Bab 28: Misi Penyelamatan Reynand

Hari ini, Xavier dan Aiden sudah sepakat untuk bertukar posisi lagi. Xavier yang datang ke sekolah untuk menyelesaikan misinya membantu Reynand. Jadi saat tiba di sekolah, Xavier langsung meluncur mencari empat orang kandidat admin pemegang akun lambe. Sebelumnya, Xavier sudah menanyai semua orang mengenai identitas dan kelas mereka. Yang pertama harus dia temui adalah seseorang bernama Rafka Arjuna. Salah satu legenda sekolah yang konon pernah menyeret seorang guru masuk penjara setelah melakukan tindak manipulasi nilai dan menyekap muridnya sendiri. Kejadiannya satu tahun yang lalu. Jadi, sekarang dia sudah kelas dua belas. Xavier melangkahkan kakinya menuju kelas 12 IPA 1.

"Permisi. Aku mau bertemu Rafka Arjuna," ujar Xavier di ambang pintu.

Sontak semua penghuni kelas mengalihkan pandangan padanya. Seseorang di kursi paling ujung dekat tembok mengangkat tangan dan berujar, "Di sini."

Xavier kemudian melangkah masuk menghampiri anak itu. Ternyata dia tidak sendirian. Ada tiga orang lain yang berkerumun di sekitarnya dan menatap Xavier serempak. Xavier membaca papan nama mereka satu per satu. Raihan Albar. Calla Aleysia. Meysha Divya.

"Wah, ternyata kalian berkumpul di sini tanpa harus aku cari satu per satu," ujar Xavier takjub sendiri.

"Kamu nyari kami?" Seorang gadis bernama Calla menatapnya bingung.

"Iya." Xavier menjawab enteng.

"Buat apa?" Gadis berambut pendek menimpali. Dia Meysha.

"Kalian admin akun lambe sekolah?"

Empat orang di hadapan Xavier kini saling bertukar pandang dan tergelak bersama.

"Siapa yang bilang?" Seorang lelaki berlesung pipit di kedua pipinya terbahak-bahak. Raihan namanya.

"Kamu salah orang." Kini giliran anak lelaki cadel yang bicara. Siapa lagi kalau bukan Rafka Arjuna alias Juna?

"Aku dengar kalian legenda sekolah ini. Kalian pernah berhasil mengungkap kejahatan seorang guru dan menyeretnya ke penjara," ujar Xavier sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Sayang sekali legenda sekolah harus membuat kesalahan fatal hanya karena masalah remeh."

Keempat orang itu terdiam memandang Xavier dengan mimik datar. Calla kemudian berujar, "Kesalahan apa? Kami gak ngapa-ngapain."

"Informasi mengenai Reynand itu palsu. Dia hanya dijebak."

"Terus urusannya sama kami apa?" Raihan menyela. "Kami gak tahu apa-apa soal masalah Reynand atau siapalah itu namanya dan akun lambe yang kamu bilang."

Xavier menghela napas panjang dan menyemburkannya. "Ya ... superhero biasanya memang tidak mau identitasnya ketahuan. Tapi kalau mau jadi superhero sungguhan, lakukan dengan benar."

"Terus sekarang kamu maunya apa?" Raihan bertanya sinis.

"Dari mana informasi palsu itu berasal? Seseorang mengirimnya, atau kalian sendiri yang mendapatkannya?"

"Kamu salah alamat kalau nanya ke sini."

Xavier mendengkus. "Tidak mau mengaku rupanya."

"Tapi ngomong-ngomong, kenapa kamu bersikeras melakukan ini?" sela Juna.

"Aku hanya membantu temanku. Kenapa? Salah?"

"Membantu? Kamu Aiden, kan? Anak yang punya kelainan psikologis dan gak bisa merasakan apa pun? Apa kamu sudah punya empati sekarang?"

Xavier membatu. Gawat. Kenapa malah identitas dirinya yang ketahuan? Namun meski begitu, Xavier mengatur emosinya agar tetap tenang. Terutama ekspresi wajahnya.

