Bagian 3

Menyimpan sesuatu seorang diri memang tidak baik untuk kesehatan hati. Apalagi jika yang disimpan adalah bara yang sudah siap untuk membakar apa pun. Tinggal menyulut api sedikit saja, sudah dipastikan semuanya akan menjadi abu. Menyejukkan pikiran dengan berserah diri kepada Tuhan, juga masih tak mampu meredam kilatan api di dada. Laisa menarik napas panjang, bagaimana bisa? Dia sudah kecolongan. Laisa menghapus air mata yang masih mengalir bak sungai di musim hujan. Sudah sejak kepergian Angkasa empat jam yang lalu dia menangis. Menangisi sesuatu yang menimpa keluarga kecilnya.

Laisa menggeleng pelan, mengusir bayangan-bayangan yang merasuki pikiran keruhnya. Kali ini dia harus bertahan, demi keutuhan cintanya. Menguatkan hati disaat kegamangan melanda tidaklah mudah. Namun dia harus meminta penjelasan Angkasa terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu. Sesuatu yang sangat ditakutinya.

Deru mobil di halaman menyadarkan Laisa dari lamunannya. Laisa keluar dari kamarnya setelah mencuci muka. Menyamarkan kesedihan, dia tidak ingin terlihat mengenaskan di hadapan Angkasa. Perlahan derap langkah kaki Angkasa di tengah kesunyian bak adegan slow motion yang membuat tubuh Laisa tegang. Kau bisa, Lais!

"Kau belum tidur?" Angkasa terkejut mendapati istrinya masih terjaga.

"Aku menunggumu," lirih Laisa sambil berjalan menghampiri Angkasa.

Angkasa meletakkan tas kerjanya di atas meja, lalu berjalan mendekati istrinya, "sudah malam, Lais ... tidurlah. Aku lelah." Angkasa meninggalkan Laisa yang masih bergeming. Angkasa benar-benar lelah. Dia pulang dari Malang pagi tadi, dan sekarang dia baru saja pulang dari meeting dadakan.

"Tidakkah kau ingin menjelaskan sesuatu?" sergah Laisa.

Angkasa menghentikan langkahnya, kemudian berbalik menghadap Laisa kembali. Raut penuh tanya nampak jelas di wajahnya. "Penjelasan?"

Laisa mengangguk, memandang suaminya seraya menunggu. Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit. Masih sunyi.

"Penjelasan apa, Lais?"

"Apa saja," sahut Laisa cepat. Mulutnya sudah gatal ingin mencerca Angkasa dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi kepalanya. Namun Laisa ingin mendengar penjelasan Angkasa sendiri. Dari hati lelaki yang kini memandanginya dengan alis bertautan. Ayolah Ang, katakan sesuatu. Batin Laisa bergejolak, andai dia tidak mengingat siapa dirinya, tentu Laisa sangat ingin memburu suaminya itu.

"Kau pasti sudah lelah, ayo kita tidur." Angkasa meninggalkan Laisa yang masih terkejut dengan jawaban suaminya. Tidak ada penjelasan. Sama sekali tidak ada! Itu artinya Laisa harus mencari tahu sendiri.

Laisa menyusul Angkasa ke dalam kamar, ikut merebahkan tubuh di atas ranjang di samping suaminya. Mata Laisa memandang wajah terlelap lelaki yang selalu menghuni hatinya itu. Dia masih lelakiku.

****

Setelah Angkasa masuk ke dalam kamar mandi, Laisa menyiapkan pakaian yang akan dikenakan suaminya. Lalu berjalan ke sisi ranjang duduk di sana seraya menunggu suaminya selesai. Pandangan Laisa tertahan pada benda pipih yang bergetar di atas ranjang. Laisa hanya diam menunggu, itu milik Angkasa. Namun ponsel itu kembali bergetar, akhirnya Laisa mengambilnya. Hanya sebuah nama namun membuat mata Laisa memanas.

'My Angel'

Laisa tidak menjawab panggilan itu. Namun jemari Laisa bergerilya menjelajahi pesan dan jejaring sosial milik Angkasa. Semuanya tidak ada yang mencurigakan. Hanya saja pesan darinya kemarin-kemarin memang belum dibaca oleh Angkasa. Mungkin belum sempat, atau juga sengaja tidak dibaca. Laisa menggeleng perlahan mengenyahkan dugaan terakhirnya, Angkasa mungkin sibuk sekali. Laisa masih terus menjelajahi isi ponsel suaminya, membuka galeri sambil menahan napas. Tubuh Laisa kaku seketika, matanya memanas. 'Tidak mungkin! Ini pasti kesalahan.'

