Bab 24: Dua Versi
Jarum jam terus berbunyi di setiap detiknya, menandakan bahwa Aiden sudah menghabiskan cukup banyak waktu di depan komputer. Semalam, dia iseng membuka komputer papanya. Dia tiba-tiba kepikiran untuk membuka dokumen naskah-naskah. Sekilas tidak ada yang aneh di sana. Akan tetapi, sebuah folder yang dikunci berhasil menyita perhatian Aiden. Folder itu adalah draft novel Sang Legenda dari Cloudpolis. Yang membuatnya aneh adalah folder itu menggunakan kunci berlapis. Di dalam satu folder, terdapat dua folder lain yang juga dikunci. Dua-duanya adalah draft novel yang sama, tetapi dengan versi berbeda. Terlihat dari dua folder itu diberi nama "ver 1" dan "ver 2". Sayangnya, sampai saat ini Aiden belum berhasil menemukan password yang cocok untuk membuka dua draft itu. Sedangkan folder luar berhasil dia buka dengan tanggal lahirnya.
Aiden merebahkan diri di atas tempat tidur papanya karena merasa pegal sejak pagi sudah duduk dan menatap layar monitor. Meski begitu, otaknya masih bekerja keras memikirkan password yang kira-kira akan berhasil membuka dokumennya. Aiden mengingat-ingat momen apa yang paling berharga bagi Papa selain tanggal ulang tahunnya. Jawabannya bukan tanggal ulang tahun Mama atau tanggal pernikahan mereka. Aiden sudah mencobanya dan gagal.
Ingatan Aiden kemudian mengembara pada momen ulang tahunnya yang kelima belas. Papanya terlihat putus asa karena Aiden tidak senang mendapat hadiah apa pun. Suatu ketika, Papa bertanya,
"Kamu ingin hadiah apa?"
Lalu, Aiden menjawab, "Aku gak mau hadiah apa pun. Aku cuma mau kembali seperti dulu. Bisa tertawa atau menangis, bisa marah atau bahagia."
"Maafkan Papa, Nak."
"Kenapa Papa minta maaf? Ini bukan kesalahan Papa."
Tangan Papa terulur mengusap kepala Aiden dan berujar seraya tersenyum, tetapi bibirnya bergetar. "Papa tidak tahu kamu memikul beban yang begitu berat dan tidak bisa kamu bagi, karena Papa cuma sibuk menulis."
"Papa, kan, sibuk menulis supaya jadi penulis yang hebat. Supaya Mama cepat kembali."
Dengan tubuh bergetar dan isak tertahan, Papa memeluk Aiden erat. Dia kemudian berujar, "Papa tahu, Papa gak akan bisa menebus kesalahan Papa dengan apa pun. Tapi, Papa akan melakukan apa pun untuk kamu."
"Apa pun?"
"Ya."
"Papa, kan, penulis. Papa mungkin gak bisa mengembalikan perasaanku sekarang, tapi Papa bisa mewujudkannya dalam buku. Papa bisa menciptakan aku yang normal di sana."
Begitulah awal mula Xavier diciptakan. Karena Xavier tidak mungkin hidup sendirian, Papa juga memasukkan Luna dan Dean. Dua orang sahabat Aiden yang ada dalam kehidupan normalnya. Jika mereka tidak punya kesempatan untuk bertemu lagi, persahabatan mereka akan abadi di dalam buku. Begitu kata Papa waktu itu.
Karena Xavier diciptakan berdasarkan Aiden, maka dia juga memiliki tanggal lahir yang sama. Enam Juni. Aiden jadi berpikir, mungkinkah password untuk dua folder itu adalah enam dikali dua orang? Yang semula 0606, barangkali sekarang jadi 1212.
Tubuh Aiden yang semula berbaring kini menegak seketika. Dia buru-buru kembali ke depan komputer dan mencoba tebakannya. Dan, cring! Foldernya benar-benar terbuka.