"Aku tidak punya perasaan, tapi aku masih punya akal sehat. Memfitnah seseorang dan membiarkannya mendapat hukuman tanpa kesalahan, itu sungguh bukan perbuatan terpuji. Aku diajari untuk menjadi orang baik sejak kecil. Makanya aku tidak membunuh pembunuh ayahku. Kalau aku psikopat, aku akan melenyapkannya tanpa ampun saat itu juga."

Entah kenapa Xavier bicara sebanyak itu di hadapan mereka. Dia hanya merasa harus mengatakannya. Agar pandangan orang-orang terhadap Aiden juga berubah.

"Kami gak ada kaitannya dengan akun lambe sekolah dan informasi yang diunggah di sana," kata Juna. "Tapi kalau kamu meminta bantuan demi membantu temanmu, kami akan bantu."

"Jun ...." Raihan mencolek lengan Juna dengan ekspresi tidak setuju.

"Tapi kami sibuk," ralat Juna. "Cari kami lagi kalau kamu sudah tahu apa yang akan kamu lakukan."

Tidak mau membuang waktu, Xavier berpikir cepat dan memutuskan mengambil tindakan. "Kita akan bergerak sekarang."

"Sekarang?" Raihan memandang Xavier dengan alis terangkat.

"Anu ... itu ... kalian punya itu ... apa namanya?" Xavier menggambar bentuk kotak di udara kosong dengan jari-jarinya, kemudian terbelalak saat menemukan sesuatu yang menyembul di saku jas Calla. "Oh! Benda itu bisa untuk merekam, kan?"

"Maksud kamu handphone?" Calla berujar seraya mencabut benda itu dari dalam saku.

"Iya. Ikuti aku!"

Sebagai putra mahkota yang memimpin peperangan, Xavier bisa menemukan strategi penyerangan dengan cepat. Xavier pergi lebih dulu untuk memimpin jalan, tetapi berbalik sebentar hanya untuk memperingatkan mereka agar tidak menimbulkan kecurigaan. Pertama-tama, Xavier pergi ke kelas Reynand untuk bertanya di mana perempuan yang sudah menyebabkan dirinya dalam masalah. Ternyata gadis bernama Vania itu satu kelas dengannya. Langsung saja Xavier menuju tempat duduk gadis itu setelah ditunjukkan Reynand.

"Vania?" ujar Xavier dengan ekspresi lempeng.

Vania yang sedang mengobrol bersama teman-temannya mendongak menatap Xavier. "Iya?"

"Aku mau bicara."

"B-bicara apa?" Gadis itu mendadak gelisah dan menghindari tatapan Xavier.

"Kita bicara di luar."

Xavier berjalan keluar dari kelas lebih dulu, tetapi Reynand menahannya di pintu.

"Kamu ada perlu apa sama cewek itu?" tanyanya.

"Minggir. Bukan urusanmu."

Reynand melepas tangannya dan menjawab, "O-oke." Wajahnya berubah pucat. Sepertinya akting Xavier sudah terlihat seperti psikopat berdarah dingin sungguhan.

Setelah keluar dari kelas dan melewati beranda, Xavier menemukan empat orang bala tentara dadakannya sedang mengobrol ngalor-ngidul sambil tertawa. Entahlah apa yang mereka tertawakan. Yang penting tindakan mereka terlihat alami dan tidak menimbulkan kecurigaan.

Xavier membawa Vania ke belakang sekolah yang sepi. Gadis itu tidak berani mengangkat kepala ketika berhadapan dengan Xavier.

"A-anu ... k-kamu mau bicara apa? Sebentar lagi masuk," ujar gadis itu. Sepertinya dia mencoba untuk menghindari Xavier dengan mencari-cari alasan.

"Aku tidak akan lama."

"K-kalau begitu ... ada apa?"

"Kenapa kamu melakukan itu pada Reynand?"

Kepala Vania terangkat sedikit, tetapi buru-buru menunduk lagi saat tatapannya bertemu dengan Xavier. "M-melakukan apa?"

