Chapter 5 - Tarkh
Setelah pertemuan dan urusan pembagian kerajaan selesai, Tarkh bersama rombongannya juga sebagian besar tentara kembali ke kerajaan asal, Tzaren. Sementara adik-adik Tarkh yang sudah diberikan wilayah kekuasaan sendiri langsung menuju kerajaan baru masing-masing. Meski mereka sudah membunuh keluarga kerajaan sebelumnya, kekosongan takhta tidak bisa dibiarkan terlalu lama atau akan timbul pemberontakan.
Tarkh selama itu menahan diri untuk tidak bertatapan dengan gadis impiannya. Pertemuan mereka di Puri Naz memang mengerikan, gadis impiannya pasti takut padanya. Karena itu ia akan berusaha memperbaiki hal tersebut ketika telah sampai di Tzaren
Setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan, Tarkh sampai di istana lamanya di Tzaren. Istana yang besar dan muram dengan cat yang didominasi hitam atau abu-abu dengan sentuhan emas dan merah. Kompleks rumit istana Tzaren terdiri dari bangunan-bangunan terpisah yang terpusat para satu bangunan utama paling besar yang dihuni raja dan ratu. Halaman kompleks istana secara keseluruhan tampak sepi dari hiasan tumbuh-tumbuhan, tidak seperti istana kerajaan-kerajaan di utara. Angin dingin sesekali bertiup merontokkan daun-daun yang gelap dan awan kelabu menghiasi langit, membuat orang enggan untuk berlama-lama berada di luar ruangan.
Sekarang Tarkh mungkin bisa menyenangi kampung halamannya karena kali itu ia membawa sebuah kehangatan bersamanya. Ia segera memerintahkan para pelayan untuk menyiapkan kamar bagi gadis impiannya lalu memanggil dewan penasihat raja untuk membahas hal yang terjadi selama ia pergi.
Baru menjelang malam saat Tarkh selesai dari rapat mendadak tersebut. Ia pergi mandi untuk merilekskan tubuhnya yang penat. Dewan penasihat raja yang ia hadapi cukup kesal akan keputusannya memberikan kerajaan-kerajaan yang kalah pada para pangeran Tzaren, alih-alih menjadi satu kerajaan di bawah kekuasaan Tzaren. Ia paham yang menjadi keberatan bagi dewan penasihat raja: tidak ada upeti tiap tahun untuk Tzaren selain rampasan perang dari kerajaan-kerajaan yang takluk dan bangsawan-bangsawan Tzaren tidak dapat menguasai utara.
Para bangsawan akhirnya mulai tenang setelah Tarkh menjanjikan pembicaraan upeti juga penempatan bangsawan Tzaren di kerajaan-kerajaan yang takluk setelah kedudukan adik-adiknya stabil sebagai raja dan kerajaan mereka telah selesai membangun kembali dari dampak kehancuran perang.
"Ck! Dasar bangsawan-bangsawan rakus! Mereka bahkan tidak tahu bagaimana rasanya terjun dalam peperangan. Padahal harta rampasan perang dari Kerajaan Ezze dan Aritoria saja melebihi biaya perang sebelumnya," gerutu Tarkh sambil memandangi bekas-bekas luka peperangan yang menghiasi tubuhnya hampir di setiap sisi.
Selesai mandi, Tarkh langsung menuju kamar gadis impiannya. Namun, begitu tiba di depan pintu besar kamar gadis itu, ia mematung. Tarkh tampak ragu. Tangannya tidak mau bergerak menyentuh gagang pintu.
Meskipun terkenal tegas dan sadis, entah mengapa saat itu Tarkh merasa takut. Bahkan ia menjadi sangat gugup untuk sekadar membuka pintu di hadapannya. Pada akhirnya Tarkh berdiri di depan pintu hingga sejam lamanya hanya untuk kembali ke kamarnya sendiri yang berada tepat di samping kamar gadis tersebut.
Selama seminggu, Tarkh tidak berani melangkah lebih jauh dari sekadar berdiri di depan pintu. Gadis impiannya pun hanya berada di kamar karena ia sudah memerintahkan beberapa dayang untuk memenuhi segala kebutuhan si gadis.
