Bab 11: Teman Baru
"Gimana perasaan kamu hari ini?" tanya Om Alfi ketika Aiden menyuap nasi goreng di hadapannya.
Aiden menelan makanannya kemudian menjawab, "Seperti biasa."
Terdengar helaan napas Om Alfi yang juga ikut memakan nasi gorengnya. Dia terlihat menunduk lesu. Seperti tidak ada semangat, atau mungkin putus asa.
"Om pasti capek ngurusin aku," tebak Aiden.
Om Alfi seketika mengangkat kepala sambil memelotot. "Siapa yang bilang kayak gitu?"
Aiden memandang Om Alfi sambil mengunyah, dan pria di hadapannya itu kembali menunduk.
"Gak usah berusaha terlalu keras," kata Aiden. "Maksud aku, kalau aku emang udah kayak gini, ya udah aja."
Om Alfi mengangkat kepala lagi. "Ya udah apanya?"
Aiden termangu sebentar. Tiba-tiba teringat dengan perkataan Reynand. "Mungkin aku kayak gini biar gak dendam sama orang yang udah semena-mena sama aku."
Terdengar bunyi sendok beradu dengan piring. Om Alfi mengabaikan makanannya dan memandang Aiden baik-baik. "Aiden, perasaan seseorang itu fungsinya bukan cuma satu. Ya, mungkin dengan tidak memahami perasaan kamu sendiri, kamu punya keuntungan karenanya. Tapi karena tidak bisa memahami perasaan orang di sekitar kamu juga, kamu bisa memberi dampak buruk bagi mereka."
"Termasuk Om Alfi?"
"Termasuk papa kamu."
Aiden terdiam sejenak. "Papa sering nangis. Dia sedih kalau dengar tetangga membicarakan aku."
"Bukan cuma itu. Dia juga khawatir kalau kamu gak sembuh, gimana dengan masa depan kamu? Dia pengin lihat kamu jatuh cinta, menikah, punya keluarga sendiri. Sayangnya ...." Suara Om Alfi bergelombang, dan dia tidak melanjutkan kata-katanya. Lebih memilih kembali makan dan menyuruh Aiden menghabiskan makanannya juga.
"Cepat makannya. Nanti telat ke sekolah," kata Om Alfi.
Sejak papanya meninggal, Om Alfi membawa Aiden kembali ke Bandung dan tinggal bersamanya. Selain berperan sebagai wali, dia juga jadi tukang antar jemput Aiden. Mereka sudah bersiap untuk berangkat. Namun, ada pemandangan tak biasa di depan rumah Aiden. Sebuah motor terparkir di samping mobil Om Alfi. Aiden termangu memandang motor itu. Dia seperti pernah melihatnya di suatu tempat. Ditambah lagi seseorang yang duduk di atas motor. Meski sedang memandang ke arah lain, Aiden langsung bisa mengenalinya. Anak itu lagi.
"Oi, Aiden!" Reynand melambaikan tangannya ketika menyadari kehadiran Aiden.
Om Alfi yang berjalan menuju mobilnya menoleh pada Aiden dan bertanya, "Dia siapa? Kamu kenal?"
"Dia anak yang mukul aku."
Seketika mata Om Alfi membulat dan menghampiri Reynand tergesa-gesa. Tangannya langsung meraih kerah Reynand sampai anak itu terbatuk karena tercekik.
"Kamu yang mukul Aiden? Beraninya kamu ke sini! Cari mati, ya?!" Bahkan orang yang tidak paham emosi seperti Aiden pun bisa mengerti kalau Om Alfi sekarang sedang marah.
"A-anu ... Om ... uhuk ... saya ke sini buat minta maaf." Reynand megap-megap sambil berusaha melepaskan tangan Om Alfi dari kerahnya.
Om Alfi melepaskan Reynand sampai anak itu nyaris terjatuh dari motornya. Tatapannya masih setajam ujung tombak. Reynand buru-buru turun dari motor dan merapikan seragamnya, kemudian berdiri di hadapan Om Alfi seperti anak nakal yang siap menerima hukuman dari guru BK.
"Saya minta maaf udah mukul Aiden," kata Reynand. "Sebenarnya saya bukan orang yang suka mukul-mukul. Cuma waktu itu, saya udah emosi sejak dari rumah."
"Kalau minta maaf ya minta maaf aja. Gak usah cari alasan segala."
"I-iya, m-maaf." Reynand mengangguk dan sedikit membungkuk.
"Kamu jauh-jauh ke sini beneran cuma buat minta maaf? Bukan mau mencelakai Aiden lagi?"
