Chapter 65 - Perang: Seruan Sang Jenderal
Jenderal Kanan Tzaren memimpin puluhan ribu pasukannya dari benteng selatan Bielinca ke arah barat laut. Mereka lebih dulu sampai di suatu lembah bernama Lembah Farsche yang dikelilingi bukit di ketiga sisinya.
Jenderal Kanan Tzaren memerintahkan pasukannya untuk bersembunyi di balik pepohonan di sepanjang bukit dan menjadi satu baris memanjang yang mengelilingi Lembah Farsche.
Di sayap kanan dan kiri formasi Tzaren terdiri dari para pemanah, baik pemanah infanteri maupun pemanah berkuda. Sementara bagian tengah formasi dipenuhi oleh barisan pasukan kavaleri dan infanteri berat Tzaren yang memblokir jalan utama area perbukitan di sana. Jalan utama itu merupakan jalur untuk melintasi bukit melalui sisi landai bukit yang lebar.
Setelah mendapatkan posisi dan jumlah musuh dari mata-mata Tzaren, Jenderal Kanan lantas memanggil satu mayor jenderal bawahan ayahnya yang sudah bertahun-tahun ia yakini kemampuannya.
"Laksanakan sesuai rencana!"
"Baik, Jenderal!"
Si mayor jenderal pun memimpin sekitar dua ribu pemanah berkuda untuk pergi menyambut musuh.
***
Pasukan gabungan Ratu Ruby yang dikerahkan pada perang kali itu terdiri dari prajurit dari bangsa Kraalovna dan bangsa Ezze yang dipimpin oleh dua mayor jenderal dari masing-masing bangsa. Mereka berjalan dalam dua kolom kelompok, memanjang ke belakang untuk menyesuaikan medan yang tidak begitu lebar dan dipenuhi perbukitan.
Barisan infanteri yang berjalan di depan dipimpin oleh seorang Mayor Jenderal Ezze. Sementara pasukan kavaleri di barisan belakang dipimpin oleh Mayor Jenderal Neife dari Kraalovna.
Saat mendekati sebuah bukit yang cukup tinggi, Mayor Jenderal Neife terkejut mendapati kecepatan barisan infanteri berubah. Ia lantas menyuruh seseorang untuk melihat keadaan di garis depan sambil tetap mengekor di belakang.
Orang yang disuruh pun kembali.
"Di depan terdapat pemanah berkuda musuh. Mayor Jenderal Ezze menyuruh infanteri untuk bergegas memperpendek jarak sambil berlindung di balik perisai."
Mendengar laporan tersebut, Mayor Jenderal Neife tersentak.
"Apa yang dia lakukan?! Itu jelas merupakan jebakan! Lekas beri tahu mayor jenderal itu untuk berhenti!"
Terlambat. Mereka sudah masuk dalam jangkauan pemanah Tzaren yang berdiam di atas bukit yang mengelilingi mereka. Ribuan anak panah terbang dari bukit bagai awan hitam, memangsa para prajurit Kraalovna dan Ezze.
Pasukan yang terlambat bereaksi pun gugur seketika. Sementara yang lain sontak mengangkat perisai-perisai mereka untuk menahan serangan panah sambil merapatkan barisan agar tidak banyak celah tercipta.
"Berlindung! Gunakan perisai kalian!" seru para kapten.
"Tahan posisi! Biarkan musuh yang turun dari bukit!" Mayor Jenderal Neife juga berseru dan perintahnya diteruskan oleh kapten tiap unit pasukan.
Setelah beberapa saat bertahan di bawah serangan ribuan panah, seorang prajurit mendekati Mayor Jenderal Neife. Ia menyampaikan pesan dari Mayor Jenderal Ezze yang mengatakan jika mereka sebaiknya menyerbu ke atas bukit mengingat jumlah mereka lebih banyak dari musuh.
Mayor Jenderal Neife tidak langsung membalas usulan tersebut. Ia mempertanyakan dalam hati tentang mana yang lebih baik, mundur untuk melepaskan diri dari kepungan atau maju menerjang barisan musuh? Faktor keunggulan jumlah pasukan mereka memang menjadi pertimbangan tersendiri.
