Bagian 9

.

.

.

.

Napas Laisa tertahan di tenggorokan, mata hazelnya melebar, begitu melihat Angkasa berdiri tak jauh dari tempat Laisa. Lelaki itu bahkan masih menggendong bayi berselimut pink yang Laisa yakin adalah anak mereka.

Seluruh kerinduan dan harapan yang semula menghantam dadanya kini pergi entah kemana. Menguap bersama hembusan napas di sekitar mereka. Angkasa memang masih berstatus sebagai suaminya, ayah dari anak yang kini ada di pangkuannya. Laisa melirik anaknya sekilas, bayi merah itu mulai mengantuk, namun mulut mungilnya masih tetap menempel di dadanya.

Mereka membisu, hanya deru napas yang menguar mengikat kata-kata yang sudah berada di ujung bibir. Laisa mulai gelisah, ingin sekali dia menunjukkan bayinya pada lelaki yang saat ini tengah memandangnya lekat. Namun sudut hatinya yang lain masih takut, jika saja Angkasa menolak anaknya.

Laisa menarik napas pelan, mengancing bajunya perlahan kemudian membenarkan posisi duduk dan tidur bayinya.

"Kau di sini, Ang?" Ini pernyataan, Laisa tahu itu. Namun permulaan seperti apa yang bisa dia lakukan sekarang. Gerbang perpisahan sudah berada di depan mata. Tak layak dia mengais cinta Angkasa lagi, toh nanti dia juga yang akan menanggung rasa sakit itu sendirian.

"Kau tak ingin melihat bayi kita?" tanya Laisa tak sabar begitu melihat Angkasa hanya terdiam.

"Kemarilah, Ang, lihatlah dia. Dia sangat ta--"

"Sayang, kamu di mana?" Suara wanita dari balik kelambu menghentikan kalimat Laisa.

Laisa mendesah kecewa, tidakkah mereka berdua sama-sama tengah melahirkan benih dari Angkasa, jadi sudah seharusnya dia dan anaknya juga mendapat hak yang sama seperti apa yang wanita itu dapatkan.

"Aku di sini, sayang."

Laisa menggigit bibirnya, bahkan untuk menjawab pertanyaannya Angkasa pun enggan.

"Ada apa, sih, Pa? Ayo kita pulang, Anggi sudah menunggu kita."

Angkasa memandang Laisa dan bayinya sekali lagi sebelum dia melangkahkan kaki meninggalkan mereka. "Ayo kita pulang."

Setitik air turun dari ujung mata Laisa, hatinya serasa dicubit berulang kali. Mereka sudah di sini, dalam ruang dan keadaan yang sama, namun Angkasa sama sekali tidak ada hasrat untuk menengok bayinya. Jangankan menanyakan bagaimana keadaanya, jenis kelamin anaknya saja Angkasa enggan mengetahuinya. Lelaki itu seakan menulikan telinga tentang apa yang kini tengah terjadi pada Laisa dan bayinya.

"Maafkan papamu, sayang. Mama yakin dia pasti menyayangimu juga." Laisa mengecup dahi bayinya. Meletakkan bayi mungil itu di sampingnya, Laisa merebahkan dirinya lagi. Biarlah dia menenangkan dirinya sebentar, dia tidak sendirian, ada bayinya yang sedang membutuhkan perhatiannya. Laisa perlahan memejamkan matanya dengan tangan kanan memeluk bayinya erat.

*****

"Siapa namanya? Apa kau sudah memikirkan nama yang keren untuk keponakanku ini?" Erly sedang menggendong bayi Laisa ketika sang ibu sedang menikmati makan malamnya.

"Belum, aku hanya punya beberapa nama yang tinggal dipilih. Nanti bantu buat menyusun nama anakku ya?" Laisa menyendok sesuap nasi ke dalam mulutnya.

"Tentu," Erly terdiam memandang Laisa, dia terlihat ragu namun harus mengatakannya. "Aku melihat Angkasa di rumah sakit ini ketika kau melahirkan."

