Bab 10: Perasaan yang Menghilang

Luna mengamati wajah Aiden. Alisnya nyaris bertemu. Dia seolah sedang mencari jawaban atas pertanyaannya hanya dengan memandang wajah Aiden yang tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Perhatiannya baru teralihkan oleh anak-anak rambut yang masuk ke mata gara-gara diterbangkan angin. Gadis itu kemudian menyelipkan rambutnya ke telinga dan memandang lurus ke depan, pada hamparan rumput hijau. Aiden melakukan hal yang sama. Dersik angin yang menggesek dedaunan mulai terdengar samar ketika suara Luna menguasai pendengaran Aiden.

"Aku bertanya-tanya, apa dari dulu ekspresi kamu memang kayak gini?" kata Luna.

"Mungkin enggak. Dulu ekspresiku lebih beragam. Kamu pernah lihat aku menangis. Iya, kan? Kamu juga pernah lihat aku marah sama Dean gara-gara dia gak sengaja merobek buku Papa dan dia gak mau bayar."

Luna tergelak. Aiden menoleh, mengamati gigi taring Luna yang tampak dari samping. Seperti vampir cantik, pikirnya.

"Kamu masih ingat itu?" kata Luna.

"Aku selalu mengingat kenangan kita. Lebih tepatnya, aku menyimpan baik-baik ingatan itu. Hanya agar aku percaya bahwa dulu aku juga anak yang normal."

Luna moleh hingga pandangan mereka beradu. Gadis itu membuka mulutnya dan bertanya ragu, "Lalu ... sekarang ... kamu ...."

"Seperti yang kamu lihat." Tanpa ragu Aiden menjawab.

"Kenapa?"

"Alexitimia."

"Apa itu?"

Aiden mengalihkan pandangan pada rumput hijau di depan. "Aku kehilangan kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengekspresikan perasaanku sendiri."

"Kalau perasaan orang lain, kamu bisa memahaminya?"

Aiden terdiam sejenak. "Kalau perasaan sendiri aja gak ngerti, gimana mau ngerti perasaan orang lain?"

"Jadi ... itu sebabnya ekspresi kamu biasa aja gak peduli apa pun yang terjadi?"

Aiden mengangguk. "Iya."

"Tapi bukan berarti kamu gak punya perasaan sama sekali, kan? Kamu cuma gak bisa memahami apa yang kamu rasain?"

Aiden terdiam, cukup lama karena bingung bagaimana menjelaskannya. "Ya, mungkin seperti itu. Mungkin juga aku memang gak bisa merasakan apa pun. Makanya aku gak bisa berekspresi apa pun."

Luna terdiam begitu lama hingga Aiden menoleh padanya. Gadis itu menyandar ke sandaran bangku, sedangkan kepalanya tertunduk.

"Aiden ... aku sebenarnya gak berani menanyakan ini." Luna mengangkat kepala dan memandang Aiden lagi. "Tapi aku harus memastikannya. Saat papa kamu meninggal ... waktu itu ... kamu gimana?"

Aiden termangu hanya untuk memikirkan bagaimana perasaannya sendiri waktu itu. Namun setelah waktu berlalu, hingga kini pun Aiden belum menemukan jawabannya.

"Luna, jujur saja," kata Aiden, "daripada memikirkan bagaimana perasaanku waktu itu, aku lebih ingin tahu bagaimana perasaan Papa."

Luna tidak bersuara dan hanya memandang Aiden. Aiden menebak gadis itu ingin penjelasan yang lebih panjang.

"Kenapa malam itu Papa memilih mengorbankan dirinya demi aku?" kata Aiden. "Papa selalu bilang, jangan melukai orang lain karena dia akan kesakitan. Lalu, kenapa Papa memilih terluka? Apa dia gak kesakitan?"

Bibir Luna tiba-tiba bergetar dan air matanya jatuh begitu saja. Dia kemudian berujar dengan suara gemetar, "Karena dia gak mau kamu yang kesakitan."

"Aku bisa menahannya. Seharusnya Papa biarkan saja pisau itu menikamku."

Luna menghapus air matanya dengan cepat dan berkata lagi, "Kamu mungkin bisa menahannya, tapi tubuh kamu enggak. Kalau kehilangan banyak darah, tubuh kamu bisa bahaya."

Aiden termangu, tiba-tiba teringat dengan Om Alfi yang selalu cemas jika dirinya berkelahi. "Jadi dia khawatir aku meninggal?"

"Aiden ...." Luna memanggil namanya dengan suara yang makin bergelombang disertai isakan. "Kenapa kamu jadi kayak gini?"

Aiden terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Om Alfi bilang, aku sendiri yang membunuh perasaan itu."

