Bab 14: Sebuah Buku
Luna menggedor pintu kamar Dean sembari meneriakkan nama Xavier. Setelah kepergok sedang menangis, Xavier langsung pergi ke kamar dan menutup pintu. Tidak mau keluar walaupun tenggorokan Luna sudah serak gara-gara memanggilnya terus.
"Kak Dean serius gak ngapa-ngapain dia?" Luna bertanya pada Dean yang juga ikut menunggu Xavier di depan pintu.
"Serius. Aku tinggal dia berdua sama Aiden, tahu-tahu pas balik udah nangis aja."
Luna menyemburkan napas. Aiden sekarang sudah pulang. Saat ditanya Xavier kenapa, dia menjawab tidak tahu. Luna tak bisa menebak apakah Aiden sedang berbohong atau tidak. Mau bohong atau tidak, ekspresinya sama saja.
"Xavier, buka pintunya! Kamu pikir ini kamar siapa?!" teriak Dean dengan nada kesal.
Selama ini Dean membagi kamarnya pada Xavier karena tidak ada kamar tamu. Luna tidak mau kamarnya dipakai siapa pun. Kalau kamar Ayah, Xavier sendiri yang menolak. Tidak enak, katanya. Dia lebih memilih sekamar dengan Dean, dan sekarang pemiliknya merasa terancam kamarnya dikuasai orang lain.
"Kak, jangan-jangan Xavier muntah darah lagi di dalam." Luna tiba-tiba kepikiran kejadian tempo hari.
Dean sontak membelalak, kemudian mendobrak pintu. Nahas, dia terjungkal akibat ulahnya sendiri. Ternyata pintunya tidak dikunci. Dari tadi mereka cuma menggedor pintu dan tidak membuka handelnya. Dean nyusruk di lantai dan mengaduh, sedangkan Luna memekik memanggil nama Xavier karena melihat cowok itu tergeletak di lantai kamar dekat tempat tidur.
"Xavier, bangun! Xavier, kamu masih hidup, kan? Buka mata kamu! Jangan mati di sini, dong!" Luna meracau sembari menepuk-nepuk pipi Xavier.
Dean tertatih-tatih ikut menghampiri dan membantu membangunkan Xavier.
"Kalau di sinetron, biasanya orang pingsan dikasih minyak angin," ujar Dean yang kemudian mencari sesuatu di dalam laci.
Dean menemukan sebuah minyak angin roll on, kemudian mengoleskannya di atas bibir Xavier, tepat di bawah hidung. Percobaannya tidak langsung berhasil. Baru setelah beberapa saat, mata Xavier tampak mengerjap dan kepalanya bergerak-gerak. Setelah matanya terbuka lebar, Xavier tiba-tiba bangun sambil berteriak.
"Aaaaa panas!"
Luna dan Dean bertukar pandang kebingungan.
"Dia kesurupan?" tanya Luna pada Dean.
"Enggak tahu. Kamu baca ayat kursi? Kok dia kepanasan?"
"Enggak, kok, gak baca apa-apa." Luna menggeleng cepat-cepat.
"Aaaa ini apa?! Kenapa kumisku tiba-tiba panas?!" Xavier berteriak heboh sambil mengipasi area bibirnya dengan tangan.
Barulah Luna dan Dean sadar. Minyak angin di tangan Dean penyebabnya. Luna menepuk jidat, lalu buru-buru pergi mencari es batu dan membungkusnya dengan handuk kecil. Diberikannya handuk itu pada Xavier agar dia bisa mengompres bekas minyak anginnya.
"Ada apa? Apa aku masuk lagi ke tubuh Sky?" tanya Xavier menatap Luna dan Dean bergantian.
"Gak tahu. Pas kami masuk, kamu udah pingsan di sini," jawab Luna.
"Kenapa lagi ini? Setelah keluar masuk tubuh kucing, sekarang atas bibirku yang panas. Apa aku akan tumbuh kumis, ya?"
Luna dan Dean bertukar pandang. Luna menahan tawa, sedangkan Dean meletakkan telunjuknya di bibir. Kode jangan bilang apa-apa pada Xavier. Sepertinya dia takut kena semprot kalau Xavier tahu.
