Chapter 71 - Rahasia yang Terbongkar

"Kalau begitu aku menginginkan hadiah yang kau janjikan. Aku ingin kebebasan untukku dan adik-adikku."

Oukha melengkungkan mulutnya dan mengangguk-angguk. "Aku memang berencana memberikanmu kebebasan .... Pengawal! Tangkap wanita itu!"

Dari pintu samping aula, masuk barisan prajurit Ezze yang sepertinya merupakan prajurit pengawal Raja Ezze yang tidak ikut berperang di perang besar. Mereka mengelilingi rombongan Ruby.

Kesatria pemenang perang selain kesatria Ezze yang ikut ke aula singgasana dengan cepat membentuk barikade yang melindungi Ruby dan para pemimpin perang. Pedang-pedang mereka terhunus demi mencegah barisan pengawal Raja Ezze mendekat.

Sementara kesatria Ezze berdiri di dekat tiga tahanan perang yang mereka seret menjauh dari rombongan Ruby. Mereka masih mencoba menilai situasi karena yang sedang berseteru di hadapan mereka adalah dua pemimpin Ezze.

"Wah ... sepertinya kau berhasil meraih simpati dari bangsa lain, Ruby," cetus Oukha.

"Apa yang kau lakukan?"

"Bukankah kau ingin kebebasan? Maka aku membebaskanmu," balas Oukha. Ia meninggikan suaranya kembali. "Ruby, putri dari Naz. Kau kuceraikan mulai detik ini dan kau bukan lagi seorang Ratu Ezze. Segala hakmu sebagai ratu akan dicabut dan kau akan kembali ke asalmu."

Mata Ruby menyipit. "Kau menceraikanku?"

"Ya," jawab Oukha singkat. Ah ... Ruby pasti merasa sakit hati. Setelah perjuangan mati-matian melawan Tzaren, ia justru ditendang dari posisi ratu. Hahaha! Aku ingin sekali melihat wajah dinginnya berubah dipenuhi amarah. Ayo, murkalah, Ruby! Kutuklah aku!

Akan tetapi, keinginan Oukha tersebut tidak tercapai. Ekspresi Ruby masih tampak datar dan dingin. "Lalu mengapa kau menangkapku?"

"Karena kejahatanmu selama menjadi ratu." Oukha menoleh pada asisten raja yang berdiri di dekatnya. "Beberkan kejahatan mantan ratu!"

Asisten Raja Oukha, yang sempat menemani Ruby di beberapa kesempatan saat Oukha dinyatakan sekarat akibat racun, langsung membuka buku catatan kecil yang selalu tersimpan di sakunya.

"Mantan Ratu Ruby bersalah atas beberapa hal berdasarkan kesaksian Selir Utama Ellise selama menjadi dayang mantan ratu. Pertama, membuat rencana dengan kerajaan lain tanpa sepengetahuan raja. Kedua, membuat rencana menggulingkan raja. Ketiga, melanggar hierarki dengan bertindak tanpa izin raja. Keempat—"

"—Alasan tidak masuk akal macam apa itu!" jerit Lazuli. Ia bangkit dari kursinya sambil menunjuk asisten raja dengan frustrasi.

Seisi aula singgasana terdiam. Mereka juga menyadari jika ucapan asisten raja sangat mengada-ada. Alasan melawan raja atau merencanakan kudeta memang sering dipakai oleh seorang raja untuk melengserkan ratunya.

Oukha mendekati Lazuli. Ia menekan kedua bahu Lazuli dan dengan kasar memaksa ratu muda itu duduk kembali.

"Sepertinya calon ratuku sedang lelah. Jadi dia meracau."

"Calon ratu?" tanya Ruby dengan nada suara yang ditekan. Ekspresinya pun berubah gelap.

