Chapter 60 - Perang: Rumah-Rumah Kosong
Membangun jembatan baru yang bisa dilewati gerobak-gerobak logistik bukanlah perkara mudah dan membutuhkan waktu. Karenanya, Sirgh mengutus pembawa pesan untuk pergi ke sebuah kota yang terletak sedikit jauh ke arah barat agar kota di sana mengirimkan bahan makanan. Namun, pembawa pesan kembali dalam keadaan sekarat.
Kota itu ternyata telah dikuasai prajurit Kraalovna yang kabur dan mereka mendapatkan dukungan Putri Freyja, penguasa istana Kraalovna yang baru.
Sirgh terpaksa bergerak ke selatan, ke kota besar lain yang dekat dengan Kerajaan Ezze.
Sirgh beralih ke kota di selatan yang bisa dijangkau pasukannya sebelum mereka kehabisan bahan pangan. Sirgh langsung menuju ke sana bersama seluruh pasukannya, meninggalkan benteng barat Bielinca. Ia bergerak secara masif ke selatan selain karena perubahan strategi perang, ia juga sudah bertekad akan memerangi siapa saja andaikan kota di selatan itu juga telah dikuasai prajurit Kraalovna yang kabur. Bahkan jika diperlukan, Sirgh akan menghabisi tiap penduduk yang mengetahui kabar dari istana.
Ketika sampai di kota selatan yang dekat dengan perbatasan Kraalovna-Ezze, pintu terbuka lebar untuk Sirgh dan seluruh pasukannya. Mungkin karena kota itu jauh di bagian tenggara kerajaan, penguasa di sana belum mendapatkan berita tentang Putri Freyja yang mengambil alih istana.
Tuan tanah di kota tersebut menjamu Sirgh dan memberikan persediaan pangan kota untuk bekal para prajurit yang akan terus berjalan memasuki Kerajaan Ezze. Si tuan tanah juga bersedia menjadi sumber logistik bagi pasukan Sirgh.
Sirgh meninggalkan seorang kapten dengan unit pasukannya untuk berjaga di kota selatan demi mencegah berita istana tiba-tiba sampai. Mereka akan memastikan berita dari istana tidak tersebar di sana.
Perjalanan puluhan ribu prajurit itu ditunda beberapa hari di kota selatan karena menunggu perbekalan selesai dimuat ke gerobak logistik. Setelah memastikan masalah logistik teratasi, Sirgh langsung menuju perbatasan, bergerak dengan niat menyerbu wilayah utara Kerajaan Ezze.
***
Pasukan Tzaren yang dipimpin Putri Kleih telah sampai di perbatasan utara Kerajaan Innist. Barisan puluhan ribu pasukan mereka membentang sejauh mata memandang dan tidak gentar menatap benteng selatan Bielinca yang menjulang di hadapan.
Benteng selatan Bielinca tidaklah sekokoh benteng baratnya. Meski benteng itu juga memiliki dua lapis dinding pertahanan, tapi ia berukuran lebih kecil dibanding benteng barat dan trebuchet yang tersedia tidak banyak.
Untuk menutupi kekurangan tersebut, benteng selatan memiliki parit pertahanan bertipe basah yang diisi air, membuat paritnya tidak mudah ditutupi material seperti yang dilakukan pada parit di benteng barat. Selain itu, kota besar di dekat benteng selatan merupakan kota militer yang banyak dihuni prajurit dan keluarga mereka, sehingga bantuan akan datang dengan cepat ketika terjadi sesuatu di benteng selatan. Kota bernama Kota Ancarol itu terbelah oleh sungai menjadi dua bagian besar yang berhadap-hadapan.
Air di parit pertahanan berasal dari sungai yang bercabang ke arah benteng selatan. Sungai tersebut pula yang menjadi jalur logistik untuk menyuplai benteng.
Tzaren berniat mengambil benteng selatan Bielinca karena benteng tersebut menjaga jalur untuk memasuki wilayah dalam Kerajaan Bielinca dari arah selatan. Pasukan mereka pun berkemah di dekat benteng selatan yang terbagi ke dalam tiga perkemahan besar: di seberang kanan, tengah, dan kiri benteng.
