Bagian 10

.

.

.

Tiga pasang mata menatap Angkasa meminta penjelasan. Sedangkan Laisa sendiri masih betah berlama-lama menatap ujung kakinya, enggan menerka reaksi Angkasa. Sepuluh menit mereka semua hanya membisu, menunggu jawaban Angkasa.

"Ehm, kami memang berencana untuk mengakhiri pernikahan kami, Mas."

Hening, semua orang sedang mencerna kembali ucapan Angkasa.

"Tapi bagaimana dengan anak kalian?" Nadin tak sanggup meneruskan kata-katanya. Bayangan seorang anak lelaki yang tumbuh tanpa seorang ayah membuat dadanya sesak.

Laisa memberanikan diri melihat wajah Angkasa, menikmatinya sembari menunggu dia melanjutkan penjelasannya.

"Perceraian ini sudah terencana sebelum Lais hamil, mbak. Ada sesuatu yang tidak bisa kami jelaskan yang membuat kami harus memutuskan untuk berpisah."

Wajah Rey memerah, napasnya naik turun menahan amarah yang siap meledak kapan saja. Jadi ini penyebab Laisa tidak menghubunginya? Tidak sempat membagi kebahagiaan dengannya? Rey menatap iba pada Laisa yang hanya terdiam memandang suaminya.

"Apa alasan itu? Katakan, Ang? Aku tidak mau adikku menjadi janda hanya karena keegoisanmu!"

Angkasa mendesah kecewa, "bukannya sudah kukatakan, mas, ada sesuatu yang tidak bisa kami jelaskan pada kalian. Kami sudah tidak cocok lagi, jadi kami memilih untuk berpisah."

"Benarkah seperti itu, Lais?" Rey menatap adiknya, mencari pembenaran dari penjelasan Angkasa.

Laisa mulai gusar, bagaimanapun ini aib keluarganya. Tapi penjelasan yang sedangkal itu tak akan membuat Rey melepaskan Angkasa begitu saja. Butuh penjelasan yang panjang kali lebar kali tinggi agar Rey bisa meluluskan rencana Angkasa. Laisa menarik napas dalam sebelum menatap wajah-wajah yang dipenuhi rasa ingin tahu itu.

"Ang punya istri lagi, wanita itu--"

BUGGHH!!!

Laisa menjerit histeris begitu Rey  memukul Angkasa membabi buta, meremukkan tulang-tulang Angkasa. Semua orang berdiri dengan tatapan terkejut dan bingung. Nadin seketika menutup mata Alexa, berdiri menjauhkan putrinya dari pemandangan yang seharusnya melalui garis sensor itu. Sementara Erly, sudah bersiaga di samping tubuh Rey dan Angkasa. Mempersiapkan diri jika saja Rey menyuruhnya untuk ikut serta dalam adu pukul gratis.

Laisa memejamkan mata, kedua tangannya masih sibuk menutupi telinga Maher, namun melihat Angkasa yang hanya diam menerima semua pukulan yang bertubi-tubi menyarang di wajah dan tubuhnya tak membuat hati Laisa puas. Justru rasa sakit yang sama seperti yang Angkasa rasakan yang Laisa terima.

"Berhenti!!!"

Sebelah tangan Rey masih menggenggam ujung kerah kemeja Angkasa, sementara tangan kanannya melayang di udara, persis di atas hidung Angkasa.

"Jangan pukul dia, mas. Hentikan!!" Laisa memejamkan mata, menghalau titik bening yang ingin keluar.

Rey meletakkan tubuh lemah Angkasa di lantai begitu saja, dia beralih menuju dapur mengambil segelas air, meneguknya hingga tandas. Kemudian dia kembali menuju ruang keluarga, tempat dia mengamuk tadi.

"Kau tidak apa-apa, Ang?" tanya Laisa cemas.

