Bab 1: Terlempar
Di bawah cahaya keperakan, tawa mengerikan para penyihir terdengar membahana menembus langit. Tanpa belas kasih, mereka menghabisi bala tentara Cloudpolis. Cahaya keperakan serupa mata pedang yang berasal dari tongkat sihir memelesat ke segala arah, membunuh tanpa ampun. Korban pun bergelimpangan. Dengan sakit di sekujur tubuh, Xavier menyeret kaki mengikuti Dean yang memapahnya. Melarikan diri adalah satu-satunya pilihan untuk saat ini. Hutan belantara dilalui dengan sisa-sisa tenaga. Hingga tibalah mereka di sebuah gua dan beristirahat di sana.
"Tuan Muda, tunggu di sini. Saya akan segera kembali dan membawa Yang Mulia Ratu Madeline," ujar Dean sembari menyandarkan tubuh Xavier di batu besar.
"Bagaimana kau bisa pergi dengan keadaan seperti ini?" Xavier menatap Dean. Dia tahu pasti Dean juga sedang menahan sakit.
Dikeluarkanlah dua botol kaca dari balik pakaian Dean, kemudian dia berujar, "Penawar ini bisa membuat saya bertahan, setidaknya sampai membawa Yang Mulia Ratu ke mari."
"Lalu, Ayah?"
Dean terdiam, merapatkan bibirnya sebentar dan menjawab, "Saya akan membawa Yang Mulia Raja Antonius juga."
Xavier menggeleng. "Kau tidak bisa melakukannya sendirian. Aku akan ikut."
"Tidak bisa. Kalau ada yang bisa bertahan hidup di antara kita berdua, maka itu adalah Tuan Muda."
"Tapi, Dean ...."
"Maafkan saya, Tuan Muda."
Dean memberikan satu botol pada Xavier, sedangkan botol lain dibawanya pergi. Xavier berusaha menahan Dean, tetapi sakit di perutnya lebih tak tertahan. Pria itu meninggalkan Xavier di gua sendirian, hanya ditemani seekor kucing. Saat berada di medan perang, penjaga istana mengabarkan pada Xavier bahwa istana telah dikepung. Xavier kemudian menyuruh Dean kembali ke istana untuk menyelamatkan kedua orang tuanya. Namun, Dean hanya kembali bersama Sky—kucing peliharaannya. Entah ayah dan ibunya berhasil melarikan diri atau justru tertangkap oleh para penyihir. Dean lebih memilih kembali ke medan perang untuk mengamankan Xavier terlebih dahulu. Dan sekarang, dia pergi lagi untuk mencari mereka.
Tubuh Xavier kini terkulai lemas. Dari balik jubah yang tergeletak di sampingnya, menyembul kepala seekor kucing scotish fold berwarna oranye, mengeong pada Xavier yang hanya bisa membuka matanya segaris. Xavier merasakan perutnya bergejolak. Tak sampai dua detik, dia memuntahkan darah. Mata Xavier berkunang-kunang. Cahaya putih kecil-kecil beterbangan di sekitarnya. Ketika mata Xavier bisa melihat dengan lebih jelas, ternyata cahaya itu berasal dari tubuhnya sendiri. Sedikit demi sedikit cahaya itu menggerogoti tubuhnya. Xavier tidak punya tenaga lebih untuk bereaksi. Meski sangat terkejut, hanya kedua matanya saja yang terbelalak, sedangkan tubuhnya masih terkulai.
"A-apa ini? K-kenapa begini?" gumamnya.
Tidak ada yang bisa menjawab. Hanya kucing di sampingnya yang mengeong dan terus memandangi Xavier.
"Apa aku akan lenyap dengan cara seperti ini? Tidak mungkin." Xavier berujar lirih.
Xavier masih tidak percaya ketika cahaya-cahaya itu sudah mengambil setengah dari tubuhnya. Hanya selang beberapa menit dia benar-benar habis. Kini, tidak ada lagi rasa sakit. Xavier berpikir, barangkali dia sudah menjadi arwah dan jasadnya lebur begitu saja. Namun, dia terkejut ketika merasakan kakinya tersangkut sesuatu. Xavier memandang kakinya baik-baik. Aneh. Seperti kaki kucing. Xavier mencoba menyentuh wajahnya. Tembam dan berbulu.
