Chapter 56 - Putri Merah

Lebih dari dua puluh tahun yang lalu, seorang anak perempuan berkedudukan tinggi lahir di Kerajaan Tzaren. Anak itu merupakan anak perempuan pertama dari pernikahan politik tuan putri kerajaan dengan keluarga perdana menteri. Ia berada di urutan ketiga wanita paling mulia di Tzaren setelah sang ratu dan ibunya. Begitu ibunya meninggal ketika usianya masih muda, ia mendapatkan gelar putri kerajaan selama ratu yang sedang berkuasa tidak lagi memiliki anak perempuan.

Anak perempuan itu bernama Kleih.

Sedari kecil, telah tampak tanda-tanda paras rupawan dan kecerdasan Putri Kleih. Ia juga disayang oleh Ratu Tzaren terdahulu sampai sang ratu menjodohkannya dengan cucu pertamanya, Tarkh.

Pangeran pertama dari putra mahkota saat itu hanya bisa setuju pada apa yang dikatakan oleh neneknya yang merupakan Ratu Kerajaan Tzaren. Putri Kleih dan sang pangeran pun menghabiskan banyak waktu bersama, tapi itu seperti hubungan satu arah.

Putri Kleih adalah anak atraktif yang cukup banyak bicara, sementara Tarkh merupakan seseorang yang dingin dan pendiam. Tarkh jarang menanggapi kehadiran Putri Kleih, juga hanya berbicara seperlunya. Sudah jelas jika Tarkh tidak begitu tertarik pada tunangan kecilnya itu.

Sebagai calon menantu keluarga raja, Putri Kleih mendapatkan pendidikan tambahan. Meski menyadari jika Tarkh tidak menyukainya, ia tetap belajar sungguh-sungguh agar bisa menjadi pendamping yang baik sehingga tidak akan memalukan keluarga kerajaan sambil berharap suatu hari Tarkh akan menghargai kerja kerasnya. Pernikahan politik tanpa rasa cinta sudah umum terjadi, karenanya Putri Kleih mencoba membangun hubungan seperti partner dengan Tarkh.

Meski demikian, Tarkh tetap menjaga jarak dengannya. Bahkan dari hari ke hari Tarkh makin menunjukkan rasa tidak sukanya.

"Bisakah kau tidak menunjukkan wajahmu setiap berkunjung ke istana? Aku muak melihatmu bersikap seperti anjing mengejar tuannya," komentar Tarkh pada gadis berusia sepuluh tahun di hadapannya.

Saat itu Tarkh berpapasan dengan Putri Kleih di taman istana.

Perkataan Tarkh barusan membuat kaget penghuni istana di sekitar mereka. Itu adalah kata-kata yang sangat kasar untuk diucapkan pada gadis kecil yang bukan bangsawan sekalipun.

Putri Kleih terdiam. Ia berusaha tidak menunjukkan rasa malu dan sakit hatinya. Apakah kau tahu? Ratu yang setiap saat menyuruh untuk bertemu denganmu! Apa kau pikir aku rela tiap kita bertemu hanya perlakuan tidak terhormat yang kuterima darimu?

Putri Kleih berusaha tersenyum meski matanya berkaca-kaca. "Maaf, jika saya sudah membuat Yang Mulia susah. Ratu menyuruh saya untuk menemui Anda," balasnya dengan suara yang bergetar.

"Ck! Kau selalu membawa-bawa nama ratu. Tidak tahu malu! Kapan kau akan pulang?"

"Kereta kuda keluarga akan menjemput saya sore nanti."

Tarkh tersenyum miring. "Kalau begitu diamlah kau di taman ini sampai dijemput! Pengawal! Potong kakinya kalau dia bergerak dari taman ini!" serunya sambil menunjuk seorang pengawal pribadinya.

Dari prajurit istana sampai pelayan yang ada di sekitar sana kembali terkejut dengan kelakuan pangeran mereka.

"Yang Mu—"

"—Bukankah kau ingin menjadi pendampingku yang baik? Kalau begitu buktikan kepatuhanmu padaku sekarang! Jika tidak sanggup, merengeklah pada ratu untuk membatalkan pertunangan kita. Ah ... aku sangat berharap kau akan meminta pembatalan tersebut. Hahaha!" Tawa Tarkh saat itu terdengar sangat menghina.