Laisa menyerahkan Maher pada Erly, menyuruhnya membawa ke kamar melalui isyarat mata, kemudian berlari menyeberangi meja, menghampiri Angkasa yang mulai berdiri dengan susah payah. Memberanikan diri menyentuh lengan dan pundak Angkasa, Laisa membantu Angkasa untuk duduk di atas sofa.

Setelah mengambil perlengkapan P3K, Laisa mengobati bilur-bilur memar yang memenuhi wajah Angkasa. Lelaki itu hanya diam, sesekali meringis menahan sakit ketika kapas yang sudah ditetesi alkohol menyentuh kulitnya.

"Maafkan, mas Rey, dia tidak dapat menahan emosinya." Laisa menyentuh bibir Angkasa yang sedikit robek. Ikut meringis ketika Angkasa merasa kesakitan.

"Aku mengerti, aku hanya ingin masalah kita selesai." Angkasa mengambil berkas yang tadi sengaja dia letakkan di samping tempat duduknya. "Tandatangani saja, aku yang akan mengurusnya."

Laisa menatap map hijau yang dia yakini berisi surat perceraiannya. Dengan tangan gemetar Laisa menerima map itu, meletakkan di atas pangkuannya.

"Bukalah, aku ingin kau tandatangan sekarang juga."

"Brengsek kau Ang!!" Rey mendekati Angkasa masih dengan amarah yang membakar wajahnya. Kedua tangannya mengepal siap akan merobek jantung Angkasa.

"Jangan, mas! Jangan pukul dia. Aku mohon, jangan pukul dia." Laisa mulai terisak, mencegah dua orang lelaki yang dikerubungi oleh amarah tidaklah mudah.

"Dia seenaknya ingin menceraikanmu, Lais!! Kenapa kau diam saja? Seharusnya kau tak perlu mengobati lukanya, biarkan saja dia kesakitan. Jangan pernah bersikap baik padanya, jika kau sendiri tak mampu mengobati lukamu." Rey marah, Laisa tahu itu. Tapi Laisa tidak ingin Rey masuk penjara karena dia.

"Cukup, mas. Melihat Angkasa yang seperti ini sudah lebih dari cukup menerima pembalasan sakit hatiku. Aku tidak mau melihatnya lebih hancur dari ini. Bagaimanapun aku masih mencintainya, dia tetap ayah dari anakku."

"Tapi, Lais--"

"Sudahlah, mas. Mau mas Rey memukuli Angkasa sampai mati pun, dia akan tetap menceraikanku." Laisa menyambar pena yang terselip di saku kemeja Angkasa, membuka berkas perceraiannya kemudian menandatangani tanpa berniat untuk membacanya.

"Sudah. Aku sudah memenuhi keinginanmu, kini giliranmu yang memenuhi keinginanku. Ingat itu baik-baik, Ang. Sekarang pergilah, urus sidang itu. Aku tak ingin datang ke sana."

Usai mengatakan segala hal yang memenuhi dadanya, Laisa meninggalkan Rey dan Angkasa. Sudah. Semuanya sudah selesai. Laisa menghalau titik bening yang meluncur dari sudut matanya. Tidak. Dia tidak boleh menangis. Ini keputusannya. Dia yang menerima perceraian ini, barusan.

Laisa bergegas menuju kamarnya di lantai dua,  menghiraukan pandangan Nadin yang meminta penjelasan lebih padanya. Laisa memberi isyarat melalui matanya, tidak untuk saat ini.

******

"Kau tidak apa-apa?" Erly mengusap bahu Laisa perlahan, mereka kini sedang berada di dalam kamar Laisa. Setelah sempat melihat Angkasa yang dilebur oleh mas Rey, Erly pergi ke kamar Laisa untuk membawa Maher beristirahat. Selanjutnya dia hanya mendengar dari jauh, apa yang kini menimpa sahabatnya.

"Hei, tenanglah. Sudah, kita akan lewati semua ini bersama." Erly masih berusaha menenangkan Laisa yang tak juga berhenti menangis.