Adik-adiknya mengirimkan surat, menanyakan kabar pernikahannya dan pengangkatan ratu untuk kerajaannya. Mereka tidak akan memulai hal yang sama karena menunggu Tarkh melaksanakan lebih dulu. Surat-surat itu terasa amat mendesaknya.
Tarkh mengumpat diri sendiri saat duduk di salah satu gazebo pada sore yang dingin. Ia frustrasi karena tidak berani untuk sebatas bertatap muka dengan gadis pujaannya. Padahal sudah sejauh itu dia melangkah. Ia yang bahkan tidak ragu ketika mengambil keputusan-keputusan gilanya, pun tidak ragu untuk mengambil alih suatu kerajaan, lantas bertindak seperti seorang pecundang!
"Aku harus menemuinya! Harus!" tekad Tarkh dalam hati.
Malam itu Tarkh mondar-mandir dengan gelisah di depan kamar sang gadis. Merasa ragu dan khawatir. Ia sendiri bingung dengan tingkahnya, padahal gadis yang ia idamkan sudah berada dalam genggamannya.
Beberapa pelayan dan prajurit yang berjaga di sepanjang lorong pura-pura tidak peduli dengan sikap aneh raja mereka. Bisik-bisik terdengar, tidak menyangka seorang raja yang kejam tidak berani masuk ke kamar seorang gadis.
"Anda perlu bantuan, Yang Mulia?" tanya kepala pelayan istana. Ia pasti mengetahui kelakuan rajanya yang menjadi pergunjingan di istana dan memutuskan untuk memberi dorongan.
Tarkh sedikit terkejut melihat kedatangan kepala pelayan istana tapi dengan cepat menguasai diri. "Tidak. Aku tidak butuh apa-apa."
"Saya bersedia menunggu di sini jika Yang Mulia membutuhkan sesuatu."
"Tidak, pergilah."
"Jika Yang Mulia masuk ke dalam, sudah tugas saya untuk berjaga apabila Yang Mulia membutuhkan sesuatu. Yang Mulia akan menemui putri Naz sekarang?"
Tarkh menghela napas. "Tentu saja. Mengapa tidak?" Entah kekuatan dari mana Tarkh spontan membuka pintu kamar gadis pujaannya dan menghilang ke dalam.
***
"Siapa?" Terdengar suara lemah dan manis.
Tarkh terpaku di balik pintu sambil menatap ke arah tempat tidur. Jantungnya berdegup kencang dan darahnya mengalir dengan cepat.
Di situ, di atas tempat tidur keemasan berkelambu merah darah, duduk sang gadis pujaan hati yang menatap takut ke arah Tarkh. Rambut gelap bergelombangnya tampak rapi, sepertinya para dayang memastikan gadis itu tetap siap kapan pun karena tidak ada yang tahu kapan Tarkh akan berkunjung. Baju tidur si gadis yang berwarna senada dengan kain pelapis tempat tidur tampak berantakan, tanda bahwa ia baru bangkit dari tidurnya.
"Oh ... Yang Mulia ...." Si gadis mencoba bangkit untuk menyambut raja yang kini menguasainya.
"Diamlah di tempatmu!" Suara keras Tarkh membuat gadis impiannya tampak semakin takut. Tarkh mengutuk dirinya dalam hati karena suara yang keluar malah terdengar menakutkan.
Tarkh mendekat dan duduk di ujung tempat tidur. Bibirnya terasa semakin kelu saat menatap wajah memesona di hadapannya. Ia hanya terdiam lama begitu pula si gadis yang takut berbuat kesalahan dan hanya menunduk dalam.
"Taaffeite ...."
Merasa namanya dipanggil, si gadis mengangkat kepalanya.
"Namamu paling unik di antara saudari-saudarimu. Bagaimana aku harus memanggilmu?"
"Fe ... Yang Mulia ...," jawab Taaffeite dengan suara bergetar.
Tarkh harus menggigit lidahnya ketika bergerak mendekati Taaffeite. Dadanya terasa sesak. Tangannya sedikit bergetar saat diulurkannya untuk menyentuh pipi gadis tersebut, pipi yang terasa hangat.
Taaffeite bergidik. Ia menutup matanya, takut menatap Tarkh.