"Apa ini?"
Seketika Xavier terbelalak.
"Apa-apaan ini? Kenapa begini?"
Xavier kalang kabut. Bagaimana bisa suaranya berubah jadi ngeongan seperti ini?
"Kenapa aku jadi kucing?" ujarnya lagi tak habis pikir.
Setidaknya itulah kata-kata yang ingin dikeluarkan mulut Xavier, tetapi tidak sinkron dengan suara. Malah terdengar seperti kucing yang sedang mengamuk. Xavier berusaha keluar dari dalam jubah yang sedari tadi membungkus dirinya.
Beberapa menit berlalu. Sesekali Xavier merenung dan mondar-mandir. Melihat kakinya, mengibaskan ekor, lalu berbicara. Dia telah terjebak di dalam tubuh Sky, entah bagaimana ceritanya.
"Kenapa aku tidak merasa kesakitan? Apa karena aku ada di tubuh Sky?" Xavier bicara sendiri. "Kalau aku keluar dengan keadaan seperti ini, tidak akan ada yang menyadari keberadaanku, kan?"
Hening sejenak, kemudian ngeongan terdengar lagi. Xavier mengiakan perkataannya sendiri. Dia bergegas keluar gua untuk mencari dan menyelamatkan ayahnya. Dean akan mengurus ibunya. Dan Sky, sekarang sudah bersama dirinya.
Xavier berlari ke ujung hutan di sebelah selatan, mengarungi padang ilalang yang menjadi perbatasan dengan Distrik Penyihir. Di perbatasan ini, dibangun sebuah benteng yang selalu dijaga oleh pasukan kerajaan. Hingga akhirnya pertahanan kerajaan dibobol klan penyihir, dan terjadilah peperangan.
Cahaya keperakan masih menyelimuti seluruh negeri Cloudpolis seperti kabut asap. Meski begitu, Xavier sedikit lebih tenang. Tidak ada penyihir yang menyerangnya. Mereka hanya fokus pada manusia-manusia yang setia kepada ayahnya.
Xavier berlari lebih kencang, tetapi terpeleset ketika serangan sihir salah sasaran mengenai dirinya. Dia bergegas bangun dan kembali berlari. Akan tetapi, serangan sihir lebih kuat mengenai tubuhnya lagi. Xavier sampai terpental jauh, berputar-putar, entah terbang ke mana. Dia hilang kesadaran sesaat setelah tubuhnya terjatuh di suatu tempat. Barulah Xavier tersadar ketika mendengar suara tepat di samping telinganya.
Xavier termenung sebentar, kemudian bulu-bulunya merinding dan menggeram tanpa kontrol. Sebuah naluri seekor kucing ketika merasa dirinya bertemu ancaman. Xavier dikelilingi anjing. Jumlahnya ada empat ekor. Pelan-pelan kaki Xavier mundur, kemudian berlari sekuat tenaga. Tentu saja dia dikejar-kejar. Penyihir tidak peduli dengan seekor kucing, tetapi anjing beda cerita. Xavier panik. Anjing-anjing itu menggonggong makin ganas. Insting kucing dan manusianya bersatu membuat strategi. Setelah berbelok dari satu gang ke gang lain, Xavier melompat menaiki tiang yang dipenuhi pot-pot tanaman gantung. Tidak sia-sia dia sering mengajak Sky bermain memanjat pohon. Meski kucing rumahan, kalau urusan memanjat, Sky lumayan lincah.
Untuk sementara, Xavier aman. Anjing-anjing itu tidak bisa menyusulnya sampai ke atas. Namun karena bentuk tubuh kucingnya, Xavier tidak bisa duduk dengan nyaman di palang besi yang hanya sebesar pergelangan tangan. Hanya bokongnya saja yang bisa duduk, sedangkan kaki depannya tetap berdiri tegak. Kakinya menginjak seutas tambang yang dipakai menggantungkan pot berisi tanaman thunbergia alata. Bunganya sedang mekar sempurna. Kelopaknya ada yang berwarna kuning cerah, oranye, dan keungu-unguan. Semuanya memiliki mata hitam seragam tepat di tengah-tengah. Sulurnya diatur sedemikian rupa sehingga tampak seperti anyaman daun dan bunga yang menjuntai dari atas pot ke bawah. Kalau anjing-anjing itu melompat, mungkin mereka bisa mencapai ujung bunga ini.