"Aku sudah bercerai dengan Angkasa, Er. Kita sudah selesai. Aku sekarang menjadi janda," Laisa merapal nasibnya satu persatu. Sulit menerima status barunya, meski status itu belum jelas tersemat secara resmi padanya. Laisa tak sanggup membayangkan bagaimana dia menanggung rasa malu, menjadi janda dengan seorang anak. Erly memeluk Laisa erat, menyalurkan ketenangan yang sengaja dia bangun untuk Laisa.

Tangisan Maher menyadarkan Laisa dari keterpurukan. Mengurai pelukan Erly, Laisa menghampiri Maher yang terus menangis kencang. Membawanya ke dalam gendongan, Laisa mulai menyusui Maher. Dibelainya puncak kepala bayi yang seharusnya mendapatkan kasih sayang utuh dari kedua orangtuanya. Tidak. Maher akan mendapatkan kasih sayang seperti anak-anak lainnya. Angkasa sudah berjanji akan hal itu. Laisa mendesah perlahan, semoga saja Angkasa menepati janjinya.

****

Menjadi janda bukanlah pilihannya, jika dia bisa memilih tentu dia akan tetap mempertahankan pernikahannya. Tapi inilah hidup yang harus dijalani oleh Laisa. Menjadi orang tua tunggal dalam membesarkan anaknya nanti meskipun masih berupa kilasan abu-abu dalam benaknya.

Proses perceraiannya dengan Angkasa terbilang tidaklah berlarut-larut. Laisa hanya sekali datang di persidangan ketika pembacaan talak, selebihnya Laisa tidak tahu menahu. Karena jujur saja, Laisa takut dia akan goyah jika terus-menerus berhadapan dengan Angkasa, sosok suami yang menjadi lelaki idamannya.

Laisa dan Maher mendapatkan rumah yang mereka tempati sekarang. Dan setiap satu bulan sekali, Maher mendapatkan jatah uang bulanan dari Angkasa. Laisa tidak mau repot-repot memikirkan urusan harta gono-gini, baginya adalah bagaimana dia menjalani hidupnya kelak.

Laisa sedang mendata hasil pemasukan kafe Lavender bulan ini, duduk di belakang meja kerja, sesekali matanya melirik Maher yang sedang belajar tengkurap sendirian. Bayi lelaki itu tumbuh semakin sehat, bobot badannya juga naik dengan baik.

Suara derap langkah kaki menghentikan fokus Laisa sesaat, menunggu beberapa saat hingga suara pintu yang terbuka menampilkan sosok Erly yang tengah berdiri sambil ngos-ngosan.

"Kenapa?" Laisa menautkan kedua alisnya, matanya tak lepas menguliti wajah Erly.

"Gila, macetnya ya ampun ... bikin kakiku linu aja." Erly berjalan sedikit sempoyongan, duduk di sebelah Maher. "Aisshh, kacian ponakan aunty lagi sendirian. Main sama aunty ya? Ciluuuk, baa ...," Erly menutup wajahnya dengan kedua tangan kemudian membukanya sambil berteriak dan mengoceh.

Maher hanya tertawa, bayi tampan itu mungkin sedang menertawakan auntynya yang aneh.

"Mana laporan minggu kemarin?"

"Iya, ada kok," Erly merogoh tasnya, kemudian menyerahkan lipatan-lipatan kertas pada Laisa. "Nih, pemasukan kita naik terus. Rejekinya Maher ini, iya kan, sayang."

"Kamu ini, Er, sudah dibilangin jangan sembarangan nekuk-nekuk kertas. Lungset kan, jadinya," gerutu Laisa seraya membuka lipatan demi lipatan kertas.

"Maaf, bos. Udah dari sononya kayak gitu," cengir Erly.

Laisa kembali berkutat dengan huruf dan angka dalam kertas dan komputer. Menyalin beberapa data kemudian menyimpannya dalam file dokumen arsip.

