Bab 25: Jika Jatuh Cinta adalah Jalan Keluar
Luna termangu menatap langit-langit kamarnya sembari berbaring di kasur. Dia terus teringat dengan perkataan Aiden mengenai Xavier yang tidak bisa bertahan lama di dunia ini. Terkesiap karena mengingat sesuatu, Luna bergegas menarik laci nakas yang ada di samping tempat tidur. Dikeluarkannya buku yang menjadi dunia Xavier dan dia membuka halaman dengan kasar. Setengah dari buku itu masih kosong seperti terakhir kali dia lihat. Luna jadi heran sendiri. Kalau buku versi ini ceritanya saja menghilang, kenapa Aiden memilih versi cerita ini untuk mengembalikan Xavier?
Makin penasaran, Luna memutuskan untuk menelepon Aiden. Suaranya baru menyahut setelah bunyi nada sambung terdengar beberapa kali.
"Kenapa, Lun?"
"Apa gak ada cara lain lagi buat mengantar Xavier pulang?"
"Gak ada. Ceritanya cuma ada dua itu."
Luna mendesah dan memijit pelipisnya sampai hening beberapa saat.
"Luna?" Terdengar Aiden memastikan keberadaan Luna.
"Tapi kenapa harus aku yang antar dia pulang?"
"Ceritanya memang begitu."
"Tapi itu, kan, cuma cerita. Mana bisa aku ...." Tanpa melanjutkan kata-katanya, Luna mengembuskan napas kasar.
"Coba aja dulu. Kali aja kamu beneran jatuh cinta sama dia."
"Gampang banget, ya, kamu ngomong? Kalau aku beneran jatuh cinta sama dia, aku akan jadi Luna seperti dalam cerita. Yang dengan egois menahan Xavier karena gak mau dia pergi, padahal aku tahu jalan menuju Cloudpolis."
"Tapi pada akhirnya kamu mengantar dia pulang dengan ketulusan cinta dan keikhlasan kamu."
"Itulah masalahnya. Dalam cerita, mereka tetap bersama setelahnya karena Luna ikut tinggal di istana. Sementara aku? Aku akan kehilangan Xavier."
Entah kenapa Luna mengatakan hal itu dengan mata yang tiba-tiba memanas. Aiden pun tidak ada respons. Mereka saling diam untuk beberapa saat.
"Aku tanya Om Alfi dulu," kata Aiden membuat Luna membeliak sekaligus mengerutkan dahi.
"Buat apa?"
"Tunggu sebentar. Nanti aku telepon lagi."
Sebelum sempat menanggapi, Aiden sudah menutup sambungan. Luna mendengkus dan melempar handphone ke kasur. Dia termenung sambil sesekali memeriksa handphone-nya. Belum ada tanda-tanda Aiden menelepon. Lagipula, apa yang akan dia tanyakan pada Om Alfi? Memangnya Om Alfi tahu juga soal Xavier yang keluar dari novel? Kepala Luna makin pusing saja. Dia hendak keluar dari kamar sebelum akhirnya handphone berdering. Dengan sigap Luna menyambar benda itu dan menerima telepon Aiden.
"Halo?"
"Om Alfi bilang, kemungkinan kamu udah jatuh cinta sama Xavier."
Luna tersedak ludah yang dia telan sendiri. Wajahnya tiba-tiba panas dan menjalar sampai ke telinga. Dia mengipasi wajahnya dengan tangan kemudian berujar, "Memangnya Om Alfi itu siapa? Sok tahu banget!"
"Dia psikolog. Tapi dia bilang, orang biasa pun bisa menyimpulkan dengan mudah. Kecuali kalau dia punya masalah seperti aku."
Luna tertawa dibuat-buat. "Menyimpulkan dengan mudah? Dia menyimpulkan berdasarkan apa memangnya?"
"Kamu gak mau kehilangan Xavier. Artinya kamu cinta sama dia."
"Kalau begitu aturannya, aku juga jatuh cinta sama Kak Dean karena gak rela kehilangan dia."
"Kamu takut kehilangan Dean?"
"Iya. Makanya aku mati-matian melarang di ambil beasiswa di luar negeri."
"Kenapa? Kalau itu impian dia, kenapa kamu larang?"
Luna terdiam sejenak karena tiba-tiba tenggorokannya terasa ngilu. "Kamu tahu kami bukan saudara kandung, kan? Aku takut kalau dia pergi, kami akan jadi orang asing saat bertemu lagi."
Tidak ada jawaban dari Aiden. Luna sampai memeriksa handphone-nya memastikan apakah sambungannya belum terputus. Ketika Luna menempelkan lagi handphone-nya ke telinga, Aiden berujar,
"Aku tanya lagi ke Om Alfi. Apakah ini perasaan takut kehilangan yang sama atau berbeda."