"Selain rasa panasnya, ada yang kamu rasain lagi? Ada yang sakit gak?" tanya Dean sok perhatian.
Xavier menggeleng. "Tidak ada. Aku cuma sedikit pusing."
Dean menyemburkan napas kasar. "Syukurlah."
"Tapi kenapa tadi kamu nangis? Aiden ngapa-ngapain kamu?"
Xavier tertegun. "Tidak tahu. Aku cuma mendadak sedih saat dia bercerita tentang kematian ayahnya."
Luna dan Dean bertukar pandang.
"Dia cerita itu ke kamu?" tanya Dean.
Xavier mengangguk.
"Dia bilang apa?" Luna ikut bertanya.
"Dia bilang, ayahnya terbunuh karena melindungi dirinya saat mereka dicegat begal di jalan."
Napas menyembur kasar dari hidung Luna. "Ya, aku dengar dari beritanya juga gitu. Mobil mereka juga dibawa kabur. Masih untung handphone Aiden gak diambil juga jadi bisa telepon ambulans."
"Lalu, pencurinya bagaimana sekarang?"
"Udah ketangkap, kok."
"Sebenarnya Aiden itu kenapa? Dia bilang, dia tidak bisa bereaksi apa pun saat ayahnya terbunuh di depan matanya sendiri."
"Kayaknya psikologisnya terganggu," jawab Dean. "Mungkin saking terguncangnya jadi dia gak bisa menunjukkan ekspresi apa pun selain diam."
"Dan itu berdampak sampai sekarang? Dia bilang terkejut saat melihatku, tapi eskpresinya terlihat sangat tenang. Setidaknya dia melotot sedikit atau apa. Tapi wajahnya datar saja."
Dean hanya menjawabnya dengan anggukan dan helaan napas. Luna terdiam, mengingat-ingat cerita Aiden tentang alexitimianya. Dia lupa bertanya sejak kapan Aiden mengalami hal itu. Papanya meninggal baru sebulan lalu. Mungkinkah Aiden mendapat diagnosis saat trauma healing? Lalu, apa maksud perkataan Om Alfi tentang Aiden membunuh perasaannya sendiri?
"Kamu kenapa bengong?" Dean menyikut Luna dan membuatnya terlonjak.
"Heh? Enggak. Aku keluar dulu kalau gitu. Mau beres-beres kamar."
Luna mengambil kardus yang dia taruh begitu saja di dekat sofa saat tadi melihat Xavier menangis. Dia kemudian membawa kardus berisi koleksi bukunya ke kamar. Rumah mereka yang satunya lagi sudah laku. Luna sedang mencicil memindahkan barang-barang karena konon rumahnya akan ditempati beberapa minggu lagi. Dibukanya kardus itu dan dia memilih buku berdasarkan ukuran. Selanjutnya, dia menata buku-buku itu di rak, berderet mulai dari kiri ke kanan.
Perhatian Luna tiba-tiba teralihkan oleh sebuah amplop besar. Sudah agak lecek. Dia ingat, amplop itu diterimanya satu tahun yang lalu. Sebuah kiriman tanpa identitas pengirim datang ke bakery-nya pada suatu hari. Karena dari bentuknya sudah bisa ditebak amplop itu berisi buku, Densus 88 Anti Teror sampai datang ke bakery. Ayahnya panik karena teringat teror bom buku yang sempat ramai beberapa tahun ke belakang. Karena itulah dia sampai lapor polisi segala. Namun ternyata, mereka tidak menemukan komponen mencurigakan di dalam sana. Hanya sebuah buku biasa. Novel bait yang ditulis oleh penulis favorit Luna. Anton Bagaskara, ayahnya Aiden. Judulnya Sang Legenda dari Cloudpolis. Mata Luna terbelalak seketika saat dia membaca judul buku itu lagi sekarang.
"Cloudpolis? Xavier, kan ...." Luna bergumam dan mengedarkan pandangannya tidak beraturan seperti sedang mencari jawaban di sudut-sudut kamar.
"Masa?" Luna bergumam lagi dengan mata yang lebih terbelalak.