Laisa segera mengembalikan ponsel Angkasa begitu mendengar suara derit pintu kamar mandi. Menetralkan detak jantungnya yang berdetak lebih kencang. Menghalau air mata yang siap terjatuh saat ini juga. Sementara Angkasa berganti pakaian, Laisa menyusun kata-kata yang pas untuk dia tanyakan kepada suaminya. Jemari Laisa saling bertautan, berkali-kali memejamkan mata, antara bingung, takut dan marah.

"Ang ..., ap--"

"Aku pergi dulu, sayang. Bye."

Laisa hanya mampu memandang tubuh Angkasa yang menghilang di balik pintu. 'Mungkin tidak sekarang'. Batin Laisa menenangkan diri. Namun tak urung luruh juga air mata yang sedari tadi dia tahan. Laisa tersedu, seorang diri. Menangisi kebodohannya.

****

Bayangan foto dalam galeri ponsel Angkasa menjadi mimpi buruk bagi Laisa. Ada beberapa foto mereka yang sempat Laisa temukan. Dan mereka terlihat sangat dekat, menyulut api cemburu di hati Laisa. Berulang kali Laisa membalik posisi tidurnya, namun matanya sulit terpejam. Bayangan Angkasa dan wanita itu menghantuinya sepanjang malam. Hingga pukul tiga pagi Laisa baru dapat terlelap. Dan kini, dirinya harus terbangun dengan kepala berdenyut nyeri. Jika tidak mengingat akan penjelasan dari Angkasa yang tertunda, mungkin Laisa akan memilih untuk berbaring saja sepanjang hari.

Laisa mengaduk secangkir kopi untuk suaminya, sementara tangan kirinya memegang secangkir coklat panas lalu menyesapnya perlahan. Rasa hangat dan pahit coklat mengaliri tenggorokannya, sedikit menenangkan hatinya. Laisa meletakkan cangkir yang berisi coklat di meja pantry, lalu membawa secangkir kopi ke atas meja makan. Laisa kemudian menata roti bakar di atas piring dengan menahan nyeri di kepalanya.

Laisa menoleh ketika mendengar langkah kaki di belakangnya. Angkasa telah siap dengan setelan kerjanya, juga terlihat sangat tampan. Tapi tunggu! Laisa memandang lekat tubuh suaminya. Dada Laisa kian berdenyut, menyadari jika pakaian yang dikenakan suaminya bukanlah pakaian yang sedari tadi dia persiapkan. Laisa ingat betul jika tadi dia menaruhnya di atas ranjang seperti biasanya. Bukankah selama ini Angkasa selalu memakai apa yang telah Laisa persiapkan. Tapi mengapa pagi ini tidak?

Laisa masih memandang Angkasa yang kini tengah duduk di meja makan, menyesap kopinya sembari menyempatkan membaca koran. Laisa tersadar ketika ingatannya kian mencuat, kemeja itu masih baru. Kemeja warna merah maroon yang melekat di tubuh Angkasa memang sangat pas, dan ini kali pertama lelaki itu memakai warna itu. Dulu Laisa sempat membelikan kemeja warna serupa, namun Angkasa malah memberikannya pada sepupunya. Alasannya hanya karena tidak suka warnanya. Tapi mengapa kali ini Angkasa malah memakainya? Kapan dia membelinya? Beragam pertanyaan memenuhi rongga kepala Laisa, namun suaranya hanya tertahan di tenggorokan saja begitu Angkasa pamit untuk berangkat kerja. Selalu seperti ini. Laisa mendengus kesal, Angkasa sudah berubah. Benar-benar berubah.

*****

Laisa menyesap matcha latte sembari membaca berita di akun medsosnya. Banyak teman-temannya yang sedang meng-upload foto keluarga kecil mereka lengkap beserta buah hatinya. Mereka terlihat sangat bahagia, terlihat dari senyum yang terpancar dari bibir mereka. Laisa mendesah iri, selama ini dia dan Angkasa sudah berusaha. Namun sampai detik ini belum ada tanda-tanda ada kehidupan di rahimnya. Mereka berdua tidak pernah menyerah, karena mungkin Tuhan masih belum mempercayai mereka. Laisa kembali menyesap minuman pesanannya, ketika kemudian sebuah suara terdengar sangat familiar di telinganya.

"Sudah lama? Maaf aku terlambat," sapa seorang gadis yang kini telah duduk di hadapan Laisa.

Laisa tersenyum, "tidak, aku juga baru sampai dua puluh menitan yang lalu."

"Bagaimana? Apa kau sudah memutuskannya?" tanya gadis itu setelah memesan minuman.

"Belum, Erly, aku masih bingung," lirih Laisa yang membuat gadis itu terkejut.

"Kau ini, tinggal pilih aja susah. Selalu seperti itu. Ayolah Laisa ... kau harus cepat memutuskannya, sebelum diambil oleh orang lain," gerutu Erly.

Laisa mendengus sambil tertawa, "kau saja yang pilih. Aku akan mengikutimu."