Oukha memutar badannya kembali ke arah Ruby. "Ah ... yah, aku berencana menikahi adikmu, Lazuli. Bukankah aku membutuhkan pengganti ratu sepeninggalmu? Siapa lagi di daratan ini yang lebih pantas untuk raja sepertiku selain adikmu yang seorang Ratu Kerajaan Bielinca? Apalagi adikmu masih begitu muda. Bukankah dia butuh seseorang untuk membimbingnya memimpin kerajaan?"

"Kau sudah berjanji untuk membebaskanku dan adik-adikku!" seru Ruby.

"Perjanjian itu batal setelah kau berbuat kejahatan padaku. Apa aku perlu membuat asistenku mengulang kembali 'kejahatan-kejahatan'mu?"

Ruby melirik pada Lazuli yang tampak kacau. "Apa yang sudah kau lakukan pada adikku?!"

"Tidak ada. Yah ... aku memang hampir membuatnya menjadi wanita dewasa pada malam kedatanganku di istana Bielinca. Aku hampir berhasil kalau saja ...." Oukha menoleh pada Aixen. "Orang tua itu tidak mendobrak kamar ratu dan membawa pergi adikmu. Dia membawa adikmu ke rumahnya tanpa mengizinkanku bertamu sekali pun. Baru hari ini dia membawa kembali adikmu ke istana ketika kau datang. Dasar orang tua kolot! Senang sekali mengacaukan rencana anak-anak muda yang ingin memadu kasih."

Ruby menatap tajam sang raja sambil menggeram. "Kau melewati batasmu, Oukha! Kau—"

"—Ckckck! Ruby, kau bukanlah ratu lagi. Kau tidak berhak memanggil namaku seperti itu. Panggil aku Yang Mulia. Hahahaha!"

Tiba-tiba Ruby mengubah ekspresinya. Ia tertawa terbahak-bahak, bahkan tawanya lebih keras daripada Oukha, membuat seisi aula terheran-heran. Hanya para pemimpin perang di dekat Ruby yang tampak tidak terganggu dengan tawa dari seorang mantan ratu yang baru saja dibuang oleh rajanya.

"Anda tertawa terlalu cepat, Yang Mulia," cetus Eris sambil mengeluarkan pedang dari sarungnya.

"Padahal aku masih ingin menikmati pertunjukan ini lebih lama lagi," komentar Thony sambil mengikuti pergerakan Eris yang mengeluarkan pedang.

"Ah—haha! Apa boleh buat, aku tidak tahan melihat wajah bodohnya itu lebih lama lagi. Bagaimana bisa bocah laki-laki mandul itu masih terjebak bermain permainan 'Tuanku Yang Mulia Raja' dan tidak sadar akan kenyataan yang sebenarnya. Pfft ... bersyukurlah aku masih mau menanggapi khayalanmu, Bocah," kata Ruby dengan pandangan yang meremehkan Oukha.

"Apa katamu?!" Wajah Oukha menjadi merah padam. Ia berteriak dengan suara yang sangat keras. "SIAPA YANG MANDUL, HAH?! COBA KATAKAN SEKALI LAGI! AKAN KUROBEK MULUTMU DAN KUHANCURKAN WAJAH SIALANMU ITU!"

Ruby justru tertawa kembali. "Ah, lihatlah dia. Kemarahannya hanya membuktikan ucapanku saja. Kau tahu, Oukha? Aku berbincang seru dengan Putri Kleih di sepanjang perjalanan menuju ibu kota. Tuan putri memberiku rahasia yang hanya diketahui para bangsawan tinggi Tzaren, bahkan saudara-saudaramu pun tidak tahu. Penyebab kau menjadi bocah kesepian yang mengharapkan kasih sayang dari ibumu."

"Hentikan!" seru Oukha. Wajahnya berubah menjadi sangat mengerikan.

Akan tetapi, Ruby tidak menghentikan kata-katanya. "Kau menolak kenyataan dengan dalih ibumu lebih menyukai Azkhar, kembaranmu yang lahir lebih dulu. Padahal kenyataannya, ibumu menganggapmu pangeran cacat tanpa masa depan karena sejak lahir tabib istana sudah mengatakan jika kau tidak akan bisa punya anak."