"Suuzon amat, Om. Sebenarnya saya udah minta maaf sama Aiden, tapi reaksi dia biasa aja. Saya gak tenang karena merasa bersalah. Jadi saya datang minta maaf ke keluarganya."
Om Alfi menoleh pada Aiden, dan Aiden hanya balik memandangnya tanpa ekspresi. Om Alfi kemudian menoleh pada Reynand lagi dan manggut-manggut.
"Oke. Kedengarannya kamu serius. Tapi awas aja kalau kamu nyakitin Aiden lagi. Saya gak akan segan-segan laporin kamu ke polisi," kata Om Alfi.
Reynand mengangguk. "Saya janji."
Om Alfi kemudian menyuruh Aiden segera masuk mobil, tetapi Reynand menahannya.
"Om mau berangkat kerja, ya? Aiden berangkat sama saya aja," katanya.
Om Alfi memandangnya dengan tatapan tajam lagi, sedangkan Reynand malah tertawa. "Saya gak bakal ngapa-ngapain Aiden. Om kayak lagi jagain anak gadis aja," katanya sambil cekikikan.
"Memangnya siapa yang bakal ngasih ponakannya ke orang yang udah mukul dia?"
Reynand tertawa lagi. "Om boleh masang alat penyadap kalau gak percaya."
"Udahlah." Aiden menyela dan berjalan menghampiri mereka.
"Kayaknya dia pengen banget berangkat bareng aku. Aku gak akan kenapa-napa," kata Aiden meyakinkan Om Alfi, walaupun Aiden tahu nada bicaranya pasti tidak terdengar meyakinkan.
Setelah diam beberapa saat, akhirnya Om Alfi mengangguk dan berangkat duluan menggunakan mobilnya. Sementara itu, Reynand malah memandang Aiden dengan ekspresi tidak dipahami.
"Apa?" kata Aiden.
"Jangan salah paham. Aku begini karena kasihan sama kamu."
"Kenapa kasihan sama aku?"
"Kamu gak punya teman, kan? Orang normal kayak aku punya naluri seperti ini. Gak tegaan."
"Udah aku bilang, aku punya teman, kok."
Reynand tertawa. "Aku gak percaya."
"Kamu kenal Calluna Adsila dan Dean Nareshwara?"
Reynand mengerjap beberapa kali. "S-siapa mereka?"
"Teman sekelasku."
Tawa menyembur lagi dari mulut Reynand. "Kamu paling cuma asal nyebut nama teman sekelas kamu secara acak."
Aiden terdiam. Bingung harus dengan cara bagaimana lagi dia meyakinkan Reynand. Ekspresi lempeng dan nada datarnya memang membuat Aiden disangka tidak pernah serius kalau bicara. Padahal, dia sudah sungguh-sungguh mengatakannya. Pada akhirnya, Aiden hanya menerima helm dari Reynand dan berangkat dibonceng anak itu. Mereka tiba di parkiran sekolah setelah beberapa lama.
"Wah, sekarang temenannya sama psikopat, ya?"
"Ya, daripada gak punya teman sama sekali."
Terdengar ujaran ketika Aiden turun dari motor dan melepas helmnya. Dia menoleh ke arah beberapa anak cowok yang sedang berkumpul. Mereka tertawa-tawa sambil memandang Aiden dan Reynand. Aiden tidak mengerti mengapa mereka bersikap seperti itu. Reynand mengajaknya pergi setelah menoleh sejenak ke arah mereka.
"Mereka ngetawain kamu karena gak punya teman?" tanya Aiden.
"Mereka ngetawain apa aja yang ada dalam diri aku."
"Jadi sebenarnya yang gak punya teman itu kamu, bukan aku?"
Tiba-tiba langkah Reynand terhenti dan memandang Aiden. Dia tampak ingin bicara, tetapi hanya menyemburkan napas pada akhirnya. Setelah itu, dia pergi begitu saja. Aiden memandang Reynand yang menjauh dan berbelok ke lorong kelas dua belas. Aiden kemudian merasakan seseorang menepuk punggungnya. Ketika dia menoleh, tampak Luna sedang tersenyum padanya. Di belakangnya, ada Dean yang masih saja bengong memandang wajah Aiden.
"Kamu kenapa terus menatapku seperti itu?" Pada akhirnya Aiden melontarkan pertanyaan itu.
Dean menghampirinya dan memandang Aiden dari atas sampai bawah. Kemudian dia geleng-geleng sambil berujar, "Kalian beneran kayak kembar identik."