Setelah tenda-tenda didirikan untuk puluhan ribu prajurit Tzaren beserta dinding kayu untuk melindungi area tenda, mereka segera merakit alat-alat untuk menyerang kastil. Terdapat trebuchet dan papan-papan kayu sebagai alat yang membantu awal-awal penyerangan.
Pihak Tzaren segera bergerak begitu segalanya telah siap. Mereka membangun banyak trebuchet untuk menyerang satu titik di dinding perbatasan benteng kanan.
Bukanlah perkara mudah untuk menghancurkan tembok tebal kastil hanya dengan menggunakan trebuchet. Namun, suara dentuman atau batu-batu salah sasaran yang justru terbang melewati atas dinding dan jatuh di bagian dalam kastil dapat membuat gelisah para penghuni benteng. Mendengarnya sepanjang waktu juga bisa membuat seseorang tertekan.
Meski musuh hanya terus-terusan melemparkan proyektil melalui trebuchet, pihak Ezze yang sedang menguasai benteng selatan tetap waspada. Mereka tidak pernah melonggarkan penjagaan sampai ke bagian terpencil benteng sekalipun. Bahkan mereka sudah mempersiapkan batu-batu hingga karung-karung berisi tanah untuk berjaga-jaga ketika bagian tembok yang diserang sewaktu-waktu hancur, mereka dapat dengan cepat menutupi bagian tembok menggunakan material tersebut.
Akan tetapi, yang tidak diketahui pihak Ezze adalah, bahwa penyerangan di sisi kanan benteng hanyalah pengalih perhatian yang dilakukan oleh Tzaren.
Sesaat setelah pembangunan kamp-kamp prajurit di tiga titik selesai, Tzaren langsung menggali tanah di kamp sebelah kiri yang lubangnya ditutupi oleh sebuah tenda besar agar tidak terlihat dari luar. Mereka berniat untuk menggali terowongan yang akan tembus ke sisi kiri benteng. Meski berasal dari satu lubang besar, ketika mencapai kedalaman tertentu, terowongan yang digali bercabang cukup banyak sampai berjumlah sepuluh buah.
Sama seperti usaha menghancurkan tembok menggunakan trebuchet, penggalian terowongan hingga tembus ke dalam benteng juga membutuhkan waktu. Tanah-tanah bekas galian pun harus dibuang jauh untuk menghindari kecurigaan musuh.
Penggalian terowongan dilakukan secepat mungkin dengan memanfaatkan budak-budak perang dari Kerajaan Innist. Mereka dipaksa bekerja bergantian sehingga penggalian terowongan bisa dilakukan selama seharian penuh tanpa terputus.
Penggalian terowongan tersebut tidak disadari oleh pihak Ezze karena pada saat itu, tidak ada kerajaan yang cukup gila untuk menggali terowongan menembus bagian bawah tanah benteng yang dikelilingi oleh parit basah.
Air dari parit dapat menembus tanah yang sedang digali dan akan membanjiri terowongan. Namun, Tzaren bukannya tidak mengetahui hal tersebut. Mereka telah menyiapkan cara untuk mengatasinya.
***
"Berita dari benteng barat mengabarkan jika Raja Sirgh memutar haluan ke selatan, mereka akan menyerang Kerajaan Ezze. Mereka sudah dalam perjalanan menuju ke kota paling tenggara Kerajaan Kraalovna," ucap Jenderal Ezze pada saat rapat dilaksanakan di tengah kepungan tentara Tzaren. Ia berkata sambil kembali membaca isi gulungan surat yang baru saja sampai di hari itu.
Jenderal Ezze mengadakan rapat setelah datang surat dari benteng barat Bielinca terkait keadaan di sana. Beberapa yang hadir adalah petinggi-petinggi militer Ezze, di mana hampir semua petinggi militer beserta kesatria-kesatria elitenya ditempatkan di benteng selatan, sementara sebagian besar prajurit yang ada di benteng barat hanyalah prajurit biasa.
"Sesuai dengan apa yang diperkirakan," komentar Thony.