"Aku bilang hentikan!"

Terdengar bisik-bisik di seantero ruangan setelah mereka mendengar perkataan Ruby.

"Kau meniduri wanita di sana sini hanya karena ingin membuktikan jika kau bisa punya anak. Bagaimana hasil kerja kerasmu itu, Bocah? Adakah satu saja wanita yang berhasil mengandung anakmu? Oh ... sungguh malang sekali dirimu. Kau masih ingin menjadi raja? Bangsa mana yang akan menerima raja yang tidak bisa menghasilkan keturunan?"

"HENTIKAN ITU, ANAK HARAM! KAU SENDIRI HANYA WANITA RENDAHAN YANG TIDAK MEMILIKI DARAH NAZ SEDIKIT PUN!"

Ruby terdiam diikuti kesunyian yang panjang di dalam aula setelah Oukha berteriak dengan suara menggelegar serupa guntur di siang hari. Tidak lama kemudian, aula yang penuh dengan bangsawan dan prajurit dari berbagai bangsa itu kembali diselimuti oleh suara-suara rendah yang berbisik. Siapa pun tidak akan tahan untuk tidak membicarakan aib kedua raja dan ratu yang dibongkar oleh mereka sendiri di tempat umum.

Dada Oukha naik turun akibat emosi yang meledak-ledak. Namun, wajahnya masih menatap Ruby tajam.

"Kau pikir dengan mengatakan hal itu bisa membuatku turun dari takhta, hah?!" Oukha meradang. Ia ingin menyeret Ruby yang sudah membongkar kelemahannya untuk jatuh bersamanya ke neraka dunia, selagi ada banyak telinga dari berbagai bangsa yang mendengar. "Ellise mendengar pembicaraanmu dengan seseorang yang menyatakan jika kau adalah anak haram Naz. Nyonya Naz sudah mengandung dirimu saat dia menikah dengan Naz. Itu berarti kau hanyalah seorang rendahan yang tidak jelas asal-usulnya. Kalau aku diturunkan dari takhta, kau pun tidak akan bisa menjadi ratu! Karena sudah pasti rakyat di mana pun dan bangsawan dari bangsa apa pun akan menolakmu yang tidak punya darah bangsawan! Prajurit sialan, tangkap wanita laknat itu!"

Para prajurit Ezze yang mengitari kelompok Ruby tampak ragu untuk melaksanakan perintah raja mereka.

"Apa yang kalian lakukan?! Jangan bengong saja! Siapa pun yang membunuh wanita itu akan kujadikan penerusku!" lanjut Oukha.

Lantas satu orang prajurit Ezze berusaha menyerang Ruby begitu mendengar kata 'penerus' dari raja yang baru saja diketahui jika sang raja ternyata mandul. Satu orang tersebut mendorong prajurit Ezze lainnya untuk menyerang kerumunan Ruby tanpa menyadari jika dua petarung dengan kemampuan mengerikan di sana sudah menarik pedang.

Thony dan Eris menghabisi setiap prajurit Ezze yang berusaha menyerang mereka. Gerakan keduanya sangat efektif, cepat, dan tepat sasaran. Bahkan kesatria lainnya tidak sempat menggerakkan pedang.

"Apa kau tidak punya prajurit yang lebih baik lagi?" tanya Ruby sambil tersenyum pada Oukha.

"Sialan! Hei kalian berlima! Cepat bunuh Ruby!" seru Oukha pada lima kesatria Ezze yang hanya berdiri di dekat para tahanan perang. "Jika kalian tidak bergerak, akan kubunuh keluarga kalian di Ezze!"

Lima kesatria Ezze saling menoleh dan akhirnya menarik pedang.

"Maafkan kami. Kami harus mematuhi raja kami," ucap salah satu dari kesatria Ezze.