"Fe ... apa kau takut padaku?" tanya Tarkh. Dalam hati ia mengumpat dirinya sendiri, "tentu saja bodoh! Kau membawa kepala ayahnya yang terpenggal! Pertanyaan macam apa itu?!"
Taaffeite membuka mata perlahan dan mengangguk pelan, badannya masih gemetaran. Ia menggumamkan sesuatu yang membuat Tarkh memintanya untuk mengulangi kata-kata itu.
"Mengapa Yang Mulia membunuh Ayah hamba?" tanya Taaffeite dengan mata berkaca-kaca, hampir menangis.
Tarkh merasa pertanyaan itu bagai panah yang menusuk jantungnya. "Aku tidak bisa menghentikannya, Fe. Maaf. Adikku yang bereng ... maksudku salah satu adikku membunuh Naz ketika Naz akan menyerangnya dengan pedang. Aku yakin ia tidak bermaksud untuk melakukan hal itu."
Taaffeite menatap dengan alis berkerut. "Ayah bahkan tidak pernah memegang pedang seumur hidupnya."
"Tapi itu benar. Adikku hanya membela diri." Tarkh spontan memeluk Taaffeite, ia yakin debaran keras di dadanya pasti dirasakan gadis itu. "Aku tidak pernah berniat membunuh Naz. Maafkan aku. Maaf soal ayah dan saudari-saudarimu."
Sedetik kemudian Tarkh merasakan pundaknya basah dan terdengar isakan pelan.
***
Tarkh bangun dengan lebih segar pagi itu. Semalam ia membiarkan Taaffeite menangis di pundaknya hingga jatuh tertidur. Ia lantas membaringkan gadis itu dan kembali ke kamarnya, menghindari tatapan tanda tanya kepala pelayan istana yang masih setia menunggu di depan pintu.
Tarkh menoleh pada dinding di sebelah kanan tempat tidurnya. Di sana tergantung sebuah hiasan dalam kaca berbingkai kayu cokelat tua. Sebuah rangkaian bunga yang sudah dikeringkan terlihat di dalam kotak kaca itu. Meskipun sudah layu, Tarkh masih melihat keindahan saat menatapnya. Seindah saat pertama kali ia menerimanya.
Kala itu dirinya tersesat di Kota Suci dan bertemu dengan Taaffeite yang masih remaja tersenyum padanya meski tampak habis menangis. Gadis yang memesona dengan mahkota bunga di kepala. Gadis itu mengajaknya berkeliling kota dan mereka berakhir di taman kota yang terletak agak di sudut. Taaffeite menghiburnya yang sedang gundah lalu melepas mahkota bunga dan memasangkan kembali di kepala Tarkh.
Tarkh yang saat itu baru saja kehilangan orang tuanya, tiba-tiba harus mengemban tanggung jawab memimpin sebuah kerajaan. Ia yang dikelilingi orang-orang kasar juga penjilat yang kapan saja siap menusuknya dari belakang, dengan mudah terhipnotis oleh senyuman tulus Taaffeite, putri Naz yang polos dan ceria.
Pertama kali dalam hidupnya, Tarkh merasakan dadanya terasa hangat. Saat itu juga, sosok Taaffeite menjelma bagaikan matahari yang menerangi hatinya yang gelap. Namun, itu juga berarti akan selalu ada yang hilang dalam dirinya jika tidak berada dekat dengan gadis tersebut. Ia harus memiliki Taaffeite!
Bayangkan betapa hancur perasaan Tarkh saat Naz menolak lamarannya mentah-mentah dengan embel-embel sikap netral.
Kerajaannya memang belum mendapatkan kembali posisi kuat sepeninggal orang tuanya meski tidak bisa disebut lemah pula. Namun, ia tetap seorang raja! Suatu hal yang hina ketika dirinya rela berlutut dan menaruh kepalanya di tanah, di hadapan banyak orang, hanya agar Naz memberinya restu.
Ketika Naz bergeming, ia hampir menyerang Naz saat itu jika bukan karena adiknya, Zakh, menghentikannya. Mereka diusir secara kurang terhormat akibat perilaku tidak pantasnya. Tarkh kembali ke kerajaannya dan hampir menjadi gila. Sampai kemudian muncul rencana nekat itu, menyatukan semua kerajaan di bawah kakinya hanya agar tidak ada lagi yang bisa menyuarakan keberatan atas tindakannya.