"Ya. Dan setengah dari prajurit di benteng barat sudah bersiap untuk bergerak kemari," lanjut Jenderal Ezze. Matanya masih menelusuri gulungan kertas di tangannya.
"Apakah kita masih akan bersikap defensif?" tanya seorang Mayor Jenderal Ezze. Sesaat setelah ia bertanya, terdengar dentuman keras yang akhir-akhir itu menjadi bunyi yang akrab di telinga penghuni benteng selatan. Suara dari proyektil yang menghantam dinding pertahanan.
"...." Jenderal Ezze menggulung kertas di tangannya. "Ratu Ruby mengungkapkan di surat jika ada dua kemungkinan yang harus diwaspadai. Pertama, kemungkinan serangan di selat yang membuat adanya ancaman logistik dan kemungkinan kekalahan jika perang meletus di sana. Kedua, pihak Tzaren bisa saja mencari cara untuk memblokir logistik yang berasal dari Kota Ancarol. Terkait hal terakhir, aku sudah menyiagakan beberapa regu patroli di sepanjang sungai menuju utara. Sedangkan untuk kemungkinan pertama ... saat ini masih sulit menilainya, tapi akan merepotkan jika mereka menguasai selat."
Pihak Ezze masih mendapatkan bantuan dari kerajaan asal mereka dalam hal pendanaan, beberapa suplai, dan tentara yang hilir mudik. Itu merupakan perjalanan laut yang berbahaya, di mana mereka mengangkut peti-peti emas juga kebutuhan untuk perang di dekat wilayah Tzaren. Mereka akan mendapatkan kerugian besar jika kapal dibajak oleh musuh.
"Mengapa kita tidak menyerang pangkalan militer Tzaren di Selat Khazan? Sepertinya hampir semua prajurit mereka ada di sini. Pangkalan itu pasti tidak sekuat biasanya," cetus seseorang.
"Jika kita mengirimkan pasukan, pihak Tzaren pasti waspada akan pergerakan kita," lanjut Jenderal Ezze.
"Sebenarnya ...." Thony berceletuk. "Jika prajurit Ezze yang bergerak tentu akan diketahui oleh musuh karena terlihat mencolok. Saya rasa tentara bayaran lebih cocok untuk tugas ini. Kami bisa bergerak dalam diam meski membutuhkan waktu lantaran harus menghindari pantauan mata-mata Tzaren."
Jenderal Ezze kembali terdiam. Tidak lama kemudian ia memutuskan sesuatu. "Aku rasa kata-kata pemimpin tentara bayaran ada benarnya. Melihat pergerakan Tzaren saat ini, sepertinya tidak akan ada ancaman berarti sampai datangnya pasukan tambahan dari benteng barat. Semoga mereka tidak mengetahui jika sebagian pasukan kita di sini bergerak ke arah lain."
***
Seperti pihak Ezze yang mendapatkan surat terkait kondisi di benteng barat, pihak Tzaren pun mendapat laporan serupa. Namun, mereka menerima berita lebih dulu karena Sirgh mengirimkan surat sesaat setelah kejadian kaburnya prajurit Kraalovna.
Ketika membaca surat, Putri Kleih segera mengumpat keras akan ketidakbecusan Sirgh. Ia lantas segera mengadakan rapat saat itu juga.
"Bagaimana mungkin Raja Sirgh kehilangan puluhan ribu prajurit Kraalovna seperti itu?! Beliau bahkan gagal mendapatkan benteng barat Bielinca setelah sesumbar bahwa mendapatkan benteng barat adalah perkara kecil baginya!" geram seorang petinggi militer Tzaren.
"Dan mengapa ada keturunan Raja Kraalovna terdahulu yang masih hidup lalu mengambil alih takhta?!" seru seseorang bermata tajam.
"Pantas saja kita kehilangan kontak dengan orang-orang di ibu kota Kraalovna! Aku pikir .... Ah, sial!" gerutu yang lain.
"Sekarang di mana raja menyedihkan itu? Apa yang dia lakukan setelah kehilangan banyak pasukan?" tanya Jenderal Kiri Tzaren pada Putri Kleih yang menggenggam gulungan surat dengan keras hingga gulungan tersebut mengerut.