"Eh, tadi ada yang telepon, dia minta nego dari harga yang kamu sebutin. Gimana?"

Laisa menutup tumpukan file di hadapannya, meletakkan kembali ke dalam laci. "Berapa?"

"Ya, katanya sih, bisa bolong dua puluhan lah. Mau direnovasi lagi katanya." Erly membuka ponselnya, kemudian menunjukkan pesan whatsapp pada Laisa.

Laisa mengernyit, menimbang-nimbang nego dari calon pembeli rumahnya. Ya, dia sengaja menjual rumahnya ketika masa 'iddahnya selesai. Laisa ingin memulai hidup baru tanpa bayang-bayang Angkasa yang memenuhi setiap sudut rumahnya. Laisa butuh suasana baru demi kesembuhan hatinya.

"Kamu jadi pindah ke Malang?" tanya Erly lagi begitu dia tak mendapati jawaban Laisa.

"Jadi. Kenapa memangnya?" Laisa masih mencoret-coret kertas dan memainkan kalkulator.

"Ya, gak kenapa-napa, sih. Tapi nanti kalau aku kangen sama Maher, gimana?"

"Ya, kamu tinggal datang aja ke rumah. Sekalian mampir ke Batu kan bisa, Er."

"Kamu sudah yakin mau pindah kesana? Pikirin lagi deh, aku gak mau kamu nyesel nantinya."

Laisa menatap manik sahabatnya, menyelami apa yang membuat resah hatinya. "Aku sudah memikirkan ini sebulan yang lalu, aku tak sanggup lagi jika harus tetap tinggal di rumah itu. Ada banyak kenangan kami yang setiap saat selalu menghantuiku. Aku tidak sanggup, Er." Laisa merebahkan keningnya di atas lengannya.

"Tapi, kan, gak harus ke Malang, Lais."

"Hanya tiga jam dari sini, Er."

"Empat jam, kalau macet," sungut Erly tak mau kalah. "Terserah kamu lah, asal kamu bahagia aku akan mendukungmu."

Laisa memeluk Erly erat, dia beruntung memiliki sahabat seperti Erly. Sahabat yang selalu ada dalam suka dan duka, selalu menemani disaat tersulit sekalipun. Sahabat yang sudah terpupuk menjadi saudara tak sedarah.

"Terus kafe ini nanti gimana?" tanya Erly beberapa saat setelah mengingat apa yang belakangan ini mengganjal kepalanya.

"Kan ada kamu," Laisa membereskan meja, mencuci tangannya, kemudian duduk di samping Maher.

"Tapi aku gak yakin bisa menghandle kafe ini sendirian, Lais. Aku mana bisa duduk diam kayak kamu."

Laisa terdiam sesaat, "kita bisa angkat pegawai baru yang bisa nemenin kamu." Sekelebat ide muncul di kepalanya.

"Waktunya udah mepet,  Laisa.  Mana cukup buat ngetes orang baru.  Belum lagi harus nunggu mereka melamar dulu." Erly memainkan bebek karet, membuat berisik seluruh ruangan.

"Untuk sementara biar aku yang mengurus laporan keuangan.  Tapi kamu yang memantau langsung dari sini.  Aku juga masih belum tahu mau kerja apalagi buat masa depan kami. " Laisa menengadah,  membendung buliran air yang siap menetes.

Bayangan tentang nasib dirinya dan anaknya kembali menyeruak, seakan tak ingin lekang oleh waktu. Bagaimana nanti dia menjelaskan tentang siapa ayahnya dan mengapa mereka seperti ini, Laisa masih belum berani memikirkannya. Untuk saat ini, Laisa lebih memilih untuk move on dari Angkasa.  Lepas dari masa lalu mereka berdua, lalu bangkit meraih kebahagiaannya sendiri,  tanpa bayang-bayang Angkasa.

Bisakah dia seperti itu?  Laisa tak yakin.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top