Setelah mengatakan itu, Dean pergi begitu saja menuju kelas. Hanya tinggal Luna yang kini juga memandang Aiden.
"Aku mirip sama siapa? Kalian mengenal seseorang yang mirip denganku?" tanya Aiden.
Luna meringis dan menggaruk tengkuknya. "Eng ... iya ... sebenarnya ... kami punya teman yang mukanya mirip banget sama kamu."
"Benarkah? Seperti kembar identik?"
Luna mengangguk. "Nama kalian juga mirip. Dia Xavier."
Aiden termangu. Luna berjalan lebih dulu menuju kelasnya. Setelah beberapa saat, Aiden mengikutinya. Dia kemudian melihat Felly yang melambaikan tangannya sambil tersenyum. Belajar dari pengalaman, Aiden kini membalas lambaian dan senyumannya. Namun, Felly malah menganga dan Aiden membuang muka. Pasti senyumnya tampak aneh di mata gadis itu sampai dia menganga segala. Aiden menuju tempat duduknya dan menaruh tas di atas meja. Dean yang duduk di kursi depannya memutar badan menghadap Aiden.
"Aiden, kamu tinggal sama siapa sekarang?" tanya Dean yang menutup mulutnya dengan tangan sedetik kemudian. "M-maksud aku ... dulu kamu cerita cuma tinggal sama papa kamu, dan sekarang papa kamu ...."
"Aku tinggal sama Om Alfi."
Dean mengangkat alisnya. "Dia siapa?"
"Adiknya Papa. Dulu kami pindah ke Jakarta karena Papa harus ngurus dia setelah Nenek meninggal. Sekarang giliran dia yang ngurus aku dan pindah lagi ke sini."
Dean manggut-manggut.
"Kamu udah bisa bikin roti, sekarang?" tanya Aiden membuat Dean terkesiap.
"Apa?"
"Dulu kamu bilang, kamu mau jadi penerus ayah kalian."
"Wah, ingatan kamu beneran bagus." Dean berdecak sambil geleng-geleng.
"Kalau kamu udah bisa bikin roti, harusnya aku dapat gratisan."
Dean melongo.
"Aku bercanda," kata Aiden yang membuat Dean tergelak.
"Apa candaanku lucu?" Aiden bertanya bingung.
"Bukan lucu candaannya, tapi muka lempeng kamu pas bilang bercanda."
Dean tertawa lagi sampai matanya berair. Aiden termangu dibuatnya. Kok ada orang yang bilang muka lempengnya lucu?
"Kamu main aja ke bakery. Masih di tempat yang dulu, kok. Kalau ingatan kamu sebagus itu, harusnya aku gak perlu bilang di mana alamatnya," kata Dean kemudian memutar badan lagi menghadap ke depan. Dia mengeluarkan buku dari dalam tas, padahal bel masuk belum berbunyi. Pantas saja. Ternyata buku resep roti.
Aiden mengetuk punggung Dean dengan telunjuknya membuat cowok itu menoleh. Dia kemudian berujar, "Kalau gitu mana sini nomor kamu?"
Aiden menyodorkan handphone-nya pada Dean, lalu anak itu mengetikkan deretan nomor.
"Sekalian aku simpan punya Luna juga, ya?"
Aiden mengangguk. Beberapa saat kemudian, Dean mengembalikan handphone-nya. Layarnya masih menampilkan deretan chat Whatsapp. Ternyata Dean langsung mengirim pesan ke nomornya dan juga nomor Luna. Bunyi pesannya:
Hai, ini Aiden. Save nomorku, ya.
"Luna bilang, kalian punya teman baru yang mirip aku," kata Aiden kemudian.
Pandangan Dean mengedar sebentar sebelum akhirnya kembali ke Aiden. "Ya ... begitulah. Makanya aku agak syok lihat muka kamu."
"Dia sekolah di mana? Kalian sering ketemu? Aku mau ketemu juga, dong."
Mata Dean tiba-tiba terbelalak. "Apa?"
"Kenapa?"
"Eng ... masalahnya ... dia ...."
Aiden terdiam menatap Dean yang menghindari pandangannya dan malah garuk-garuk kepala.
"Ya udahlah. Gak bakal kenapa-napa juga, kan, kalau kalian ketemu?" kata Dean pada akhirnya.
Dean kembali memusatkan perhatian pada buku resep, dan Aiden termangu memandang punggungnya. Dia bertanya-tanya, Dean kenapa lagi? Anak itu selalu bertingkah yang membuat Aiden tidak mengerti.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top