Aiden adalah orang yang teratur jika membaca. Dia akan membaca lengkap dari atas sampai bawah, tanpa melewatkan satu kata pun. Draft pertama berisi novel Sang Legenda dari Cloudpolis versi buku cetak. Bedanya, di sana ceritanya masih lengkap. Tidak menghilang seperti yang ada di dalam buku. Draft kedua adalah versi lain yang tidak diketahui Aiden. Di sana, Xavier diceritakan tersesat ke dunia Aiden, kemudian keduanya sepakat untuk bertukar tempat saja. Aiden pergi ke Cloudpolis dan menjalani hidup sebagai putra mahkota di sana. Sementara itu, Xavier menjalani kehidupan Aiden yang normal seperti saat dia masih kecil.
Aiden kemudian termangu. Dia tiba-tiba teringat sesuatu lagi. Versi cerita ini adalah saran darinya. Namun, Papa tidak pernah bilang akan menuliskannya. Karena saat itu Papa bilang,
"Xavier tidak bisa hidup di sini karena ini bukan dimensinya."
"Tapi ini, kan, cuma cerita fiksi. Lagian Xavier gak mungkin beneran tersesat ke dunia ini."
"Terus kenapa kamu mau dia ke sini dan gantiin kamu di sini?"
"Mmm ... mungkin Papa akan lebih bahagia kalau punya anak normal seperti Xavier."
Papa menghela napas dan menepuk pundak Aiden. "Bukan masalah normal atau tidak. Masalahnya, siapa di sini yang anak Papa? Kamu adalah anak Papa, Xavier anaknya Antonius de Cloudpolis. Itu takdirnya."
"Tapi kalau Xavier beneran datang ke sini, gimana?"
"Mungkin dia akan menemui kamu sebentar dan pamit kemudian."
"Tidak bisakah dia tetap di sini? Mmm ... sepertinya bagus juga kalau aku punya kembaran. Biar dia bisa nyamar dan pergi ke sekolah gantiin aku."
Papa kemudian menjawab lagi, "Tidak bisa. Kamu tahu bagaimana jika ikan dibiarkan hidup di darat?"
"Dia akan mati."
Aiden tersentak dari lamunannya. Tiba-tiba jantungnya berdegup kencang, tetapi dia tidak tahu penyebabnya apa. Degupan itu masih terasa sampai beberapa menit berlalu, hingga dadanya ngilu. Yang dilakukan Aiden hanyalah berdiam diri di depan komputer sembari berusaha memahami apa yang terjadi.
Perhatian Aiden kemudian teralihkan oleh angka yang menunjukkan halaman di komputer. Baru 103 dari 200. Itu artinya, ceritanya belum selesai. Buru-buru Aiden menggulir pointer dan membaca lanjutannya. Diceritakan, Xavier yang berada di dunia nyata tubuhnya perlahan-lahan menghilang. Dia merasa cemas dan mengatakan hal itu pada Aiden melalui telepati. Namun, Aiden tetap dengan pendiriannya bahwa Xavier harus berada di dunia nyata. Hingga setiap harinya Xavier makin sering menghilang. Dia tidak bisa melihat bayangannya di cermin, atau kedua kakinya lenyap sehingga dia terlihat melayang. Xavier akhirnya menyadari bahwa dia harus kembali. Jika tidak, maka dia akan lenyap begitu saja di dunia ini.
"Tolong biarkan aku hidup.
Di mana pun aku berada,
tidak apa-apa asal aku tetap hidup."
Aiden membaca bolak-balik dialog Xavier di dalam novel. Setelah terpaku pada satu dialog itu, matanya lanjut membaca ke bawah, sampai ceritanya tamat. Akhir dari kisah itu adalah keduanya kembali ke tempat masing-masing dan menjalani kehidupan yang sudah ditakdirkan untuk mereka.
