian."

Mama bungkam. Kepalanya terus tertunduk dan isakan terus terdengar.

"Apa selama itu Mama menjalani hidup dengan bahagia?" tanya Aiden.

Mama mengangkat kepala menatap Aiden. "M-maksud kamu apa?"

"Aku cuma penasaran apa Mama bahagia setelah meninggalkan aku sama Papa. Karena walaupun sekarang aku gak bisa merasakan apa-apa, aku masih ingat kalau dulu aku sering menangis. Tapi aku gak pernah menangis di hadapan Papa. Yang pernah melihat air mataku cuma Luna sama Dean. Pekerjaan Papa gak boleh terganggu. Dia harus jadi penulis sukses biar Mama kembali."

Alih-alih menjawab, Mama sesenggukan. Dan, anak kecil yang diperkenalkan sebagai adik pada Aiden pun tangisnya makin kencang. Orang-orang di sekitar meja mereka pun perhatiannya jadi teralihkan.

"Kenapa malah menangis?" tanya Aiden. "Bukankah selama ini Mama hidup bahagia? Aku bersyukur untuk itu. Banyak film dan buku yang mengatakan, level tertinggi dari keikhlasan adalah ikut berbahagia dengan kebahagiaan orang yang aku sayangi, walaupun aku harus hancur tak bersisa. Aku gak ngerti. Apa benar seperti itu? Aku gak tahu karena aku gak bisa merasakan apa-apa. Gimana kalau seandainya anak Mama ini masih punya kehidupan yang normal? Apa Mama bisa bayangkan gimana perasaanku?"

Tidak ada jawaban apa pun. Aiden tidak mengerti mengapa mamanya tampak begitu terluka. Mungkin, Aiden terlalu banyak bicara. Jadi, dia memutuskan untuk mengajukan satu lagi saja pertanyaan terakhir.

"Ratusan kali aku menelepon Mama, tapi gak pernah dijawab. Ratusan juga SMS yang aku kirim, tapi gak ada balasan. Sampai kami pindah ke Jakarta pun, aku kabari Mama. Berharap Mama bisa menyusul ke sana. Setiap hari aku menunggu Mama menghubungiku, tapi Papa bilang jangan ngarep-ngarep kalangkang heulang. Apa Mama memang berniat lepas kontak sepenuhnya denganku?"

Walaupun mamanya masih bungkam, Aiden tidak mau beranjak sebelum mendengar jawaban. Dia akan menunggu sampai kapan pun, bahkan jika dia harus bermalam di tempat ini. Setelah cukup lama terdiam, permintaan maaf meluncur dari mulut mamanya.

"Maaf, Aiden. Maafkan Mama. Mama gak sanggup menemui kamu. Mama terlalu malu untuk kembali pada kalian."

Meski tidak paham alasan mamanya berkata demikian, Aiden lebih memilih diam daripada bertanya. Sekarang tiba-tiba dia ingin pulang.

"Kalau begitu, sudah cukup. Aku harus pergi."

Aiden beranjak dari tempatnya dan keluar restoran. Mamanya mengejar dan menahan tangan Aiden, sambil meminta maaf berulang kali.

"Aku sudah maafin Mama. Jadi berhentilah menangis dan lanjutkan hidup dengan bahagia," ujar Aiden melepas tangan mamanya, kemudian pergi tanpa menoleh ke belakang sedikit pun.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top