Tarkh lalu beranjak pergi dari sana tanpa menoleh ke belakang, meninggalkan Putri Kleih yang berdiri di tengah taman.

"Kau pikir aku akan menyerah? Tidak! Akan kubuktikan tekadku!" batin Putri Kleih.

Putri Kleih pun hanya mematung di taman berjam-jam, tidak mengacuhkan permintaan pelayan-pelayan pribadinya yang membujuk untuk tidak mematuhi perkataan sang pangeran.

Hujan pun turun. Dengan cuaca dingin Tzaren, hujan itu membuat udara berkali-kali lipat menjadi lebih dingin. Namun, Putri Kleih tidak menyerah. Ia masih berdiri di taman sekalipun tubuh kecilnya ditampar air hujan hingga membuat dirinya menggigil kedinginan dan gaunnya terasa semakin berat karena basah. Bahkan hujan belum berhenti ketika akhirnya kereta kuda yang menjemput Putri Kleih datang.

Putri Kleih baru beranjak ketika kesatria keluarga yang ikut dalam kereta kuda menggendong dirinya yang tidak berhenti gemetar. Ia masih ingat ekspresi keras kesatria keluarganya ketika mendengar apa yang terjadi dari pelayan pribadinya. Para kesatria tersebut sudah pasti marah ketika tuan mereka diperlakukan dengan tidak layak seperti itu.

Sesampainya di rumah besarnya, Putri Kleih langsung terkapar di tempat tidur dengan berlapis-lapis selimut. Suhu tubuhnya tinggi sehingga seisi rumah menjadi panik. Tabib terbaik kerajaan dengan cepat didatangkan.

Ayah Putri Kleih yang merupakan bendahara kerajaan bernama Kiel bergegas menghampiri putrinya.

"Apa yang terjadi?" tanya Tuan Kiel sambil memandangi Putri Kleih yang berbaring tidak berdaya.

Seorang pelayan pribadi Putri Kleih dengan perlahan menjelaskan kejadian yang melibatkan tuannya dan Pangeran Tarkh.

Setelah mendengar penjelasan si pelayan, ekspresi Tuan Kiel berubah mengerikan, membuat orang-orang di dalam ruangan menjadi ketakutan.

"Kleih ...."

Putri Kleih membuka matanya lalu menatap ayahnya dengan mata sayu.

"Lihatlah betapa tidak bergunanya dirimu! Mengapa kau tidak bisa mengambil hati seorang bocah idiot seperti tunanganmu?!" ucap Tuan Kiel dengan nada tajam.

Putri Kleih yang sudah kepayahan semakin bersusah payah untuk duduk. Ia menundukkan kepalanya ke arah ayahnya.

"Ma-maafkan aku A ... Ayah. Aku akan ... hah-hah ... berusaha lebih baik ... lagi." Putri Kleih berusaha keras untuk berkata-kata di tengah rasa sakit yang dideritanya.

Tuan Kiel terdiam sejenak. "Bagus! Kau memang harus bersikap seperti itu," ucapnya kemudian.

Tuan Kiel membalikkan badan dan beranjak pergi. Namun, langkahnya berhenti di dekat pintu kamar Putri Kleih.

"Kleih, kalau kau membenci apa yang Tarkh perbuat padamu, raihlah posisi setinggi-tingginya sekalipun harus menjilat yang di atas! Dan ketika kau sudah mencapai tujuanmu, balaslah perbuatannya berkali-kali lipat! Karena kau harus menjadi ratu jika ingin membalas sang raja."

***

Perbuatan Tarkh tempo hari membuat perdana menteri melayangkan protes pada keluarga raja.

Raja yang malu memanggil Tarkh di aula singgasana lalu menampar cucunya di muka umum.

"Bagaimana bisa seorang calon pemimpin kerajaan bersikap rendah pada tunangannya sendiri?! Jika kau mengasari seorang gadis kecil, apa yang akan kau lakukan pada rakyatmu ketika kelak kau menjadi seorang raja, hah?" tegur Raja Tzaren dengan suara yang menggelegar.

