Bab 13: Kamu Adalah Aku, Aku Adalah Kamu

Xavier merasa ada yang aneh dengan kembaran beda dimensinya. Saat menjabat tangan Aiden, Xavier merasakan ada getaran misterius. Entah apakah Aiden juga merasakan hal yang sama atau tidak. Anak itu terlihat tidak merasakan apa-apa dan tampak begitu tenang walaupun ketika dia bilang sedang terkejut.

Aiden mengobrol ngalor-ngidul bersama Dean, dan Xavier hanya jadi pendengar sembari sesekali memperhatikan Aiden. Dia sesekali menangkap basah Aiden yang juga menoleh padanya. Tidak mau ambil pusing lagi, Xavier membuang napas kasar. Mungkin karena mereka memiliki wajah yang sama persis sehingga sama-sama penasaran dan ingin melihat satu sama lain, pikirnya.

"Dean, bisa tolong jaga meja kasir sebentar? Dafa sedang pergi mengantar pesanan," kata ayah Dean tiba-tiba.

Dean bergegas menuruti perintah sang ayah dan meninggalkan Xavier bersama Aiden berdua. Suasana jadi canggung. Ternyata ketika Xavier melihat Aiden, rasanya benar-benar seperti becermin. Xavier menghindari tatapan Aiden ketika tidak sengaja bersirobok dengannya.

"Kamu tinggal di mana aslinya?" tanya Aiden membuat Xavier terkesiap.

"D-di ... rumahku."

"Maksud aku, rumahnya di mana? Masih di daerah sini?"

Xavier terdiam, mengingat-ingat nama daerah yang dulu disebut Dean. Namun, dia tidak mengingatnya. Akhirnya, Xavier hanya menjawab, "Begitulah."

"Entah kenapa kamu mengingatkan aku pada seseorang."

Perkataan Aiden membuat Xavier memandangnya penuh perhatian dan penasaran. "Siapa?" tanyanya.

"Xavier yang aku kenal, dari kerajaan Cloudpolis."

Seketika mata Xavier membeliak. "C-loudpolis? M-maksudmu?"

"Ah, sepertinya aku melantur. Lupain aja."

"Tunggu dulu," sela Xavier memandang Aiden lebih serius. "Kau tahu tentang kerajaan Cloudpolis?"

Aiden terdiam sejenak sebelum balik bertanya, "Kamu juga tahu kerajaan itu?"

Xavier menelan ludah. Bagaimana ini? Apa yang harus dia katakan? Kalau dia jujur, apakah Aiden akan percaya dan tidak berbahaya untuk dirinya sendiri?

"X-xavier yang kau kenal ... bagaimana orangnya?" tanya Xavier pada akhirnya.

"Dia seorang putra mahkota yang baik hati. Dia punya karakter yang berbanding terbalik denganku."

"Berbanding terbalik ... bagaimana?"

"Dia adalah seseorang yang akan menangis hanya karena melihat kucing kelaparan, sedangkan aku tidak bisa bereaksi apa pun meski melihat seseorang dibunuh di hadapanku."

Dahi Xavier mengerut, tidak paham sama sekali dengan perkataan Aiden.

"Sama sepertiku waktu masih normal, Xavier memungut kucing kelaparan itu dan memeliharanya. Dia beri nama Sky karena merasa bahwa kucing itu adalah hadiah dari langit. Sayangnya, cuma dia yang tinggal bareng Sky sampai sekarang. Sky punyaku sudah mati," kata Aiden lagi.

Xavier terbelalak lagi dan mulutnya menganga. "B-bagaimana kau tahu tentang Sky?"

"Jadi kamu beneran Xavier yang itu?"

"K-kau ... siapa?"

Aiden memandang Xavier tanpa ekspresi apa pun. Dia kemudian berkata, "Selamat datang, Xavier. Kamu beneran datang ke dunia ini, ya?"

"D-dunia ini? K-kau tahu aku bukan berasal dari dunia ini?"

Aiden mengangguk. "Aku tahu."

"B-bagaimana bisa? K-kenapa aku ... ada di sini dan kau ... apa-apaan ini?" Xavier meracau saking tidak mengertinya dengan keadaan.

"Aku yang memanggil kamu agar datang ke sini."

Jawaban Aiden makin membuat Xavier kebingungan. "Kau bilang kau yang memanggilku? Apa kau bisa mengendalikan hidupku? Siapa kau sebenarnya?"

"Aku adalah kamu. Dan kamu adalah aku."

Xavier terdiam sebentar, kemudian tertawa. "Yang benar saja! Kau sedang membuat lelucon, ya?"

"Aku tahu semua kisah hidup kamu. Aku bisa ceritakan semuanya kalau kamu gak percaya."

Xavier menatap nyalang pada Aiden. "Kenapa kau bisa tahu?"

"Sudah aku bilang, karena kamu adalah aku, dan aku adalah kamu."

"Lalu kenapa aku tidak tahu apa pun tentang dirimu?"

Aiden terdiam beberapa saat. Dia mengedarkan pandangannya ke arah lain kemudian menjawab, "Mungkin karena itulah kamu benar-benar datang ke sini."