Belum sempat Mayor Jenderal Neife memutuskan, pasukan infanteri Ratu Ruby sudah mulai bergerak dan berpencar. Lagi-lagi Mayor Jenderal Ezze tidak menunggu pendapatnya. Sedetik kemudian, sadarlah dirinya bahwa pesan-pesan yang disampaikan padanya bukan merupakan pernyataan yang meminta pendapat, melainkan sebuah perintah di mata Mayor Jenderal Ezze.
Mayor Jenderal Neife tidak lagi sempat menarik mundur pasukan infanteri. Ia menyuruh kavaleri-kavaleri yang dipimpinnya agar merapat dan tetap berlindung di balik perisai sampai hujan panah berhenti. Ia tidak ingin bertindak gegabah hanya karena jumlah mereka nyaris dua kali lipat dari musuh. Ada banyak perang di masa lampau yang dimenangkan oleh pihak yang memiliki jumlah pasukan lebih sedikit dari lawan.
Infanteri berat Ratu Ruby bergerak ke selatan untuk membuka barikade di jalur utama. Mereka ditugaskan ke sana karena yang memblokade adalah kavaleri dan infanteri berat Tzaren. Selain itu, infanteri berat lebih cocok dengan jalur landai, mereka akan kesulitan mendaki bukit melalui sisi lain karena peralatan perang mereka yang berat juga tebal.
Sementara pasukan infanteri biasa memanjat sisi bukit yang tidak landai sambil membawa perisai biasa dan di bawah hujan anak panah. Jika ada dari mereka yang terkena panah dan terguling ke bawah bukit, maka ia bisa saja menyeret rekannya untuk ikut terjatuh lalu kemungkinan mereka akan disambut anak-anak panah ketika sampai ke bawah.
Meski mulai berguguran terkena panah, tapi ada cukup banyak pasukan infanteri Ratu Ruby yang berhasil mencapai puncak bukit setelah perjuangan pendakian yang melelahkan. Mereka akhirnya dapat melakukan kontak dengan musuh menggunakan pedang.
Pasukan Tzaren yang berada di atas bukit pun menyimpan busur mereka dan menggantinya dengan pedang juga. Pertarungan jarak dekat tidak dapat dihindari lagi, hujan panah lantas berhenti.
Mayor Jenderal Ezze melihat dari tengah pasukan sambil dikelilingi prajurit pengawalnya. Sementara Mayor Jenderal Neife mengamati perang dari baris paling belakang.
Sekalipun berada di posisi yang lebih jauh, Mayor Jenderal Neife dapat melihat jika pasukan infanteri berat Ezze yang mendobrak barikade jalur utama bukit tampak kesulitan melawan kavaleri dan infanteri berat Tzaren. Apalagi mereka dalam posisi yang menanjak, meski jalurnya lebih landai, sambil memakai zirah juga perisai yang lebih berat dibanding yang dipakai infanteri biasa. Ia lantas menyuruh seluruh kavaleri berat Kraalovna untuk membantu barisan tengah.
Karena keputusan Mayor Jenderal Neife, barisan tengah berhasil bertahan. Bahkan 2.000 kavaleri berat Tzaren yang mengapit bagian tengah formasi kesulitan menghalau 3.000 kavaleri berat Kraalovna yang tiap individunya memiliki kekuatan setara dengan mereka.
Di sisi lain, pasukan Tzaren semakin terdesak ketika infanteri Ezze berhasil menutup jarak dan melakukan pertarungan jarak dekat yang menjadi keunggulan prajurit Ezze.
Jenderal Kanan Tzaren mendapati sayap kanan formasi masih bisa bertahan di bawah pengawasan mayor jenderalnya yang juga turun langsung menghalau musuh. Perhatiannya pun berpindah ke sayap kirinya yang tampak terdesak.
Ketika sayap kiri pasukannya terpukul mundur hingga banyak korban dari pihaknya yang berjatuhan, Jenderal Kanan akhirnya turun tangan bersama kavaleri elite yang mengawalnya. Mereka membantu sisi kiri yang kacau, karena jika dibiarkan mereka akan terimpit oleh pasukan musuh, kondisi yang sangat dihindari pasukan mana pun.
