Bab 16: Tokoh Fiksi

"Paman, makan yang banyak."

Xavier menaruh sepotong ayam goreng di atas piring ayah Luna sembari tersenyum merekah. Apalagi ketika pria itu memuji makanannya sangat enak. Makin baik saja suasana hati Xavier. Namun, jawaban tengil Dean membuatnya mendelik sedetik kemudian.

"Gak salah kita bikin kesepakatan," katanya.

"Kesepakatan apa?"

Dean tidak jadi menyuap makanannya ketika sang ayah bertanya. Xavier manahan napas, takut Dean menceritakan semua kejadian saat dirinya ada di rumah dan tertangkap sebagai maling. Untunglah anak itu masih punya nurani.

"Biasalah, anak muda," katanya kemudian melanjutkan makan.

"Kalian gak macam-macam, kan?"

"Enggak, kok."

Xavier menghela napas lega dan akhirnya ikut makan. Malam ini, keluarga Dean berkumpul di rumah bakery. Mereka sudah resmi pindah, walaupun barang-barangnya sebagian masih tertinggal di rumah lama. Suasana rumah jadi terasa lebih ramai. Xavier jadi ingat dengan keluarganya sendiri. Biasanya, dia juga makan berempat bersama kedua orang tuanya dan juga Dean. Dean si pengawal, maksudnya. Tiba-tiba Xavier merasa matanya panas, meski tidak sampai air matanya jatuh. Ayam goreng yang tiba-tiba masuk ke piring mengalihkan perhatiannya.

"Kamu juga makan yang banyak," kata ayah Luna tersenyum ramah.

"Terima kasih, Paman."

"Gak usah panggil Paman. Panggil Ayah Bima saja."

"Ayah mau ngangkat dia jadi anak juga?" sela Dean.

"Kalau Xaviernya mau, kenapa tidak? Dulu Luna ingin punya kakak yang banyak. Luna pasti senang kakaknya nambah satu. Iya, kan, Luna?"

Semua mata kini tertuju pada Luna yang melongo dengan bola mata bolak-balik menatap mereka bergantian.

"Ayah bilang apa?" katanya dengan wajah bingung.

"Lo, dari tadi kamu ngelamun?" Sang ayah menatapnya tak kalah bingung.

"Luna hari ini emang sering bengong, Yah. Kayak orang linglung," jawab Dean.

"Linglung gimana? Sembarangan!" Luna tiba-tiba menyolot.

"Apalagi setelah kamu ngobrol berdua sama Aiden. Ngomongin apa, sih?"

"Kak Dean nguping?!" Nada bicara Luna makin meninggi.

"Aku gak nguping. Aku cuma lihat kalian berdua di kejauhan."

Sebelum Luna sempat menyahut lagi, ayahnya keburu mengomel dan menyuruh kedua anaknya untuk diam.

"Maaf, ya, Xavier. Mereka emang kadang suka begitu." Pria paruh baya itu terkekeh.

Xavier tertawa kecil. Entah mengapa hatinya menghangat. Keluarga ini menyenangkan. Dia merasa beruntung tersesat di tempat orang-orang yang mau menampung dan memperlakukannya dengan baik.

"Ngomong-ngomong, Xavier sama anak yang datang kemarin itu saudara kembar?"

Xavier tersedak ketika "ayah angkatnya" tiba-tiba bertanya mengenai Aiden.

"Eng ... i-itu ...." Xavier tidak bisa menemukan jawaban. Dia malah menoleh pada Dean dengan tatapan meminta tolong.

"Iya, dia kembarannya," jawab Dean membuat Xavier memelototinya dengan tatapan apa-yang-kau-katakan? Namun, Dean tidak peduli dan malah melanjutkan kata-katanya.

"Dia ke sini buat jemput Xavier. Tapi Xavier-nya masih gak mau pulang."

"Serumit apa masalah kamu dengan keluarga?" Tiba-tiba pertanyaan ayahnya beralih pada Xavier.

"M-masalahnya ...." Xavier memaksa otaknya berpikir dengan cepat. "P-pokoknya sangat rumit."

Pria itu menghela napas dan memandang Xavier lekat-lekat. "Xavier, sebaik-baiknya tempat pulang adalah keluarga. Bukannya Ayah keberatan kamu tinggal di sini. Tapi bagaimanapun, kamu harus segera menyelesaikan masalah dengan keluargamu."