Tarkh menatap balik kakeknya yang sedang marah. "Aku tidak ingin bertunangan atau menikah dengannya. Kalau aku menikah dengan orang yang tidak aku cintai, aku akan berakhir seperti kakek atau ayah yang tidur di sana sini dengan banyak wanita," balasnya.

Seluruh bangsawan dan petugas istana yang ada di aula singgasana raja-ratu terkejut dengan ucapan berani Tarkh itu.

"Kau!" Raja tampak semakin murka. "Pengawal! Seret Pangeran Tarkh dan kurung dia di menara pengasingan! Biarkan dia kelaparan selama tiga hari! Setelahnya hanya berikan dia sepotong roti dan segelas air satu kali sehari! Sampai dia berlutut memohon maaf atas kata-katanya yang kurang ajar, jangan keluarkan dia!"

Tarkh pun dikurung di menara pengasingan, menara untuk menahan keluarga raja yang dianggap melakukan kesalahan. Ia kelaparan berhari-hari, tapi egonya yang tinggi membuatnya masih menolak untuk meminta maaf. Tarkh enggan melakukan hal itu karena ia tidak merasa bersalah. Kata-katanya benar. Hanya karena tidak ada yang berani membicarakan fakta secara terang-terangan, bukan berarti fakta tersebut salah. Lagi pula ia sudah menerima tamparan di depan banyak orang untuk sikapnya yang kasar pada Putri Kleih.

Tubuh Tarkh menjadi semakin lemah saat musim dingin tiba. Menara itu tidaklah hangat dan sepotong roti tidaklah cukup untuk memberi energi padanya.

Suatu hari saat sedang meringkuk kelaparan, pintu besi menara tempat Tarkh ditahan terbuka. Tarkh spontan menoleh ke satu-satunya pintu di ruangan itu.

"Kau ...."

"Keadaan Yang Mulia menyedihkan sekali," komentar Putri Kleih.

"Apa kau datang ke sini untuk mengejekku?"

Tarkh yang berminggu-minggu tidak mencium bau makanan enak langsung menatap tas keranjang di tangan Putri Kleih.

Putri Kleih tersenyum lebar sambil menyodorkan keranjang berisi makanan. "Yang Mulia mau?"

Tarkh menyipitkan matanya. "Apakah di dalam ada racunnya?"

Putri Kleih tertawa sambil mendekati Tarkh lalu menaruh keranjang makanan di depan tunangannya tersebut.

"Kalau saya meracuni Yang Mulia, saya tidak akan jadi keluarga kerajaan."

Tarkh lantas segera duduk di atas tumpukan jerami. "Kau masih bisa menikah dengan adikku, Khrush."

Ekspresi Putri Kleih berubah masam begitu Tarkh menyebut nama pangeran kedua. "Eww ...."

Untuk pertama kalinya Tarkh tertawa kecil di hadapan Putri Kleih.

Putri Kleih terkejut melihat ekspresi Tarkh saat itu. Apakah memenjarakan dan membuat kelaparan seseorang bisa mengubah sikap orang tersebut?

Ekspresi Tarkh kembali datar meski suaranya tidak lagi sekasar dulu. "Kalau begitu aku tidak akan sungkan. Terima kasih atas makanannya."

Tarkh menegak ludah begitu membuka kain yang menutupi isi keranjang. Di dalam keranjang yang dibawa Putri Kleih terdapat roti lembut yang masih hangat, sup daging, kue, dan buah-buahan. Ia segera mencomot sepotong roti yang sangat harum.

"Mengapa kau bisa masuk kemari? Apakah kau mendapatkan izin?" tanya Tarkh di sela kunyahannya.

Putri Kleih menggeleng. "Tentu saja saya menyogok Penjaga. Yang Mulia pikir Raja akan melunak setelah mengurung Anda beberapa minggu?"

Tarkh tahu dengan pasti kakeknya itu amat sangat keras dan kaku. Raja tidak akan peduli andai ia mati kedinginan di menara pengasingan.

"Mengapa Yang Mulia tidak meminta maaf saja agar bisa keluar?" lanjut Putri Kleih.

"Apakah aku harus meminta maaf karena berkata benar?"