Luna menyemburkan napas kasar. Padahal, suasananya sedang agak sendu. Aiden dengan nada tak berdosanya merusak suasana itu. Luna sudah menarik napas untuk mengomel, tetapi Aiden keburu memutus sambungan teleponnya. Pada akhirnya, Luna hanya bisa mengepalkan tangan dan meninju udara karena gemas. Dilemparnya handphone ke kasur, dan dia mengentakkan kaki keluar dari kamar. Namun, dia terkejut karena Dean ada di balik pintu yang tidak tertutup rapat. Sedang memegang nampan berisi segelas susu cokelat kesukaannya, juga sepiring roti.
"Siapa yang bikin roti?" tanya Luna menatap kakaknya penuh selidik.
Dean menjawab tanpa menatap mata Luna. "A-aku."
Luna menghela napas dan mencomot satu roti kemudian melahapnya. Dean menoleh dan menatapnya.
"Enak," kata Luna.
Dean tersenyum.
"Tapi sampai kapan pun, aku gak bakal izinin Kak Dean ambil beasiswa ke luar negeri!" tegas Luna.
Dean hanya tertunduk tanpa menjawab.
"Kak Dean udah bisa jadi penerus Ayah tanpa susah-susah ke luar negeri segala."
Dean menghela napas. Luna merebut nampan dan membawanya ke ruang tengah. Dia menaruhnya di meja kemudian bersila di atas sofa. Xavier ada di sebelahnya, sedang meringkuk tertidur memeluk Sky. Melihat wajah tenang cowok itu, Luna tersedak dan rotinya menyembur dari mulut. Buru-buru dia minum susu cokelatnya, tetapi ternyata masih panas. Lidahnya serasa melepuh. Dean datang bergabung dan duduk memeluk lutut di lantai berkarpet. Menatap lurus ke arah TV yang menyala. Tidak ada kecerahan di wajahnya.
"Kalau mau punya sertifikat, ikut lembaga kursus lokal aja. Gak usah ke luar negeri," ujar Luna, paham apa yang dikatakan ekspresi kakaknya.
Dean hanya menoleh sedikit tanpa menjawab apa pun.
"Kenapa, sih, ngotot banget mau ke luar negeri?" Luna mulai mengomel, dan tanpa sadar suaranya bergetar.
"Ngotot apanya? Aku baru coba sekali dan itu pun gagal."
"Itu karena doaku dikabul."
Terdengar tawa kecil Dean. Dia mengubah posisi kakinya jadi berselonjor dan punggungnya menyandar mengenai lutut Xavier hingga cowok itu menggeliat. Dengan muka bantalnya, Xavier bangun sambil mengucek mata. Setelah itu, tangannya menjulur mengambil roti di atas piring. Sontak Luna memukul tangan Xavier sampai dia memekik dan Dean terlonjak.
"Cuci tangan dulu, kek! Kamu habis pegang-pegang kucing. Nanti bulunya kemakan," omel Luna.
Setelah mendesah lemah, Xavier bangun dan pergi mencuci tangan. Dia baru kembali dengan wajah yang juga basah. Ternyata bukan cuma tangan yang dia cuci. Xavier segera bergabung dan melahap rotinya. Namun karena suasana sepi dan hanya terdengar suara TV, cowok itu menceletuk,
"Kalian bertengkar?"
"Enggak, kok." Luna menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari TV.
"Sepertinya aku mendengar kamu mengomel. Apa aku bermimpi, ya?"
Luna berdecak sambil menoleh pada Xavier, sementara cowok itu melahap rotinya dengan wajah tidak bersalah.
"Aku merasakan ada aura kegelapan di sini," kata Xavier dengan mulut penuh roti. "Seperti aura penyihir."
"Kayaknya di sini emang ada nenek sihir." Dean tiba-tiba menimbrung dan sontak mendapat pukulan Luna di punggungnya.
"Kasihan sekali Dean di dunia ini. Hidupnya pasti menderita setiap hari." Xavier geleng-geleng mendramatisasi keadaan.
"Bilangin sama Dean pengawal kamu itu. Tukeran tempat aja sama aku." Suara Dean terdengar jengkel dan dia mengusap-usap punggung bekas pukulan dengan kasar.
"Tapi Dean pengawalku hidupnya cuma mengurusiku saja. Kalau ada yang menodongkan pedang padaku, maka dia orang pertama yang akan mengadangnya. Kamu tidak keberatan?"
Dean menoleh dengan mata membeliak. "Kalau pedangnya kena dia gimana?"
"Itu sudah jadi sumpah setia dia padaku. Kamu tahu apa yang dia katakan sebelum kami berpisah dan aku terlempar ke sini? 'Kalau ada yang bisa bertahan hidup di antara kita berdua, maka orangnya adalah Tuan Muda.' Dia bilang begitu."
Dean geleng-geleng dengan mulut menganga. "Dia benar-benar kesatria."