"Hei! Kalian tidak mau pergi?" tanya Xavier kemudian.
Anjing-anjing menggonggong kompak.
"Aku harus mencari keluargaku. Nanti penyihir-penyihir itu—" Xavier terdiam. Baru sadar kalau cahaya keperakan yang berasal dari sihir itu sudah tidak kelihatan.
"Kenapa sihirnya hilang?" Xavier celingukan, kemudian berpikir sebentar. "Apa perangnya sudah berakhir? Bagaimana dengan Ayah dan Ibu? Dean? Di mana mereka?"
Mendengar Xavier bicara, anjing-anjing di bawah menggonggong makin keras. Barangkali mereka mengira bahwa Xavier sedang mengajak bertengkar. Ya, bagaimanapun, sekarang suara Xavier hanya terdengar ngeongannya saja.
"Padahal aku tidak mengajak mereka bertengkar," kata Xavier. "Apa yang sedang terjadi? Kenapa serangan sihirnya berhenti? Pihak siapa yang kalah?"
Xavier jadi gelisah. Syukur-syukur kalau pihaknya yang menang. Pasukan kerajaan sudah banyak yang gugur, termasuk rakyat Cloudpolis yang ikut berperang. Ayah dan ibunya entah bagaimana. Dean juga. Bagaimana kalau para penyihir itu berhasil menguasai Cloudpolis, dan Xavier tidak bisa berbuat apa-apa karena sudah berubah menjadi kucing?
"Dean, kau di mana? Katanya mau membawa Ibu padaku," ujar Xavier, kemudian dia menyadari sesuatu sedetik kemudian. "Dean, kan, menyuruhku menunggu di gua."
Xavier menyemburkan napas. Baru sadar sudah pergi jauh. Mungkin saja sekarang Dean sedang kebingungan bersama ibunya di gua. Xavier membetulkan posisi duduknya agar lebih nyaman, kemudian memusatkan pikiran. Dia memanggil nama Dean tiga kali sambil menutup mata. Namun, telepatinya tidak berhasil. Saat Xavier membuka mata, ada seseorang yang datang. Seorang gadis sedang mengusir para anjing dengan melemparnya menggunakan batu kecil. Anjingnya berlarian berpencar. Setelah itu, si gadis menghampiri Xavier.
"Ya ampun. Kamu gak apa-apa? Anjing-anjing itu gigit kamu?" tanyanya seraya meraih tubuh Xavier.
"S-siapa ... h-hei ... jangan sentuh-sentuh sembarangan!"
"Ih, kok galak, sih! Aku mau bantu kamu turun. Tenang, ya." Gadis itu mengelus kepala Xavier.
"Jangan sentuh aku!" Xavier melompat sendiri ke tanah. Cakarnya mengenai lengan gadis itu.
Xavier mendongak. Si gadis sedang memandangnya. Sepertinya dia terkejut. Tangannya mengelus-elus luka cakar. Kemudian, decakan terdengar dari mulutnya. Namun sedetik kemudian, dia kembali tersenyum ramah seraya merogoh sesuatu dari dalam tas. Benda yang hanya sebesar dua jari itu dia sodorkan pada Xavier setelah merobek ujung bungkusnya. Xavier melengos, tetapi jiwa Sky tergiur dengan baunya.
"Hei hei, Sky! Jangan coba-coba! Makanan apa ini? Nanti aku keracunan!" oceh Xavier.
Percuma saja. Makanan itu tetap masuk ke mulutnya. Si gadis tersenyum tampak senang. Tangannya mengelus kepala Xavier lagi. Xavier hanya bisa makan sambil mengomel.
"Apa ini? Bau makanan Sky. Ya Tuhan, kalau aku keracunan bagaimana?"