"Yang Mulia keras kepala sekali, persis seperti Raja."

"Omong-omong, mengapa kau membantuku? Aku sudah berbuat kasar padamu. Kau menginginkan sesuatu dariku?" Tarkh balik bertanya sambil menyendokkan sup daging yang mulai mendingin ke dalam mulutnya.

"Tentu saja. Bukankah tidak ada yang gratis di dunia ini?"

"Apa-nyam ... yang kau inginkan?"

"Saya tidak menginginkan sesuatu yang berlebihan. Saya tahu Yang Mulia amat sangat tidak menginginkan saya sebagai pasangan, tapi tidak ada yang bisa kita lakukan untuk itu. Pernikahan ini sangat diinginkan baik dari pihak raja maupun bangsawan. Yang Mulia tidak perlu menyukai saya, tapi setidaknya perlakukanlah saya dengan baik. Saya juga menderita. Saya akan membiarkan Yang Mulia mengambil selir sebanyak yang Anda mau jika itu yang Yang Mulia inginkan."

Tarkh berhenti menyendokkan sup. "Aku bukan penggila wanita yang tak bermoral seperti keluargaku!" desisnya sambil menatap tajam Putri Kleih.

"Ah ...." Putri Kleih tampak salah tingkah. "Maksud saya jika suatu saat Yang Mulia bertemu dengan seseorang yang Anda cintai. Silakan bawa dia ke istana."

Tarkh kembali berkonsentrasi pada makanannya. "Hmm ... baiklah. Aku akan memenuhi permintaanmu."

"Benarkah?" Mata Putri Kleih berbinar.

"Ya ... ternyata kau tidak buruk seperti ibumu. Lagi pula, aku tidak mungkin menggigit tangan yang memberiku makan."

Putri Kleih terdiam, tidak lagi membalas. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan bangsawan jika hubungan ibunya dan keluarga raja tidak harmonis sehingga terjadi ketegangan di kalangan aristokrat. Karenanya mereka menginginkan dirinya menikah dengan keturunan raja agar hubungan tersebut membaik.

Setelah Tarkh selesai dengan makanannya, Putri Kleih bangkit berdiri. Tiba-tiba ia menyampirkan selimut berbulu di pundak Tarkh.

"Tetaplah hangat di musim dingin ini, Yang Mulia. Saya akan membawakan makanan lagi besok," ucap Putri Kleih sambil tersenyum riang.

"...."

Tarkh hanya diam menatap Putri Kleih yang menghilang di balik pintu besi.

***

Putri Kleih menepati kata-katanya. Ia setiap hari datang membawakan makanan selama beberapa minggu agar Tarkh dapat melalui musim dingin yang menyiksa.

Hingga suatu hari, bukanlah Putri Kleih yang datang, melainkan prajurit istana dan perdana menteri. Mereka berlutut di hadapan Tarkh.

"Kami menghadap Yang Mulia, Raja baru Kerajaan Tzaren."

"A ... apa?" Tarkh mengernyit. Mereka memanggilku apa? Raja?

Perdana menteri bangkit dan menyerahkan stempel Raja Tzaren.

"Kami turut berduka, Yang Mulia. Raja, ratu, dan kedua orang tua Yang Mulia meninggal akibat wabah yang menyerang di wilayah tepi selat saat mereka berperang dengan Kerajaan Ezze. Saat ini, Yang Mulia-lah yang berada di urutan pertama takhta," ucap Perdana Menteri.

Tarkh terdiam. Ia memang tidak menyukai orang tua juga kakek-neneknya, tapi dirinya tidak  menginginkan kematian mereka. Tarkh yang tidak pernah menangis, hanya memasang wajah datar.

Sejak saat itu, di usia yang baru beberapa belas tahun, Tarkh menjadi Raja Tzaren.

Kepemimpinan Tarkh tidaklah mudah. Sikapnya yang barbar dan kata-katanya yang ketus membuatnya tidak disukai para bangsawan. Keputusan-keputusannya yang tidak begitu bijaksana pun akhirnya dilaksanakan dengan setengah hati oleh bangsawan-bangsawan Tzaren. Mereka membicarakan kelemahan raja di belakang hingga berulang kali menyuarakan protes. Tidak sedikit bangsawan yang menentang raja terang-terangan.