Xavier mengangguk kaku. "I-iya. Maaf sudah merepotkan Ayah dan keluarga."

"Kami tidak kerepotan sama sekali. Malah kamu banyak membantu di sini."

Pria itu terkekeh lagi. Xavier hanya tersenyum tipis menanggapinya. Senyaman apa pun berada di sini, ternyata Xavier tidak bisa lepas dari asal-usulnya. Xavier memang tidak bisa tinggal di sini selamanya. Bagaimanapun, dia harus kembali dan menyelamatkan keluarganya.

Kehangatan keluarga ini tiba-tiba jadi terasa dingin setelah selesai makan malam dan Xavier menaruh piring terakhir yang dia cuci. Dean dan ayahnya sedang berada di sofa menonton TV bersama. Sementara itu, Xavier memilih untuk pergi ke kamar duluan meski Dean mengajaknya bergabung. Namun, Xavier tidak enak untuk menolak ketika ayahnya yang meminta. Akhirnya, dia ikut duduk di sofa bersama mereka.

"Ngomong-ngomong, Aiden itu bukannya teman kamu yang dulu sering main ke sini? Dia yang anak seorang penulis itu, kan?" tanya Ayah Bima pada Dean.

"Iya." Dean menjawab tanpa mengalihkan perhatiannya dari TV.

"Ayah baru tahu kalau dia punya kembaran. Dulu dia selalu datang sendirian." Pandangan Ayah Bima kini beralih pada Xavier.

"Itu ... karena ...." Xavier menjeda kalimatnya untuk berpikir, " ... kami baru bertemu baru-baru ini. Ada insiden yang memisahkan kami sejak bayi."

"Benarkah?"

Ayah Bima memandang Xavier prihatin, sedangkan Dean melongo sambil tepuk tangan tanpa suara. Dia pasti sedang mengapresiasi kemampuan Xavier dalam hal berbohong. Tidak mau mendapat pertanyaan yang lebih sulit, Xavier memilih untuk pamitan tidur saja. Namun, langkahnya terhenti ketika tiba di depan kamar Luna.

Kamar Luna yang ada di sebelah kamar Dean pintunya sedang terbuka. Xavier bisa melihat deretan kardus berserakan di kamar bernuansa putih dan merah muda itu. Luna sedang sibuk menata buku-bukunya. Akhirnya, Xavier menuju pintu kamar Luna dan mengetuknya.

"Butuh bantuan?" tanya Xavier membuat Luna menoleh.

"Enggak usah."

Meskipun Luna menolak, Xavier tetap masuk ke kamar gadis itu.

"Kau tidak bisa menyelesaikannya sendirian," ujar Xavier.

"Aku gak perlu menyelesaikannya sekarang, kok."

Xavier manggut-manggut dan duduk di tempat tidur. "Koleksi bukumu banyak sekali."

"Aku mengumpulkannya sejak SD." Luna menjawab sembari memasang senyum lebar.

Xavier ikut-ikutan tersenyum. "Kau suka sekali membaca buku?"

Luna mengangguk sembari menepuk-nepuk buku dan meniup debunya.

"Aku juga suka baca buku," kata Xavier.

"Aku tahu."

"Tahu dari mana?"

Luna tertegun dan menoleh sedikit pada Xavier, kemudian membuang muka sedetik kemudian.

"Cuma sok tahu," katanya.

Xavier tertawa kecil sembari terus memperhatikan Luna yang menata bukunya di rak. Ada getaran aneh yang membuat Xavier membuang muka dan menggaruk tengkuknya, lalu mengalihkan perhatian dengan menyelisik seisi kamar. Kamar Luna sebelumnya tidak seluas ini. Rak bukunya juga kecil. Buku-bukunya tidak muat semua di rak. Ternyata kardus-kardus yang betumpuk di sudut kamar lamanya berisi buku semua. Sekarang dia tampak senang sekali punya rak buku yang lebih besar. Rak kayu berwarna putih yang senada dengan tembok itu tampak cantik dihiasi sampul buku berwarna-warni. Sekat rak berbentuk persegi itu tidak semuanya diisi buku. Luna menaruh beberapa kaktus berpot putih untuk mempercantik rak bukunya.