Putri Kleih mengembuskan napas keras. "Dia berkata bahwa dia memutuskan untuk menyerang Kerajaan Ezze. Dia akan mengambil alih istana Ezze yang sedang minim penjagaan sekaligus menghabisi Ratu Innist yang kabur ke sana."
"Apakah hal itu akan berhasil?" cetus seseorang.
"Jumlah pasukan kebangsaan Kraalovna masih ada sekitar 12.000 orang dan pasukan kita ada sekitar 14.000 orang. Sejujurnya jumlah itu cukup untuk mengambil alih ibu kota yang minim penjagaan. Tapi kepercayaanku pada Sirgh tidak lagi sebesar dulu," jawab Putri Kleih sambil memijit keningnya. "Aku tidak percaya dia kalah melawan Ratu Ezze dan Jenderal baru Bielinca yang belum lama menjabat!"
"Saya yakin ada keterlibatan Ratu Ezze pada penyebaran kabar kudeta istana Kraalovna. Ada kemungkinan Ratu Ezze bekerja sama dengan Putri Raja Kraalovna terdahulu yang melakukan kudeta," sambung Jenderal Kiri.
"Ratu Ezze ...." Putri Kleih bergumam. Ia berusaha mengukir nama sang ratu musuh dalam ingatannya. Batu sandungan yang tidak ia duga sebelumnya. Aku pikir ratu muda itu hanyalah boneka Oukha. Tapi Oukha di ambang kematian. Ratu Ezze sepertinya tidak seremeh perkiraanku ....
Semua yang ada di ruangan setuju akan kemungkinan yang diungkapkan Jenderal Kiri.
"Apakah ada kabar dari pasukan pengintai di Selat Khazan?" tanya Putri Kleih.
"Beberapa kapal pengangkut barang Ezze terlihat mulai bergerak ke arah utara dikawal kapal-kapal perang. Sepertinya itu adalah barang-barang penting untuk tentara mereka." Seorang mayor jenderal segera menjawab.
"Sudah pasti," balas Putri Kleih. "Tambah pasukan di sana! Persiapkan kapal-kapal perang! Kirim perintah untuk prajurit di pangkalan militer Selat Khazan: rebut kapal pengangkut barang Ezze, hancurkan armada kapal Ezze, dan angkut pasukan kita yang sedang berperang di bawah komando Raja Sirgh jika mereka mengalami kesulitan! Aku tidak ingin menyerahkan nasib pasukan kita di sana pada Raja Sirgh begitu saja!"
***
Sirgh bergerak melewati gerbang benteng perbatasan Kraalovna-Ezze yang terletak di tebing tinggi. Benteng selatan Kraalovna itu terletak dekat dengan kota selatan yang disinggahi Raja Sirgh.
Sirgh bersama 26.000 pasukannya menggetarkan perbatasan dengan derap langkah kaki dan langkah kuda mereka. Ia sangat berapi-api untuk meluluhlantakkan Ezze. Perasaan malu, marah, dan kalah bergabung menjadi satu mengibarkan semangatnya. Ia bertekad akan membuat kehancuran di setiap daerah Ezze yang akan dilewati seperti apa yang dilakukan Tzaren saat menjajah Innist di perang kali itu.
Berbeda dengan Kraalovna yang memiliki beberapa kota dan desa yang tersebar dekat perbatasan Kraalovna-Ezze, wilayah perbatasan utara Ezze justru tidak berpenghuni. Di sana adalah wilayah Kerajaan Ezze yang paling gersang.
Sirgh harus melewati daerah gersang yang memakan waktu satu setengah hari dengan iring-iringan militer lalu setengah hari lagi untuk mencapai desa paling utara Ezze. Ia sudah menyiapkan perbekalan yang cukup untuk bisa melewati daerah panas itu.
Setelah melewati daerah gersang yang sangat panas, rombongan tersebut harus mengeluarkan pakaian tambahan untuk menghalangi udara beku wilayah timur Ezze yang beriklim dingin. Cuaca berubah dengan tiba-tiba, seperti habis melewati dinding angin tidak terlihat yang memisahkan dua kondisi ekstrem.