Sendok yang sudah di ujung bibirnya kini melayang, Laisa meletakkan sendok yang penuh dengan nasi itu kembali di atas piring.

"Inggi melahirkan, tadi mereka baru saja pulang."

"APA?!!!"

"Ssssttt ..., jangan berteriak di depan bayiku, Er. Dia bisa terbangun."

"Maaf," Erly menepuk-nepuk pantat bayi Laisa, menina-bobokannya ketika bayi itu mulai bergerak-gerak gelisah. "Bagaimana kau bisa tahu? Apa ada yang terjadi selama aku pulang tadi?"

Laisa mengangguk membenarkan ucapan Erly, "Inggi di rawat di ruangan yang sama denganku, di kamar ini."

"WHAT??!!"

"Erlyyyyyy ... jangan teriak," Laisa mendesis marah melihat kelakuan sahabatnya itu. Bayinya mulai terbangun, sebelum menangis Laisa memintanya dari gendongan Erly.

"Aunty nakal ya, sayang? Cup, cup, cup."

"Terus? Angkasa melihat kalian? Apa yang dia lakukan?" tanya Erly masih dengan rasa penasaran.

Laisa kemudian menceritakan apa yang tengah terjadi antara dirinya dengan Angkasa siang tadi. Sementara Erly menutup mulutnya menahan umpatan dan teriakkannya.

"Jadi, lelaki brengsek itu tidak mau melihat bayinya? Ya ampun, kalau saja aku tadi ada di sini, sudah pasti aku pukul dia sampai babak belur," geram Erly menggelengkan kepalanya.

Laisa memegang bahu sahabatnya, mengusap naik turun menenangkan. "Sudahlah, tak ada gunanya membicarakan apa yang sudah terjadi. Aku baik-baik saja, aku yakin suatu saat Angkasa akan mencari kami."

"Kau benar, biarlah dia seperti itu sekarang. Percuma juga kita memintanya kembali, jika mata hatinya sudah buta semua akan terlihat gelap. Aku percaya padamu, suatu saat Angkasa akan mengemis di kaki kalian. Katanya, do'a orang-orang yang teraniaya pasti lebih cepat dikabulkan oleh Tuhan."

Apapun yang terjadi biarlah Tuhan yang mengaturnya. Manusia cukup sebagai lelakon kehidupan, memerankan skenario Tuhan. Semilir angin malam menerobos melalui kaca jendela yang sedikit terbuka, seakan mengamini ucapan Erly yang bagai do'a mustajab di tepian malam.

****

Memerankan sebagai orang tua baru tentu tidaklah mudah. Apalagi Laisa sama sekali tidak berpengalaman dan tanpa belajar dari kedua orang tuanya dulu. Ah, andai dia dulu mau mendengar apa yang orang tuanya katakan. Laisa memang terlahir sebagai anak bungsu dari dua bersaudara. Sang kakak adalah seorang pengusaha kuliner yang sukses di Surabaya, sudah setahun lebih mereka jarang bertemu meski berada dalam satu kota yang sama. Sedangkan kedua orang tua Laisa sudah meninggal di tahun kedua pernikahannya dengan Angkasa dulu.

Laisa sedang mengganti popok Maher, anaknya yang sudah berusia lima minggu. Bayi lelaki itu baru saja selesai dimandikan, dan kini sedang berganti baju.

"Nah, sudah. Sekarang anak mama sudah tampan. Maher tunggu sebentar, ya, mama mau mandi dulu. Jangan rewel ya, sayang." Laisa mengecup kedua pipi gembul anaknya. Kemudian bergegas menuju kamar mandi, sebelum Maher menangis lagi.

Dua puluh menit kemudian Laisa sudah selesai dengan ritual mandinya. Dia sedang menyisir rambutnya ketika terdengar suara bel pintu. Dengan sedikit berlari, Laisa membuka pintu rumahnya.

