Bab 18: Sekolah
Saat tiba di sekolah, Dean mewanti-wanti agar Xavier tidak bertingkah aneh supaya orang-orang tidak curiga. Bahkan, cara bicaranya pun harus mengikuti Aiden.
"Kau ini cerewet sekali," omel Xavier. "Aku tidak akan bertingkah apa pun. Jadi jangan khawatir."
"Eh, Saprul! Kamu ngomongnya aja udah aneh. Mana ada orang sini ngomong pakai bahasa baku semua kayak aktor sinetron kolosal? Masih mending pakai bahasa Sunda."
Xavier menutup kedua kupingnya yang mulai terasa panas. Dean akhirnya berhenti mencerocos dan pergi duluan. Setelah menghela napas lemah, Xavier mengikuti anak itu pergi. Mereka berdua melewati sebuah lapangan. Tampak beberapa anak lelaki sedang bermain bola. Setelah memantulnya beberapa kali, dilemparnya bola itu ke sebuah keranjang yang berada di atas tiang.
"Permainan apa itu?" gumam Xavier.
Kaget melihat Dean sudah terlalu jauh, Xavier berlari kecil menyusulnya. Namun, lengannya tiba-tiba terkena pukulan bola hingga dia menghentikan langkah. Bola itu terjatuh dan menggelinding tak jauh dari kakinya.
"Oi, monster! Sini lempar bolanya!" teriak seseorang dari lapangan sembari menyeringai.
Xavier tertegun memandang anak itu. "Dia memanggil Aiden monster?"
Semua mata orang-orang yang ada di lapangan dan sekitarnya kini tertuju pada Xavier. Dia punya firasat kalau kehidupan Aiden di tempat ini tidak terlalu menyenangkan. Entah kenapa emosi Xavier jadi tersulut. Diambilnya bola itu, lalu dia memantul-mantulkannya ke tanah seperti yang mereka lakukan. Setelah maju beberapa langkah, Xavier melempar bolanya ke arah keranjang. Dari jarak beberapa meter di luar garis lapangan, Xavier berhasil memasukkan bolanya hingga mendapat tepuk tangan heboh. Orang yang mengatai Aiden sebagai monster pun sampai melongo. Salah satu dari temannya kemudian datang menghampiri Xavier.
"Kamu bisa main basket? Mau gabung bersama kami?" tanyanya.
"Aku tidak tertarik," jawab Xavier dingin.
"Wah, kamu emang beneran sedingin itu, ya?" Anak lelaki itu terkekeh.
Xavier tidak mau meladeninya lagi. Dia berbalik dan berniat menyusul Dean yang dikiranya sudah pergi jauh. Namun, ternyata dia sedang mematung sambil menatap Xavier dengan mulut menganga. Xavier menghampiri Dean dan menggoyangkan tangan di depan wajahnya.
"Kau kenapa bengong?" tanya Xavier.
"Kamu bisa main basket?"
Xavier menoleh ke arah lapangan dan anak yang mengajaknya bergabung masih ada di sana. "Itu namanya permainan basket?"
Dean berdecak membuat Xavier kembali menoleh padanya. "Kamu gak tahu namanya tapi tahu cara mainnya? Dasar makhluk aneh!"
"Aku cuma meniru cara mereka."
Setelah menghela napas dan geleng-geleng, Dean akhirnya kembali melanjutkan langkah diikuti Xavier di belakang. Mereka memasuki gedung dan menaiki tangga ke lantai dua. Ada banyak pintu yang mereka lewati, hingga tiba-tiba Dean berhenti di depan sebuah pintu yang di kusen atasnya bertuliskan 11 IPS 1.
"Ingat-ingat kelasnya yang ini," kata Dean.
Xavier mengangguk dan mengikuti Dean ke dalam. Luna sudah ada di sana bersama seorang temannya yang kini melambai menyapa Xavier sambil tersenyum lebar.
"Aiden!"
Tanpa berpikir apa-apa dulu, Xavier membalas sapaannya dengan lambaian dan senyuman yang lebar pula. Gadis itu sampai oleng dan nyaris terjatuh seperti orang mau pingsan. Untunglah Luna sigap menangkapnya.
"Luna, Aiden senyum ke aku," kata gadis itu.
Luna menoleh pada Xavier dengan tatapan tajam, sedangkan Xavier hanya membalasnya dengan tatapan bingung. Akhirnya, Xavier menghampiri Dean yang menyuruh duduk di kursi belakangnya.
"Ngomong-ngomong, gadis itu kenapa?" tanya Xavier menunjuk teman Luna.
Dean menggaruk kepala dan mencondongkan tubuhnya ke arah Xavier, kemudian bicara dengan suara pelan. "Aiden gak cengar-cengir kayak gitu. Punya bibir tuh dijaga," kata Dean gemas.
"Mana aku tahu. Aku, kan, baru bertemu dia satu kali."
Dean mendengkus. "Aiden itu mukanya lempeng kayak tembok. Ingat! Dia gak akan menertawakan atau menangisi apa pun."
Xavier melepas tas dan duduk di kursinya. Dean juga duduk di kursi depannya. Pandangan Xavier bertemu dengan teman Luna yang mau pingsan barusan. Gadis itu tersenyum lagi. Namun karena Dean bilang Aiden tidak cengar-cengir, jadi Xavier hanya menatapnya dengan wajah datar hingga gadis itu membuang muka yang merona.