"Untuk mengetahui kehidupanmu?"

Aiden menoleh pada Xavier dan mengangguk.

"Tapi kenapa aku harus tahu kehidupannmu?" Xavier bertanya lagi.

"Untuk membantuku."

Xavier mendesah dan menyandarkan punggungnya ke sofa. Tatapan bingungnya masih tertuju pada Aiden yang terpisahkan oleh meja di hadapannya.

"Aku benar-benar tidak mengerti," kata Xavier dengan suara lemah.

Aiden sedikit tertunduk dan pandangannya terpaku pada roti yang tinggal satu biji. Dia menghela napas sebelum kembali bersuara.

"Malam itu," kata Aiden, "rumah kami kerampokan. Papa terluka karena berusaha melindungi aku. Aku menelepon ambulans, tapi gak ada yang percaya sama ucapanku. Mereka bilang, nada bicaraku terdengar terlalu tenang untuk ukuran orang yang sedang ada dalam situasi darurat. Mereka kira aku lagi bikin konten prank. Satu-satunya orang yang percaya padaku cuma Om Alfi. Dia yang tahu keadaanku. Tapi dia baru datang membawa ambulans setelah Papa meninggal di pelukanku."

Xavier merasa tenggorokannya tiba-tiba tersekat mendengar cerita Aiden. Namun yang membuatnya bingung, Aiden mengatakan itu tanpa ekspresi apa pun.

"Kalau kamu yang mengalami hal itu, gimana perasaan kamu?" tanya Aiden.

"Tentu saja hatiku akan sangat sakit." Xavier menjawab dengan suara yang tiba-tiba bergelombang.

"Kamu juga pasti akan menangis. Iya, kan?"

Xavier tidak menjawab dan malah menggigit bibirnya. Dia mengalihkan pandangan karena matanya tiba-tiba terasa tergenang.

"Walaupun kondisiku seperti ini, tapi logikaku masih bisa diandalkan," lanjut Aiden. "Seharusnya waktu itu aku menangis. Atau setidaknya marah pada orang yang menikam papaku lalu membalasnya. Iya, kan? Tapi aku gak bisa berbuat apa-apa. Aku sibuk berpikir bagaimana perasaan Papa kalau aku membunuh orang lalu masuk penjara."

Xavier tergeming dan hatinya makin teriris. Aiden memandangnya dan bicara lagi.

"Di hari pemakaman, aku jadi pusat perhatian karena ekspresiku. Wartawan datang mewawancaraiku, tapi aku gak bicara sama sekali. Om Alfi bilang, lebih baik aku diam daripada memberi jawaban yang tidak bisa diterima orang normal. Setelah itu, berita tentang diriku berserakan di mana-mana. Aku membaca setiap komentar netizen yang ditujukan padaku. Meski berbeda-beda, tapi intinya sama. Mereka menyebutku anak durhaka, monster, psikopat, emm ... apa lagi, ya?"

Dada Xavier makin sesak saja dan air matanya jatuh tanpa kontrol. Dia sampai heran sendiri kenapa itu terjadi pada dirinya. Entah kisah hidup Aiden yang terlalu menyedihkan, atau perasaannya yang terlalu sensitif. Xavier kemudian mengusap air matanya dan mulai bicara.

"Lalu bagaimana ceritanya kau memanggilku ke sini?" tanya Xavier.

"Aku gak tahu apakah ini berasal dari perasaan atau logikaku. Aku pikir, mungkin Papa akan sedih atau sakit hati kalau melihat anaknya baik-baik aja padahal dia kesakitan sampai meregang nyawa. Jadi, hari itu ... di samping pusara Papa ... aku memanggilmu. Aku minta kamu gantiin posisi aku sebagai anak Papa. Setidaknya kamu masih bisa menangis, berbeda denganku."

"Jadi aku ini apa? Alter ego? Bukannya kalau alter ego, aku hanya akan muncul di dalam tubuhmu sendiri?"

"Kamu adalah aku, yang diciptakan oleh Papa."

Xavier mengernyit kebingungan. Masih banyak pertanyaan yang ingin dia ajukan, tetapi tidak punya banyak waktu sekarang. Dean keburu kembali, bersama Luna juga. Mereka berdua terheran-heran karena mendapati Xavier sedang menangis. Kemudian, Xavier memilih untuk pergi ke kamar Dean dan menangis di sana. Dia merasa terluka tanpa alasan. Cerita hidup Aiden mungkin saja akan membuatnya sedih. Namun, ini terasa seperti dirinya sendiri yang mengalami hal itu. Xavier tidak mengerti apa yang dikatakan Aiden, bahwa dirinya adalah Aiden. Apa pula maksud ayahnya menciptakan Xavier? Apakah Xavier semacam manusia percobaan atau apa? Xavier menjambak rambutnya sendiri karena tiba-tiba merasa pusing. Matanya dia paksakan terbuka, takut menghilang lagi seperti sebelum-sebelumnya. Namun, pertahanannya tidak berhasil. Xavier tidak sadarkan diri.

__________________

Tes ketelitian. Jadi, Xavier itu siapa? Yang jawabannya bener gak dapat hadiah. Ya namanya juga seru-seruan 😌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top