Tarkh tidak menyesal ketika Khrush membunuh Naz. "Andaikan saat itu kamu setuju saja, semua tidak akan begini, Naz," gumamnya.
Tarkh menatap cermin di kamarnya. Cambang di wajahnya tumbuh lebat, tidak terurus selama masa peperangan. Tubuhnya berubah dari pemuda yang kurus menjadi kekar berotot dengan banyak hiasan bekas luka.
"Wajar jika Fe takut, ia mungkin tidak ingat padaku yang masih lemah saat kami pertama bertemu."
Tarkh lalu memanggil pelayannya dan menyuruh untuk merapikan wajah juga rambutnya.
***
Pagi itu merupakan kali pertama Tarkh mengizinkan Taaffeite keluar kamar. Mereka makan bersama di meja makan keluarga kerajaan. Meja panjang besar dengan banyak kursi terasa kosong setelah para pangeran, adik-adik Tarkh, pergi ke kerajaan mereka yang baru.
Tarkh menyadari bisik-bisik pelayan yang pertama kali melihat Taaffeite. Orang-orang di kerajaannya antara berwajah keras atau berekspresi tajam, begitu pula wanitanya. Taaffeite yang memiliki wajah lembut dan tampak lugu merupakan pemandangan langka dan jelas terlihat berbeda. Ia juga menyadari pandangan kagum beberapa prajurit istana yang lancang mencuri pandang menatap Taaffeite.
Tarkh tidak bisa tidak kagum saat melihat Taaffeite muncul di ruang makan. Ia tampak cocok dengan pakaian bangsawan Tzaren yang berwarna hitam bersulam emas, menonjolkan keindahan kulitnya. Gadis yang tampak pantas menjadi seorang ratu.
Mereka makan dalam diam tetapi Tarkh berkali-kali menatap Taaffeite tanpa gadis itu sadari.
"Bagaimana tidurmu, Fe?"
Taaffeite tersedak ketika Tarkh mendadak membuka pembicaraan dan segera meminum air. "Uh ... nyenyak, Yang Mulia."
"Makanannya enak?"
"I-iya ...."
Tarkh merasa jawaban itu tidak benar karena Taaffeite tampak makan dengan enggan, terlihat memaksakan diri menghabiskan makanan yang disajikan.
"Kamu tidak harus menghabiskan semuanya. Makanan di Tzaren memang keras dan tidak enak." Tarkh mengira Taaffeite takut dianggap menghina jika tidak menghabiskan makanan. Tabiat kerajaan-kerajaan di utara apabila tamu yang tidak menghabiskan makanan akan dianggap menghina tuan rumah.
Akan tetapi, Taaffeite menggeleng pelan. "Kami diajarkan untuk tidak memilih dan membuang-buang makanan. Banyak di luar sana yang kesulitan mendapatkan makanan. Sejujurnya ini hanya terlalu banyak. Hamba tidak terbiasa."
Tarkh tertegun. Ia lupa bahwa Taaffeite bukan berasal dari keluarga kerajaan yang terbiasa hidup mewah meski gadis itu merupakan anak seorang pemimpin besar.
"Baiklah akan kuperintahkan juru masak istana untuk menyajikan setengah dari porsi biasanya mulai hari ini."
Taaffeite tampak terkejut. "Yang Mulia bukan maksud hamba—."
"—Dan ...." Suara tegas Tarkh mendiamkan Taaffeite. "Dan mulai saat ini jangan menyebut dirimu sendiri seperti itu!"
"M-maksud Yang Mulia?"
"Kita akan segera melangsungkan upacara pernikahan dan penobatan. Kamu akan kuangkat menjadi ratuku, jadi panggillah dirimu sendiri dengan sebutan yang pantas. Kata hamba hanya untuk rakyat jelata."
Taaffeite menatap Tarkh dengan pandangan tak percaya. Ia yang tidak hadir saat Tarkh membagi saudari-saudarinya, jelas tidak tahu akan keputusan Tarkh mengambil para putri Naz untuk dijadikan ratu-ratu baru.
Aku? Jadi ratu?