Buru-buru dibukanya novel itu dan Luna bersila di atas kasur untuk membaca. Dia sudah menelan ludah sejak paragraf pertama. Cerita dibuka dengan adegan seorang pangeran bernama Xavier tersungkur karena sebuah serangan sihir. Cerita kemudian bergerak mundur, ke saat-saat sebelum kerajaan Cloudpolis diserang oleh klan penyihir.
Awalnya, Cloudpolis adalah negeri yang makmur. Namun, kehidupan rakyatnya tidak bisa dikatakan tenang karena ulah para penyihir. Konon, Distrik Penyihir ditaklukan oleh raja pertama Cloudpolis sehingga mereka kini berada di bawah pemerintahan Antonius de Cloudpolis, ayah Xavier Antonius de Cloudpolis. Akan tetapi, para penyihir tidak sudi menerima kenyataan itu. Mereka terus mencari kesempatan untuk menyerang balik dan menguasai seluruh Cloudpolis. Sampai mereka mengirim seorang mata-mata yang menjadi penyihir istana. Penyihir itu membuat sumur air penawar sihir untuk membangun kepercayaan keluarga kerajaan, termasuk Xavier. Namun ketika saatnya tiba, bala tentara Distrik Penyihir mengepung kerajaan dan membantai siapa saja yang setia pada Raja Antonius.
Peperangan pun tak terhindarkan. Adegan ketika Xavier melarikan diri bersama Dean ke hutan dan bersembunyi di sebuah gua pun diceritakan dengan sangat jelas. Luna sampai menahan napas ketika tiba di bagian itu. Adegan kemudian bergerak ke bagian Xavier masuk ke tubuh Sky dan terlempar ke sebuah tempat asing yang tidak dia kenali. Barulah napas Luna menyembur dan bahunya merosot begitu saja. Pandangannya beralih pada tembok kamar yang berwarna putih.
"Pantesan nama Cloudpolis terdengar gak asing," kata Luna pada dirinya sendiri.
Luna kemudian memandang bukunya lagi. Novel bait setebal dua ratusan halaman itu baru sampai setengahnya yang dia buka. Itu artinya, kisah Xavier belum berakhir di sini. Namun, Luna terlalu linglung untuk lanjut membaca. Ini adalah hal paling tidak masuk akal yang terjadi selama hidupnya. Sebagai seseorang yang senang membaca, Luna memang mengidolakan banyak tokoh fiksi sehingga dia suka berkhayal bisa bertemu mereka di kehidupan nyata. Akan tetapi, bukan begini caranya. Bukan tokohnya yang beneran keluar. Dia cuma ingin ketemu cowok yang wajah dan karakternya saja yang mirip.
Luna menjatuhkan dirinya ke kasur, lalu memukul kepalanya dengan buku. "Ini kayaknya aku yang stres, deh."
Setelah termenung sebentar, Luna bangun lagi dari posisinya. Ditariknya napas dalam-dalam dan dia semburkan pelan-pelan. Dia membuka halaman pertama dan mulai membaca dari awal lagi. Barangkali setelah kepalanya dipukul, dia jadi sadar kalau ini semua cuma mimpi, atau otaknya saja yang enggak beres. Namun, Luna meringis karena cerita dalam buku itu tidak berubah. Masih sama persis dengan yang diceritakan Xavier.
Luna membuang napas kasar dan menutup bukunya. Dia bertekad akan memastikannya sendiri pada Xavier. Bagaimanapun, dia baru mendengar sebagian kecil ceritanya. Siapa tahu detail yang lain malah berbeda. Luna bergegas keluar dan mencari Xavier ke kamar Dean. Namun sebelum sampai di sana, Luna sudah menemukan Xavier dan Dean di sofa ruang tengah. Xavier duduk sambil memeluk lutut. Wajahnya tampak murung. Sementara itu, Dean sedang memusatkan perhatiannya pada televisi.
"Xavier, aku mau ngomong," kata Luna membuat kedua cowok di atas sofa menoleh padanya.