Seketika tangis Luna berhenti dan dia memandang Aiden dengan kening mengerut. "Maksud kamu?"

Aiden menghela napas. "Ceritanya sangat panjang."

"Aku akan dengarkan semuanya."

"Mmm ... tapi kayaknya sekarang waktunya gak akan cukup. Nanti keburu bel."

Luna membuang napas kasar. Dia membersihkan air mata di wajahnya yang cemberut. "Bilang aja kamu gak mau cerita."

"Kalau dulu mungkin iya."

Luna menoleh pada Aiden yang masih memandangnya sejak tadi.

"Dulu aku gak pernah cerita walaupun kamu bertanya ratusan kali kenapa aku sering nangis di toko buku," kata Aiden.

"Bukannya karena kamu sedih buku papa kamu gak laku-laku?"

"Lebih dari itu."

"Apa?"

"Udah aku bilang, ceritanya panjang."

"Terus kenapa kamu gak bilang dari dulu?"

"Enggak tahu. Hanya karena ada sesuatu dalam hati aku yang bilang kalau kamu lebih baik enggak tahu. Tapi sekarang ...." Aiden menggantung perkataannya sebentar, " ... cerita atau enggak ke kamu, gak ada bedanya buat aku. Aku akan ceritakan semuanya kalau kamu mau dengar."

"Aku pegang janji kamu. Awas aja kalau kamu bohong." Luna mengacungkan telunjuknya di depan wajah Aiden. Kemudian, kedua bola mata gadis itu membulat tiba-tiba.

"Kamu barusan senyum?" tanyanya.

Aiden termangu bingung. "Aku senyum?"

"Iya! Kamu senyum!"

Setelah berpikir beberapa saat, Aiden berujar, "Oh, aku memang mempelajari itu. Kadang-kadang aku suka senyum. Seperti ini." Aiden menarik bibirnya, dan Luna malah meringis.

"Tapi katanya senyumanku aneh. Jadi aku diam saja," lanjut Aiden.

Luna garuk-garuk kepala sambil terus memandang Aiden. "Tapi yang pertama gak seaneh yang kedua, deh, perasaan. Walaupun samar, yang pertama kelihatan kayak senyum beneran."

"Ah, udahlah!" Luna mengibas tangannya di depan wajah, kemudian pergi meninggalkan Aiden sendirian.

Aiden merogoh handphone dari saku celana, kemudian menyalakan kamera depan. Dia memandang wajahnya sendiri di sana. Wajah datar, rambut depan turun hampir mengenai kacamata. Ternyata masih seperti dia yang biasanya. Setelah menghela napas dan memasukkan kembali handphone-nya ke dalam saku jas, Aiden beranjak dan ikut pergi meninggalkan taman. Bel masuk berbunyi saat dirinya tiba di lorong kelas. Namun sebelum masuk, Aiden pergi ke toilet dulu. Dia melepas kacamata dan membasuh wajahnya di keran wastafel.

Aiden menyadari seseorang yang berdiri di sampingnya. Namun karena tidak pakai kacamata, dia tidak tahu siapa. Barulah ketika kacamatanya kembali bertengger di hidung, wajah orang itu tampak jelas. Ternyata yang menonjok dirinya tempo hari. Anak itu mengulurkan tangan pada Aiden.

"Kita belum kenalan. Aku Reynand," katanya.

Aiden menjabat Reynand setelah mengelap tangannya dengan tisu toilet. "Aiden."

"Aku tahu. Kamu langsung terkenal sejak datang ke sini."

Aiden manggut-manggut. "Begitu, ya?"

"Maaf pertemuan pertama kita harus diawali dengan kekerasan." Reynand tertawa kecil. "Suasana hati aku lagi buruk-buruknya waktu itu."

"Enggak masalah."

Aiden melenggang pergi. Namun baru beberapa langkah, suara Reynand terpaksa menahannya.

"Gimana rasanya hidup tanpa perasaan?"

Aiden menoleh, tetapi Reynand malah menjawab pertanyaannya sendiri sebelum Aiden sempat bicara.

"Eh, kan perasaannya gak ada, ya? Kenapa aku tanya?" Reynand tertawa, tetapi Aiden bingung apa yang dia tertawakan.

"Pasti hidup kamu lebih mudah, ya?" Reynand berujar lagi. "Kamu gak perlu mikirin perasaan orang lain saat kamu bertindak."

Aiden terdiam, dan Reynand memandangnya sambil berjalan mendekat.

"Dan yang lebih penting," Reynand melanjutkan, "kamu gak perlu merasa terluka saat orang lain semena-mena sama kamu."

"Aku harus masuk kelas."