Sampai habis satu bungkus, tidak ada tanda-tanda Xavier keracunan. Dia malah mengeong meminta lagi—meksipun sebenarnya bukan Xavier yang meminta. Untunglah gadis itu tidak mau memberinya lebih dari satu bungkus.
"Udah sore. Kita harus pulang dulu. Kamu rumahnya di mana? Aku antar pulang, ya." Si gadis meraih tubuh Sky berisi Xavier dan menggendongnya.
"Kau mau mengantarku ke mana? Memangnya kau tahu rumahku di mana? Aku saja tidak tahu ini di mana."
Tentu saja omelan Xavier tidak ada tanggapan dari gadis itu. Di matanya, Xavier cuma seekor kucing yang terus mengoceh dikira minta makan.
"Nanti dulu makannya. Aku antar kamu pulang dulu. Oh, itu Ibu RT. Bu, Ibu tahu gak ini kucing siapa?" Si gadis menghampiri seorang wanita paruh baya.
"Eh, Luna? Dapat kucing dari mana? Kayaknya bukan kucing di sekitar sini, deh. Di kampung ini gak ada yang punya kucing ras."
Napas Luna menyembur sampai Xavier merasakan embusannya di ubun-ubun. "Masa bukan kucing punya orang sini? Terus aku balikin dia ke mana?"
"Bawa pulang aja. Kamu, kan, suka kucing. Lagian katanya kucing kamu baru aja mati."
Luna hanya menunduk memandang Xavier di gendongannya.
"Kamu mau pulang ke rumahku aja?" tanyanya.
"Tidak mau. Aku harus mencari keluargaku."
Percuma saja Xavier menjawab. Luna tetap membawa dia ke rumahnya. Dijatuhkannya Xavier ke lantai ketika mereka tiba di rumah. Xavier mendongak dan mengeong protes pada Luna, tetapi gadis itu malah bergegas pergi ke kamar dan menaruh tasnya di atas meja. Setelah itu, dia mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi sambil membanting pintu. Xavier mengeong lemah dan terduduk di lantai, memandang pintu kamar mandi yang tidak lagi terbuka.
Xavier menunggu sampai ketiduran. Setelah beberapa lama, dia merasakan seseorang memangku tubuhnya, lalu Xavier terlonjak ketika sadar berada di pelukan Luna. Walaupun wujudnya seekor kucing, dia adalah seorang pria. Tentu saja Xavier kaget.
Luna buru-buru menjatuhkan Xavier di atas tempat tidur saat Xavier berontak, lalu gadis itu pergi ke meja penuh tumpukan buku dan mencari sesuatu dari dalam tas. Dikeluarkannya sebuah benda persegi panjang yang kemudian dia letakkan di telinga.
"Masih di bakery?" Luna bertanya entah pada siapa.
"Kak Dean mau nginep di sana lagi? Terus Ayah?" Luna bicara lagi, dan mata Xavier membeliak mendengar nama Dean disebut-sebut.
"Aku cuma tanya. Kalau kalian mau pulang, aku masak. Kalau enggak, aku makan mi instan aja," kata Luna lagi.
Xavier turun dari tempat tidur dan naik ke pangkuan Luna yang sedang duduk di kursi. Gadis itu sudah berhenti bicara dan hanya memandang benda pipih persegi panjang di tangannya sambil mengomel tidak jelas. Xavier jadi penasaran dengan benda itu karena bisa digunakan untuk berkomunikasi dengan seseorang yang tidak tahu di mana keberadaannya. Mungkin dia juga bisa menggunakannya untuk memanggil Dean. Xavier berusaha meraih benda itu dari tangan Luna, tetapi malah jatuh ke lantai. Tidak sampai pecah belah, tetapi benturannya terdengar keras. Xavier memandang benda itu dan Luna bergantian. Dia termangu ketika melihat bola mata gadis di hadapannya membesar dalam sekejap.
"Ups. Sepertinya aku dalam masalah," kata Xavier dalam hati.
______________
The Reason Why I Live
winaalda©2020
All Right Reserved
Unggah ulang 03-02-2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top