Bab 29: Jangan Jadi Orang Baik
Aiden melangkah menuju kelasnya dengan santai. Dia tidak mengerti kenapa orang-orang yang ditemui sepanjang lorong menatapnya. Setelah berpikir cukup lama, Aiden menemukan jawaban. Xavier pasti sudah melakukan sesuatu lagi sehingga mereka menatapnya seperti itu. Sebenarnya Aiden sudah tahu kalau misi Xavier berhasil. Dia sendiri yang bilang ketika menelepon menggunakan handphone Dean. Namun, dia tidak bilang detail ceritanya seperti apa sampai masalah itu bisa selesai dalam sekejap.
Aiden melepas tas dan menaruhnya di meja. Belum sempat duduk, Reynand menghampirinya. Anak itu tidak seperti biasanya. Dia menghindari tatapan Aiden ketika berbicara.
"A-iden, b-boleh ngomong sebentar?"
Suaranya bahkan tergagap. Aiden menghela napas dan mengangguk.
Reynand membawanya keluar dari kelas. Mereka berjalan cukup jauh hingga menemukan tempat yang lebih sepi. Reynand masih tidak mau menatap matanya, meski dia mulai berbicara.
"Kemarin ... apa yang kamu lakukan sama Vania?" tanya Reynand.
Aiden termenung. Dia teringat pesan Xavier. Kalau Reynand bertanya soal apa yang dilakukannya pada Vania, bilang saja "aku hanya menyuruhnya mengaku".
"Aku cuma nyuruh dia buat ngaku," jawab Aiden.
Reynand kini menatap mata Aiden. "Cuma itu?"
Aiden mengangguk, meski dia tidak paham ke mana arah pembicaraan Reynand.
"Aiden, maaf. Tapi ... aku khawatir kamu melakukan sesuatu di luar batas pada Vania," kata Reynand pada akhirnya. "Kamu kemarin serem banget. Kamu udah kayak mau bunuh dia. Aku sampai gak berani buat nyamperin kamu lagi."
Akting Xavier berlebihan, pikir Aiden.
"Hari ini kamu udah ketemu Vania?" tanya Aiden.
Reynand mengangguk. "Udah."
"Dia gak kenapa-napa?"
"Enggak, sih."
"Berarti kamu gak perlu khawatir."
"Tapi dia dapat cibiran dari anak-anak. Dia sampai harus menyumpal telinganya pakai earphone. Katanya dia sampai mau pindah sekolah segala."
"Itu juga yang kamu terima selama ini. Berarti kalian impas."
Reynand tertawa kecil dan menyandarkan punggung ke tembok, sementara kedua tangannya masuk ke saku celana. "Andai aku juga selempeng kamu, aku udah melakukan hal yang sama pada Vania sejak awal."
"Terus kenapa enggak?"
Reynand terdiam sebentar. Matanya tampak menerawang. "Hari itu Vania terlihat sangat terluka. Entah masalah apa yang dia hadapi. Kalau aku suruh dia buat mengaku, aku udah bisa bayangin kejadiannya akan seperti ini. Dia pasti makin tertekan. Aku gak tega."
"Dan kamu memilih untuk mengorbankan diri kamu sendiri?"
Reynand mengangguk.
"Seperti tokoh utama film romansa," kata Aiden.
Reynand tersenyum tipis. "Aku cuma bisa mencari admin akun lambe untuk meluruskan kesalahpahaman. Tapi gak ketemu."
"Bukankah adminnya empat legenda sekolah itu?"
Reynand menghela napas sambil menggeleng. "Mungkin iya, tapi gak ada yang mau ngaku. Memangnya mereka ngaku ke kamu?"
"Emm ...."
Reynand keburu bicara lagi hingga Aiden tidak jadi melanjutkan kata-katanya. "Tapi bagaimanapun, terima kasih. Aku akan balas budi. Kalau kamu butuh bantuan apa pun, bilang aku aja."
Reynand menepuk bahu Aiden sebelum pergi. Ketika hendak menyusulnya, perhatian Aiden keburu teralihkan oleh keributan. Seketika dia menoleh ke sumber suara.
"Vania tunggu, Vania!" Seorang cowok mengejar dan menarik lengan perempuan yang berlari di hadapannya.
"Lepasin aku, Deva!" Vania berontak hingga tangannya terlepas dengan kasar.
"Vania, maafin aku. Kesalahpahaman ini udah selesai sekarang. Jadi kita bisa mulai lagi dari awal. Ya?"
"Enggak, Deva. Ada kesalahpahaman atau enggak, aku emang udah pengen putus sama kamu."
Deva terpaku. "Apa?"
"Jadi buat apa kamu ngajak balikan?"
"Kamu bilang, kan, itu cuma salah paham. Kamu gak ada hubungan apa-apa sama Reynand."
"Terus kamu mikir gak, kenapa di saat aku ada masalah aku malah cari Reynand, bukannya kamu?"
"Karena kita lagi marahan, kan? Kamu kesal sama aku?"
Vania tertawa kecil. "Itulah yang aku gak suka dari kamu. Kenapa, sih, positif banget jadi cowok sampai aku ragu kamu ini beneran sayang gak, sih, sama aku? Kamu gak pernah cemburu aku main sama cowok mana pun. Kamu gak pernah marah kalau aku gak telepon kamu berhari-hari."
"Vania, aku cuma memberi kamu ruang. Hidup kamu bukan cuma tentang aku, kan?"
Vania mendengkus dan menggeleng. "Kamu terlalu baik sampai bikin aku muak!"
Setelah mengatakan itu, Vania berlalu. Deva membeku di tempatnya, memandang Vania yang makin menjauh. Kemudian, tatapannya beradu dengan Aiden. Deva datang menghampirinya.