Senyum yang sudah terpasang di wajah Laisa lenyap sudah begitu melihat sepasang suami istri yang tengah berdiri dengan seorang gadis kecil di gendongan sang lelaki.

"Lais ...."

"Ma--mas Rey, mbak Nadin, silahkan masuk." Laisa menggigit bibir, tak tahu harus berkata apa untuk menyambut kedatangan tamu yang tak ingin dia temui untul saat ini.

Kedua orang itu perlahan memasuki rumah namun pandangan mata sang lelaki masih menatap wajah Laisa lekat.

"Kenapa tidak bilang pada kami, Laisa? Kamu pikir, kamu bisa menyembunyikan kabar bahagia ini dari kami?" Mbak Nadin memeluk Laisa erat, tangis mereka pecah.

"Maaf, Mbak, maafkan Laisa yang tidak mengabari Mbak Nadin dan Mas Rey."

Nadin melerai pelukan mereka, melirik sekilas pada suaminya, "di mana bayimu?"

"Ada di kamar, mbak. Ayo, dia pasti senang bertemu dengan keluarganya." Laisa menyeret Nadin masuki kamarnya, menunjukkan bayi lelaki yang kini telah terlelap sendirian.

"Ya ampun, Laisa! Ini anakmu? Tampan sekali dia, ya Tuhan .... Siapa namanya?" Nadin menggendong Maher perlahan.

"Mahardika Nadindra, mbak." Laisa melirik mas Rey yang hanya mengintip dari balik pintu.

"Gantenge, rek, kamu beruntung sekali Lais. Berapa berat badannya? Selama hamil apa dia tidak rewel? Kamu beri dia ASI kan?" Nadin masih mencerca Laisa dengan berbagai pertanyaan. Sementara Laisa hanya berdiri mematung, menatap waspada pada lelaki yang masih memandangnya lekat.

Nadin menggendong Maher keluar dari kamar, duduk di ruang tengah di depan televisi. "Sini, mbak Lexa katanya mau lihat dedek bayi. Ayo sini, sayang." Nadin menggapai gadis kecilnya, mendekatkan bayi mungil itu ke dekat putrinya.

"Laisa buatkan minum dulu ya, mbak."

Laisa menghela napas lega, ketika dirinya sudah berada di dapur. Bergegas mengambil tiga gelas jus jeruk, Laisa kemudian menatanya di atas nampan. Laisa menyempatkan untuk meminum segelas air putih terlebih dahulu sebelum keluar dari dapur, mempersiapkan kesehatan jantungnya yang Laisa tahu sedang tidak baik-baik saja.

Menegakkan kepala, Laisa keluar dari dapur. Di sana sudah ada mbak Nadin, kakak iparnya, beserta mas Rey, kakak lelakinya, juga Alexa, keponakannya. Di tambah kehadiran Erly yang kini sudah bergabung di ruang keluarga.

"Lais, lihatlah Maher mulai nakal. Dia tidak mau tersenyum padaku lagi." Erly mengadu pada Laisa ketika dirinya gagal menggoda Maher.

"Mandi dulu sana, baru boleh deketin Maher,"  canda Laisa mencairkan kebekuan hatinya.

Tidak, Laisa tidak boleh menyerah. Mungkin Tuhan sudah mengatur bagaimana jalan hidupnya kini. Dia harus siap menghadapi kemarahan mas Rey, Laisa tahu jika dia yang bersalah menyembunyikan kehamilannya dari keluarganya.

"Minum dulu, mbak, mas." Laisa meletakkan jus jeruk di atas meja, lantas merebahkan tubuhnya di samping Nadin.

"Berapa usianya?" tanya mas Rey.

Laisa meneguk ludahnya,  "lima minggu, mas."

Rey menarik napasnya, "Laisa, Laisa, kamu anggap kami ini apa? Aku kakakmu, dan aku tidak tahu apa yang telah terjadi padamu. Kau bisa menghubungiku, jika kau tak mau datang ke tempatku."