Semburan napas meluncur pelan dari hidung Aiden. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi. Sampai akhirnya kembali menegak karena mendengar suara bel. Aiden bergegas keluar dan membukakan pintu. Ternyata Xavier dan Dean sudah datang. Sekarang bersama Luna juga.
"Luna? Tumben ikut?" ujar Aiden.
"Kamu lupa aku sama Kak Dean itu satu paket? Cowok-cowok makin dewasa pada berubah, ya?"
Aiden terdiam mendengar perkataan Luna. Melihat pipi gadis itu mengembung dan bibirnya maju beberapa senti, sedangkan kedua tangannya bersedekap di dada.
"Kamu gak mau nyuruh masuk?" tanya Luna ketika Aiden masih terdiam.
"Oh, silakan." Aiden menggeser tubuhnya agar Luna bisa masuk. Gadis itu berjalan cepat-cepat dan segera duduk di sofa.
"Dia kenapa?" Aiden bertanya pada dua cowok yang tersisa.
"Dia marah karena gak diajak ke sini waktu itu. Akhir-akhir ini dia jadi gampang marah. Aneh banget. Masa PMS lama banget?" omel Dean.
"Kamu pikir dia marah cuma gara-gara itu? Katanya kamu yang aneh. Kamu yang tidak mau diikuti dia ke mana-mana." Xavier menimpali.
Sontak Dean menoleh pada Xavier sambil memelotot. "Dia bilang kayak gitu?"
Xavier mengangguk, dan Dean hanya bisa menghela napas. Mereka akhirnya ikut masuk dan bergabung bersama Luna di sofa.
"Om kamu belum pulang?" tanya Dean.
"Katanya hari ini." Aiden menjawab sembari berlalu ke dapur. Namun, dia kembali lagi sebelum sempat tiba di sana.
"Luna, bantuin bawa minuman, dong," kata Aiden.
Luna bergegas bangun dan mengikuti Aiden ke dapur. Bukannya menyiapkan minum, Aiden malah menarik Luna ke sudut dekat counter agar jauh dari pintu, sembari sesekali menoleh ke arah sana.
"Ada apa?" Luna sadar dengan gelagat Aiden yang tidak berhenti menoleh ke pintu.
Aiden memusatkan perhatiannya pada Luna dan bertanya, "Apa selama ini kamu menemukan keanehan dari diri Xavier?"
Luna menghela napas dan bersedekap. "Dia mah emang udah aneh sejak datang ke dunia ini."
"Maksud aku, apa kamu pernah melihat dia menghilang?"
Luna menggaruk dagunya dan terdiam sebentar. "Yang pernah lihat dia menghilang itu Kak Dean. Katanya tubuh dia lebur jadi cahaya kecil-kecil gitu. Kalau aku, mergokin dia pas keluar dari tubuh Sky. Bentuknya sama. Cahaya kecil-kecil, lalu berubah jadi manusia utuh."
"Itu masih normal. Sky mengambil tubuh Xavier yang sudah bercampur dengan sihir, lalu dia mengembalikannya setelah sihir itu terserap oleh dirinya sendiri. Itu ada di novelnya."
Luna manggut-manggut dan berujar, "Iya juga. Aku baru sadar soal ini. Tapi ngomong-ngomong, aku terganggu dengan kata-kata 'masih normal'. Memangnya ada yang gak normal?"
"Apa kamu pernah lihat dia menghilang tanpa cahaya itu?"
Setelah termenung sebentar, Luna membeliak dan menutup mulutnya. Dia menoleh sebentar ke arah pintu dan kembali menatap Aiden. Dia bicara pelan-pelan, nyaris berbisik.
"Aku pernah lihat tangannya hilang sebelah waktu dia mengiris bawang."
Aiden terdiam. Ini adalah plot dari cerita versi kedua.
"Apa ini gak normal? Apa yang akan terjadi sama Xavier?" Luna bertanya lagi dengan suara yang masih pelan.