"Reynand akan masuk tim basket lagi. Tapi kalau kamu berminat, kamu boleh tetap masuk untuk anggota cadangan," ujar Deva seolah tidak peduli apa yang baru saja terjadi. Mungkin dia juga mengerti kalau Aiden tidak peduli dengan apa yang dilihatnya.
"Aku gak berminat."
Mendengar jawaban Aiden, Deva menghela napas dan mengangguk. Dia berbalik pergi, tetapi Aiden tiba-tiba kepikiran sesuatu.
"Apa seseorang bisa muak dengan kebaikan orang lain?" tanya Aiden membuat Deva menoleh seketika.
"Apa?"
"Aku gak ngerti. Aku selalu diajari buat jadi orang baik. Terus apa gunanya kalau orang lain gak senang dengan kebaikanku?"
"Kamu dengar kata-kata Vania?" Deva tertawa. "Itu artinya dia cuma pengen putus sama aku. Gak ada alasan lain."
"Terus kenapa dia bilang kamu terlalu baik?"
Deva terdiam dan menatap ke arah lain, seperti sedang mencari jawaban di suatu tempat. "Mungkin sebagai sopan santun?" tanyanya kemudian.
"Sopan santun?"
"Karena dia gak enak langsung mutusin aku gitu aja tanpa alasan apa pun."
"Oh." Aiden manggut-manggut, dan Deva tertawa lagi.
"Kamu gak semenakutkan yang orang-orang bilang, ya?" katanya yang kemudian benar-benar pergi.
Aiden termangu di tempatnya. Dia mendadak kepikiran untuk melaporkan hal itu pada Om Alfi. Dia kemudian menelepon omnya yang sedang berada di klinik.
"Kenapa? Ada masalah?" Om Alfi langsung menodongnya dengan pertanyaan seolah-olah Aiden mau mengadu karena habis dipukuli.
"Aku baru lihat sesuatu yang aneh."
"Hal aneh apa?"
"Ada seorang cowok yang baru diputusin sama ceweknya. Dia diputusin gara-gara terlalu baik. Tapi si cowok bilang, ceweknya bilang kayak gitu cuma karena ngerasa gak enak aja mutusin tanpa alasan. Gimana caranya dia bisa menebak hal itu?"
"Coba tanyain ke ceweknya, apa dia mau punya pacar seorang kriminal?"
"Apa?"
"Logikanya, semua orang juga pengen punya pasangan yang baik-baik. Dia mutusin cowoknya karena emang udah pengen putus aja."
"Tapi kalau cowoknya baik-baik, kenapa ceweknya pengen putus?"
"Bisa jadi karena dia bosan atau suka sama cowok lain."
Aiden termangu sambil berpikir. "Apa dia suka sama Reynand?"
"Siapa? Reynand? Anak yang nonjok kamu waktu itu?"
"Kalau gitu udah dulu, ya, Om. Ini sesi konseling untuk hari ini. Nanti aku mau main lagi ke rumah Dean."
"Hei, Aide—"
Suara Om Alfi terputus sebelum nama Aiden diucapkan dengan sempurna. Aiden segera pergi ke kelasnya sebelum bel berbunyi. Ketika tiba di kelas, Dean melambaikan tangannya menyadari kehadiran Aiden.
"Kamu dari mana?" tanyanya ketika Aiden duduk.
"Dari luar." Aiden kemudian celingukan. "Luna mana?"
"Dia nyari kamu. Kirain udah ketemu."
"Buat apa dia nyari aku?"
"Katanya mau laporan soal Xavier. Gak tahu, deh. Dia kelihatan agak panik."
Tak lama kemudian, seseorang datang memasuki kelas. Luna. Dia tampak lemas, tetapi segar seketika saat menemukan Aiden. Dia buru-buru menghampiri Aiden di tempat duduknya dan menarik kursi orang lain untuk dia duduki. Posisinya merapat ke meja Aiden.
"Aiden, gawat!" ujar Luna dengan pekik tertahan dan kepalanya celingukan. Dean ikut-ikutan memusatkan perhatiannya pada gadis itu. "Tubuh Xavier menghilang lagi."
"Apanya yang gawat? Bukannya kalau dia menghilang, dia masuk ke tubuh kucing oren?" sela Dean dengan suara yang sengaja dipelankan.
"Yang ini beda," jawab Aiden tenang.
"Xavier bakal menghilang selamanya." Luna melanjutkan.
Dean terbeliak. "APA?!" Tangannya membekap mulut sendiri karena sudah bicara terlalu keras sampai Felly menoleh ke arah mereka berekerumun.
"Kita harus segera menemukan jalan pulangnya," kata Aiden lagi.
"Jalan pulang ke mana?" Felly tiba-tiba menimbrung, tetapi tidak ada yang mau menjawab sehingga gadis itu mencebik dan kembali memusatkan perhatian pada handphone-nya. Luna juga kembali ke tempat duduknya karena bel sudah berbunyi.
Selama di sekolah, Aiden tidak habis-habisnya memikirkan Xavier. Apakah Xavier sudah menyadari kalau dirinya menghilang, menjadi pertanyaan yang terus berlalu-lalang di kepalanya. Dan, reaksi dari hal itu, Aiden jadi tidak fokus mengerjakan apa pun. Tidak nyaman duduk di mana pun. Bahkan, dia juga tidak berselera makan apa-apa walupun perutnya berbunyi. Jadi, sepulang sekolah, Aiden mengajak Luna dan Dean untuk segera mencari jalan pulang Xavier. Luna bilang, kemungkinan portalnya ada di sekitar rumah lama mereka, karena Xavier pertama kali ditemukan di sana.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top