Chapter 49 - Kerajaan Bielinca: Gelombang Kematian
"Ba-bagaimana mungkin?!"
Pemimpin Kubu Pengrajin terperangah ketika melihat para prajuritnya dihabisi dengan mudah oleh prajurit-prajurit berjubah merah yang menerjang masuk bagai air bah.
Keadaan pun berbalik. Lantas orang-orang Kubu Beriman yang terpojok dengan puluhan mata pedang mengarah pada mereka.
"Apa yang membingungkanmu, Tuan?"
Terdengar suara wanita dari belakang kepungan barikade prajurit Ezze. Beberapa prajurit menyingkir untuk memberi jalan pada ratu mereka yang mendekati gerombolan Kubu Pengrajin.
"Ratu Ruby ...." Tampak pemimpin Kubu Pengrajin masih mencerna apa yang sedang terjadi. "Bagaimana bisa ada sebanyak ini pasukan Ezze di ibu kota Bielinca?"
Ruby terkekeh. "Sederhana saja. Kau mengirimkan hampir semua prajurit kubumu untuk menghabisi pasukan Tzaren di benteng utara. Dari sisa prajurit yang sedikit itu, sebagian besar berada di istana untuk memuluskan jalanmu melaksanakan kudeta. Kau benar-benar percaya diri hingga tidak menjaga ibu kota dengan baik."
"Ta-tapi mengapa tidak ada yang melapor kalau prajurit Ezze menyerbu ibu kota?!"
"Untuk itu aku berterima kasih pada rekan baruku dari Kubu Orang Beriman. Mereka membantu menyingkirkan prajurit di lapisan terluar istana supaya jalur informasi ke dalam terputus. Beliau juga yang menyarankan untuk menahan semua pandai besi agar tidak ada serangan yang tidak perlu dari pekerja-pekerja kubu kalian."
Pemimpin Kubu Pengrajin memandang murka pada pemimpin Kubu Orang Beriman yang berdiri di dekat Ruby. Ia kemudian balik menatap Ruby.
"Huh! Hanya segitu prajurit yang Yang Mulia Ratu bawa? Sebentar lagi prajurit saya akan menyerbu ibu kota!"
"Aku sudah mengonfirmasi posisi prajuritmu. Jarak mereka masih dua hari dari ibu kota. Pada saat itu, kalian semua pasti sudah mati."
Pemimpin Kubu Pengrajin terkekeh. "Ternyata Yang Mulia sama butanya dengan Raja Tarkh. Kalian mengira masih memegang kendali, padahal kemudi sudah direbut orang lain. Tidak, Yang Mulia. Penjagaan ibu kota tidak ketat bukan karena sedikit prajurit yang berjaga, tapi karena ada pasukan lain yang mengisi tugas tersebut. Mereka seharusnya sudah dekat dengan ibu kota. Sebentar lagi pasukan itu akan menyerbu—"
"—Pasukan lain?" potong Ruby. "Maksudmu tentara bayaran Aritoria?"
Pemimpin Kubu Pengrajin terbelalak. "Bagai—"
"—Bagaimana aku tahu?" Ruby tampak tidak sabar. Ia memotong kata-kata tanpa peduli pada norma kesopanan. "Itu karena Ezze membayar mereka lebih mahal dari kalian sehingga mereka setuju untuk pulang kembali ke Kerajaan Aritoria."
Orang-orang Kubu Pengrajin lantas pucat pasi mendengar kata-kata Ruby.
"Berkat kalian yang menolak tawaran senjata dengan harga tiga kali lipat, Kerajaan Ezze masih mempunyai dana lebih untuk membayar tentara bayaran Aritoria. Pada akhirnya senjata-senjata yang sedang kalian siapkan untuk pihak Raja Sirgh akan jatuh ke tangan kami juga. Pfftt ...," lanjut Ruby sambil tertawa geli. Ia lalu menoleh pada pemimpin Kubu Orang Beriman. "Apa yang harus kulakukan pada bangsawan Bielinca sebanyak ini?"
Pemimpin Kubu Orang Beriman sedikit menunduk dan menjawab dengan tenang. "Sebaiknya ditangkap dan dipenjarakan. Biar Ratu Lazuli sebagai ratu saat ini yang akan memutuskan begitu keadaan beliau lebih stabil."
"Tangkap mereka dan masukkan ke penjara istana!" perintah Ruby pada pasukannya.
Prajurit-prajurit Ezze pun mengikat dan menyeret bangsawan-bangsawan Kubu Pengrajin.
"Jangan sentuh aku!" Pemimpin Kubu Pengrajin berusaha memberontak. Ia memandang murka pada Ruby. "Tunggu saja sampai prajuritku kembali! Prajurit Ezze akan dilibas!"
Ruby mengernyit sambil tersenyum miring. "Apakah kau menganggap lemah pasukan Ezze sampai-sampai kau berpikir mereka akan kalah dari prajurit Bielinca? Atau ... kau pikir aku hanya membawa sedikit pasukan?" Ruby kembali terkekeh.