Jenderal Kanan mondar-mandir di sepanjang sayap kiri barisan prajuritnya agar pasukannya menyadari kehadirannya. Zirahnya yang berbeda dan jauh lebih mewah dari zirah kavaleri berat sekalipun, membuatnya lebih mudah dikenali pasukannya.
Hanya kehadiran seorang jenderal di sekitar mereka saja sudah bisa menaikkan moral prajurit di medan perang. Apalagi jika sang jenderal meneriakkan kata-kata penyemangat yang bisa menyentuh hati para prajurit.
"Teruskan perjuangan! Bantai musuh! Kalian adalah harapan Tzaren! Kalian adalah harapan anak dan istri kalian! Semua demi bangsa Tzaren! Balaskan dendam leluhur kita! Balaskan dendam rekan kalian yang mati!"
Ketika moral pasukannya mulai membaik mendengar teriakannya, Jenderal Kanan Tzaren kembali berteriak lebih kencang lagi.
"AKU, JENDERAL KANAN TZAREN, BERSAMA KALIAN! AKU TIDAK AKAN MUNDUR DARI PERTEMPURAN INI! JIKA KITA KALAH, KITA AKAN MATI BERSAMA DI SINI!"
Seruan itu makin mengobarkan daya juang prajurit Tzaren yang mendengar. Para kapten memberi sahut-sahutan yang mirip dengan kata-kata sang jenderal demi mendorong moral prajurit mereka.
"MATI ATAU MENANG, KITA HADAPI BERSAMA!"
Seolah mendapat kekuatan entah dari mana, pasukan Tzaren yang awalnya merasa kalah juga lelah, berhasil mendorong balik dan menghabisi satu demi satu prajurit musuh. Pasukan sayap kiri yang menyadari jika sang jenderal ikut berjuang di sekitar mereka, dapat mendorong balik sisi kanan pasukan musuh dengan cepat.
Pilihan bagi pasukan Tzaren hanya mati atau menang. Jika tidak menang, maka mereka akan mati oleh musuh atau mati di tangan pemimpin perang, karena Putri Kleih telah memberi ultimatum: siapa pun yang lari dari musuh pada perang besar, kepalanya akan dipenggal. Sementara menyerah pada musuh tidak lagi dapat menjadi opsi ketika perang yang mereka lakukan saat itu adalah perang dengan tujuan menghabisi bangsa yang kalah sampai ke akar-akarnya.
Aku ingin hidup! Aku harus menang jika ingin hidup!
Itulah yang terngiang-ngiang di kepala para prajurit Tzaren.
Begitu sisi kiri Tzaren bisa membalikkan keadaan dan semakin mendesak lawan, maka sisi kanan pasukan Ratu Ruby ganti menjadi pihak yang terdesak.
Mayor Jenderal Neife yang melihat sisi kanan pasukannya mulai berjatuhan, dengan cepat mengarahkan sisa kavaleri Ezze ke sana untuk membantu.
Kavaleri Ezze mencoba memutar ke bagian belakang prajurit musuh melalui jalur yang sedikit lebih landai dibanding sisi tebing yang dipanjat pasukan infanteri agar kuda-kuda perang mereka bisa mencapai puncak bukit. Mereka kemudian mendapat perlawanan sengit dari pemanah berkuda Tzaren. Banyak dari mereka yang berjatuhan terkena panah.
Ketika akhirnya kavaleri Ezze semakin dekat, pemanah berkuda Tzaren mengganti senjata mereka dengan pedang dan kedua prajurit saling menerjang.
Kavaleri Ezze yang malang tidak mengetahui jika jenderal musuh beserta prajurit elite yang mengawal sang jenderal berada di sisi itu. Kavaleri Ezze pun mendapatkan perlawanan sengit yang tidak mereka sangka sebelumnya. Mereka yang tadinya ingin mengimpit lawan justru mereka yang terimpit. Mereka diserang dari banyak arah lalu mulai berguguran dengan cepat.