***
Kesibukan Tarkh membuatnya tak bisa bertemu dengan Taaffeite sepanjang hari itu. Siang hari ia habiskan untuk berdiskusi bersama kepala pelayan istana yang telah diberikan mandat untuk mengurus segala persiapan pernikahan juga menyebar undangan pada saudara-saudaranya yang lain.
Begitu malam tiba, ia segera menghampiri Taaffeite. Gadis itu masih takut dan bahkan terlonjak kaget ketika Tarkh membuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu.
Tarkh meneguk liurnya. Taaffeite makin menggoda dari hari ke hari. Namun, ia harus menahan diri, tahu jika putri-putri Naz dibesarkan dengan kehidupan yang terhormat. Ia tidak akan menyentuh Taffeite sebelum pernikahan mereka.
Tarkh tanpa basa basi duduk di dekat Taaffeite.
"Bagaimana harimu, Fe?"
"Baik, Yang Mulia."
Akan tetapi, Tarkh melihat Taaffeite tampak gelisah. "Ada sesuatu yang mengganggumu? Ada yang ingin kamu tanyakan?"
Taaffeite terlihat ragu tapi memberanikan diri bertanya, "Apakah Yang Mulia tahu ... em ... soal saudari-saudari ham-saya? Apakah mereka akan hadir di pernikahan nanti?"
Tarkh terdiam, teringat percakapannya dengan kepala pelayan istana tadi siang ketika laki-laki tua itu berkata padanya, "Lebih baik tidak mengundang putri-putri Naz yang lain, Yang Mulia."
"Mengapa? Ada masalah?"
"Saya mendapatkan informasi jika beberapa putri Naz yang lain diperlakukan tidak menyenangkan. Saya takut Nona Taaffeite akan terkejut di hari pernikahannya jika melihat ada yang janggal pada saudari-saudarinya dan semakin takut pada Yang Mulia."
"Bocah-bocah sialan itu! Mereka bahkan tidak tahu bagaimana memperlakukan wanita terhormat dengan baik!"
"Kabarnya Jenderal Sirgh juga ...."
"Jenderal Sirgh? Dia berbeda dengan adik-adikku yang lain. Tidak. Ia tidak akan berbuat rendah seperti itu. Tapi ... ya, kau benar, jangan undang putri-putri Naz yang lain sampai aku yakin keadaan mereka semua."
"Yang Mulia ...?"
Suara Taaffeite kembali menyadarkan Tarkh. "Ah itu ... itu tergantung adik-adikku apakah mereka akan membawa saudari-saudarimu yang lain," jawabnya dengan menyembunyikan informasi akan kondisi saudari-saudari gadis itu.
Taaffeite merasa kecewa tapi berusaha disembunyikannya.
"Baju pernikahan seperti apa yang kamu inginkan?" tanya Tarkh, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Penjahit kerajaan ini sangat terampil."
"Baju pernikahan?" Taaffeite memikirkan sesuatu. "Baju pernikahan yang pernah saya lihat hanyalah jubah putih seperti yang dipakai penduduk Kota Suci sehari-hari dengan tudung putih."
"Tentu saja!" seru Tarkh dalam hati.
"Penduduk Kota Suci tidak menggunakan baju lain selain jubah putih tersebut? Sekalipun pada saat pernikahan mereka?!" Tarkh mencoba meyakinkan dirinya. Ia nyaris tidak percaya. Bahkan rakyat biasa di kerajaannya akan sedikit bersolek saat pernikahan.
Taaffeite mengangguk. "Sedikit aneh saat saya harus berganti gaun dengan model berbeda setiap hari selama di sini."
Tarkh tertawa kecil membayangkan pengalaman baru Taaffeite. "Haha .... Baiklah, akan kusuruh penjahit kerajaan memilihkan yang terbaik untukmu. Besok ia akan menemuimu untuk memutuskan gaun apa yang cocok dan mengukur tubuhmu."
Taaffeite memandangnya heran.
"Ada apa? Ada yang aneh?"
"Yang Mulia bisa ... tertawa?"
Tarkh tersenyum sedih. "Aku benar-benar terlihat bagai raja bengis yang tidak punya hati, ya?"
"Eh ... maaf ... saya tidak bermaksud lancang."
