Bab 22: Tempat yang Nyaman untuk Bercerita
Xavier membasuh dan menggosok wajahnya berkali-kali. Akting menjadi Aiden di hadapan Reynand membuat wajahnya seperti kulit hewan yang dikeringkan. Apalagi ketika dia harus menahan tawa karena Reynand mengajarinya tertawa dengan cara konyol. Merupakan siksaan terbesar saat Xavier tidak bisa tertawa lepas dan menyatukan giginya kuat-kuat agar tidak kelepasan. Kenapa pula anak itu harus menemukan bakery dan bertemu dengannya? Merepotkan saja!
Xavier keluar dari kamar mandi dan menemukan Sky yang sedang menunggu di depan pintu. Kucing itu memeluk kaki Xavier sambil mendongak dan mengeong. Diraihnya kucing gembul itu ke pelukan dan Xavier membawanya mengintip Reynand. Bukannya pulang, anak itu malah keenakan tinggal di rumah orang. Apalagi ketika Ayah Bima pulang dari bakery dan menyuruhnya menginap saja. Xavier hanya bisa mendesah lemah saat diminta menyiapkan makan malam untuk tamu tak diundang ini.
Suasana rumah pun makin ramai saja dengan kehadiran Reynand. Hidangan makan malam jadi lebih banyak. Yang biasanya Xavier bisa mengatasinya sendiri, sekarang jadi kewalahan. Terpaksa dia meminta bantuan Luna. Sebagai satu-satunya perempuan di rumah ini, Xavier memperlakukannya seperti Tuan Putri. Dia tidak keberatan mengerjakan seluruh pekerjaan rumah menggantikan Luna. Namun sekarang, Tuan Putri terpaksa harus turun tangan juga.
"Maaf kau ... eh ... kamu jadi harus memasak bersamaku," kata Xavier merasa tidak enak.
"Gak apa-apa, kali. Lagian aku udah biasa. Dulu, kan, aku yang ngurus dua lelaki itu sebelum ada kamu."
Xavier tertawa kecil dan memotong bawang dengan hati-hati. Dia kebagian memotong bahan-bahan, sedangkan Luna yang memasak. Gerakannya lebih cekatan daripada Xavier.
"Ngomong-ngomong, kenapa Reynand bisa sampai ke sini?" tanya Luna.
"Katanya dia sedang beli roti, lalu bertemu Dean di bawah."
"Kamu harus akting sampai besok kalau dia gak pulang-pulang."
Xavier mendesah. "Wajahku sudah kaku seperti kulit hewan yang dijemur berbulan-bulan."
Luna tergelak. "Maksud kamu kulit bedug?"
"Apa itu bedug?"
"Itu alat yang ditabuh sebelum azan berkumandang. Seruan sembahyang untuk umat muslim."
Xavier manggut-manggut. Tiba-tiba dia mempertanyakan, sebenarnya agama apa yang dia anut? Entah kenapa ingatan tentang hal itu terasa sama-samar. Mungkin karena dia cuma tokoh fiksi di negeri antah-berantah.
Suara Luna yang memekik mengejutkan Xavier secara tiba-tiba. Gadis itu segera menghampiri Xavier dan meraih tangannya.
"Kenapa?" tanya Xavier kebingungan.
"Tangan kamu ... gak apa-apa?"
"Tidak apa-apa. Aku memotong bawang dengan hati-hati."
"Maksud aku bukan itu. Barusan tangan kamu menghilang."
Xavier mengangkat alis kemudian terbahak. "Kamu ini ada-ada saja. Tanganku menghilang ke mana?"
Xavier menarik tangannya lagi dan lanjut memotong bawang, sementara Luna menggaruk dahinya yang mengerut. Akhirnya, gadis itu melanjutkan pekerjaan setelah geleng-geleng sebentar.
Setelah menghabiskan waktu beberapa lama, meja makan sudah penuh dengan berbagai hidangan. Reynand tampak senang sekali bisa ikut makan bersama mereka. Dia makan dengan lahap. Kalau tidak ingat dengan karakter Aiden, Xavier ingin bertanya padanya dengan mata mendelik,
"Sudah berapa hari kau tidak makan sampai makan seperti orang kelaparan?"
Namun, kata-kata itu hanya bisa dia telan dengan udang goreng tepung buatan Luna.
"Kamu sekelas sama anak-anak ini?" tanya Ayah Bima pada Reynand.
Reynand melenan makanannya dan menjawab, "Enggak. Saya kelas dua belas."
"Kamu paling tua di antara mereka?" Ayah Bima menunjuk anak-anak yang dimaksud dengan tangan memutar.
"Iya."
"Kalau begitu, tolong jagain mereka seperti seorang kakak, ya. Kalau nakal, lapor aja ke Ayah."