Seruan-seruan penyemangat, baik dari rekan sesama prajurit atau dari para kapten, pun menyebar hingga ke bagian tengah formasi Tzaren yang sedang terdesak. Prajurit di bagian tengah barisan Tzaren akhirnya bisa kembali memukul mundur pasukan lawan setelah berbagai sorakan membakar semangat mereka.
Pada akhirnya, kedua Mayor Jenderal dari Kraalovna dan Ezze terpaksa ikut turun berperang karena keadaan mereka berbalik dengan cepat. Mereka semakin terdesak dengan jumlah pasukan yang menurun drastis.
Mayor Jenderal Neife bergerak lebih dulu untuk membantu pasukan yang mendobrak barisan tengah lawan. Karena merasa malu jika tidak ikut terjun mengadang pasukan, Mayor Jenderal dari Ezze pun bergegas bersama prajurit pengawalnya ke sisi kiri untuk menghalau sayap kanan musuh, meski sebenarnya ia hanya mengawasi dari bawah bukit karena kuda berzirahnya tidak dapat menanjak sisi bukit yang tidak landai.
Akan tetapi, pasukan gabungan Ratu Ruby tidak dapat membendung tekad prajurit Tzaren.
Prajurit di sayap kiri Tzaren berhasil mendorong prajurit musuh hingga terjatuh dari tebing dan mundur jauh, membuat pasukan musuh terkepung dalam lingkaran prajurit mereka.
Di tengah suasana yang genting itu, Mayor Jenderal Ezze yang putus asa dan takut mati berlari kabur keluar dari kepungan sebelum benar-benar terkepung oleh prajurit Tzaren. Hal tersebut membuat moral pasukan Ratu Ruby makin runtuh.
Keadaan pasukan gabungan Ratu Ruby diperparah dengan gugurnya Mayor Jenderal Neife di tangan kavaleri berat Tzaren.
Prajurit-prajurit Ratu Ruby yang memakai jubah berwarna merah dan biru laut itu lantas mencoba mendobrak kepungan musuh dengan susah payah agar bisa kabur. Segala serangan terkonsentrasi ke utara, arah kedatangan mereka. Begitu celah kepungan terbuka, mereka melarikan diri ke berbagai arah.
Akan tetapi, panah-panah pasukan Tzaren menghabisi sebagian besar prajurit Ezze dan Kraalovna yang berhasil kabur dari kepungan mereka.
Sisa dari puluhan ribu prajurit gabungan Ratu Ruby tersebut berlari ketakutan dan tak berhenti sekalipun hingga mencapai Kota Ancarol.
***
Air mengalir kembali. Sungai yang melintasi Kota Ancarol terisi lagi.
Itu merupakan bukti jika pasukan yang pergi ke tenggara berhasil membuka blokade sungai dan memenangkan perang, mengatasi masalah air yang belakangan sudah menyulitkan penghuni kota.
Para penduduk lantas bersorak menyambut prajurit pemenang perang sambil melempar bunga pada iring-iringan prajurit yang melintasi jalan-jalan kota, wujud dari rasa terima kasih mereka.
Para prajurit Ratu Ruby yang sukses melaksanakan misi, masuk ke dalam Kota Ancarol melalui bagian kota sebelah kanan. Mereka masuk dengan kepala tegak dan perasaan bangga. Senyum mereka mengembang begitu melihat limpahan air yang berkilauan ditimpa cahaya matahari mengalir melewati jembatan besar yang menghubungkan dua bagian kota yang terpisah oleh sungai. Mereka harus melintasi jembatan tersebut untuk menuju kastil tempat sang ratu menunggu mereka.
Sambutan dari penduduk yang berada di sisi kota sebelah kiri sungai sama meriahnya dengan keceriaan penduduk di sisi kota sebelah kanan. Para penduduk berdesakan di sepanjang jalur hingga ke kastil seperti pagar yang mengarahkan langkah kaki prajurit. Tatapan-tatapan kagum terpancar dari mata mereka.
Ruby menyambut tentara bayaran Aritoria dan pasukan Kerajaan Bielinca di halaman kastilnya, meski halaman kastil itu hanya bisa menampung barisan depan prajurit saja dan yang lain mengantre dengan sabar di belakang.
