Bagian 5
Laisa menyusul Angkasa ke dalam kamar mereka, berdiri di depan pintu dan melihat apa yang sedang dilakukan oleh Angkasa. Laisa menunggu dan berusaha merangkai kalimat yang tepat untuk dia sampaikan pada suaminya, membuat Angkasa kembali lagi padanya. Matanya tak lepas memandang gerak Angkasa yang mulai membuka lemari, mengambil beberapa pakaiannya lalu memasukkan ke dalam koper yang sudah terbuka di atas ranjang.
"Kau yakin ingin pergi, Ang?" lirih Laisa yang membuat Angkasa menghentikan gerakannya sebentar, kemudian kembali melanjutkan mengemasi beberapa dokumen yang dia simpan di dalam laci.
"Kau tak lihat aku sedang berkemas? Tentu saja aku akan pergi."
"Tidakkah kau ingin mengatakan sesuatu? Menjelaskan padaku bagaimana ini semua bisa terjadi?" Laisa memohon pada Angkasa yang kini tengah menatapnya heran.
"Tak ada penjelasan apapun, Laisa! Aku akan segera pergi."
Laisa menutup matanya, kedua tangannya saling menggenggam seakan saling menguatkan. "Tapi aku butuh penjelasan, Ang ...."
Angkasa masih membisu dan terus mencari-cari sesuatu dari dalam laci. Seakan perkataan Laisa hanyalah sebuah angin lalu. Tidak penting.
"Ang!!!" Laisa tanpa sadar membentak suaminya. Tanganya seketika menutupi mulutnya setelah dia tersadar.
Angkasa menghentikan gerakannya, berjalan menuju ranjang kemudian duduk di sana tanpa memandang Laisa. "Aku mencintainya, Lais."
Laisa kembali membuka mulutnya tanpa dia sadari, apakah dia salah mendengar ucapan Angkasa? Tapi, bagaimana bisa? Selama ini mereka baik-baik saja.
"Siapa wanita itu?" tanya Laisa pada akhirnya. Hatinya terasa diremas-remas lalu hancur begitu saja. Siapa yang akan senang ketika sedang membicarakan wanita idaman lain? Air mata sudah membendung di pelupuk mata Laisa, namun dia menahannya. Dia harus kuat, dia harus berusaha. Demi mereka berdua.
Angkasa terkejut oleh pertanyaan Laisa, matanya memandang penuh curiga. Angkasa tersenyum samar, menyembunyikan kebahagiaan yang membuncah di hatinya ketika mengingat wanitanya.
"Dia istriku, dan ibu dari anakku."
Laisa membuang napasnya, "siapa dia, Ang? Darimana kau mengenalnya?"
Angkasa menggeleng kepalanya, "itu tidak lagi penting. Sekarang aku ingin pergi." Angkasa menutup kopernya, menyeretnya melewati Laisa yang masih berdiri mematung.
"Apakah kau tak mencintaiku lagi?" Laisa memberanikan diri menanyakannya meskipun dia tahu bagaimana jawaban Angkasa nanti.
Angkasa menghentikan langkahnya, tidak segera menjawab pertanyaan Laisa. "Tidak. Aku sudah tidak mencintaimu lagi."
Angkasa bergegas melanjutkan langkahnya, meninggalkan Laisa begitu saja. Tanpa penjelasan dan kepastian.
Laisa memejamkan matanya, menghalau air mata yang siap jatuh. Ini sungguh menyakitkan! Ini bukan seperti Angkasa yang dia kenal. Angkasa telah berubah, dan Laisa baru menyadarinya. Bergegas dia berlari mengejar Angkasa, mengabaikan rasa sakit yang menggerogoti jiwanya.
"Tunggu!!" teriak Laisa begitu melihat Angkasa yang hendak membuka pintu mobil.
Plakk!!!
Angkasa memandang Laisa dengan terkejut. Rasa panas di pipi kirinya menyadarkannya jika ini memang benar-benar terjadi. Rasanya panas dan sakit, Angkasa meringis ketika mengusap pipinya.
"Kau brengsek, Ang!! Kau sudah gila!!" maki Laisa frustasi. Napas Laisa naik turun seiring dengan kemarahannya yang kian meluap-luap.
"Kenapa? Kau baru tahu kalau aku memang brengsek?"
Sial!
Laisa mengerjap berulang kali, ini Angkasa, kan? Laisa menggeleng pelan, dan air matanya tumpah seketika.
