Bab 2: Tertangkap

Luna teriak-teriak memarahi Xavier yang hanya bisa memasang wajah tak berdosa. Biasanya kalau dia mengomeli si kucing peliharaan, begitulah ekspresinya. Untunglah seseorang keburu datang dan membuat Luna berhenti mengomel. Dia kemudian keluar dari kamar, sedangkan Xavier mengikutinya dari belakang. Ada seorang pria seusia ayah Xavier yang baru datang, dan Luna langsung bercerita tentang kucing oren gendut yang dia pungut tetapi sudah berani menjatuhkan handphone-nya ke lantai. Oh, ternyata benda itu namanya handphone? Xavier baru mendengar dan melihat benda itu. Sepenting itukah handphone baginya sampai dia harus marah-marah segala?

Alih-alih marah, pria paruh baya itu tertawa dan membawa Xavier ke dalam gendongannya. Layaknya bayi, Xavier ditimang-timang dan digoda "anak siapa anak siapa". Xavier memutar bola matanya sebal. Dia merasa geli dengan dirinya sendiri karena harus menerima perlakuan seperti itu. Pria itu baru menurunkannya setelah Luna bertanya mau makan apa.

"Makan apa saja yang ada," katanya sambil berlalu.

Xavier mengikuti Luna yang pergi ke dapur untuk memasak, sementara sang ayah—sepertinya—pergi mandi. Dia baru kembali dengan penampilan yang lebih segar beraroma mint dari mulutnya ketika dirinya mencium Xavier. Rasanya Xavier ingin lenyap saja dari muka bumi. Masa dia dicium bapak-bapak? Yang benar saja! Dia, kan, bukan bayi.

Untungnya, makanan kucing kalengan yang diberikan Luna sedikit mengalihkan perhatian Xavier karena jiwa Sky kembali mendominasi. Selama mereka makan, Xavier juga ikut makan di lantai dengan makanannya sendiri. Makanan kucing, maksudnya. Ya ampun! Rasanya Xavier mau menangis saja. Namun, Sky sangat menikmati makanannya.

Makan malam penghuni rumah ini hanya dua orang. Sepanjang makan, mereka sempat membahas Dean yang katanya lebih senang tinggal di rumah bakery.

"Katanya dia mau mencoba resep baru. Biarkan saja," kata sang ayah. "Lagi pula kalau dia ikut pulang ke sini, rumah bakery tidak ada yang jaga."

Luna menyemburkan napas dan memandang makanannya di atas piring. "Kenapa, ya, aku merasa Kak Dean jadi beda sekarang?"

"Beda gimana maksud kamu?"

"Dia kayak jaga jarak sama aku. Iya enggak, sih?"

Sang ayah tertawa. "Mana ada dia jaga jarak sama adiknya sendiri?"

Xavier kemudian termangu sendiri. Tiba-tiba dia jadi ingat dengan Dean, pengawalnya. Bisa kebetulan sekali nama mereka sama.

Dean tidak kunjung datang meski Luna berharap demikian. Makan malam selesai begitu saja dan ayah Luna pergi ke kamarnya untuk beristirahat. Xavier pun memilih duduk di sofa lusuh yang ada di ruang tengah. Namun, Luna malah menggendong Xavier ke kamar dan menyuruhnya tidur di kasur yang sama. Xavier nyaris tersedak kalau saja ada dalam wujud manusia. Dia buru-buru turun dari kasur dan berniat kembali ke sofa. Akan tetapi, Luna membawanya kembali ke kasur.

"Kau ini aneh sekali. Tadi saja marah-marah padaku. Sekarang malah menyuruhku tidur di kasurmu," omel Xavier yang tidak ada tanggapan dari Luna. Gadis itu hanya mengelus-elus kepala Xavier seolah yakin Xavier akan berhenti mengeong dengan itu.

"Aku yakin ada yang aneh sama Kak Dean. Perasaan aku gak mungkin salah," kata Luna yang bicara sambil berbaring menghadap Xavier.

"Lalu apa urusannya denganku?" Xavier masih saja menjawab meskipun ucapannya tidak lebih dari ngeongan.

"Padahal dulu dia selalu bawa aku ke mana-mana. Sekarang aku ikut ke minimarket aja dia ngatain aku tukang nguntit." Luna mengomel lagi.

"Mungkin karena kau menjengkelkan."

"Apa dia punya pacar?"

"Bisa jadi."

"Enggak bisa dibiarkan. Masa cuma karena punya pacar, dia membuangku?"

"Hah, sudahlah! Kau ini mau tidur atau tidak, sih?"

"Aku jadi enggak bisa tidur."

Xavier termangu. Percakapannya dengan Luna tiba-tiba jadi agak nyambung. Namun, semuanya hanya berhenti di situ. Karena seseorang yang bilang tidak bisa tidur, sudah mendengkur beberapa menit kemudian. Xavier bertekad tidak akan tidur di samping Luna. Setelah memastikan gadis itu benar-benar terlelap, Xavier kembali ke sofa dan tidur di sana.