Thony yang berjalan paling depan disusul Jenderal Bielinca pun menghampiri sang ratu. Keduanya segera berlutut, tapi hanya Thony yang dengan beraninya mencium punggung tangan Ruby.
"Kami mempersembahkan kemenangan dan air yang mengalir untuk Yang Mulia," ucap Thony.
Ruby tersenyum. "Kerja bagus. Beri balasan yang sesuai untuk mereka yang telah bertugas."
"Akan saya laksanakan, Yang Mulia. Tapi ada kabar buruk yang saya terima di perjalanan."
Ruby menarik tangannya. "Apa itu?"
"Mereka akan segera kembali. Seharusnya mereka dalam perjalanan kemari."
Seorang prajurit berjubah merah tiba-tiba datang menaiki kuda dengan tergopoh, menerobos barisan prajurit Bielinca dan tentara bayaran Aritoria. Ia tampak kotor juga kepayahan. Begitu masuk pelataran kastil, ia turun dari kudanya lalu mendatangi ratunya. Ia berlutut dan menundukkan kepala sedalam mungkin.
"Bagaimana hasilnya, Mayor Jenderal?" tanya Ruby tajam pada Mayor Jenderal Ezze yang ia tugaskan untuk penyerangan di barat daya Kota Ancarol.
Meski dapat menebak hasil dari perang di sana, Ruby ingin mendengar langsung dari si mayor jenderal.
Mayor Jenderal Ezze menelan ludah dan tidak berani mengangkat kepala.
"Kami kalah, Yang Mulia."
"...." Ruby terdiam lama. Keheningan yang diciptakannya membuat suasana meriah penyambutan pahlawan perang berubah menjadi tegang. "Berapa prajurit yang selamat?"
"Sa-saya belum bisa memastikan, Yang Mulia."
"Berapa prajurit yang kembali di sampingmu?"
"Semua prajurit pengawal saya berhasil selamat. Mereka ada sekitar 50 orang, Yang Mulia." Mayor Jenderal Ezze masih bertanya-tanya dalam hati ke mana arah pertanyaan tersebut.
"Di manakah Mayor Jenderal Neife?"
"Be-beliau gugur, Yang Mulia."
Mata Ruby menyipit. Ia memanggil Jenderal Eris dan yang dipanggil langsung mendekat.
"Tangkap Mayor Jenderal Ezze bersama prajurit pengawalnya! Interogasi mereka secara terpisah!"
Tanpa banyak bicara, Eris menyuruh beberapa anak buahnya untuk menangkap orang-orang yang disebutkan Ruby.
"Ya-Yang Mulia! Apa ... apa salah saya?!" Mayor Jenderal Ezze mencoba memberontak saat beberapa orang dengan surai perak menahannya.
Ekspresi Ruby menggelap.
"Salahmu adalah kabur dari perang sendirian di saat yang lain mempertaruhkan hidup mereka. Kalau kalian memang mundur karena terdesak, maka Mayor Jenderal Neife tidak akan gugur. Tapi jika kau selamat sendirian dan pengawalmu utuh, itu berarti kau kabur lebih dulu." Ruby menoleh pada Eris. "Cari tahu apa yang terjadi! Termasuk dari prajurit lain yang berhasil selamat."
***
Putri Kleih memandang air sungai yang mengalir dari lantai teratas benteng selatan Bielinca. Air segar itu menjadi pertanda bahwa pasukannya yang dikirim ke hulu sungai kalah sehingga blokade di hulu sungai terbuka.
"Mayor Jenderal itu kembali bersama beberapa pengawalnya, Yang Mulia. Tidak ada prajurit lain yang selamat," ucap Jenderal Kiri.
"Penggal kepala mereka dan jajarkan di jalan masuk kamp prajurit!" balas Putri Kleih tanpa menoleh. Ia melanjutkan dengan suara dingin. "Sebagai peringatan bahwa tidak ada ampun bagi yang kabur dari perang."
"Baik, Yang Mulia."