Ketika mencapai desa paling utara Ezze, kekecewaan menampar Sirgh.
Desa itu ternyata tidak berpenghuni, seperti telah lama ditinggalkan. Bangunan-bangunan terbengkalai begitu saja. Tidak ada hewan ternak tersisa. Sumur di sana juga telah mengering. Debu-debu pun memenuhi setiap permukaan.
"Sepertinya penduduk desa sudah lama pindah, bukan kabur karena kita mendekat," komentar Jenderal Kraalovna.
Sirgh pun semakin marah. Ia memerintahkan untuk menghancurkan apa saja yang ditinggalkan di sana untuk melampiaskan kekesalannya yang tidak jadi menumpahkan darah bangsa Ezze.
Bangunan-bangunan dirubuhkan dan dibakar, menghasilkan asap hitam yang membubung tinggi. Kehancuran kecil itu tidaklah menghibur Sirgh. Ia butuh lebih!
Mereka pun bergerak ke selatan dan semakin ke selatan, cuaca semakin dingin seperti cuaca di Tzaren. Mereka menemukan desa kecil lain setelah berjalan beberapa jam . Kondisi desa itu pun sama seperti desa sebelumnya.
Sirgh memerintahkan hal yang sama, yakni menghancurkan desa kosong dan melanjutkan perjalanan ke area berpenghuni selanjutnya.
Sirgh dan para prajuritnya sampai di desa ketiga, desa itu juga memiliki kondisi yang sama dan bernasib sama seperti dua desa sebelumnya.
"Apa-apaan ini?!" seru Sirgh yang murka.
"Sepertinya mereka meninggalkan desa untuk pergi ke area yang lebih hangat. Di sini gersang dan dingin," komentar Jenderal Kraalovna.
"Lanjutkan perjalanan!" perintah Sirgh.
"Apakah Yang Mulia tidak ingin menyebarkan beberapa orang untuk mencari daerah yang masih berpenghuni?" saran Jenderal Kraalovna.
Sirgh yang merasa muak karena apa yang dialaminya tidak sesuai ekspektasi pun naik pitam.
"Kau ingin membantahku? Aku bilang lanjutkan perjalan, maka lanjutkan! Kalau aku bilang padamu untuk terjun ke kobaran api, kau harus mematuhiku pula! Paham?!" maki Sirgh.
Sirgh pun memacu kembali kudanya, meninggalkan Jenderal Kraalovna yang wajahnya berubah masam.
Setelahnya, mereka menemukan dua desa lain dengan kondisi sama, Sirgh mulai meragukan keputusannya dan prajuritnya sudah mulai gusar. Mereka lalu menemukan percabangan di ujung jalan desa. Terdapat desa selanjutnya yang berjarak beberapa jam dengan berjalan lurus dan terdapat sebuah kota jika berjalan ke kanan dengan jarak tempuh satu hari.
"Jalan mana—"
"—Kanan! Tentu saja kita akan menuju kota!" Sirgh segera berseru sebelum jenderalnya menyelesaikan kalimat.
"Tapi memerlukan waktu untuk ke sana dan perbekalan kita menipis, Yang Mulia," sahut seorang mayor jenderal berkebangsaan Tzaren. Sepertinya ia mulai meragukan rajanya.
Merasa diremehkan oleh bangsanya sendiri, Sirgh semakin panas. Ia meraih kerah mayor jenderalnya.
"Kau!"
"—Saya akan mengutus seseorang ke kota selatan Kraalovna untuk mengirimkan perbekalan, Yang Mulia," potong asisten raja. Ia khawatir rajanya yang berdarah panas akan membuat situasi makin runyam.
Sirgh melepaskan cengkeraman lalu mendorong mayor jenderalnya.
"Bagus! Cepat kirim seseorang dan lanjutkan perjalanan!"
Sirgh dan prajurit-prajuritnya melanjutkan perjalanan menuju kota yang cukup jauh dalam keadaan tidak nyaman. Semangat prajurit untuk menumpahkan darah pun mulai melemah, membuat langkah mereka terasa semakin berat.