Aiden tidak berniat meladeni Reynand yang bicara tentang hal tidak penting. Dia memutuskan untuk pergi ke kelas dan mengikuti pelajaran seperti siswa pada umumnya. Aiden bukanlah seorang genius. Meski anak yang memiliki kekurangan di luar sana biasanya punya kecerdasan di atas rata-rata, itu tidak berlaku pada Aiden. Meski nilai Matematikanya lumayan bagus, tetapi dia tidak bisa jadi nomor satu hanya dengan menguasai satu pelajaran. Untuk pelajaran lain yang juga mengandalkan hafalan, Aiden masih sedikit bisa mengatasinya. Namun, tidak dengan sastra. Banyak makna implisit yang terkandung di setiap kata, frasa, kalimat, paragraf, sampai wacana. Aiden kesulitan menemukan makna itu.

Seperti saat ini pun, dia disuruh menganalisis sebuah cerpen karya sastrawan besar. Kalau sudah begini, biasanya di akhir ada pertanyaan, apa amanat tersirat maupun tersurat yang ingin disampaikan penulis dalam cerita tersebut? Lalu, Aiden akan mematung dengan mata bergerak menyusuri huruf demi huruf. Untuk makna tersurat mungkin masih bisa dia temukan, tetapi tidak ada makna tersirat yang bisa dia tangkap. Makin banyak dia membaca, makna dari setiap kata pun seperti menghilang dari kepalanya. Setiap kata yang dia baca tidak lebih dari rentetan fonem. Hanya suara yang berdegung di telinga, tanpa makna apa-apa.

Aiden mempertimbangkan apakah dirinya harus pura-pura tidur atau pergi ke toilet agar terhindar dari pertanyaan guru. Namun ternyata, guru di depan kelas langsung melanjutkan pembelajaran setelah seorang siswa menjawab dengan sukarela.

Waktu berlalu begitu saja sampai tiba saatnya pulang. Luna menepuk punggungnya sambil pamit pulang duluan ketika mereka tiba di halaman. Di belakang Luna, Dean melambaikan tangan walau terlihat kaku. Berbeda dengan Luna, Dean seperti orang yang masih kebingungan setiap kali memandang wajah Aiden.

Tidak mau ambil pusing, Aiden berjalan keluar dari gerbang sekolah sambil mencari seseorang. Tiba-tiba handphone-nya bergetar sebentar dan dia menerima pesan dari Om Alfi. Tidak bisa jemput, katanya. Aiden disuruh naik ojek online saja.

Belum sempat membuka aplikasi ojek online, kedatangan seseorang keburu mengalihkan perhatian Aiden. Sebuah motor berhenti di hadapannya. Aiden mengamati seseorang di balik helm yang menutup seluruh wajahnya. Ketika helm itu dibuka, napas Aiden menyembur pelan. Kenapa dia jadi banyak berurusan dengan Reynand hari ini?

"Kamu gak ada tumpangan?" tanyanya.

Aiden mengangguk. "Omku gak bisa jemput."

Reynand tertawa. "Kamu masih diantar jemput kayak bocah SD? Bawa kendaraan sendiri, kan, bisa."

"Aku belum punya SIM."

Jawaban tenang Aiden sukses membuat Reynand bungkam dan membuang muka. "Buat apa taat aturan kalau kamu gak bakal merasa bersalah?" omelnya.

Aiden tidak peduli dengan perkataan Reynand. Dia mengklik aplikasi di ponselnya untuk memesan ojek. Namun, lagi-lagi Reynand menghentikannya.

"Sebagai permintaan maaf, aku antar kamu pulang," kata Reynand.

"Enggak usah. Lagian kamu udah minta maaf."

"Dan kamu maafin aku gitu aja?"

Aiden mengangkat kepala mengalihkan perhatiannya pada Reynand. "Maafin kamu atau enggak, gak ada bedanya buat aku."

Reynand menganga, kemudian mendengkus. Dia membuang muka sambil menggaruk kepalanya. Setelah itu, dia kembali menatap Aiden dan berujar, "Aku tebak, karena kondisi kamu itu, kamu pasti gak punya teman."

Aiden termangu sebentar. "Aku punya teman, kok. Aku baru ketemu lagi sama mereka setelah pindah ke sini."

Reynand mengangkat alis, dan Aiden tidak mau repot-repot menebak apa makna ekspresinya. Dia akhirnya berhasil memesan ojek dan menunggunya sampai datang. Anehnya, Reynand pun tidak pergi dari sana. Dia hanya terus duduk di atas motornya sambil melamun. Barulah setelah ojek datang dan Aiden pergi, Reynand tampak melajukan motornya di belakang. Orang aneh, pikir Aiden.

____________________

Gimana? Udah bisa memahami Aiden?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top