"Maaf, mas."

Laisa kian menunduk, menggenggam erat jemarinya yang bergetar.

"Ini tidak seperti yang ka--"

"Jangan ikut campur, Er." Rey menatap Erly tak senang, "bagaimanapun Laisa seharusnya memberitahuku. Aku juga bahagia kau bisa memiliki seorang anak seperti impianmu."

"Iya, mas. Laisa mengerti, tapi Laisa sedang dalam keadaan tidak baik saat itu."

"Mbak mengerti, Laisa. Perempuan yang sedang hamil pasti banyak mengalami perubahan dan penyesuaian diri. Tapi kamu bisa memberitahu kami meski lewat telepon." Nadin menggenggam jemari Laisa.

"Dimana suamimu, dek?" Rey melirik sekitarnya, kemudian pandangannya berhenti pada wajah Laisa.

Laisa melirik Erly sesaat, kemudian menatap wajah kakaknya. "Angkasa tidak ada di rumah, mas."

Rey hanya mengangguk perlahan, kemudian meminum jus jeruk yang sudah mulai mencair.

Suara bel pintu kembali terdengar, membuyarkan lamunan Laisa. Bergegas dia melangkahkan kaki menemui seseorang yang berada di depan sana.

"Ang," Laisa menutup mulutnya tak percaya. Bagaimana ini? Apa yang harus dia lakukan?

"Aku ada perlu denganmu sebentar, aku hanya ingin mem--"ucapan Angkasa terhenti begitu Rey keluar dari ruang keluarga. "Mas Rey."

"Kenapa kalian berdiri di sana? Lais, Maher sepertinya haus."

Laisa segera berlari menuju bayinya, dia benar-benar bingung. Apa yang harus dia lakukan? Apa yang harus dia katakan?

Lima belas menit bagai setahun Laisa menyusui Maher hingga kenyang. Jantungnya sudah berlompatan sedari tadi, Laisa melirik Erly yang juga sama cemasnya dengan dirinya.

Rey dan Angkasa berjalan bersisian memasuki ruang keluarga. Mata kelam Angkasa menatapnya dengan pandangan yang tak dapat Laisa artikan. Laisa mengernyit tak percaya, sandiwara apalagi ini?

Rey duduk di dekat Nadin, mengambil Alexa ke pangkuannya. "Jadi, kapan kalian berencana membawa Maher ke Lamongan? Sanak saudara sudah sangat ingin bertemu dengan bayi kalian." Rey menatap Laisa dan Angkasa bergantian. Mengernyit ketika mereka berdua hanya membisu.

"Kenapa? Apa ada yang salah? Kalian tidak mau berbagi kebahagiaan dengan paklik dan bulik di kampung?"

"Bukan seperti itu, mas. Hanya saja, kami--kami--"

"Nanti setelah bayi kami agak besar, mas. Terlalu beresiko membawa bayi yang baru lahir kemana-mana." Angkasa memotong ucapan Laisa.

Sementara Laisa memandang Angkasa penuh selidik, menerka-nerka rencana apa yang tengah Angkasa susun.

"Baiklah, kalau begitu. Nanti kalau jadi pergi, beritahu kami juga, kami akan ikut mengantar Maher pulang." Suara Nadin ikut menyela.

"Sepertinya bukan seperti itu, mas." Laisa menggigit bibirnya, sekarang atau tidak sama sekali.

"Apa maksudmu, Laisa?" tanya Rey penasaran.

"Ka--kami--kami akan segera berpisah bulan ini." Laisa memejamkan matanya, menahan sesak yang mengikat dadanya.

"APA?!!"

"Bagaimana mungkin?"

"Apa yang terjadi?"

"Ada apa dengan kalian?"

Beragam tanya meramaikan senja yang mulai usang, Laisa mengangkat pandangannya menuju Angkasa yang hanya terdiam membisu.

"Aku diceraikan oleh Angkasa."

*****

The Quest
Vita Savidapius





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top