Kepulan debu di kejauhan menarik perhatian Putri Kleih. "Apakah itu prajurit Jenderal Kanan?"
"Kemungkinan, Yang Mulia. Saya mendapat kabar bahwa mereka sedang dalam perjalanan kembali."
Putri Kleih membalikkan badan dan memasuki pintu kastil.
"Kuharap ia membawa kabar baik."
***
Suasana gegap gempita menyambut Jenderal Kanan dan para prajurit Tzaren yang kembali membawa kemenangan. Memang banyak prajurit mereka yang gugur, tapi lebih banyak lagi prajurit musuh yang meregang nyawa hingga nyaris tidak tersisa. Padahal jumlah prajurit mereka lebih sedikit dibanding musuh.
Para prajurit Tzaren yang tinggal di benteng berdiri seperti pagar di sisi jalur yang dilewati prajurit pemenang perang sambil bertepuk tangan, ikut senang akan kemenangan rekan mereka.
Iring-iringan militer itu terus berjalan memasuki benteng selatan Bielinca dan berhenti di depan pintu utama benteng. Seperti biasa, Putri Kleih sudah berdiri di depan benteng untuk menyambut pasukan yang kembali dari medan perang.
Jenderal Kanan berlutut menyerahkan kepala Mayor Jenderal Neife dari Kraalovna.
Putri Kleih tersenyum menerima pemberian itu. Ia memainkan kepala sang mayor jenderal di tangannya lalu menyerahkan kepala tersebut pada bawahannya.
"Pasang di tombak dan pajang di depan gerbang!" ucap Putri Kleih.
"Baik, Yang Mulia!"
Putri Kleih kembali menatap Jenderal Kanan.
"Kau tidak mengecewakanku, Jenderal. Kau telah membuktikan kemampuanmu yang luar biasa. Berdirilah."
Jenderal Kanan pun berdiri.
Putri Kleih sedikit mendongak karena sekalipun seorang wanita, Jenderal Kanan memiliki tubuh yang lebih tinggi dan cukup kekar dibanding laki-laki pada umumnya. Seorang wanita dengan masa lalu buruk karena fisiknya yang mengintimidasi para laki-laki hingga membuatnya lebih memilih memakai zirah dibanding memakai gaun, berpedang dibanding bersolek, dan merangkai strategi dibanding merangkai bunga.
Jenderal Kanan, prajurit yang sering menjadi rekan latihan berpedang Putri Kleih itu, sudah dikenal sang putri sejak lama. Seorang yang cakap tapi penuh luka, sama seperti dirinya. Mereka berdua merupakan anggota keluarga dari bangsawan tinggi yang berusaha untuk berguna agar tidak dibuang kedua orang tua mereka kapan saja.
Putri Kleih memberi isyarat, kemudian sebuah kereta kuda datang mendekat.
"Di dalam ada hadiah untuk pencapaianmu. Itu adalah sebagian kecil rampasan perang Innist."
Hanya dengan melirik sekilas, Jenderal Kanan dapat melihat peti-peti emas dan kain-kain mahal yang mengintip dari kaca jendela kereta kuda. Ia pun membungkuk pada tuannya.
"Terima kasih, Yang Mulia."
Putri Kleih menoleh ke barisan prajurit yang mengular.
"Pada setiap kepala yang gugur, aku akan menjamin hidup keluarga yang kalian tinggalkan. Tapi jika kalian selamat hingga perang ini berakhir, aku akan memberi kalian hadiah yang setimpal dan aku akan memastikan hingga ke tingkat prajurit terendah bahwa hak kalian tidak akan dikurangi," ucap Putri Kleih dengan suara lantang. Kata-katanya pun diteruskan hingga ke bagian belakang prajurit.
Senyum prajurit-prajurit Tzaren yang hadir di sana mengembang.
"Hidup Tzaren!" Putri Kleih berseru dengan tangan mengepal ke atas.
Seruan itu menghasilkan gelombang suara yang menggetarkan hati para prajurit.
"Hidup Tzaren! Hidup Tzaren! Hidup Tzaren!"
***
Target utama telah jatuh di tangan musuh. Mereka muncul entah dari mana dan membuka gerbang, menyebarkan pembantaian seperti yang mereka lakukan di tempat-tempat sebelumnya.