"Kau sudah berubah, kau mengingkari janji pernikahan kita. Kau pikir aku apa?! Aku bukan barang yang bisa kau buang sesukamu setelah kau sudah bosan. Aku istrimu, Ang! Istrimu!" Laisa benar-benar frustasi, dia perlu mencuci kepala Angkasa dengan sabun.
"Tapi aku memang sudah tidak mencintaimu, Laisa. Kita sudah selesai, dan kau bisa bebas."
Laisa melotot pada Angkasa, dia menceraikannya? Tidak, ini bukan seperti apa yang Laisa harapkan. Laisa menghapus air mata dengan punggung tangannya. Dia harus bisa menahan emosinya, jika dia ingin Angkasa kembali padanya. Bagaimanapun, anaknya membutuhkan ayahnya. Laisa menarik napas dan membuangnya perlahan. Hormon kehamilan sepertinya mengganggu emosinya.
"Apa kesalahanku, Ang? Apa kekuranganku yang membuatmu berpaling dariku? Apa, Ang, katakan. Katakan di mana kesalahanku?" lirih Laisa pada akhirnya.
Angkasa hanya terdiam menatap Laisa yang terlihat sangat kacau. Mulutnya terkunci, tak tahu apa yang harus dia katakan lagi. Mungkin dia harus memberikan penjelasan setebal kamus kepada Laisa. Angkasa mendesah, sebelum akhirnya menutup pintu mobil. Menggandeng tangan Laisa yang dingin dalam genggamannya, mengajaknya kembali masuk ke dalam rumah.
"Tunggu di sini," Angkasa meninggalkan Laisa terduduk di ruang tamu. Masuk ke dalam rumah, dan keluar beberapa menit dengan membawa segelas air putih.
"Minumlah. Aku tahu kau banyak mengalami hal buruk." Laisa membuka mulutnya tanpa sadar melihat apa yang kini dilakukan Angkasa padanya. Ini sangat romantis. Dewi batinnya kembali berperang.
Bagaimana dia bisa seperti ini setelah sebelumnya sudah menghancurkan hatiku?
Laisa menerima gelas itu, lalu meneguknya separuh. Meletakkannya di atas meja yang dekat dengannya, kembali menatap Angkasa yang kini juga tengah menatapnya. Laisa menggigit bibir bingung dengan sikap Angkasa. Dia menyiapkan hatinya, dengan segala hal terburuk yang mungkin akan dia terima. Kamu harus kuat, Lais!
"Kenapa kau di rumah sakit?"
Pertanyaan Angkasa membuat Laisa geragapan, ini sungguh melenceng jauh dari apa yang Laisa pikirkan. Laisa menggigit bibirnya lagi, haruskah dia jujur dan mengatakannya pada Angkasa? Laisa terdiam cukup lama, lalu menarik napas dan membuangnya dengan cepat.
"A--aku sakit."
Laisa mendesah, mungkin ini jawaban yang tepat. Laisa bimbang apakah dia harus mengatakan yang sebenarnya mengingat Angkasa begitu kekeuh ingin meninggalkan dirinya.
"Kita tidak sedang membahas keadaanku, Ang. Jelaskan padaku apa kesalahanku dan kekuranganku yang membuatmu berlari dari genggamanku. Jangan mengalihkan pembicaraan."
Angkasa tersenyum samar, merasa teesinggung dengan ucapan Laisa. "Baiklah, aku hanya berbasa-basi saja." Angkasa berhenti sejenak, "Inggi adalah wanitaku sebelum aku mengenalmu. Dia adalah seseorang yang paling mengerti dan memahamiku. Dia selalu ada di sisiku bahkan ketika aku jatuh--"
"Jatuh?" Laisa memotong penjelasan Angkasa. Apa maksud dari semua ini?
Angkasa tersenyum, "Inggi adalah wanita yang membuatku frustasi dan akhirnya aku menikahimu. Kesalahan yang seharusnya tidak aku lakukan."
Laisa menggenggam tangannya dengan kuat, kesalahan? Jadi Angkasa menganggap pernikahan mereka adalah sebuah kesalahan. Laisa tertawa tanpa suara, Angkasa memang benar-benar brengsek! Jika ini alasan Angkasa meninggalkannya, kenapa dia dulu begitu terlihat sangat mencintai dirinya. Dan ternyata itu semua tipuan belaka. Dia hanyalah wanita pelarian, dewi batinnya menenertawakan dirinya. Benar-benar sial nasibmu!