Baru saja para kesatria Ezze maju, Eris mengadang dan membunuh mereka dengan cepat. Bahkan beberapa bagian tubuh terpisah dari badan mereka.

Kecepatan dan gerakan tanpa keraguan Eris membuat sebagian orang di ruangan menatap ngeri padanya.

"Berengsek!" umpat Oukha. Ia lantas menoleh ke arah Lazuli dengan niat untuk mengancam Ruby menggunakan ratu muda tersebut.

Akan tetapi, justru sebilah pedang terhunus di samping lehernya. Asistennya pun sudah bersimbah darah entah sejak kapan dengan leher yang menganga dan Lazuli telah berdiri di belakang barisan pengawal istana Bielinca.

"Kau! Berani-beraninya mengarahkan pedangmu padaku! Apa kau ingin mengumumkan perang pada Ezze, hah?!" ucap Oukha pada kepala pengawal istana Bielinca.

Alih-alih merasa takut, kepala pengawal istana justru memberi isyarat pada empat pengawal istana untuk menangkap Oukha dan Ellise.

Tangan Oukha dan selir barunya itu dirantai ke belakang badan mereka. Lalu mereka didorong untuk menuruni panggung singgasana, tempat di mana singgasana raja dan ratu berada. Keduanya dipaksa berlutut ke arah singgasana.

Ruby berjalan dengan penuh percaya diri ke kursi bersepuh emas yang diperuntukkan untuk Raja Bielinca.

Lazuli ikut kembali duduk di sebelah kiri kakaknya. Sementara para pemimpin perang lain mengitari Oukha dan Ellise.

Bahkan para tahanan perang berdiri di dekat kerumunan yang mengelilingi Oukha. Mereka memandang dingin pada kejatuhan raja yang sebangsa dengan mereka tanpa sedikit pun rasa simpati. Bagaimanapun, segala kehancuran dimulai dari kakak beradik saudara Oukha itu.

Oukha memandang sekelilingnya dengan frustrasi. Baru saja ia merasa berdiri di puncak dunia dan hampir dekat dengan tujuannya menjadi raja pertama yang memimpin daratan tersebut, tetapi tahu-tahu saja kepalanya menjadi yang paling rendah di sana.

"Apa yang kalian lakukan, hah?! Bisa-bisanya kalian memihak anak haram itu! Dia tidak memiliki hak atas takhta mana pun!"

"Oh, Oukha. Kau pikir aku membeberkan fakta bahwa aku bukan anak kandung Naz secara tidak sengaja?" cetus Ruby. Ia menyandarkan kepalanya pada setengah tangannya yang berada di lengan singgasana.

Oukha menatap nyalang. "Apa maksudmu?!"

"Sudah ada beberapa orang yang memperingatiku tentang Ellise. Sebagian memperingatiku sebelum perang besar ini dan ada juga yang memberitahuku pada saat perang besar. Aku sengaja membuat Ellise mendengar fakta itu agar dia memberi tahumu. Lalu kau akan membeberkan faktanya di depan umum seperti sekarang."

"Kau gila, Ruby! Untuk apa kau melakukan itu?!" Oukha semakin tidak paham akan tindakan Ruby. Pikirannya yang berputar cepat tidak bisa menemukan jawaban yang ia cari.

Jawaban itu pun disuguhkan oleh Ruby. Ruby menegakkan tubuhnya dan menjentik dua jarinya, lalu pintu utama aula singgasana terbuka. Semua mata pun berpindah ke pintu aula.

Perdana Menteri Aritoria memasuki aula singgasana istana Bielinca diikuti cukup banyak bangsawan Aritoria di belakangnya dan dikelilingi oleh para kesatria Aritoria.

Di sebelah kanan Perdana Menteri Aritoria merupakan seorang bangsawan yang membawa bantal hijau gelap yang di atasnya tergeletak sebuah mahkota dan tongkat dari emas. Di sebelah kiri perdana menteri ada dua orang yang membawa sesuatu berbentuk persegi panjang yang pipih dan ditutupi kain putih.

