Bab 27: Jalan-jalan

Aiden menatap Dean yang dengan lincah memanjat tembok pagar belakang sekolah. Berpijak pada batu yang ditumpuk, kemudian naik dengan kaki panjangnya. Tinggi mereka sepantaran. Harusnya Aiden juga bisa melakukan hal yang sama. Namun, ternyata dia harus menerima uluran tangan Dean yang sudah lebih dulu duduk di atas tembok pagar.

"Kenapa harus memilih jalan ini padahal bisa memutar ke jalan yang bener?" kata Aiden sambil memandangi beling-beling yang menancap di atas tembok. Sedangkan tempat dirinya berpijak, belingnya sudah hilang entah ke mana. Mungkin dibersihkan oleh anak-anak yang terbiasa memanjat pagar.

"Ini lebih seru." Dean menyeringai kemudian melompat dan mendarat di atas rumput. Setelah itu, dia melompat lagi melewati got untuk bisa mencapai jalan beraspal.

Aiden melakukan hal yang sama selagi Dean menunggunya. Mereka kemudian menyeberang jalan menuju warung yang dimaksud oleh Dean. Tampak Xavier sedang menyandarkan dagunya di meja beranda. Kakinya bergoyang-goyang di kolong, dan tangannya memainkan sedotan di dalam gelas berisi minuman yang sudah bisa ditebak kalau itu es teh.

Menyadari kedatangan Aiden dan Dean, Xavier menegakkan tubuh dan melambaikan tangan sambil tersenyum lebar. Giginya berderet rapi dan ada lesung pipit tipis membayang di kedua belah pipi. Kalau Aiden bisa tersenyum lebar, mungkin seperti itu pulalah wujudnya. Mereka berdua kemudian ikut duduk di kursi mengelilingi meja bulat di tengah-tengah.

"Aku haus, tapi tidak punya uang. Aku belum meminumnya karena menunggumu," kata Xavier pada Dean.

Dean menyemburkan napas dan berujar, "Ya udah, minum. Aku udah datang, nih."

Xavier tertawa kecil kemudian menyedot minumannya.

"Kamu datang ke sini buat bantuin Reynand?" tanya Aiden.

Xavier melepas sedotan dari mulutnya dan dia gunakan untuk mengaduk es teh. "Aku akan segera pergi. Aku ingin melakukan kebaikan dulu sebelum itu."

"Segera pergi? Kamu merasa ada yang aneh dengan tubuh kamu?" Tiba-tiba Aiden kepikiran apakah Xavier sudah menyadari dirinya perlahan-lahan menghilang.

"Tubuhku sudah tidak pernah lebur lagi. Itu artinya aku sudah pulih. Luna bilang, aku bisa pulang kalau sudah pulih."

Aiden mengangguk. Ternyata bukan seperti dugaannya.

"Udah sampai mana bantu Reynand?" tanya Aiden.

"Aku baru menemukan keempat kandidat admin akun lambe sekolah. Aku akan mendesak mereka untuk memberi tahu tentang siapa yang mengirim informasi palsu itu."

"Jadi Reynand beneran dijebak?"

Xavier mengangguk.

"Bukannya udah jelas kalau pengirim foto itu si ceweknya sendiri?" sela Dean.

Xavier menoleh. "Kenapa kamu berpikir begitu?"

"Kalau dia aja sengaja jebak Reynand, dia juga bakal sengaja ngirim foto itu biar jadi skandal."

Xavier menjentikkan jari. "Kesatria Dean memang bisa diandalkan."

Dean menahan senyum sambil menyisir rambutnya ke belakang menggunakan jari.

"Tapi kita tidak boleh menyimpulkan sesuatu yang belum jelas. Itu baru dugaan sementara," ralat Xavier.

Ekspresi Dean berubah seketika. Dia merebut minuman Xavier dan menyedotnya.

"Ngomong-ngomong, sekarang kita mau ke mana?" tanya Xavier.

"Pulanglah, ke mana lagi?" Dean menjawab sembari mengembalikan minumannya.

"Tidak bisakah kita main dulu?" Xavier bersedekap di meja dan menatap Dean sambil tersenyum.

"Kenapa kamu jadi kayak anak kucing begini?" Dean bergidik sambil meringis.

"Aku akan segera pergi dari tempat ini. Aku mau jalan-jalan dulu. Ya? Temani aku. Sebentar saja." Xavier menangkupkan kedua tangannya mohon-mohon.

Dean mendesah dan menoleh pada Aiden. "Kita mau main ke mana?"

"Ke mal?"

"Enggak. Nanti Xavier norak. Malu-maluin lihat tangga bisa jalan."

"Di sini ada tangga bisa berjalan?" Xavier membulatkan matanya. "Ayo kita lihat tangga berjalan!"

Dean mendesah lagi. Kali ini tubuhnya terkulai lemas di kursi. Sepertinya dia menyesal sudah membahas soal tangga berjalan. Tanpa sadar, Aiden tertawa samar sampai Dean menegakkan tubuhnya dan Xavier menatapnya sambil terbelalak.