Reynand mengangguk sembari tersenyum. Dia kelihatan nyaman berada di lingkaran keluarga ini. Mungkin karena kehangatan yang juga dirasakan oleh Xavier. Hingga makan malam berakhir pun, kenyaman yang dihadirkan keluarga ini tidak memudar. Reynand bahkan masih betah berbincang dengan Ayah Bima di meja makan. Padahal, biasanya anak muda kurang nyambung kalau mengobrol dengan bapak-bapak. Namun entah kenapa, Ayah Bima punya magnet tersendiri sehingga lawan bicaranya betah berlama-lama dan bercerita apa saja. Bahkan, Reynand berani bercerita tentang dirinya yang dikeluarkan dari tim basket. Hanya saja, dia tidak bilang alasan detailnya apa.
"Tidak apa-apa. Sekarang kamu dikeluarkan tim basket sekolah. Besok kamu masuk pelatnas," ujar Ayah Bima sambil terkekeh.
Reynand pun ikut tertawa, dan Xavier bertukar pandang dengan Luna. Sepertinya mereka sedang memikirkan hal yang sama tentang Reynand. Xavier kemudian terkesiap melihat air yang terus mengucur dari keran, sedangkan Luna malah menatap Reynand dan mengabaikan cuciannya. Xavier akhirnya mengambil alih.
"Biar aku saja," kata Xavier.
"Eh, enggak usah. Aku aja."
"Kamu istirahat saja sana."
Luna menghela napas, lalu mencuci dan mengelap tangannya. "Bukan aku yang nyuruh, lo, ya. Kalau kamu muntah darah lagi gara-gara cuci piring, jangan nyalahin aku."
Xavier tergelak. Begitu pun Luna. Xavier sampai tertegun melihat tawa lebar gadis itu. Jantungnya berdegup tiba-tiba.
"Ngomong-ngomong, Reynand beneran mau nginep di sini?" Luna bertanya nyaris berbisik, takut terdengar oleh Reynand yang masih ada di meja makan.
Setelah terkesiap, Xavier menggeleng. "Tidak tahu."
"Sepertinya wajah kamu bakalan kayak kulit bedug beneran."
Xavier cemberut sembari memijit wajahnya sendiri, dan Luna tergelak melihatnya. Lagi-lagi Xavier termangu melihat tawa lebar Luna yang menunjukkan gigi taringnya. Sampai akhirnya dia terkesiap sendiri. Xavier buru-buru kembali fokus pada piring-piring yang dia cuci.
Beberapa saat kemudian, Xavier sudah menyelesaikan cuciannya. Dia baru sadar kalau Luna sudah tidak ada. Ayah Bima juga. Hanya tinggal Reynand yang masih menunggunya.
"Orang-orang sudah pergi semua?" tanya Xavier.
"Iya."
"Kamu tidak akan pulang?"
"Kamu sendiri?"
Xavier berdeham. "Aku sudah bilang pada Dean mau menginap."
"Aku juga udah bilang sama Dean."
Xavier hanya bisa menghela napas. Ternyata benar dia harus akting sampai besok pagi.
"Tapi ngomong-ngomong, Dean mana? Dia udah hilang sejak selesai makan," ujar Reynand.
"Mungkin turun ke bakery."
"Bakery-nya buka sampai malam?"
"Bukan. Mungkin dia sedang belajar membuat roti."
"Oh, ya? Lihat, yuk!"
Reynand semringah bangun dari posisinya, dan Xavier mengikutinya pergi ke bakery sambil geleng-geleng. Dean ada di ruang produksi. Sedang menguleni adonan.
"Kamu latihan membuat roti lagi?" tanya Xavier. Dean terlonjak dan menoleh padanya.
"Ngapain kalian di sini?"
"Emangnya kenapa, sih? Kaget gitu kayak ketahuan lagi maling," jawab Reynand.
"Luna tahu aku di sini?" Dean bertanya pada Xavier.
Xavier menggeleng. "Tidak tahu."
"Kenapa lagi? Luna gak boleh tahu kamu ada di sini?" tanya Reynand.
"Ya ... biasalah. Anak kecil suka ganggu kalau lihat orang dewasa lagi kerja."
Reynand tergelak, lalu tertegun. "Tunggu, deh. Kok, aku agak bingung sama perkataan ayah kamu. Dia bilang, aku paling tua di antara kalian. Bukannya kamu harusnya seumuran aku kalau kakaknya Luna?"
"Aku bukan kakak kandung dia."
Reynand terdiam dan menoleh pada Xavier. Dia tersenyum canggung. "O-oh, begitu, ya? Maaf."
"Gak apa-apa, kok. Ngapain minta maaf?"
Suasana jadi hening. Xavier menarik kursi dan duduk menonton Dean membuat roti. Reynand melakukan hal yang sama dan duduk di sampingnya. Xavier tiba-tiba penasaran dengan sesuatu.