"Dia akan mati."
Luna membekap mulut dan kedua bola matanya nyaris keluar. Dia kemudian menggeleng cepat-cepat dan memekik tertahan, "Gak mungkin! Jangan bercanda!"
"Tempat ini bukan dimensinya. Dia gak akan bertahan lama di sini."
"Apa gak ada cara biar dia tetap hidup?"
"Ada. Dia harus kembali ke Cloudpolis."
"Caranya?"
"Ada dua versi. Versi pertama, sesuai buku yang sudah terbit. Kamu harus jatuh cinta sama Xavier dan mengantar dia pulang. Versi kedua, aku pulang dari Cloudpolis dan Xavier kembali ke sana."
"J-jatuh cinta ...." Luna menggeleng dan mengubah topik cepat-cepat. "Versi kedua aturan dari mana?"
"Ternyata Papa menulis cerita itu dalam dua versi. Versi kedua adalah aku dan Xavier bertukar tempat. Tapi ternyata Xavier gak bisa bertahan hidup di dunia ini. Jadi kami kembali ke tempat masing-masing dan menjalani hidup sesuai takdir yang sudah dituliskan."
Dagu Luna jatuh begitu saja sampai mulutnya menganga. Dia kemudian berujar lemah, "Terus sekarang kita harus ikut versi yang mana?"
"Karena aku ada di sini dan gak mungkin bertukar tempat, kemungkinannya cuma satu."
Luna tiba-tiba bicara tergagap. "C-cuma satu ... apanya? Kamu belum coba pergi ke Cloudpolis, kan? Coba aja kamu pergi dulu ke sana ... terus tukeran lagi sama Xavier."
"Caranya?"
Bukan hanya tergagap, sekarang kata-kata itu tidak keluar sama sekali dari mulut Luna. Bibirnya hanya membuka dan menutup, seperti mau bicara tetapi tidak tahu mau bilang apa. Akhirnya dia hanya bisa memijit pelipis sambil mengeluh,
"Kalau jalan keluarnya cuma satu, ngapain kamu pakai bilang ada dua versi segala?"
"Aku cuma mau bilang aja kalau ternyata ceritanya ada dua versi."
Tiba-tiba Dean dan Xavier berlari menghampiri mereka ke dapur. Dean memekik tertahan, "Ada orang datang! Kayaknya om kamu pulang, deh."
Luna membeliak dan segera mengamankan Xavier. Dia menyuruh Xavier berjongkok dan masuk ke kolong meja makan. Lalu, kakak beradik itu kompak memasang badan menutupi meja ketika suara langkah terdengar memasuki dapur.
"Om udah pulang?" Aiden bertanya dengan nada tenang.
"Oh, mereka siapa?" Om Alfi memandang Dean dan Luna bergantian.
"Ini Luna sama Dean. Aku pernah cerita soal mereka ke Om."
Om Alfi mengangguk sembari tersenyum. "Oh, hai. Panggil saja saya Om Alfi. Saya omnya Aiden."
Luna dan Dean tersenyum membalas sapaan Om Alfi.
"Ngomong-ngomong, kalian lagi ngapain di sini?" tanya Om Alfi.
"Mau bikin makanan," jawab Aiden.
Setelah manggut-manggut, akhirnya Om Alfi pergi. Dean dan Luna kompak menyemburkan napas kasar sampai terdengar oleh Aiden. Xavier pun keluar dari kolong dan kepalanya terantuk kaki meja. Dia mengaduh keras dan mulutnya buru-buru dibekap oleh Dean.
"Kita harus pulang sebelum kamu ketahuan," ujar Dean sembari menyeret Xavier tanpa melepaskan bekapannya. Luna juga ikut mengejar dua cowok itu. Sekarang hanya tinggal Aiden yang bengong sendirian.
__________________
Ternyata Xavier seperti ikan yang terlempar ke darat. Gimana ini? ☹
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top