Orang-orang berkedudukan tinggi di sana mencoba kabur, tapi mereka telah dikepung dari berbagai sisi. Tidak sekali pun terlintas dalam benak mereka bahwa orang-orang itulah yang akan menginjakkan kaki pada tempat tertinggi di sana, menguasai peradaban yang ratusan tahun dibangun dengan susah payah.
Si mahkota menatap nanar pada benda di tangannya, sebuah kotak persegi dengan ukiran di berbagai sisi itu kini ternoda darah. Ia berpaling ke kertas putih di atas meja. Tangannya bergetar ketika mengambil pena, mengerahkan sisa-sisa kekuatannya untuk menulis kalimat-kalimat terakhirnya.
Ia lantas melipat kertas tersebut, menaruh dan membungkusnya di sehelai kain sutra berwarna merah bersama dengan kotak berukir tadi. Setelah diikat, ia memberikannya pada seseorang yang berpakaian serba hitam di sebelahnya.
"Apa pun yang terjadi, ini harus sampai padanya!"
Orang berpakaian serba hitam itu meraih bungkusan lalu mengangguk. Ia tidak membuang-buang waktu dan segera menyusup keluar dari kekacauan yang ada di sana. Ia yakin dirinya dapat melaksanakan tugas terakhir si mahkota, karena dirinya yang terbaik di kelasnya.
Si mahkota merapikan hiasan kepalanya lalu duduk dengan punggung dan kepala tegak sebagai upaya untuk mempertahankan sisa kehormatannya, sebelum para perusak memisahkan jiwa dari raganya.
***
>>Komposisi perang terkini<<
*Note:
-Belligerents: Pihak-pihak (utamanya kerajaan/negara) yang terlibat dalam perang
-Cavalries: pasukan berkuda
-Infantries: infantri/pasukan jalan kaki
-Special Squads: pasukan khusus (pasukan dengan misi khusus dan kemampuan tiap anggotanya di atas rata-rata)
***
>>Fun Fact<<
Perang aslinya tidaklah seperti di film-film, di mana terlihat semua prajurit menerjang maju dan saling menyerang. Jika terjadi seperti itu, maka prajurit akan kebingungan membedakan mana kawan mana lawan di tengah kekacauan medan perang. Pedang atau tombak bisa salah sasaran.
Perang di zaman dulu dilakukan dalam formasi dan barisan yang berlapis. Ketika kedua pihak bertemu, biasanya yang saling bertarung adalah barisan pertama. Begitu barisan pertama kelelahan, terluka, atau gugur, maka barisan selanjutnya yang akan maju berhadapan dengan musuh. Prajurit yang terluka atau kelelahan bisa mundur terlebih dahulu, digantikan oleh rekan mereka yang masih bugar.
Prajurit yang berlapis-lapis membuat perang bisa berlangsung hingga berjam-jam lamanya dengan hanya sedikit prajurit yang gugur, sebelum kedua belah pihak menarik diri untuk beristirahat. Ya, biasanya ketika sudah malam, kedua pihak yang berperang akan beristirahat karena mereka manusia bukan robot. ^^
Hal tersebut juga berarti perang di zaman dulu tidaklah semematikan yang ada di film. Sebagian besar perang tidak berakhir hingga orang terakhir mati. Kabur atau mundur dari peperangan yang tidak menguntungkan umum terjadi, begitu pula dengan mengibarkan bendera putih (menyerah).
Beberapa prajurit yang tertangkap antara dibunuh, dijadikan budak, atau dipaksa bertarung di sisi pihak yang menang. Sedangkan raja/pemimpin perang yang tertangkap antara dibunuh, dijadikan tawanan, atau dibebaskan dengan membayar upeti.
Dikatakan pula, perang modern lebih mematikan dibanding perang masa lampau karena satu peluru senjata modern bisa membunuh dari jarak yang jauh. Jika dibandingkan dengan senjata modern, seseorang lebih bisa bertahan hidup ketika terkena serangan dari senjata yang digunakan di masa lampau.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top