"Peluk-peluk Reynand sembarangan."

"A-aku ... waktu itu lagi banyak masalah. Aku cuma butuh tempat buat bersandar."

"Tapi apa harus dengan peluk-peluk pria sembarangan?"

Vania menutup wajahnya dengan kedua tangan dan berujar dengan suara yang nyaris menangis, "Aku cuma pengen nangis dan ada yang nenangin aku."

"Bukannya kamu punya pacar? Kenapa malah Reynand?"

"Aku kesal sama Deva. Aku mau putus sama dia."

Xavier terdiam. Itu dia masalahnya. Kaki Xavier maju selangkah dan menatap gadis itu baik-baik.

"Jadi karena itu kamu memanfaatkan Reynand?" desak Xavier.

Vania mengintip Xavier sedikit dari balik jari-jarinya. "M-maksud kamu apa?"

"Kamu memanfaatkan Reynand untuk putus dari Deva. Iya?"

"Aku gak bermaksud seperti itu!" Vania menatap Xavier lebih berani, tetapi wajahnya terlihat putus asa. "Aku bahkan gak nyangka ada orang yang melihat kami dan fotonya akan tersebar."

Xavier memutar otak. Jadi bukan dia yang sengaja mengirim fotonya.

"Lalu kenapa kamu diam saja ketika foto itu menyebar?" Xavier bertanya lagi.

"Karena udah telanjur menyebar dan citraku jadi jelek. Aku juga gak mau bikin Deva menanggung malu dengan mempertahankan dia sebagai pacarku. Jadi aku sekalian aja manfaatkan momennya."

Vania menutup wajahnya lagi dan berujar, "Iya, aku salah soal ini. Tapi sekarang udah kayak gini, mau gimana lagi?"

Xavier menghela napas dan matanya menangkap sebuah handphone teracung dari balik tembok beberapa meter dari tempatnya berdiri. Dia kemudian berujar, "Kamu tinggal klarifikasi dan bersihkan nama baik Reynand."

"Gimana caranya? Aku malu buat ngelakuin itu."

"Memangnya aku peduli?"

Mendengar nada dingin Xavier, Vania mengintip lagi dari balik tangannya. Xavier maju selangkah dan Vania refleks mundur, nyaris terjengkang.

"Kamu tinggal pilih. Meminta maaf secara langsung di hadapan semua orang, atau rekaman itu yang bicara." Xavier menunjuk handphone yang teracung tanpa kelihatan pemiliknya.

Vania menoleh, dan dengan begitu rekamannya jadi sempurna. Wajah Vania terekam jelas di sana.

"Kamu sengaja menjebakku?" Vania menatap tajam Xavier.

"Ini bukan apa-apa jika dibandingkan dengan yang kamu lakukan pada Reynand."

Vania kembali menciut. Sepertinya wajah Xavier benar-benar menakutkan sekarang.

"O-oke. T-tapi aku perlu waktu untuk mempersiapkan diri," kata Vania.

"Tapi aku tidak punya banyak waktu."

Xavier bisa melihat gadis di hadapannya menelan ludah ketika dia membuang muka. Sebenarnya Xavier tidak tega menakut-nakuti anak orang seperti ini, tetapi harus mempertahankan mode seramnya beberapa saat lagi. Bel masuk akhirnya berbunyi, dan itu digunakan Vania untuk kabur.

"Aku harus masuk kelas," katanya.

Secepat kilat Xavier menarik tangan Vania hingga tubuh mereka hampir berbenturan. Agar tampak mengintimidasi, Xavier berujar tepat di samping telinga Vania.

"Ingat. Aku tidak punya banyak waktu. Aku ingin sebelum sekolah bubar hari ini, masalahnya sudah selesai."

Setelah mengatakan itu, Xavier melepaskan Vania. Namun, gadis itu langsung terduduk ketika Xavier pergi. Tidak peduli, Xavier tak mau menoleh ke belakang sedikit pun. Dia kemudian menemukan empat sekawan yang bersembunyi di balik tembok. Sebagai apresiasi, Xavier mengacungkan jempol sembari berjalan pergi.