Hal itu disadari Tarkh. Para bangsawan mungkin sudah ingin mengudetanya jika bukan karena tiga kekuatan besar yang mendukungnya. Tiga kekuatan itu adalah Jenderal Kanan Sirgh, Jenderal Tengah, dan keluarga Perdana Menteri Tzaren.

Perdana menteri mendukung Tarkh karena Tarkh masih bertunangan dengan perempuan dari keluarga mereka. Meski demikian, perdana menteri pun berulang kali menyetir kebijakan hingga menyanggah raja terang-terangan.

Tarkh merasa frustrasi. Ia mencoba bertahan di tengah-tengah kacaunya pemerintahan Tzaren.

"Apakah Yang Mulia perlu bantuan saya?" tanya Putri Kleih suatu hari. Ia dipanggil oleh tunangannya ke ruang kerja sang raja.

Tarkh berdeham. "Bantulah aku mengatur kaum bangsawan."

"Apa yang akan saya dapatkan untuk itu?"

"Begitu kondisi politik Tzaren stabil, kita akan langsung menikah."

Putri Kleih tersenyum lebar. "Baiklah."

Putri Kleih pun membantu Tarkh untuk mengamankan posisi raja. Ia menjadi juru bicara raja sekaligus penghubung antara Tarkh yang tidak pandai berdiplomasi dan kaum bangsawan yang memiliki banyak keinginan. Putri Kleih menyampaikan maksud dari kata-kata kasar Tarkh dengan bahasa yang lebih baik kepada para bangsawan. Begitu pula sebaliknya, ia memilah-milah suara bangsawan yang akan diteruskan ke raja agar raja tidak merasa bangsawan terlalu memaksa.

Hal itu berlangsung selama bertahun-tahun lamanya hingga kemudian suatu hari Tarkh datang dengan ide gila yang ingin menyatukan seluruh kerajaan.

"Saya mendengar jika Yang Mulia ingin berperang dengan semua kerajaan," cetus Putri Kleih begitu desas-desus tentang perang sampai ke telinganya.

Saat itu, seperti biasa Putri Kleih sedang menenggelamkan diri di antara tumpukan dokumen bersama dengan Tarkh.

"Ya, itu benar. Bukankah kau sendiri akan senang jika menjadi pendamping dari maharaja?"

"Tapi kita bahkan belum menikah. Kondisi politik sudah hampir stabil dan sekarang Yang Mulia ingin berperang? Yang Mulia tidak sedang menghindari pernikahan kita, kan?"

"...."

Tarkh hanya terdiam, tidak membalas perkataan tunangannya.

***

"Yang Mulia!" seru Putri Kleih yang mendatangi Tarkh saat sang raja sedang mengepung ibu kota Aritoria.

"Apa yang membuatmu berkendara jauh hingga kemari?" tanya Tarkh yang sedang rapat di tenda pertemuan bersama beberapa petinggi militer.

"Mereka bilang Yang Mulia memulai perang ini karena ingin mendapatkan salah satu putri Naz. Apakah itu benar?" Suara Putri Kleih terdengar bergetar.

Pertanyaan itu membuat para petinggi militer yang ada di sana saling melirik.

Tarkh mendesah dan memutar bola matanya.

"Yang Mu—"

"—Ya, itu benar," jawab Tarkh. "Bukankah kau sendiri yang bilang kalau kau mengizinkanku untuk membawa orang yang kucintai ke istana. Sekarang aku telah menemukan wanita itu. Kau tidak akan menjilat ludahmu kembali, kan? Aku tidak percaya kau berjalan sejauh ini hanya untuk bertanya hal itu."

Putri Kleih merasa tertampar.

"Tapi apakah ... Yang Mulia masih akan menikahi saya?"

Tarkh terdiam lama sebelum menjawab. "Kau tidak perlu khawatir."

***

Begitu Tarkh membawa pulang kemenangan, ia segera mengadakan rapat dengan dewan penasihat raja. Tentu saja Putri Kleih sebagai juru bicara yang telah mendampinginya bertahun-tahun ikut hadir di sana.