Rombongan bangsawan-bangsawan Aritoria itu berhenti di sisi kiri panggung singgasana yang tidak banyak orang berdiri di sana. Namun, hanya perdana menteri beserta orang di sampingnya yang membawa mahkota dan tongkat emas saja yang naik ke panggung singgasana. Lalu keduanya berdiri di sebelah kanan Ruby.

Tidak ada orang selain para bangsawan Aritoria, Jenderal Aritoria, dan Thony yang mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya.

Pembawa mahkota berlutut ke arah Ruby sambil mengangkat bantal hijau di tangannya.

Perdana Menteri Aritoria lalu mengambil dan memasangkan mahkota Raja Aritoria di kepala Ruby, yang sedari awal tidak memakai mahkota saat memasuki ibu kota. Ia lalu menyerahkan tongkat emas sambil membungkuk dan berkata dengan lantang.

"Kami menyambut panggilan Yang Mulia Ruby, putri mendiang Pangeran pertama Qazhan, cucu mendiang Raja Saiza III dari Dinasti Aritoria."

Setelah ucapan perdana menteri tersebut, para bangsawan Aritoria lantas berlutut ke arah singgasana tempat Ruby duduk dan secara serentak berseru, "Kami menyambut Yang Mulia Ratu Ruby dan mengakui Yang Mulia Ratu Ruby sebagai keturunan dinasti Raja Aritoria. Kami menyerahkan kesetiaan kami pada Yang Mulia Ratu Ruby."

Seisi aula mendadak dipenuhi keributan. Setiap orang berbisik dan berseru. Itu menjadi sebuah berita yang mengejutkan semua orang di sana.

Eris mendekati Thony yang tersenyum. "Kau tidak tampak terkejut. Apakah itu benar dan kau tahu tentang itu?"

"Tentu saja apa yang mereka katakan benar. Kau pikir mengapa Aritoria mau menggelontorkan banyak emas dan mengapa tentara bayaran lebih memihak Ruby dibanding pihak Tzaren? Itu karena kami tahu jika Ruby adalah keturunan Raja Aritoria, pemilik sah sebenarnya dari takhta Aritoria yang dipersiapkan sejak lama," balas Thony.

Eris tertegun. Dipersiapkan sejak lama? "Selama ... apa?"

Thony memegang dagunya. "Hmm ... kau tidak akan menyangka jawabannya."

Pembicaraan Thony dan Eris juga bisik-bisik di aula teralihkan oleh suara Oukha yang besar.

"Hai, bangsa Aritoria! Apa kalian seputus asa itu hingga mengangkat wanita yang tidak jelas asal-usulnya menjadi keturunan raja? Bah! Kalian pikir orang-orang di sini bodoh?! Kalian ingin mengangkatnya agar ada yang bisa kalian jadikan ratu boneka?" seru Oukha. Tenaganya untuk berteriak seolah belum juga habis.

Akan tetapi, bangsawan-bangsawan yang menunduk dan berlutut di aula tidak menanggapi perkataan Oukha. Mereka tidak mengubah posisi sampai kemudian Ruby memerintahkan mereka.

"Bangunlah. Aku telah menerima pernyataan kalian dan menerima kesetiaan kalian."

"Salam sejahtera bagi Yang Mulia Ratu Ruby!"

Setelahnya, para bangsawan Aritoria menegakkan kepala mereka dan kembali berdiri.

"Kalian ternyata sama gilanya dengan wanita itu. Hahaha!" Oukha mulai kehilangan kendali dirinya. "Apa kau meniduri mereka semua agar mereka mengangkatmu menjadi ratu, Ruby?"

Sebuah tangan besar lantas mendorong kepala Oukha hingga menghantam lantai marmer aula.

"Jangan mengucapkan kata-kata tidak pantas pada ratu kami!" geram Jenderal Aritoria. Matanya melotot dengan mengerikan pada Oukha.