Tiba-tiba Dean memutar badan dan menghadap Xavier yang duduk di atas kursi sehingga dia mendongak ketika bicara dengannya. "Aku gak tahu kalau papanya Aiden menciptakan sosok Dean sekeren itu. Sepertinya di mata Aiden, aku juga punya pesona seperti kesatria. Iya, kan?"
"Kamu pikir Aiden akan berpikir begitu? Aku yakin dia tidak akan tersentuh walaupun kamu menyelematkannya ketika dia tenggelam."
"Iya juga." Dean berdecak.
"Cerita itu, kan, dibuat oleh ayahnya. Mungkin dia yang menafsirkan karakter kamu berdasarkan cerita Aiden."
Dean manggut-manggut sambil menggaruk dagu. "Bisa jadi."
"Oh, iya. Ngomong-ngomong, apa tadi aku ketahuan?" Tubuh Xavier yang semula bersandar tiba-tiba menegak dan bicara lebih serius.
"Kayaknya enggak. Aiden gak bilang apa-apa."
"Kalau orang itu sudah pulang, berarti aku tidak bisa sembarangan pergi ke rumah Aiden."
"Ya udah, tinggal gak usah ke sana aja."
"Ini sebenarnya agak aneh. Aku merasa ... ada sesuatu yang tertaut di antara aku dengan Aiden."
Dean membulatkan mata dan Luna sontak ikutan menoleh. Xavier kemudian melanjutkan,
"Semacam kontak batin. Apa yang harus dia tangisi tapi tidak bisa, maka aku yang menangisinya. Sesuatu yang harus dia cemaskan tapi tidak bisa, maka aku yang mencemaskannya."
"Mungkin karena kamu adalah Aiden versi lain," timbrung Luna.
Xavier terdiam dan menatap Luna. Pipinya mengembung sebelah terisi dengan roti. "Ngomong-ngomong, apa buku itu belum selesai?"
Luna mengerutkan dahi. "Belum selesai gimana?"
"Aku lihat halaman ke belakangnya kosong. Ceritanya hanya sampai aku terlempar ke suatu tempat."
Tiba-tiba suara Luna tergagap. "J-jadi kamu juga udah tahu halaman lainnya kosong?"
Xavier mengangguk. "Kenapa?"
Luna menyemburkan napas. "Aku juga gak tahu. Tiba-tiba setengah ceritanya hilang."
Selagi terdiam beberapa saat dan tampak berpikir, Xavier mengunyah roti dan menelannya. "Jadi sebenarnya cerita itu sudah selesai?"
"Iya."
"Bagaimana akhir dari cerita itu?"
"Akhirnya kamu kembali ke Cloudpolis dan menangkap pengkhianat itu. Karena posisinya terpojok, pengkhianat itu gak punya pilihan selain membantu kamu melengserkan penyihir yang mengambil alih posisi raja. Dan kamu berhasil menyelamatkan orang tua kamu, sama Dean juga, yang jadi tawanan mereka selama kamu gak ada."
"Jadi, aku bisa kembali ke Cloudpolis?" Xavier tiba-tiba merangsek mendekat pada Luna sampai Luna harus merapatkan punggungnya ke sandaran sofa. "Bagaimana caranya aku kembali ke sana?"
"Heh?" Luna mendadak kehilangan kata-kata. Bagaiamana dia bisa mengatakan kalau dirinyalah yang bisa mengantar Xavier pulang. Dan sebelum itu, Luna harus jatuh cinta dulu padanya.
"Eng ... c-caranya ...." Luna menelan ludah susah payah selagi berpikir. "Y-ya ... kamu bisa kembali setelah kesehatan kamu pulih."
Xavier termangu dan hanya menatap Luna. Sementara tubuh Luna yang semula menegang karena gugup sudah mulai lunak kembali karena dia memilih jawaban yang tidak benar, tetapi tidak salah juga.
"Setelah aku pulih?" Xavier bertanya bingung.
"Iya. Kamu ingat, beberapa kali kamu keluar masuk tubuh Sky? Itu karena dia menyerap sihir yang ada di tubuh kamu, lalu mengeluarkan kamu lagi setelah lebih baik. Itu terjadi beberapa kali sampai Sky merasa sihir di tubuh kamu hilang sepenuhnya."
Xavier mengerutkan dahi dan menoleh pada Sky yang masih tertidur di sampingnya. "Aku sudah tidak pernah masuk tubuh Sky lagi. Apa itu artinya aku sudah pulih?"
"Eng ... ya ... bisa jadi." Luna manggut-manggut.
"Kalau begitu, aku sudah bisa kembali? Bagaimana caranya? Jalannya lewat mana? Apa benar-benar ada portal?"
Luna tidak bisa menjawab dan hanya mengerjapkan mata beberapa kali melihat dua cowok di hadapannya menatap menuntut jawaban. Pada akhirnya, Luna kembali memilih jawaban diplomatis,
"Di buku, jalannya ada dan terlihat. Sementara di sini, jalannya pasti bukan jalan biasa. Kita harus cari dulu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top