Tidak hanya mengumumkan berita pembagian kerajaan yang membuat murka para bangsawan, Tarkh juga memberi kabar mengejutkan lainnya.

"Aku akan menikahi putri Naz dan menjadikannya ratu."

"Ap-apa?!"

Seluruh dewan penasihat raja yang hadir dalam pertemuan itu terkejut. Semua yang ada di sana tahu jika Tarkh berperang demi mendapatkan wanita, tapi tidak mereka sangka jika sang raja akan dengan gegabah mengangkat wanita yang tidak mengerti apa-apa untuk menjadi ratu. Di Kerajaan Tzaren, jabatan ratu bukanlah posisi sembarangan karena ratu memiliki tugas kepemerintahan yang tidak kalah sedikit dibanding raja. Sekalipun Raja Tzaren menikahi banyak wanita dan sangat menyukai seseorang di antara istri-istrinya, yang akan menjadi ratu hanyalah istri raja paling cakap dengan pendukung keluarga kuat untuk menyeimbangkan posisi keluarga raja terhadap kaum bangsawan.

Lantas ekspresi mengerikan datang dari keluarga perdana menteri yang berada di ruangan yang sama. Namun, Putri Kleih-lah yang paling tampak tersiksa.

Sebagai seorang wanita, firasat Putri Kleih sudah membuatnya membayangkan kemungkinan tindakan Tarkh tersebut. Namun, tetap saja dada Putri Kleih terasa nyeri seolah ditusuk belati berkali-kali. Berbagai rasa malu, sakit hati, kecewa, marah, dan sedih bercampur di dadanya. Ia menatap Tarkh dengan tatapan tidak percaya.

Tarkh yang merasa dipelototi pun menoleh pada Putri Kleih.

"Mengapa ekspresimu seperti itu, Putri Kleih? Aku berterima kasih atas bantuanmu selama ini. Aku ingatkan lagi, kaulah yang berkata kalau aku bebas membawa orang yang kucintai? Tapi aku tidak ingin membuat orang yang kucintai itu sedih dengan hanya menjadikannya sebagai selir dan aku pun tidak ingin membuatnya cemburu jika menjadikanmu selir. Tenang saja, aku akan memberimu rampasan perang paling besar sebagai imbalan atas jasa-jasamu padaku," ucap Tarkh dengan santai seolah apa yang dikatakannya bukan sesuatu yang besar.

Putri Kleih terdiam. Ia begitu terguncang hingga tidak sanggup membalas perkataan sang raja. Ia tidak menyangka segala kerja keras dan bantuannya selama itu tidaklah berarti bagi Tarkh. Putri Kleih tidak lagi memperhatikan kehebohan di sekitarnya. Hatinya hancur berkeping-keping. Ia merasa dimanfaatkan juga tidak dihargai. Pengkhianatan besar yang dilakukan Tarkh telah membuatnya jatuh ke dalam kegelapan.

Perdana menteri dan bendahara kerajaan mengajukan protes yang paling keras di antara bangsawan lain yang mengajukan keberatan mereka.

"Yang Mulia, Anda tidak bisa melakukan hal itu!"

"Pertunangan Yang Mulia merupakan keinginan terakhir ratu terdahulu dan sudah terjalin bertahun-tahun!"

"Akibatnya akan sangat tidak baik bagi kepemimpinan Yang Mulia jika Yang Mulia dengan seenaknya membatalkan pertunangan!"

"Apa yang akan dikatakan rakyat kalau Yang Mulia mengangkat ratu keturunan asing?!"

"Mohon dipertimbangkan lagi Yang Mulia! Kami tidak masalah jika Yang Mulia ingin menjadikannya selir, tapi ratu harus seorang bangsa Tzaren!"

'BRAK!'

Tarkh membanting genggaman tangannya di atas meja hingga para bangsawan yang mengajukan protes terdiam.

"Kalau kalian tidak menerima keputusanku, aku akan dengan senang hati menerima pengunduran diri kalian. Keputusanku sudah bulat!" seru Tarkh dengan nada tajam lalu meninggalkan ruang pertemuan.