"Tenanglah, Jenderal. Kau akan membunuhnya sebelum waktunya," ucap Ruby.

Jenderal Aritoria lantas melepas pegangannya dari kepala Oukha lalu kembali berdiri. Ia membungkuk pada Ruby. "Maafkan saya yang lepas kendali, Yang Mulia."

Oukha mengangkat kepalanya kembali dari lantai dengan susah payah. Napasnya terengah-engah. Darah merembes dari jidatnya yang terhantam dengan kuat.

"Saya sudah menduga ada yang akan mencurigai asal-usul ratu kami," ujar Perdana Menteri Aritoria yang mengarahkan atensi di aula kembali pada dirinya. Ia lalu memberi isyarat agar dua orang yang membawa sesuatu yang ditutupi kain putih untuk naik ke panggung singgasana.

Dua orang yang dimaksud naik ke panggung dan berdiri tepat di samping perdana menteri mereka.

Perdana Menteri Aritoria menarik kain putih penutup sebuah benda yang ternyata adalah lukisan besar dengan pigura emas.

"Ini adalah salah satu lukisan yang terdapat gambar Pangeran pertama Qazhan yang kami sembunyikan lebih dulu sebelum perang besar pertama. Kami menyembunyikannya karena khawatir ada yang akan mengenali ratu kami sebelum waktunya."

Lukisan itu menggambarkan sosok keluarga inti Raja Aritoria terdahulu yang terdiri dari raja, ratu, dua pangeran, juga seorang putri. Raja dan ratu duduk di sebuah kursi mewah tanpa lengan. Sementara anak-anak raja berbaris di belakang kursi.

Seorang pangeran dalam lukisan dengan tubuh paling tinggi, menatap lurus ke depan dan berdiri tepat di antara raja dan ratu. Pangeran tersebut memiliki garis wajah, ekspresi, hingga tatapan yang sama dengan Ruby. Yang membedakan adalah tulang rahang pangeran dalam lukisan lebih tinggi dibanding Ruby dan matanya berwarna hitam keabu-abuan, seperti mata ratu dalam lukisan. Sedangkan anggota keluarga raja lainnya memiliki mata berwarna hijau.

Para bangsawan di dalam aula singgasana lantas mendekat untuk mengamati lukisan dengan lebih jelas. Siapa pun yang melihat, dapat dengan yakin mengatakan jika pangeran dalam lukisan yang berdiri di tengah merupakan versi laki-laki dari Ruby.

"Tidak ... mungkin ...," gumam Oukha.

Terdengar tawa melengking di sudut lain. Entah siapa yang cukup gila untuk tertawa di kondisi seperti itu.

Orang-orang menyingkir untuk mencari asal suara. Ternyata yang tertawa adalah Putri Kleih, tahanan penting dari perang besar yang dibawa serta bersama rombongan Ruby ke dalam aula.

"Ahahaha! Pertunjukan yang menarik. Aku tidak menyangka semua ini!" seru Putri Kleih di tengah-tengah tawanya.

"Ada yang ingin kau katakan, Kleih? tanya Ruby.

Pundak Putri Kleih yang naik turun perlahan-lahan stabil ketika ia mencoba menahan rasa gelinya. Kemudian Putri Kleih menghadap ke arah Ruby dengan tatapan yang tidak menyiratkan ketakutan sedikit pun.

"Yah ... meski aku kalah, aku kalah dari seorang ratu sejati yang juga berdarah mulia. Terima kasih, Ruby. Kau membuatku bangga karena kalah dari seorang ratu sepertimu."

Tiba-tiba Putri Kleih menekuk kakinya seperti sedang memberi penghormatan dengan gaun, meski saat itu ia masih memakai pakaian perangnya.

Sontak seisi aula seakan tersadar. Mereka yang sebagian besar merupakan bangsawan dari berbagai bangsa lantas ikut memberikan penghormatan ke arah singgasana, tanda mereka mengakui sang ratu.





***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top