Pemimpin Kubu Pengrajin lantas menyadari sesuatu.
"Tidak mungkin ...."
"Selamat datang di perang besar jilid dua, Tuan."
***
Suasana di aula pernikahan istana Bielinca begitu kacau. Darah, pedang, hingga mayat menghiasi hampir setiap sisi ruangan besar tersebut. Tangis dan rintihan terdengar dari berbagai arah. Sebagian besar tamu pesta pernikahan berdarah itu gemetar ketakutan pada apa yang baru saja mereka lalui.
Ruby mendekati Tarkh yang tampak berduka. Raut wajah sang raja begitu menyiratkan kepedihan. Pria itu berlutut sambil mendekatkan tubuh Jenderal Tengah dan kepala dari seorang Mayor Jenderal Tzaren. Ia lalu membentangkan kain hitam untuk menutupi kedua orang yang masih merupakan kerabatnya tersebut.
Sepertinya kamu mulai menuai karma-mu, Tarkh.
Ruby menaruh tangannya di pundak Tarkh. "Kita harus bicara."
Tarkh mengernyit. Ia bangkit dan menundukkan kepala, menghadap Ruby yang lebih pendek darinya.
"Yang Mulia!" Terdengar suara yang dikenal Tarkh.
Tarkh melihat sekeliling. Ia terkejut karena baru menyadari prajurit-prajurit pengawal khusus-nya telah dilumpuhkan dan ditahan dengan pedang-pedang yang mengarah ke leher mereka masing-masing. Pandangannya dengan cepat menoleh kembali pada Ruby.
"Apa kau ingin menghabisiku juga?" Tarkh menggeram.
Ya. Aku ingin sekali merobek lehermu itu! Tapi aku masih memerlukanmu untuk menyelamatkan Taaffeite.
"Sebaliknya, saya ingin membantu Anda."
Ruby menyodorkan pedang Tarkh yang tadi tergeletak di lantai karena sang raja mengurusi mayat kerabatnya.
Tanpa ragu Tarkh mengambil pedangnya dari tangan Ruby.
"Kalau begitu mengapa kau menahan pengawalku?"
Ruby tersenyum lebar. "Agar Anda lebih mudah menghabisi pengkhianat di sekitar Anda."
Ekspresi Tarkh mengeras. "Beraninya kau menuduh pengawalku sebagai pengkhianat! Kau pikir aku akan memercayai kata-katamu?!"
"Memangnya Anda tidak akan percaya pada saya? Lantas siapa yang Anda percaya? Orang-orang Tzaren bahkan tidak lagi menganggap Anda sebagai raja. Kalau Anda tidak memercayai saya, coba saja siksa mereka untuk mengatakan kebenarannya. Saya akan meminta untuk dipinjamkan ruang interogasi di istana ini."
"Untuk apa aku melakukan itu pada prajuritku sendiri?!"
Ruby mengambil sesuatu dari saku gaunnya, sebuah kertas yang tergulung. Ia lalu menyodorkan gulungan itu pada Tarkh.
"Prajurit saya menemukan ini pada saat menggeledah mereka."
Tarkh segera membaca isi dari gulungan surat, kemudian wajahnya berubah menjadi pucat.
Surat itu berisi perintah untuk membunuh Tarkh di tengah kekacauan kudeta Bielinca. Isi surat yang mengejutkan, tapi bisa dipalsukan karena tidak ada cap segel lilin yang menandakan siapa si pengirim surat. Meski demikian, Tarkh yakin kalau surat itu benar-benar dari seorang berkedudukan tinggi di Kerajaan Tzaren.
Untuk menjamin surat-surat rahasia tanpa segel berisi informasi yang memang kredibel, orang-orang penting di Kerajaan Tzaren memiliki kode rahasia yang menunjukkan siapa pengirimnya. Kode tersebut diselipkan di antara kata-kata dalam surat. Namun, kode itu hanya diketahui orang-orang tertentu, yakni petinggi militer dan pemimpin keluarga bangsawan yang memiliki jabatan penting di pemerintah termasuk juga sang raja itu sendiri.
Tarkh meremas kertas di tangannya. Kemurkaan terlukis jelas di wajahnya. Ia menggeram kencang saat menyebut satu nama: "Putri Kleih."
Ruby menyuruh dayangnya memanggil seseorang. Tidak lama kemudian, pemimpin Kubu Orang Beriman datang dengan cepat.
"Yang Mulia membutuhkan sesuatu?" tanya pemimpin Kubu Orang Beriman.
"Raja Tarkh ingin meminjam ruang dan peralatan interogasi. Apakah kalian berkenan meminjamkan?" jawab Ruby.
Pemimpin Kubu Orang Beriman menundukkan kepalanya. "Tentu saja. Silakan ikuti saya."
Tarkh pun mengikuti pemimpin Kubu Orang Beriman sambil menahan diri untuk tidak peduli pada erangan minta tolong dari pengawal raja yang sudah menemaninya bertahun-tahun semenjak ia diangkat menjadi Raja Tzaren.