"Kau pikir ini milikku? Ini milikmu Laisa sayaaaang ... jadi kau harus segera memutuskan mau dibangun di mana kafe impianmu itu." Erly masih menasehati sahabatnya yang masih labil itu. Matanya melotot bak emak-emak yang memergoki suaminya selingkuh.

"Baiklah, baiklah. Tapi sebenarnya aku lebih suka membangunnya di tengah kota, di dekat kampus ataupun pusat perbelanjaan, meskipun resiko macet harus aku terima," jelas Laisa.

Erly hanya mengangguk, mencerna setiap kalimat yang keluar dari bibir Laisa. "Sasaran konsumen sudah kau pikirkan dengan sangat matang, nanti urusan sewa tempat biar aku yang handle. Baru kemudian kita atur tema dan dekorasinya."

Laisa mengangguk setuju,"baiklah ... aku percaya padamu. Aku su-" kalimat Laisa terhenti ketika tanpa sengaja matanya menemukan sosok yang amat dia kenali sedang duduk di meja tak jauh darinya. Bersama wanita yang semalam menghantui tidurnya. Laisa menyipitkan mata, mengamati apa yang mereka lakukan. Mereka terlihat mengobrol diselingi bercanda, tertawa lepas juga sesekali melempar senyum yang membuat Laisa iri.

Disana, tak jauh dari tempat Laisa dan Erly duduk, mereka kian mendekat. Lalu saling mengecup pipi dan bibir sekilas sebelum salah satu dari mereka bertemu pandang dengan Laisa.

"Ang ...."

"Lais ...."

Laisa seketika berdiri dan berjalan menghampiri Angkasa. Mengabaikan Erly yang masih melongo tak mengerti apa yang terjadi dengan sahabatnya itu.

"Siapa dia, Ang?" tanya Laisa setelah tiba di hadapan Angkasa, tanpa memperdulikan tatapan sengit wanita di samping Angkasa. Laisa benar-benar membutuhkan penjelasan Angkasa detik ini juga.

"Dia ... dia ... Inggi-"

"Istri Angkasa," sahut wanita itu memotong penjelasan Angkasa.

Laisa sangat terkejut, istri? Laisa memandang suaminya dan wanita itu bergantian. "Istri? Apa kau sudah lupa siapa istrimu, Ang? Yang sudah menemanimu lima tahun ini?"

Angkasa melirik wanita itu, lalu memandang Laisa lekat."Inggi memang istriku, Lais."

Ucapan Angkasa bagai petir yang menyambar hati Laisa, menghanguskannya tanpa sisa. Laisa terdiam beberapa saat sebelum akhirnya tertawa miris, sepertinya kemeja maroon mempengaruhi otak Angkasa.

"Kau selingkuh, Ang?! Kau jahat!! Kau tega!! Apa salahku???!!!" teriak Laisa marah. Semua pengunjung kafe menoleh padanya, semakin penasaran dengan adegan selanjutnya. Sementara Erly memeluk Laisa dari samping, mencoba menenangkannya.

Angkasa terlihat kikuk, berkali-kali dia mengusap wajahnya. "Maafkan aku, Lais. Tapi Inggi sedang mengandung anakku."

*****

Hati wanita mana yang mampu bertahan, jika melihat pasangannya mencumbu wanita lain di depan matamu.
Mengakui secara terang-terangan jika dia memiliki istri lainnya. Dan kini wanita yang menjadi istri kedua suaminya itu tengah berbadan dua, hasil dari hubungan gelap mereka. Laisa semakin terisak, sekuat apapun wanita berusaha untuk tegar, namun luruhnya air mata membuktikan jika hati wanita telah benar-benar rapuh. Dia tidak menduga jika Angkasa menduakannya karena dia tak kunjung hamil. Apa salahku?

Tumpukan tissu yang berserakan di dalam kamar tak lagi Laisa hiraukan. Memandang foto pernikahan mereka berdua di dalam kamar pun Laisa enggan. Saling mencintai apapun yang terjadi, tetap setia sampai maut yang memisahkan, Laisa muak dengan janji mereka dulu.

"Kau jahat, Ang!! Kau tega!!" maki Laisa tak tahan.

Bagaimana mungkin, lelaki yang sudah mengakar di hatinya itu mengkhianati pernikahan mereka. Laisa benar-benar kecewa, kepercayaan yang dia berikan selama ini ternyata sia-sia. Laisa sangat marah, Angkasa tega mengkhianati cintanya. Bukankah kemarin semuanya masih baik-baik saja? Laisa telah dibohongi oleh suaminya sendiri. Laisa benar-benar hancur, semua impiannya untuk membangun keluarga kecil yang bahagia telah direnggut oleh wanita itu. Laisa semakin tak berdaya jika mengingat Angkasa akan segera memiliki anak, tapi bukan dari rahimnya. Aku kalah, Ang. Aku kalah.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top