"Ngomong-ngomong, kamu kenapa dikeluarkan dari tim basket?" tanya Xavier membuat Reynand yang sedang fokus dengan handphone mengangkat kepala dan menatapnya.
"Kenapa tanya? Aku pikir semua orang udah tahu alasannya." Reynand tersenyum samar.
Xavier menoleh pada Dean yang juga menoleh padanya. Kemudian, dia menjawab, "Kami memang mendengar berita. Tapi kata Felly itu baru gosip."
"Ya ... memang pada kenyataannya semua yang kalian dengar itu bohong."
Xavier menoleh pada Reynand tanpa berkata apa pun, hingga Reynand melanjutkan perkataannya.
"Akun lambe sekolah sekarang udah keluar dari batas suci. Padahal, informasi yang dia unggah biasanya akurat. Cuma sekarang aja begini. Aku sampai dikeluarkan gara-gara kesalahpahaman yang telanjur membesar."
"Memangnya akun lambe itu bagaimana cara kerjanya?" Xavier mulai pusing.
"Sebenarnya itu grup tertutup sekolah. Adminnya suka mengunggah apa pun yang terjadi di sekolah. Mulai dari hal remeh sampai skandal besar. Gak jarang juga sebuah masalah bisa selesai setelah di-blow up di sana. Makanya dijuluki akun lambe, karena cara kerjanya seperti akun gosip."
Xavier memutar badan menghadap Reynand dan menatapnya serius. "Admin dapat informasinya dari mana? Apa dia tahu segalanya tentang yang terjadi di sekolah?"
"Ya enggak, lah. Kita pun bisa mengirim informasi. Ada kontak pengaduannya. Nanti diunggah secara anomin sama adminnya."
Xavier berpikir sebentar dan kembali bertanya, "Berarti admin akan tahu siapa pengirim informasi itu?"
Reynand mengangguk sebagai jawaban.
"Kamu sudah cari tahu siapa yang kirim informasi palsu tentang kamu?"
Reynand menghela napas dan menggeleng. "Adminnya aja gak tahu siapa, gimana aku bisa nanya?"
"Lo, kenapa bisa begitu?"
"Akun lambe sekolah itu serba anonim. Sampai sekarang pun gak ada yang tahu adminnya siapa. Bahkan, gak ada yang tahu juga apa dia masih sekolah di SMA Wijayamulya atau enggak."
Xavier menghela napas lemah. "Rumit sekali kehidupan anak sekolah di dunia ini."
"Tapi ...," lanjut Reynand membuat Xavier memusatkan perhatiannya lagi. " ... ada empat orang yang menjadi kandidat admin."
"Siapa?" tanya Xavier penasaran.
"Empat sekawan yang pernah mengungkap kejahatan seorang guru di sekolah kami. Mereka adalah Juna, Raihan, Calla, dan Meysha."
Xavier menoleh pada Dean yang sedang menaburkan tepung ke atas papan tipis. "Kamu tahu siapa mereka, Dean?"
Dean menoleh sebentar dan menggeleng. "Enggak kenal. Cuma sebatas tahu aja karena mereka terkenal."
"Kamu sudah coba tanya mereka?" Pertanyaan Xavier beralih lagi pada Reynand.
"Udah. Tapi gak ada yang mau ngaku. Makanya aku kesal sampai nonjok kamu waktu itu."
Xavier terdiam. Dia kemudian teringat kalau Reynand pernah membahas insiden pemukulan itu juga sebelumnya.
"Kamu tidak seharusnya melampiaskan amarah pada orang yang tidak tahu apa-apa," ujar Xavier.
"Iya, aku kelepasan. Aku, kan, udah minta maaf."
Wajah Reynand tampak menyesal. Xavier jadi tidak tega memarahinya. Lagipula, Xavier tidak mungkin juga marah-marah pada anak ini. Dia, kan, sedang dalam mode Aiden. Sepertinya dia akan membiarkan wajahnya berubah jadi kulit bedug beneran.
"Tapi Felly bilang, foto kamu pelukan sama cewek itu terpampang jelas di sana." Dean tiba-tiba menimpali.
"Yang benar itu dia yang meluk aku tiba-tiba, terus aku berusaha mendorongnya. Tapi karena angle-nya begitu, jadi kelihatan lagi pelukan beneran."
"Kenapa dia tiba-tiba memelukmu?" Xavier bertanya tak habis pikir.
"Mana aku tahu? Dia nangis-nangis dan bilang butuh sandaran. Aku suruh cari pacarnya malah meluk aku."
Dean terbahak, sementara Xavier mengerjapkan mata kebingungan. Makin pusing saja dia. Kok ada jenis perempuan seperti itu di dunia ini? Oh, mungkin di Cloudpolis juga ada yang seperti itu. Hanya Xavier saja yang tidak pernah bertemu. Amit-amit! Jangan sampai kalau dia pulang tiba-tiba bertemu perempuan yang peluk-peluk sembarangan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top