"Barusan kamu ketawa?" Mata Dean tak kalah memelotot.

Aiden menggaruk tengkuk yang tidak gatal. "Aku ... ketawa?"

Bahu Dean dan Xavier merosot kompak, kemudian berlagak tidak peduli lagi pada Aiden. Dean membayar minumannya dan segera memesan taksi online tujuan ke mal. Benar seperti dugaan Dean, tiba di sana Xavier bertingkah seperti orang baru pertama kali menginjakkan kaki di mal. Dia juga merengek pada Dean untuk menunjukkan tangga berjalannya.

Tiba di depan eskalator, Xavier melongo. Dia memperhatikan orang-orang naik ke sana dulu sebelum akhirnya ikut mencoba. Dia berpijak di salah satu undakan sambil merentangkan tangan dan berteriak kegirangan. Aiden pikir, Dean akan menyembunyikan wajahnya karena malu melihat tingkah Xavier. Namun ternyata, dia malah terbahak sambil merekam Xavier menggunakan handphone-nya.

Dean memang sulit ditebak. Setelah terbahak-bahak melihat kelakuan Xavier di eskalator, dia berubah marah-marah saat Xavier merengek ingin naik wahana permainan anak-anak. Si Ulil, wahana mini coaster yang terkenal di Bandung, berbentuk seperti ulat raksasa berwarna hijau. Bukan apa-apa, Dean bilang dia malu harus antre dengan bocil-bocil. Terus kenapa dia tidak malu waktu Xavier teriak-teriak di eskalator? Aiden tidak habis pikir. Akhirnya, Dean menyeret Xavier pergi dan membawanya berjalan dari ujung ke ujung. Tiba di toko baju, Aiden berhenti saat menemukan sebuah hoodie berwarna hitam dengan tali panjang putih menyembul dari ujung bawah tudungnya.

"Mau beli hoodie kembaran gak?" tanya Aiden.

"Boleh!" Xavier menjawab riang. "Tapi aku tidak punya uang."

"Aku yang belikan."

"Benarkah? Wah, baik sekali." Tawa Xavier makin lebar sampai menenggelamkan matanya.

"Aku juga dibayarin?" Dean tiba-tiba-tiba merangsek ke hadapan Aiden, dan senyumnya merekah saat Aiden mengiakan.

Akhirnya, mereka bertiga membeli hoodie yang sama persis dan langsung dipakai saat itu juga. Bosan keliling mal, mereka keluar untuk menyusuri jalanan kota, melewati bangunan-bangunan bersejarah di kota Bandung. Dean mengabadikan momen itu dengan handphone-nya. Mereka juga berpose bertiga dengan posisi Dean di tengah-tengah.

"Wah, beneran kayak diapit kembar identik," ujar Dean sembari menatap fotonya.

Berbeda dengan Dean, Xavier malah heran kenapa wajahnya bisa masuk ke sana.

"Benda ini benar-benar canggih," kata Xavier sembari menunjuk handphone Dean.

"Kamu punya handphone gak?" tanya Aiden tiba-tiba penasaran.

Xavier menggeleng dan menjawab, "Tidak."

"Aku ada handphone bekas Papa gak dipakai. Kamu boleh pakai."

"Kamu serius?" Mata Xavier melebar.

Aiden mengangguk yakin. "Nanti aku bawakan."

Namun, Xavier merengut kemudian. "Aku, kan, mau pulang. Percuma saja. Di sana tidak akan bisa digunakan."

Aiden memperhatikan raut wajah Xavier yang tampak cemberut. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan dan berhenti di toko aksesori karena Xavier tertarik untuk mengintip dari kaca besar.

"Masuk aja sekalian. Malu ngintip di sini," kata Dean yang kemudian memimpin jalan.

Tiba-tiba Xavier mengambil sebuah gelang biji berwarna cokelat dan menunjukkannya pada Aiden. "Ini gelang?" tanyanya.

Aiden mengangguk. "Kamu mau?"

"Aku tidak punya uang."

"Aku bayarin."

Xavier menggaruk tengkuknya sambil meringis. "Kamu sudah belikan aku ini," katanya sembari menunjuk hoodie.

"Gak masalah, kok. Aku juga mau ambil satu." Aiden kemudian mengambil satu gelang sama persis.

"Apaan, nih? Mau kembaran lagi?" Dean tiba-tiba menimbrung dan mengambil satu juga yang sama persis. "Kali ini aku bayar sendiri, ya."

Hari makin sore. Perut juga sudah kenyang diisi berbagai jajanan khas Bandung mulai dari cireng, cilok, cilor, cilung. Xavier akhirnya mengajak pulang. Aiden pun ikut pulang ke bakery dan berniat menginap di sana. Dean dan Xavier tampak senang, tetapi tidak dengan penghuni bakery yang lain. Ketika mereka bertiga datang, Luna menatap ketiganya dari atas sampai bawah. Ekspresi senang biasanya tersenyum, jadi Aiden menyimpulkan Luna tidak senang dengan kedatangannya karena wajahnya cemberut dan alisnya menukik.