Luna pergi duluan dan Xavier mengekornya dari belakang. Dia turun ke bakery dan keluar, memilih duduk di kursi yang ada di beranda. Xavier duduk di hadapannya, dipisahkan oleh meja bulat di antara mereka. Luna bersedekap memandang Xavier dengan tatapan tajam.
"Aku mau dengar semua kisah hidup kamu sampai bisa nyasar ke sini," kata Luna tanpa basa-basi.
Xavier mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum menjawab, "Aku, kan, sudah ceritakan semuanya."
"Kamu cuma cerita kerajaan kamu diserang klan penyihir dan kamu melarikan diri sama Dean pengawalmu itu."
"Lalu, apa lagi yang ingin kau ketahui?"
"Semuanya. Dari awal kerajaan Cloudpolis berdiri sampai kamu ada di hadapan aku sekarang."
Xavier mendesah dan menatap aneh pada Luna. "Kenapa kau tiba-tiba bertanya mengenai hal ini? Kalau aku ceritakan semuanya, aku bisa cerita sampai tujuh hari tujuh malam."
"Enggak, tuh. Aku bisa tahu kurang dari satu jam."
"Apa?"
Dahi Xavier mengerut, dan Luna berdeham sembari membetulkan posisi duduknya.
"M-maksud aku ...," kata Luna tergagap, " ... kalau ceritanya dirangkum, paling cuma kurang dari satu jam."
Xavier menghela napas dan memandang ke arah lain. "Aku tidak tahu persis bagaimana kerajaan itu berdiri. Setahuku, raja pertama Cloudpolis, alias kakek buyutku, berasal dari negeri seberang. Aku dengar, klan penyihir punya dendam padanya. Makanya dia tidak membiarkan kami hidup tenang. Tapi aku sendiri juga tidak tahu dendamnya apa. Mungkin dia pernah membunuh salah seorang penyihir?"
Luna menelan ludah. Ternyata ingatan Xavier benar-benar baru sampai situ. Sejarah bagaimana dendam itu terbentuk belum diketahui Xavier. Novelnya ditulis menggunakan sudut pandang orang ketiga serbatahu, bukan sudut pandang Xavier. Dalam cerita, Xavier baru mengetahui kebenaran setelah berhasil kembali ke istana dan menyelamatkan kedua orang tuanya.
Xavier menoleh pada Luna yang sedang termenung. Dia kemudian melanjutkan cerita setelah melihat ekspresi Luna yang hanya diam sembari memandangnya.
"Seperti yang pernah aku bilang, walaupun negeri kami tidak terlalu damai, tapi semuanya baik-baik saja. Sebelum akhirnya ...." Xavier menghela napas dan menunduk sebelum melanjutkan kembali kata-katanya. " ... penyihir istana yang kami percaya akhirnya berkhianat. Ternyata dia sengaja masuk ke keluarga kerajaan untuk menjadi mata-mata dan mengumpulkan informasi penting. Saat ayahku jatuh sakit, perang itu pecah. Dia tahu kalau aku masih belum berpengalaman untuk memimpin kerajaan meski posisiku adalah putra mahkota. Ayahku belum secara resmi memberikan kekuasaan karena dia hanya sakit sementara. Tapi kesempatan itu tidak disia-siakan mereka."
Kaki Luna serasa tidak menapak di tanah. Rasanya dia sedang mengawang di udara, seperti mimpi. Luna sudah pernah membaca buku itu sampai selesai. Meski dia lupa bagaimana detail kecilnya, tetapi secara garis besar cerita itu masih diingatnya. Sang Legenda dari Cloudpolis bercerita tentang seorang putra mahkota yang tidak tahu apa-apa dan kerjaannya cuma bermain dengan kucing, tiba-tiba harus menyelamatkan keluarga dan rakyatnya dari kekejaman para penyihir. Meskipun begitu, Xavier tetap menciptakan akhir bahagia untuk novelnya sehingga dia disebut sebagai legenda. Itu kalau Xavier tidak tersesat ke dunia ini. Sekarang bagaimana? Apakah alurnya juga akan berubah? Luna memijit kepalanya karena tiba-tiba pusing.
___________________
Nah loh ternyata ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top