***

Putri Kleih menatap seorang wanita yang sedang hamil besar bersimpuh ketakutan di hadapannya. Taaffeite yang merupakan Ratu Kerajaan Tzaren telah berada dalam genggamannya. Ia memenjarakan sang ratu di penjara istana segera setelah kudeta yang dipimpinnya sukses mengambil alih istana Tzaren.

Taaffeite hanya bisa menangis. Wajahnya bengkak dan matanya memerah.

Putri Kleih mengernyit. Ia berlutut lalu menjambak rambut hitam Taaffeite hingga wanita itu mendongak menatapnya. Kemudian ia memperhatikan dengan saksama setiap sudut wajah Taaffeite.

"Ukh ... hiks." Taaffeite hanya bisa menahan sakit dari cengkeraman Putri Kleih.

"Hahh .... Aneh." Putri Kleih mendesah lalu melempar genggamannya ke samping, membuat Taaffeite tergeletak di atas lantai dingin penjara. "Aku masih tidak habis pikir, mengapa Tarkh membuangku demi dirimu? Apa yang diharapkannya dengan menjadikan wanita cengeng sepertimu sebagai ratu? Padahal aku mengizinkannya untuk menjadikanmu selir. Yah ... memangnya kebijaksanaan macam apa yang bisa dipikirkan dari seorang laki-laki tolol seperti Tarkh?"

Perut besar Taaffeite menarik perhatian Putri Kleih. Ia mengelus perut tersebut.

Taaffeite yang merasa anaknya terancam lantas memegang tangan Putri Kleih.

"Saya mohon .... Lakukan apa saja pada saya, tapi biarkan anak ini hidup," isak Taaffeite.

Putri Kleih terdiam sejenak lalu tertawa terbahak-bahak.

"Jangan sentuh aku, jalang!" teriak Putri Kleih. "Kau pikir kau siapa, hah?! Selain rupamu, kau itu tidak ada apa-apanya dibandingkan denganku! Kau sudah merebut apa yang seharusnya menjadi milikku tanpa usaha apa pun! Kau hanya melebarkan kakimu seperti seorang pelacur dan kau menyebut dirimu Ratu?! Aku membenci dirimu! Dasar jalang yang tidak tahu diri! Sialan! Wanita berengsek! Argh!"

Putri Kleih melampiaskan kemarahannya yang selama itu ia tutupi sekuat tenaga demi melakukan balas dendam. Ia menampar pipi kanan dan kiri Taaffeite berkali-kali sambil mengumpat hingga kehabisan napas.

Meskipun Putri Kleih adalah seorang wanita, tapi ia juga seorang kesatria. Kekuatan tangannya tidaklah lemah sehingga mampu membuat Taaffeite kehilangan kesadaran.

Melihat Taaffeite yang pingsan setelah menerima tamparannya, Putri Kleih bangkit sembari menginjak-injak dada Taaffeite beberapa kali.

"Tabib!" seru Putri Kleih kemudian.

Seorang tabib lantas muncul dari balik pintu besi penjara. Ia yang mendengar kemarahan Putri Kleih yang terdengar sampai keluar ruang penjara tampak takut-takut mendekati sang putri.

"Sembuhkan dia! Aku belum puas menyiksanya! Pastikan juga anaknya tetap hidup agar aku memiliki pelampiasan baru setelah ibunya mati!"

***

Putri Kleih bergerak bersama puluhan ribu prajurit Tzaren menuju Kerajaan Innist dengan emosi yang bergejolak.

Sesaat sebelum berangkat, ia menerima pesan dari istana jika putri Naz menghilang dari penjara. Ia sudah membentuk regu pencari, tapi belum ada kabar hingga saat itu.

Akan tetapi, Putri Kleih tersenyum miring sambil menatap jendela kereta kudanya.

"Toh kalau aku menguasai seluruh kerajaan, Tarkh dan wanita tolol itu tidak akan bisa lari ke mana pun dan Tarkh ...." Senyum Putri Kleih menghilang. "Dasar sampah pengkhianat! Kau telah menggigit tangan yang memberimu makan! Kau pikir dosamu tidak akan mengejarmu? Lihat saja, Tarkh! Kau akan menerima akibatnya!"



***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top