Bab 19: Gosip

"Xavier, lepasin! Kamu apa-apaan, sih?" ujar Dean berusaha melepas tangan Xavier yang mencengkeram kuat kerah seseorang di hadapannya.

Xavier terpaksa melepas tangannya, tetapi tatapan tajamnya masih tertuju pada orang itu.

"Xavier?" orang itu mengerutkan dahi menatap Dean.

Dean menoleh pada Xavier dan bicara tergagap. "M-maksud aku ... Aiden. Katanya kamu mau ke toilet. Ayo cepetan!"

Xavier diseret pergi oleh Dean. Padahal, urusannya dengan orang itu belum selesai. Sedangkan orang yang hampir dihajarnya hanya menatap kepergian Xavier dengan wajah bingung.

"Kenapa kau malah menyeretku?!" dumel Xavier.

"Katanya kamu mau pipis."

"Tidak jadi. Aku harus memberi pelajaran orang itu." Xavier menyingkirkan tubuh Dean agar dia bisa lewat.

"Emangnya dia siapa, sih?" Dean menahan tubuh Xavier.

"Dia itu penyihir yang sudah mengkhianati kami!"

"Apa?" Dean melongo sebentar, kemudian tertawa setelahnya.

"Aku serius!" kata Xavier yang merasa dirinya ditertawakan.

"Jadi di dunia kamu, dia seorang penyihir?"

Xavier terdiam, berusaha mencerna perkataan Dean baik-baik.

"Dunia paralel itu beneran ada, ya? Kalau Bu Lastri, di dunia kamu jadi apa?" Dean bertanya dengan mata berbinar. Xavier sampai heran.

"Tidak ada yang wajahnya seperti itu." Xavier menggeleng.

"Sayang sekali." Dean mendesah.

"Toiletnya di mana?"

"Katanya gak jadi?"

"Sekarang jadi mau lagi."

Dean mengangkat tangan mau menjitak Xavier. Namun, Xavier keburu menghindar. Dean kemudian memimpin jalan menunjukkan arah menuju toilet sambil mengomel, dan dia tidak mau menunggu Xavier sampai selesai. Sepertinya dia benar-benar marah.

Setelah dari toilet, Xavier kesulitan mencari kelasnya. Rasanya dia sudah menyusuri lorong panjang sekali, tetapi kelasnya belum ketemu juga. Dia malah tersesat ke kelas dua belas.

"Kalau ini dua belas, sebelas berarti mundur," gumam Xavier kemudian berbalik.

Kaki Xavier mengerem mendadak saat dia bertemu dengan orang yang hampir dihajarnya. Orang itu menatap Xavier dan berjalan cepat-cepat ke arahnya. Xavier waspada kalau-kalau dia balik diserang.

"Kamu ngapain di lorong kelas dua belas?" tanyanya.

Xavier mengerjap beberapa kali dan menjawab, "Eng ... jalan-jalan."

Orang itu mengangkat alis dan mendengkus kecil. "Hari ini kamu aneh, ya? Apa karena lagi sakit jadi linglung?"

"Sepertinya iya."

Tawa orang itu meledak. "Aku sampai kaget, lo, kamu mau menghajar aku. Padahal waktu aku mukul kamu, kamu biasa aja."

Seketika bola mata Xavier terbelalak, tetapi dia menahan diri untuk tidak menyerang orang menyebalkan ini.

"Yang tadi itu Dean?" tanya orang itu kemudian.

"Iya."

"Aku belum kenalan sama dia. Lain kali kalau kalian main bareng, ajakin aku."

Setelah menepuk bahu Xavier, orang itu melenggang pergi. Xavier hanya bisa mengerutkan dahi menatapnya yang memasuki kelas 12 IPS 2. Setelah terkesiap karena baru sadar dirinya sudah berdiri terlalu lama, Xavier pun melanjutkan mencari kelasnya. Dia baru berhasil setelah berjalan beberapa lama. Dia bahkan sampai merasakan hidungnya berkeringat. Dean yang keheranan melihat Xavier baru datang memutar badannya ke belakang.

"Kamu dari mana aja?" tanyanya nyaris berbisik.

"Aku tersesat."

Dean menghela napas sambil geleng-geleng, kemudian kembali menghadap ke depan. Belum juga keringat Xavier mengering, bel sudah berbunyi lagi. Guru di depan kelas menutup pelajaran dan anak-anak berhamburan keluar. Xavier mencolek punggung Dean membuat anak itu menoleh.

"Kenapa semua orang keluar?" Xavier bertanya heran.

"Ini waktunya istirahat."

Xavier manggut-manggut. "Waktu masuk dan istirahat tandanya ada suara bel?"

"Memangnya di sekolah kamu gak ada suara bel?"

"Sekolahku khusus untuk anak-anak keluarga kerajaan. Hanya beberapa orang. Tidak perlu bel untuk mengumpulkan mereka."

"Iya, deh, pangeran mah bebas."