Perhatian Xavier tiba-tiba teralihkan saat matanya menangkap sebuah buku di nakas samping ranjang. Dia mengambil buku bersampul warna hijau tua itu dan membaca judulnya. Dahinya seketika mengernyit saat membaca judul. Dibukanya buku itu dan dia menemukan sebuah pesan di halaman pertama di atas judul yang ditulis tebal.

Untuk Calluna Adsila.

Xavier membuka halaman dan sampailah dia di bab pertama. Pupilnya tiba-tiba melebar. Tulisan berbentuk seperti bait-bait puisi itu bercerita tentang sesuatu yang sangat dikenalnya. Kisah hidupnya. Tangan Xavier mendadak gemetaran. Badannya panas dingin. Dia membaca dengan cepat dan lebih cepat lagi. Semuanya sama persis seperti apa yang dia alami. Setelah dibaca beberapa halaman dan tiba di halaman kosong, akhirnya buku itu jatuh ke lantai hingga menyita perhatian Luna. Gadis itu bergegas menghampiri Xavier dan memungut bukunya. Dia berlutut dan mendongak memandang Xavier yang masih duduk di ranjang.

"Xavier ...."

Suara Luna terdengar lirih sekali, tetapi bibirnya sangat jelas mengucapkan namanya.

"B-buku apa ini?" Pertanyaan itu meluncur dari bibir Xavier meski dia merasa antara sadar dan tidak sadar.

Luna tidak menjawab dan malah menghindari tatapan Xavier. Xavier meraih bahu Luna dan mengguncangnya hingga gadis itu menatapnya lagi.

"Jawab aku! Buku apa ini?!" Xavier bertanya dengan tegas.

"X-xavier ... ini ... ini ... novel."

"Novel apa? Kenapa ada namaku di sana? Dan kenapa ceritanya sama persis seperti yang aku alami?"

Luna meringis dan menunduk.

"Luna, kumohon jawab aku." Suara Xavier mulai terdengar putus asa.

"Ini adalah dunia yang kamu tinggali."

Seketika tangan Xavier merosot dari bahu Luna. Dia merasa tulang-tulangnya tiba-tiba melunak. Pandangan nanarnya mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Butuh beberapa saat sampai dia bisa bicara lagi.

"Jadi maksudmu ... aku adalah tokoh fiksi?" tanya Xavier dengan suara pelan, nyaris hilang teredam udara di dalam kamar.

Luna mengangguk tanpa mengangkat kepalanya. Dia memeluk buku itu erat-erat.

"Apa buku itu ditulis oleh Aiden?" Xavier bertanya lagi.

Luna mengangkat kepala. Ekspresinya tampak terkejut.

"Dia bilang, aku adalah dirinya di semesta yang lain. Dan dialah yang memanggilku keluar," ujar Xavier.

"Buku ini ditulis oleh ayahnya." Luna menunjukkan sebuah nama di sampul bagian bawah. Anton Bagaskara.

"Anton?" Dahi Xavier kembali mengernyit. "Bahkan nama ayahnya pun mirip dengan nama ayahku?"

"Aiden bilang, tokoh dalam novel ini memang terinspirasi dari sosok nyata. Itulah kenapa Kak Dean juga ada di dunia kamu."

Xavier terdiam sejenak. "Apa kau juga ada di sana?"

Luna mengangguk. "Seharusnya Luna menemukan kamu di hutan saat dia sedang berburu dengan kudanya. Tapi karena kamu terlempar ke dunia ini, kamu bertemu Luna yang ini." Luna menepuk dadanya sendiri.

Xavier tiba-tiba tertawa. Dia menertawakan dirinya sendiri, juga kehidupannya yang tidak masuk akal. Bagaimana bisa kehidupannya ditentukan oleh seorang manusia? Xavier tidak ingin memercayainya.

"Tolong katakan kalau semua ini bohong," kata Xavier.

Luna tidak menjawab. Dia hanya memandangnya dengan mata yang tiba-tiba berlinang.

"Jadi aku cuma tokoh fiksi?" Xavier memastikan sekali lagi, tetapi sekarang Luna tidak mau mengangguk. Dan, Xavier menemukan jawaban lewat diamnya gadis itu.

_________________

Yang sabar ya, Xavier 😭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top