"Kau yakin aku hanya sebuah kesalahan, Ang? Tidakkah kau ingat siapa dulu yang mengejarku? Meyakinkan seluruh penghuni tempatku bekerja demi menerima jawaban atas lamaran romantismu? Oh, atau ini hanya alibimu saja untuk menutupi kesalahanmu?" Laisa benar-benar merasa harga dirinya sudah terinjak-injak oleh keangkuhan lelaki yang kini menatapnya dengan pandangan terkejut, heran atau waspada?
"Aku hanya ingin meminta penjelasan apa kesalahanku dan kekuranganku? Bukan alasan kau menikahiku!" sungut Laisa geram.
Angkasa masih terdiam, mulutnya tertutup rapat. Laisa tersenyum dan menggeser duduknya mendekati Angkasa. Mengambil tangan lelaki itu, dan menggenggamnya erat.
"Kau tidak menemukan alasannya, kan?" tanya Laisa tanpa mengalihkan pandangan matanya pada Angkasa.
"Itu artinya masih ada aku di sini," Laisa membawa genggaman mereka ke dada Angkasa. Merasakan detak jantungnya yang berkejar-kejaran.
Sementara Angkasa hanya membeku mencerna ucapan Laisa. Laisa menatap cemas dan menunggu apa yang akan diucapkan Angkasa. Semoga sesuatu yang baik yang akan Laisa dapatkan, bukan yang menyakitkan lagi.
Dering telepon membuyarkan lamunan Angkasa, buru-buru dia mengambil ponselnya dari saku celana, melepaskan genggaman tangannya dengan Laisa. Melihatnya sebentar, lalu menjawab panggilan itu.
"..."
"Iya, sayang. Maaf."
Laisa mengalihkan tatapannya, wanita itu lagi!
"..."
"Oke, papa akan segera pulang. Tapi Anggi jangan nangis ya, ... papa tidak akan pergi lagi ... iya papa janji. Papa sayang Anggi."
Angkasa mematikan telponnya, memasukkan ponselnya ke dalam sakunya kembali, dan menatap Laisa sebentar sebelum berdiri. Angkasa akan pergi, dan pembicaraan mereka belum selesai.
"Kau mau kemana?" tanya Laisa begitu Angkasa hendak berjalan.
"Pulang."
"Tapi ini rumahmu!" Laisa benar-benar putus asa, haruskah dia terbang dan terjatuh lagi?
"Aku akan pulang ke rumah Inggi, Anggi sudah menungguku." Angkasa melanjutkan langkahnya.
"Anggi? Siapa dia?" tanya Laisa dengan mengernyitkan alisnya. Siapa lagi wanita itu?
"Anggi, anak perempuanku dengan Inggi."
Jeduarrrr!!!!
Anak perempuan? Dengan Inggi? Wanita itu?
"A--apa maksudmu, Ang? A--a--anak?" Laisa tergagap mendengar penjelasan Angkasa yang begitu dahsyat hingga membuat seluruh hatinya menjadi serpihan-serpihan yang kecil dan menghilang di telan angin.
"Ya, dia anakku. Aku baru tahu dan Inggi menyembunyikannya karena tahu aku menikahimu."
"Dan kini dia mengatakannya, membuatmu harus bertanggung jawab padanya dan membuatmu berpaling dariku? Pergi dari sisiku?" tebak Laisa menjawab pertanyaannya sendiri.
Angkasa memutar tubuhnya, menatap Laisa dengan sorot kemarahan yang membakar suhu ruangan. "Jangan mengatakan apapun tentang istri dan anakku tanpa mengetahui seperti apa mereka! Asal kau tahu, Lais, Inggi wanita baik-baik. Akulah yang membuatnya berada di posisi ini. Dia hamil Anggi tanpa aku tahu, dia merawat dan membesarkannya sendirian, hingga aku bertemu dengan mereka." Angkasa meninggalkan Laisa dengan kemarahan yang masih membekas di seluruh ruangan. Menjalankan mobilnya, pergi dari rumah yang dulu menjadi tempatnya untuk pulang.
Laisa menangis, benar-benar menangis dan memeluk tubuhnya sendiri, meratapi nasibnya yang kini tak tahu harus seperti apa dan bagaimana kelanjutan kisah cintanya. Masihkah dia mampu bertahan dengan kenyataan yang baru saja dia terima? Laisa menggeleng pelan, dia mengusap perutnya yang masih rata.
"Lalu apa bedanya aku dengan wanita itu, Ang? Aku juga akan sendirian jika kau tetap seperti ini."
##
Vita Savidapius
The Quest
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top