Malam telah berganti pagi. Saat Xavier bangun, rumah sudah sepi. Sekarang tinggal dirinya sendirian termenung di atas kasur. Terheran-heran kenapa dirinya bisa berakhir di sana lagi. Entah Luna yang membawanya, atau Sky yang berjalan sendiri ke kamar saat jiwa Xavier terlelap.

Pantulan wajah Sky di cermin yang menempel pada lemari mengalihkan perhatian Xavier. Napasnya kemudian menyembur. Meskipun di hadapan Luna dia cuma seekor kucing oren gendut yang telinganya terlipat ke bawah, tetap saja di dalamnya adalah seorang putra mahkota dari kerajaan Cloudpolis yang sedang tersesat. Seumur-umur dia tidak pernah terlibat dengan seorang gadis. Sekarang malah tidur di kamar seorang gadis. Xavier merasa ternoda.

Di sini tidak ada kucing kecuali Sky. Namun, Xavier menemukan satu mangkuk penuh makanan kucing kering saat keluar kamar, lengkap dengan airnya. Sepertinya kucing peliharaan Luna belum lama mati, sampai sisa makanannya saja masih banyak. Saking banyaknya sampai di tasnya pun ada makanan kucing.

Ngomong-ngomong, tempat ini agak aneh. Bangunan sepanjang jalan ke rumah Luna dipenuhi gambar berwarna-warni. Di Cloudpolis tidak ada yang seperti ini. Apa ini kerajaan tetangga? Tapi kenapa benda-benda di sini juga banyak yang tidak dikenali Xavier? Selain alat komunikasi bernama handphone, apa pula tabung bulat bermata merah itu? Tabung satunya lagi memakai topi, tapi kok topinya tabung juga? Bentuknya bergelombang berisi air. Apa itu tempat minum? Bagaimana cara mengeluarkan airnya?

Xavier mendesah, lelah berkeliling rumah Luna. Dia duduk di atas sofa, kemudian melamun. Sebenarnya ini di mana? Dean di mana? Telepatinya tidak berhasil. Andai saja dia bisa meminjam handphone Luna. Akan tetapi, bagaimana dia bisa memegang benda itu dengan cakar kucing ini? Dan, bagaimana pula dia akan bicara pada Dean dengan ngeongan ini?

Tiba-tiba mata Xavier berkunang-kunang. Pandangannya kabur. Rasanya mau jatuh. Namun sebelum benar-benar jatuh, mata Xavier keburu terbuka lebar. Kemudian, dia termenung karena mendapati Sky di hadapannya. Perlu beberapa detik untuk dia sadar dan bangun dari posisinya. Xavier memeriksa tangan, kaki, juga menyentuh wajahnya.

"Aku kembali?" gumamnya.

Xavier berlari ke kamar dan bercermin, lalu terkejut sendiri melihat bayangannya. Dia benar-benar keluar dari tubuh Sky. Xavier berlari kembali pada Sky, lalu memeluk kucing jantan itu erat-erat.

"Aku benar-benar kembali, Sky." Xavier nyaris menangis terharu, sedangkan Sky hanya mengeong.

Xavier tersenyum bahagia, lalu membawa Sky bercermin juga. Memastikan bahwa mereka berdua ada di tubuh masing-masing, sekarang.

"Bagaimana aku bisa keluar?" tanya Xavier memandang Sky.

Sky balik memandangnya. "Meong."

"Tidak tahu, ya?"

"Meong."

"Ngomong-ngomong, kau tahu Dean di mana?"

"Meong."

"Iya juga. Kau, kan, ada bersamaku saat dia pergi."

"Meong."

"Kenapa? Lapar? Mana tadi makanannya? Eh, di luar. Sebentar."

Xavier bergegas membawa Sky keluar, menuju mangkuk makanan yang disediakan Luna. Sky makan lahap sekali. Xavier mengelus-elus kepalanya.

"Apa rasanya enak?" tanya Xavier.

"Meong."

Xavier berdecak. "Kau meledekku? Kemarin kau yang makan, bukan aku. Jadi yang tahu rasanya kau, bukan aku."

Sky mengeong lagi. Kucing itu selalu menjawab setiap kali Xavier bicara padanya. Dan, Xavier selalu senang mengobrol dengan kucingnya. Tentu saja bukan karena Xavier memahami bahasa kucing. Hanya karena terikat satu sama lain, mereka bisa menjadi teman bicara yang menyenangkan.