Begitu melihat dinding pertahanan kota menjulang di ujung jalan, Sirgh memacu kudanya lebih cepat seperti ingin mencapai oase di tengah-tengah gurun. Para prajuritnya yang berjalan kaki pun terseok-seok mengikuti kecepatan sang raja.
Meski Sirgh begitu bersemangat, ia mulai waswas.
Gerbang kota tampak tidak dijaga seorang pun. Ketika gerbang dibuka tanpa hambatan berarti, hanya kesunyian yang menyambut mereka. Kota itu ternyata juga merupakan kota mati.
"Tidak .... Ini tidak mungkin ...," gumam Sirgh.
Tanpa mengindahkan kecemasan bawahannya, Sirgh masuk lebih dalam ke pusat kota. Tidak ada seorang pun di sana, rumah-rumah ditinggalkan, lemari-lemari telah kosong, dan sumurnya berbau tengik.
Sirgh hanya mematung di tengah-tengah jalan kota yang hening.
"Sebaiknya kita beristirahat di sini, Yang Mulia. Setidaknya kota ini memberikan perlindungan tambahan jika ada musuh mendekat. Kita harus menunggu kiriman perbekalan dari kota selatan Kraalovna sebelum melanjutkan perjalanan kembali. Tidak ada yang bisa dimakan dari tempat-tempat yang kita datangi," cetus Jenderal Kraalovna.
"Hahhhh .... Sialan! Baiklah, kita lakukan itu," balas Sirgh yang mulai merasa letih. Ia bahkan terlalu lelah untuk memproses keanehan yang sedang dialaminya.
Para prajurit Kraalovna pun berdiam di dalam kota mati tersebut selama beberapa hari sambil mengirit jatah perbekalan yang hampir habis tak bersisa. Prajurit-prajurit yang dikerahkan untuk memantau keadaan juga mengatakan jika desa-desa di sekitar kota itu kosong, sehingga percuma melanjutkan perjalanan tanpa perbekalan tambahan.
Setelah 5 hari yang menyiksa, di suatu malam, prajurit Kraalovna yang berjaga di gerbang kota mengabari jika terlihat iring-iringan gerobak berbendera Kraalovna yang datang dari arah utara menuju ke kota.
Gerbang kota mati itu pun dibuka untuk memberikan jalan. Gerobak-gerobak yang ditarik kuda tersebut disambut suka cita oleh para prajurit yang kelaparan dan kehausan dengan mata berbinar seolah melihat penampakan barisan bidadari.
Dapur di rumah-rumah yang ditinggalkan segera digunakan untuk mempersiapkan makan malam bagi 26.000 prajurit di sana.
Suasana malam itu seperti pesta. Setelah berhari-hari memakan bubur encer, akhirnya para prajurit Kraalovna bisa merasakan makanan layak kembali. Mereka berpesta mengelilingi api unggun yang tersebar di beberapa titik, seolah-olah ingin melampiaskan kegundahan dari perang yang sedang mereka jalani.
Tawa tersebar di sana sini dan menular dengan cepat.
Akan tetapi, semakin malam, tawa-tawa itu berubah menjadi jerit dan teriakan.
***
>> Fun Fact<<
Menggali terowongan menjadi salah satu cara yang sering dipakai pada pengepungan perang zaman dulu dan masih dipakai hingga era meriam/senjata api.
Pada zaman dulu, menggali terowongan dilakukan oleh penyerang untuk meruntuhkan dinding pertahanan. Caranya adalah dengan menggali terowongan hingga ke tanah di bawah dinding lalu bagian terowongan di bawah dinding ditopang oleh bahan yang mudah terbakar. Setelah penopangnya dibakar, maka tanah akan ambruk diikuti dinding di atasnya, menciptakan lubang yang bisa digunakan para penyerang untuk masuk ke dalam.
Kecepatan menggali pun beragam, tergantung kondisi tanah yang digali, apakah merupakan tanah yang cukup lembut atau tanah dengan bebatuan keras.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top