"Tidak apa, Fe. Aku senang kamu berkata jujur padaku. Teruslah seperti itu." Tarkh bangkit dan mencium kening Taaffeite. "Tidurlah. Selamat malam."
Tarkh dapat melihat semburat merah muncul di pipi Taaffeite.
***
Tiga hari lagi pernikahan Tarkh dan Taaffeite.
Menurut kebiasaan Kerajaan Tzaren, mulai besok Tarkh tidak boleh menemui Taaffeite hingga hari pernikahan. Maka hari itu dihabiskan dengan mengajak calon ratunya tersebut berkeliling istana.
Semenjak datang ke Tzaren, Tarkh melarang Taaffeite keluar kamar tanpa dirinya dan baru saja ia memiliki waktu luang untuk memperkenalkan istananya. Butuh waktu sehari penuh untuk berkeliling kompleks istana dengan santai.
Taaffeite hanya bisa memandang takjub pada bangunan-bangunan besar yang muram di istana Tarkh.
Tarkh menunjuk bangunan kecil di belakang istana utama. Meskipun terbilang kecil, sesungguhnya itu merupakan bangunan bertingkat dua yang megah dengan taman kecil di sekelilingnya.
"Itu adalah istana selir. Sedangkan ratu akan tinggal di istana utama."
"Berapa selir yang Anda miliki sekarang, Yang Mulia?"
Tarkh sedikit terkejut dengan pertanyaan Taaffeite. "Percaya atau tidak, aku belum pernah menikah."
Kali itu Taaffeite yang tampak terkejut. "Apa perang begitu menyita waktu hingga Yang Mulia belum menikah? Umumnya seorang raja akan menikah muda, entah memiliki selir atau permaisuri."
"Ada seorang pejabat kerajaan yang berusaha menawarkan anaknya padaku. Tapi aku menolaknya dengan tegas."
"Yang Mulia tidak menyukainya?"
Tarkh tersenyum kecil lalu menatap Taaffeite lekat-lekat. Tangannya membelai lembut garis wajah Taaffeite. "Aku tidak bisa membayangkan menikahi wanita selain kamu, Fe."
Tarkh kembali melihat rona kemerahan pada pipi Taaffeite, membuatnya tidak tahan untuk tidak mencium pipi tersebut.
***
Hari pernikahan pun tiba.
Jalan-jalan ramai dipenuhi rakyat jelata. Semua penasaran seperti apa rupa putri Naz yang tersohor dengan kecantikannya, tidak terkecuali raja-raja baru yang merupakan adik-adik Tarkh. Mereka tidak sempat melihat putri Naz yang sudah lebih dulu dipilih dan disembunyikan Tarkh.
Pendeta istana telah siap di depan, berdampingan dengan Tarkh yang tampak gagah dengan pakaian kebesaran seorang raja. Tamu-tamu berbaris rapi di kanan-kiri sepanjang karpet merah jalur pengantin. Kelopak-kelopak mawar hitam, bunga endemik yang hanya tumbuh di Tzaren, tersebar di sepanjang karpet merah dan menampilkan permainan warna yang tajam.
Tarkh menatap gugup pada pintu di ujung aula yang terbuka. Sebentar lagi Taaffeite akan melintasi pintu tersebut.
Semua mata spontan menoleh ke pintu di ujung ruangan ketika penjaga pintu mengumumkan kedatangan Taaffeite.
Sosok Taaffeite pun muncul. Ia mengenakan gaun emas yang merupakan gaun pernikahan khas Tzaren dengan sentuhan putih di ujung lengan dan ujung gaun sebagai detail yang membawa identitas Taaffeite yang berasal dari Kota Suci yang identik dengan warna putih. Rambutnya dibentuk sedemikian rupa dan berhiaskan hiasan kepala dari emas yang menjuntai dengan indah.
Decak kagum terdengar di seantero aula. Seluruh tamu undangan terpana akan kecantikan Taaffeite, tidak terkecuali Tarkh. Ia sudah memimpikan hal itu sejak lama. Melalui perjuangan yang panjang, akhirnya ....
Taaffeite tampak ragu-ragu menginjak kelopak-kelopak bunga hitam yang terhampar di atas karpet merah, jalan yang harus ia lalui hingga sampai ke tempat Tarkh berada.