Tiba-tiba gadis yang menatap Xavier bertambah banyak. Bukan hanya yang ada di dalam ruangan, tetapi juga mengintip dari kaca jendela. Tidak mau ambil pusing, Xavier memilih tiduran saja di meja. Sampai akhirnya sebuah suara membuatnya terlonjak.
"Suara apa itu?" kata Xavier kaget.
Dean sontak menoleh dengan wajah marah. "Itu suara bel! Udah dibilangin jangan bertingkah aneh!" Sepertinya Dean ingin teriak, tetapi suaranya tertahan dan hanya urat lehernya yang tampak keluar.
Terdengar suara cekikikan tertahan di sekitar Xavier. Dia sadar kalau dirinya jadi tertawaan sekarang. Xavier hanya bisa menghela napas pasrah.
Tak berselang lama, seorang wanita memasuki kelas. Setelah wanita itu duduk di kursinya, salah seorang murid memimpin doa bersama. Xavier celingukan melihat orang-orang yang menunduk. Ada yang sembari menautkan kedua tangannya. Ada pula yang mengangkat kedua tangannya seperti meminta sesuatu dari langit. Xavier tiba-tiba bingung, bagaimana cara dia berdoa? Dia cuma menunduk sambil menggaruk pelipis.
Doa selesai. Wanita yang—Xavier tebak—merupakan seorang guru itu mengingatkan bahwa hari ini adalah waktunya ulangan. Beberapa anak merengek meminta ulangannya diundur. Namun, wanita itu dengan anggun dan penuh wibawa tetap membagikan lembar soal. Dean memberikan wejangan singkat bagaimana cara mengisinya. Pertama-tama, baca soal di kertas yang lebih besar, kemudian lingkari jawaban yang benar di kertas lebih kecil. Xavier mengangguk paham. Tak lupa Dean juga menuliskan nama lengkap Aiden, mungkin jaga-jaga takut Xavier menulis namanya sendiri.
Tulisan di dunia ini dan di dunianya bentuknya sama, jadi Xavier bisa memahami soal-soal di dalam kertas. Soal-soalnya juga cukup mudah. Di atas sebuah wacana sudah diberi petunjuk bahwa wacana itu untuk mengisi nomor berapa sampai berapa. Jadi, Xavier hanya tinggal membacanya dengan teliti. Soal lain adalah menemukan nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam penggalan sebuah cerita pendek. Ini juga bisa diatasi dengan baik. Namun, Xavier termangu saat mendapatkan soal tentang majas. Xavier kemudian menulis di buku kosong yang diberikan Dean, kemudian merobeknya.
Majas itu apa?
Setelah mencolek Dean dan memberikan kertasnya, beberapa saat kemudian dia menerima balasan.
Majas itu gaya bahasa kiasan.
Xavier termenung lagi. Pertanyannya adalah, majas apa yang digunakan dalam penggalan cerpen di atas? Xavier kemudian bertanya lagi pada Dean.
Ada majas apa saja? Beritahu arti dan contohnya juga.
Dean mendelik membaca pesan dari Xavier. Dia cepat-cepat menulis balasan dan melempar kertasnya ke wajah Xavier. Setelah dibuka, jawaban Dean adalah ...
Panjang, dong, Saprul! Kamu minta buku catatan aja sekalian!
"Aiden! Kertas apa yang kamu pegang?" tanya Bu Guru membuat Xavier terkesiap.
"O-oh ... i-ini ... s-saya dapat surat."
Tiba-tiba kelas riuh dengan teriakan "cie" dari anak-anak. Xavier hanya memandang mereka tak mengerti, sementara Bu Guru berusaha menenangkan kegaduhan.
"Aiden, fokus mengerjakan soal!" perintah Bu Lastri.
"Maafkan saya, Profesor."
"Kamu meledek saya? Saya ini baru S2."
"M-maafkan saya."
Xavier tidak lagi berani mengangkat kepala. Kebiasaan Xavier memanggil gurunya dengan sebutan Profesor. Mana dia tahu kalau di sini guru tidak dipanggil Profesor?
Xavier akhirnya menyelesaikan sisa soal yang tidak dia pahami dengan jurus tembak alias asal tebak. Kalau kena ya syukur, kalau meleset ya sudahlah. Dia selesai tepat sebelum sang guru mengatakan waktunya habis. Setelah Bu Lastri keluar, Xavier mendadak kebelet pipis. Dia meminta Dean mengantarnya karena tidak tahu jalan. Betapa terkejutnya dia saat berpapasan dengan seseorang di lorong.
"Aiden? Kamu maksain sekolah? Katanya lagi sakit?" tanya orang itu.
Amarah Xavier tiba-tiba mendidih dan tangannya mengepal kuat. Tanpa ba-bi-bu, dia meraih kerah orang itu hingga membuatnya terbatuk.
"Pengkhianat! Kau terlempar ke dunia ini juga rupanya!" kata Xavier dengan amarah meledak-ledak.
________________
Loh loh loh gimana ini kok ada si pengkhianat juga?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top