"Sejak kapan kalian jadi kembar tiga?" tanya Luna.

Aiden menghela napas. Ternyata gadis itu heran dengan penampilan mereka bertiga. Tanpa berniat menanggapi Luna, Dean dan Xavier melengos pergi. Hanya Aiden yang masih bertahan.

"Aku mau nginap di sini. Boleh?" kata Aiden.

"Kenapa enggak? Reynand juga pernah nginap di sini."

"Oh, ya?"

Luna mengangguk. "Tapi kasur Kak Dean kayaknya gak muat buat bertiga."

"Aku bisa tidur di sini." Aiden menunjuk sofa.

Luna berlalu setelah mengangguk. Aiden akhirnya mengikuti Dean dan Xavier ke kamar kemudian numpang mandi. Suasana rumah ini agak berbeda dengan rumahnya. Mungkin karena di sini lebih banyak orang jadi terasa ramai. Setelah papanya meninggal, Aiden cuma tinggal berdua dengan Om Alfi. Meski Om Alfi banyak mengajaknya bicara, tetapi rasanya berbeda dengan mengobrol bersama Dean dan Xavier. Mungkin karena sebenarnya obrolan bersama Om Alfi adalah sesi konseling yang disamarkan jadi mengobrol. Lama-lama Aiden tidak lagi tertarik berbicara dengannya. Jadi, ide bagus dia memutuskan menginap di sini.

Seperti yang Luna bilang, kasur Dean tidak muat untuk mereka bertiga. Jadi setelah makan malam, Dean menggelar kasur lantai di ruang keluarga menghadap televisi. Mereka berbaring berjejer layaknya ikan dijemur. Posisinya Xavier di tengah-tengah.

"Luna bilang Reynand pernah menginap di sini juga," ujar Aiden.

Xavier menyahut sambil mengomel, "Hah, anak itu! Dia membuatku harus berakting terus sampai rasanya wajahku mati rasa."

"Tapi akting kamu lumayan bagus. Dia gak sadar-sadar sampai sekarang." Dean tergelak.

Tiba-tiba handphone Aiden berdering. Om Alfi menghubunginya melalui panggilan video. Aiden sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan omnya. Jadi, dia menyuruh Xavier dan Dean agar diam selama dia menerima telepon.

"Kamu beneran menginap di rumah teman?" tanya Om Alfi tanpa basa-basi.

"Aku, kan, udah bilang di chat."

"Mana sini temen kamunya?"

Aiden bangun dan meminta Dean bangun juga. Sebisa mungkin kamera handphone-nya tidak menangkap wajah Xavier.

"Hai, Om!" Dean melambaikan tangan ke kamera.

"Udah percaya sekarang?" ujar Aiden.

"Iya, percaya," jawab Om Alfi.

"Kalau gitu aku tutup dulu."

"Kamu pikir Om telepon kamu cuma buat mastiin kamu nginep atau enggak? Ini sesi konseling."

"Kita libur dulu untuk hari ini, ya. Gak enak sama Dean."

Tanpa meminta persetujuan, Aiden menganggap omnya setuju. Dia pamitan menutup telepon dan kembali berbaring.

"Sesi konseling apa?" tanya Xavier.

"Konseling untuk mengatasi alexitimiaku."

"Om kamu psikolog?" Kini Dean yang bertanya.

"Iya."

"Emang konselingnya ngapain aja?"

"Macam-macam. Kadang aku diajak nonton film, tapi lebih banyak diajak ngobrol. Ditanya-tanya apa yang aku alami seharian ini dan gimana rasanya. Kayak gitu-gitu terus."

"Aku tebak kayaknya kamu gak senang dengan sesi konselingnya."

"Aku cuma merasa gak ada yang menarik. Mungkin karena udah keseringan, atau memang aku gak tertarik sama apa pun."

Mereka bertiga akhirnya terdiam. Hanya terdengar suara televisi yang memutar sinetron. Sampai akhirnya Dean kembali terdengar bersuara dan menyuruh untuk mengacungkan tangan mereka yang bergelang. Ternyata dia memotretnya.

"Kamu suka sekali memotret," kata Xavier.

"Buat kenang-kenangan."

"Wah, sepertinya kamu sedang berusaha melepasku dengan ikhlas."

Dean tertawa kecil. Hening lagi untuk beberapa saat.

"Kalau kamu pulang, apa kamu bakal kangen aku? Kangen Luna?" tanya Dean tiba-tiba.

Xavier tidak menjawab. Aiden menoleh dan Xavier sedang memandang langit-langit.

"Aku pasti akan merindukan kalian," kata Xavier pada akhirnya.

"Kamu gak mau menetap di sini aja?" Dean bertanya lagi.

"Ayah Bima bilang, sebaik-baiknya tempat pulang adalah keluarga. Aku senang berada di sini, tapi di luar sana keluargaku sedang menunggu. Ayah, Ibu, Dean, aku harus segera menyelamatkan mereka."

Aiden termangu. Tiba-tiba kepikiran bagaimana kalau Xavier belum sempat kembali dan keburu lenyap dari dunia ini?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top