"Kamu cantik sekali, Fe," bisik Tarkh. Taaffeite menunduk malu.
Setelah perjanjian pernikahan, Taaffeite langsung dinobatkan menjadi ratu saat itu juga.
Ratu yang baru pun mendampingi sang raja menaiki kereta kuda tanpa atap sebagai bagian dari prosesi pernikahan keluarga raja. Raja dan ratu yang baru menikah akan berkeliling di jalan-jalan utama ibu kota sambil menyapa rakyatnya lalu kembali ke istana untuk perjamuan dengan para bangsawan dan tamu-tamu dari kerajaan lain. Dengan kawalan prajurit-prajurit istana, mereka berkeliling di jalan-jalan utama ibu kota. Melambai pada rakyat yang sudah memenuhi jalan-jalan. Terlihat jelas pandangan kagum penduduk ibu kota saat melihat ratu baru mereka yang begitu rupawan.
Akan tetapi ... tiba-tiba ada yang melempar batu dan mengenai Taaffeite, darah menetes dari keningnya.
"Dasar Ratu pembawa masalah! Ratu pemicu perang!" teriak sebuah suara dari belakang kerumunan barisan rakyat.
Tarkh sontak berdiri di kereta kuda dan berteriak murka. "Tangkap orang itu!"
Keributan terjadi saat beberapa prajurit dalam iring-iringan mengejar seseorang yang berteriak tadi.
Tarkh segera memerintahkan agar kereta kuda dan prajurit yang tersisa kembali ke istana. Ia menutupi tubuh Taaffeite yang meringkuk ketakutan dalam dekapannya.
Beberapa tamu undangan kebingungan saat dari pintu aula pernikahan yang terbuka, terlihat kedua tuan rumah melintas dengan terburu-buru. Padahal seharusnya mereka belum kembali dari berkeliling ibu kota. Bisik-bisik pun bergema di seantero aula.
Sementara itu, Tarkh mengantar Taaffeite kembali ke kamarnya lalu bergegas memanggil tabib istana. Ia menatap ratu yang baru dinobatkan tersebut dengan pandangan khawatir. Kening bagian kanan Taaffeite tampak bengkak dan mengeluarkan sedikit darah.
"Tidak begitu parah, Yang Mulia," kata tabib istana yang membersihkan luka Taaffeite dengan hati-hati lalu membubuhkan ramuan.
"Taaffeite beristirahatlah," ucap Tarkh dengan lembut.
Taaffeite menggeleng pelan meski masih kaget dengan apa yang terjadi. Badannya gemetaran dan dadanya dipenuhi rasa takut. Namun, ia harus mendatangi pesta dengan para bangsawan dan tamu undangan dari kerajaan lain, berharap dapat menemukan saudari-saudarinya hadir di sana. Ia tidak terlalu memerhatikan saat upacara pernikahan karena terlalu ramai dan banyak orang.
Seorang putri Naz yang tidak terbiasa akan keramaian juga kemewahan tersebut, nyaris pingsan mulai dari langkah pertama memasuki aula pernikahan dengan semua mata memandangnya ditambah baju berat yang tidak nyaman.
"Saya tidak apa-apa, Yang Mulia. Mohon izinkan saya hadir di perjamuan dengan para bangsawan."
Tarkh memandangnya iba lalu mengelus lembut pipi Taaffeite. "Baiklah kalau itu maumu. Tapi jika kamu merasa tidak kuat, kembalilah ke kamar."
Taaffeite mengangguk.
"Atur ulang rambutnya agar lukanya tidak terlihat!" perintah Tarkh pada seorang dayang yang sejak hari pertama sudah ditempatkan di kamar Taaffeite. Dayang tersebut langsung bergerak cepat dengan membuka hiasan kepala dan kembali menjalin rambut Taaffeite dengan indah. Kali itu sebuah mahkota ratu disematkan.
Tarkh menunggu dengan sabar di dalam ruangan, lalu mengulurkan tangannya pada Taaffeite yang telah didandani ulang.
"Kemarilah. Tidak akan kubiarkan kejadian tadi terjadi lagi. Aku akan melindungimu dengan segenap jiwa raga, Ratuku."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top