Waktu beranjak siang. Sepanjang waktunya di sekolah, digunakan Xavier untuk menunggui perkembangan informasi di grup sekolah menggunakan handphone Dean. Dia terus memandangi layar sembari menaruh dagunya di meja dan handphone-nya dipegang dengan posisi berdiri, ditutupi oleh buku agar tidak terlihat guru dari depan. Namun sampai bel istirahat berbunyi, dia tidak menemukan apa pun di sana.

"Kenapa dia belum melakukan apa-apa?" omel Xavier membuat Dean menoleh.

"Di-reload dulu. Unggahan barunya gak akan kelihatan kalau cuma dilihatin doang."

Dean mengambil handphone-nya, kemudian menarik layar dari atas sampai bawah. Tampilannya segera berubah, tetapi yang ditunggu Xavier masih belum ada.

"Kamu yakin cewek itu bakal klarifikasi di grup?" tanya Dean.

"Aku menyuruhnya meminta maaf di hadapan semua orang. Kalau tidak, empat legenda sekolah itu yang akan mengunggah rekamannya."

"Kalau gitu dia gak akan berani mengunggah apa-apa di grup."

"Kupikir dia tidak cukup berani untuk mengaku secara langsung, jadi grup adalah pilihan tepat."

"Kalian mau ikut ke kantin gak?" Suara Luna tiba-tiba menyela obrolan mereka berdua.

"Nanti nyusul," jawab Dean.

Luna dan Felly segera keluar dari kelas, sementara Xavier menaruh kepalanya lagi di atas meja. Hingga pengeras suara di sudut-sudut plafon terdengar berbunyi. Tubuh Xavier menegak ketika suara seorang perempuan menguasai pendengarannya.

"Selamat siang, semuanya. Ini Vania. Mohon maaf mengganggu waktu istirahat kalian. Aku harus menyampaikan sesuatu yang sangat penting. Ini mengenai kesalahpahaman yang terjadi antara aku dan Reynand. Sebenarnya, informasi yang beredar selama ini tidak seperti yang kalian pikirkan. Aku dan Reynand tidak ada hubungan apa-apa. Foto yang kalian lihat hanya kebetulan Reynand sedang menenangkan aku yang menangis. Tapi karena keegoisanku, Reynand harus menerima hukuman. Aku minta maaf pada Reynand dengan tulus. Tapi aku tidak berani menatap wajahnya sekarang. Aku tahu Reynand meninggalkan grup sekolah setelah dia memaki admin di sana. Makanya aku memilih untuk mengatakannya di sini. Selain itu, tidak semua orang berada di grup sekolah, sementara Reynand menerima kebencian dari semua orang. Aku harap setelah ini, kalian tidak lagi salah paham pada Reynand. Dia anak baik yang tidak mungkin melanggar kode etik tim basket. Sekali lagi, aku meminta maaf dengan tulus."

Pengeras suara dimatikan dan digantikan riuh anak-anak yang ada di kelas. Xavier menghela napas lega, tetapi Dean mengejutkannya.

"Eh! Admin juga bikin klarifikasi di grup!" pekiknya membuat semua orang mengeluarkan handphone masing-masing dan ikut memeriksa.

Xavier melongok pada handphone yang disodorkan Dean padanya, kemudian membaca klarifikasi dari admin.

"Admin memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kekacauan yang terjadi. Ini pelajaran untuk admin agar lebih berhati-hati dalam menyaring informasi, juga pelajaran bagi kita semua agar bersuara lantang menyerukan kebenaran. Kesalahpahaman akan tetap menjadi kesalahpahaman jika tidak ada yang meluruskan. Kebohongan akan dipercaya sebagai kebenaran jika tidak ada yang berani mengungkapkan. Mari tetap jaga kedamaian SMA Wijayamulya sampai akhir."

Xavier menyemburkan napasnya lemas. "Kehidupan anak sekolah di sini banyak sekali drama," keluhnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top