Beberapa waktu berlalu. Luna belum pulang juga. Padahal, Xavier mau pinjam handphone-nya. Sky juga sudah bosan bermain dan sekarang malah tidur di kasur Luna. Xavier sendirian lagi. Dipikir-pikir tidak ada bedanya dengan saat sebelum dirinya keluar dari tubuh Sky. Benar-benar menyebalkan. Ditambah lagi perutnya mulai kelaparan. Tidak terlihat makanan apa pun kecuali punya Sky. Mau keluar, pintunya dikunci. Tambah menyebalkan.

Akhirnya, Xavier keliling rumah lagi. Siapa tahu ada makanan terselip di mana saja. Rumah ini tidak besar. Ruang tengah saja tidak sebesar kamarnya di Cloudpolis. Hanya muat satu set sofa dengan satu meja di depannya. Xavier berakhir di ruang makan. Ada tiga kursi yang mengelilingi meja bulat. Sepertinya mereka memang hanya tinggal bertiga, pikir Xavier.

Ngomong-ngomong, Xavier penasaran dengan tabung bulat bermata merah yang sekarang berubah oranye. Benda itu ada di lemari kecil yang atas-bawahnya terdapat pintu. Xavier mencoba membuka tutup tabungnya. Dia melihat Luna mengeluarkan nasi dari dalam sana, tetapi kenapa sekarang tutupnya sulit sekali dibuka? Dia baru bisa membukanya setelah tidak sengaja menekan tombol yang ada di atas pegangan.

Bak menemukan harta karun, Xavier senang bukan main melihat nasi yang masih mengepul di sana. Dia bergegas mencari sesuatu untuk mengambil nasinya. Dibukanya satu per satu pintu lemari kecil itu. Di pintu bagian bawah, Xavier menemukan alat-alat makan. Lalu, dia terkejut saat membuka pintu atas. Ada sepiring ayam goreng di sana. Xavier berteriak kegirangan. Beruntung sekali dia kelaparan dalam wujud manusia. Bisa mencari makanan sesuka hati. Tanpa perlu izin siapa pun, Xavier buru-buru makan. Dia harus mengisi tenaga yang telah terkuras habis selama peperangan. Makanan yang diberikan Luna tidak masuk hitungan. Itu, kan, untuk Sky. Makanan kucing pula. Hih!

Xavier sudah menghabiskan dua potong ayam goreng. Pada potongan ketiga, dia tertegun. Rasanya seperti ada yang memperhatikan. Namun saat dia menoleh, tidak ada siapa pun. Ya sudah, Xavier lanjut makan lagi. Lalu, dia tersedak ketika seorang perempuan tiba-tiba berteriak dan menyerangnya dengan sapu. Luna. Kapan dia pulang?

"Dasar maling gak tahu diri! Masih sempat makan dengan tenang, ya? Rasain! Nih! Nih!"

Luna memukul Xavier secara membabi buta. Dengan ketangkasannya, Xavier berhasil merebut gagang sapu. Namun, Luna masih memegangnya juga. Akhirnya, mereka rebutan sapu.

"Tunggu dulu! Kau salah paham! Aku bukan maling!" teriak Xavier.

"Mana ada maling ngaku?!" Luna balas berteriak.

"Kau boleh periksa seluruh barangmu. Tidak ada yang aku ambil satu pun."

"Ngelawak, ya? Ayam gorengku hampir habis. Masih gak mau ngaku?!"

"Ini bukan karena aku maling! Aku cuma kelaparan!"

"Ada apa ini?" Seseorang tiba-tiba menginterupsi.

Luna melepas sapu dan membuat Xavier nyaris terjengkang. Perempuan itu berbalik dan berteriak, "Kak Dean!"

Mata Xavier memelotot. Luna bersembunyi di balik punggung seseorang yang sangat Xavier kenali. Dean yang dimaksud Luna, adalah Dean pengawalnya?

"Kamu siapa?" tanya Dean.

"Dia maling, Kak. Waktu aku datang, dia lagi makan." Luna menjawab sambil mengintip di balik punggungnya.

"D-dean ... k-kau benar-benar Dean?" Xavier tergagap. Sapu dari tangannya jatuh begitu saja.

Kepala Luna menyembul lagi dari punggung Dean. "Kakak kenal dia?"

Dean menggeleng. "Enggak."

"Dean, ini aku. Xavier."

"Xavier saha?! Maling mah maling aja!"

"Dean, jangan bercanda!"

Xavier tidak mungkin salah. Wajahnya, gigi kelincinya, bahkan suara dan cara membentaknya pun sama persis seperti Dean sang pengawal. Xavier maju selangkah, tetapi Dean mengambil langkah mundur. Telunjuknya mengacung ke wajah Xavier.

"Kamu yang jangan bercanda! Gak usah berlagak sok kenal buat mengelabui kami!"

"Dean ... kenapa ...?"

Xavier termenung dengan dahi mengerut, sedangkan Dean menatapnya penuh amarah.

____________________

Catatan:
Saha = (sunda) siapa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top