Xavier keheranan melihat Dean yang memutar bola mata malas. Dia seolah sudah malas dengan kenyataan bahwa Xavier adalah seorang pangeran. Mau bagaimana lagi? Xavier, kan, memang dilahirkan sebagai seorang pangeran. Salahkan saja ayahnya Aiden!

Tiba-tiba Xavier dikejutkan oleh anak-anak perempuan yang datang menghampirinya. Mereka mengajak Xavier makan bersama di kantin. Sementara itu, Dean dan Luna hanya menatapnya bingung. Xavier memberi kode pada Dean agar membawanya pergi. Namun, anak itu tidak paham dan malah memilih pergi sendiri. Akhirnya, Xavier menerobos kerumunan anak-anak perempuan dan mengejarnya.

"Kenapa mereka begitu padaku? Apa mereka juga begitu pada Aiden?" tanya Xavier tak habis pikir.

"Gak ada orang yang berani dekat-dekat Aiden. Kamu dengar tadi? Julukan dia adalah monster."

"Lalu kenapa tiba-tiba begini?"

"Biasalah, cowok-cowok basket masih jadi kasta tertinggi yang dikejar-kejar cewek di sini. Mungkin kamu dikejar-kejar karena masukin bola ke dalam ring."

"Tapi mereka tidak mengejarmu. Apa karena kau adalah tukang roti?"

Dean berdecak sambil mendelik, dan Xavier hanya cengar-cengir meminta maaf.

"Ngomong-ngomong, kita mau ke mana?" tanya Xavier.

"Cari makanan di kantin."

"Luna tidak diajak?"

"Paling dia lagi nguntit di belakang."

Xavier menoleh ke belakang dan mendapati Luna sedang berceloteh dengan temannya. Namun ketika pandangannya bertemu dengan Xavier, seketika dia terdiam. Matanya kemudian menghindar. Xavier jadi merasa bersalah. Apa dia melakukan kesalahan?

Menghela napas, Xavier mengikuti Dean ke mana pun dia pergi. Mulai dari memesan makanan, hingga membawanya ke sebuah meja.

Xavier menatap mangkuk berisi mi dengan bola-bola di atasnya. Dia kemudian menoleh pada Dean yang duduk di seberangnya. Dean sudah makan duluan. Anak itu kemudian tertegun melihat Xavier yang memandangnya.

"Kenapa?" tanyanya.

"Ini ... aku tidak apa-apa makan? Kau punya banyak uang?"

"Ya ampun. Kirain kenapa." Dean kembali melahap makanannya.

"Tadi kau sudah membelikanku kacamata."

"Makan aja kenapa, sih? Susah amat disuruh makan doang."

"Haaiii! Boleh gabung, kan?" Tiba-tiba suara seorang perempuan menyita perhatian Xavier. Xavier sampai beringsut karena gadis itu duduk di sampingnya terlalu dekat.

Luna duduk di samping Dean, kemudian fokus mengaduk makanan di mangkuknya. Pandangan Xavier kemudian beralih pada Dean yang juga menatap padanya. Xavier mengucapkan sesuatu tanpa suara.

"Dia siapa?"

Dean paham siapa yang dimaksud Xavier. Dia kemudian menjawab tanpa suara juga. Xavier mengangguk paham.

"Kalian ngomong apa, sih, bisik-bisik segala?" tanya gadis di samping Xavier.

Tidak ada yang menjawab. Dean menyantap makanannya tanpa terganggu. Xavier juga ikut-ikutan.

"Aiden, kamu mau tambah kecap?" tanya gadis itu lagi sembari mengangkat sebuah botol ke atas mangkuk Xavier.

"Tidak usah, Fei!"

"Fei?" Gadis itu mengerutkan dahi.

Xavier menoleh pada Dean yang sedang tertegun menatapnya. Gawat! Sepertinya Xavier salah menangkap ucapan Dean.

"Namaku Felisya Azalea," ujar gadis itu. "Tapi biasa dipanggil Felly. Tapi kalau kamu mau manggil Fei juga gak apa-apa. Kedengarannya cantik juga."

Xavier tersenyum canggung menanggapi Felly yang tersenyum senang. Dan, itu membuat Felly jingkrak-jingkrak kegirangan.

"Hari ini kamu banyak senyum, ya?" ujar Felly riang. "Aku yakin gosip itu gak benar. Mana ada monster semanis kamu?"

Xavier menatap Felly bingung. Semengerikan itukah Aiden di mata orang-orang? Sampai Xavier baru senyum dua kali saja sudah membuat Felly senang bukan main.

Baru juga lepas dari situasi kikuk bersama Felly, seseorang lain sudah bergabung lagi. Anak lelaki yang hampir dihajar Xavier kini duduk di hadapannya mengapit Dean bersama Luna. Posisi Dean jadi di tengah-tengah. Semua mata kini tertuju padanya. Dengan percaya diri dia segera memperkenalkan diri.

"Hai, semuanya. Aku Reynand, teman Aiden," katanya.

"Hai, aku Felly." Felly mengulurkan tangan dan berjabatan dengan Reynand.

Dean memandang Reynand dengan Xavier bergantian.

"Oh, kamu pasti Dean, ya? Aiden pernah cerita soal kamu sama Luna," kata Reynand.

"Aku gak diceritain?" Felly terdengar memprotes.

"Kamu gak ada dalam daftar teman yang diakui Aiden."

Tiba-tiba Felly menoleh pada Xavier dengan tatapan tajam. Seketika itu juga omelan meluncur dari mulutnya.

"Aku ini temenan sama Luna udah dari hari pertama kelas sepuluh. Harusnya teman Luna teman kamu juga," katanya dengan nada sebal.

"M-maaf." Xavier tidak tahu lagi apa yang harus dia katakan selain meminta maaf. Padahal, kan, bukan salahnya.

"Eh, lihat. Itu si Reynand?"

Suara seseorang mencuri perhatian Xavier. Ketika dia menoleh, tampak beberapa anak lelaki sedang berkumpul di sebuah meja dengan minuman kaleng masing-masing.

"Dia bergaul sama anak kelas berapa?" tanya salah seorang di antaranya.

"Kayaknya kelas sebelas. Ada si monster juga, kan, di sana?"

"Ya ampun. Segitunya gak punya teman."

Xavier yakin Reynand juga bisa mendengar suara mereka. Namun ketika dia menoleh, Reynand sedang anteng menyantap makanannya. Malah Dean dan juga Luna, serta Felly yang kini saling bertukar pandang.

"Aku duluan." Reynand dalam sekejap menghabiskan makanan dan membawa mangkuk kosongnya pergi.

Suasana hening setelah kepergian Reynand. Semua orang sibuk menyantap makanannya, begitu pun Xavier. Namun, dia tiba-tiba kepikiran sesuatu.

"Dia punya masalah apa?" Xavier bertanya pelan-pelan pada Dean, dengan tubuh agak condong.

Dean menatap Xavier. "Maksud kamu Reynand?"

"Iya."

Dean menggeleng. "Aku gak terlalu tahu, sih. Tapi katanya dia dikeluarkan secara tidak hormat dari tim basket."

"Tim basket yang mengajakku bergabung itu?"

Dean mengangguk.

"Kamu diajakin gabung tim basket?" Luna tiba-tiba bicara pada Xavier. Ekspresinya tampak terkejut. "Emang kamu bisa main basket?"

Dean menepuk punggung Luna dan berseru, "Kamu gak lihat, sih! Tadi dia masukin bola ke ring dari luar lapangan. Bayangin kalau dia ada di lapangan. Udah semua poin habis dicuri sama dia."

"Serius?!" Felly berujar sampai suaranya memekakkan telinga Xavier. "Ah, sayang sekali aku gak lihat."

"Tapi ngomong-ngomong," sela Xavier, "kenapa Reynand dikeluarkan secara tidak hormat?"

"Dia selingkuh sama pacar kaptennya," jawab Felly.

"Kamu tahu dari mana?" Luna menatap Felly penasaran.

"Biasalah. Gosip."

"Kalau gosip belum tentu benar, dong?" sergah Dean.

"Beneran, kok. Aku dapat fotonya dia lagi pelukan sama cewek itu."

"Heran, deh. Kamu cuma temenan sama Luna tapi bisa lebih tahu banyak dari dia."

"Aku, kan, sering mantengin akun lambe sekolah. Luna mah gak bakal tertarik sama begituan."

"Lambe sekolah itu apa?" Xavier melongo bingung.

"Akun gosip." Felly menjawab santai.

"A-apa itu?"

"Aduh, Aiden." Felly menatap Xavier gemas. "Itu tempat buat posting berita terhangat di sekolah ini."

"Oh." Xavier manggut-manggut.

"Ngomong-ngomong, kok aku baru sadar kamu gemesin, ya?"

"Apa?"

"Biasanya, kan, Aiden itu mukanya datar kayak tembok. Tapi sekarang kamu kelihatan imut pas lagi bingung."

"Eh, Felly, kamu udah selesai makan? Temenin aku ke perpus, yuk!" Luna berdiri dari posisinya dan membawa Felly serta. Sepertinya dia khawatir Felly menyadari keanehan Xavier lebih banyak lagi.

"Memangnya wajah Aiden sedatar apa?" tanya Xavier pada Dean setelah kedua gadis itu pergi.

"Udah dibilangin kayak tembok."

Xavier temenung. Dia mengingat-ingat bagaimana ekspresi anak itu saat mereka bertemu. Lalu, Xavier teringat dengan pengakuan Aiden yang bilang kalau dia tidak bisa berekspresi apa pun walaupun seseorang dibunuh di hadapannya. Xavier jadi penasaran, sebenarnya dia kenapa?

"Dean, aku mau bertemu Aiden," kata Xavier.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top