Tarkh yang mempunyai pengalaman dalam mendapatkan informasi dari seseorang melalui penyiksaan, dengan mudah menemukan kenyataan bahwa apa yang dikatakan Ruby benar adanya.
Pengawal khususnya ada yang mati bunuh diri dengan mengigit lidah sampai putus karena tidak ingin membocorkan rahasia, ada yang meraung-raung memohon ampun karena tidak tahan disiksa, ada pula yang mengaku terpaksa mengkhianatinya karena keluarga mereka di Tzaren diancam akan dibunuh jika tidak ikut berpartisipasi dalam rencana penggulingan Raja Tzaren. Namun, satu hal yang pasti: tidak ada satu pun prajurit pengawal khusus raja yang tidak berkhianat padanya. Kenyataan yang menamparnya dengan keras.
Kemudian kekhawatiran lain mencengkeram Tarkh dengan kuat.
"Fe ...."
Tarkh pun segera berlalu dari ruang interogasi dan bergegas mencari Ruby.
***
"Raja Sirgh tidak hadir di pesta pernikahan," ujar asisten Raja Ezze yang menemani Ruby hingga ke Kerajaan Bielinca. "Yang menjadi perwakilan Kerajaan Kraalovna pada pesta kali ini adalah bangsawan asli Kraalovna yang tidak tahu apa-apa."
"Sepertinya dia merasa tidak perlu lagi datang karena pemberhentian terakhir dari pernikahan raja-raja dengan putri-putri Naz sudah bukan di Kerajaan Kraalovna, melainkan saat ini: di Bielinca. Dia tidak perlu repot-repot menyetor mukanya pada Raja Tarkh karena pernikahannya sendiri tidak akan terjadi," balas Ruby sambil berjalan cepat. Ia hendak menemui adiknya, Lazuli, yang diamankan di suatu kamar istana bersama Rakha yang sekarat.
Saat Ruby memasuki sebuah ruangan yang ditunjukkan seorang pelayan istana, adiknya segera menghambur ke pelukannya.
"Hiks ... Kak Ruby! Rakha .... Hiks-hiks. Rakha ...." Sang ratu muda, Lazuli, tidak bisa mengontrol tangisannya.
Ruby tertegun, baru kali itu ia mendapati adiknya tersebut menangis sekencang itu. Wajah Lazuli sembap dengan mata memerah.
Pandangan Ruby pun beralih ke tempat tidur besar yang terletak di sebelah kiri pintu masuk. Tampaknya ruangan tersebut hanyalah satu dari sekian banyak kamar biasa di istana, bukan kamar untuk raja. Di sekeliling tempat tidur sudah dipenuhi tabib-tabib kerajaan dan beberapa bangsawan tinggi yang tersisa.
Ruby berjalan mendekat ke tempat tidur sambil menggandeng Lazuli. Ia lantas dapat melihat sesosok tubuh pria muda yang telah menutup mata dalam damai, terbaring kaku di atas tempat tidur.
Baju sang raja telah diganti dengan pakaian resmi Raja Bielinca dan tubuhnya telah dibersihkan dari darah juga keringat. Bibirnya membiru diikuti urat-urat nadinya yang berwarna senada.
Ruby pun menundukkan kepalanya. "Saya turut berduka cita atas kepergian Raja Bielinca."
Seluruh orang di sekitar tubuh mendiang raja menoleh pada Ruby dan menunduk sekilas, menerima ucapan belasungkawa ratu dari kerajaan lain tersebut dengan ekspresi sedih.
Seorang bangsawan mendekati Lazuli.
"Yang Mulia Ratu, raja telah siap dimakamkan. Apakah kematian raja sudah boleh diumumkan pada rakyat?" tanya si bangsawan.
"Aku tidak tahu ... hiks." Lazuli masih menangis di pelukan Ruby.
"Yang Muli—"
"—AKU BILANG AKU TIDAK TAHU! PERSETAN DENGAN SEMUA ITU! RAKHA SUDAH ... hiks. Rakha ...."
Lazuli tampak sangat terpukul hingga kehilangan rasionalitasnya.
Ruby melirik sekilas ke bangsawan yang tadi bertanya lalu melihat ke arah bangsawan lain dan para tabib yang semuanya sedang memandang kehisterisan ratu mereka sebagai sesuatu yang sangat disayangkan. Ia tahu orang-orang Bielinca itu memang memasang ekspresi sedih, tapi mereka tidak sungguh-sungguh menangisi kepergian raja dari keturunan asing yang belum lama memimpin mereka. Ia dapat memaklumi topeng yang digunakan tersebut.
"Tolong maklumi adik saya. Saya akan membantunya menenangkan diri dulu. Apakah ada ruangan lain yang bisa kami pakai?" tanya Ruby yang mencoba menyelamatkan wibawa Lazuli.
Ruby lantas mengajak adiknya untuk pindah ke ruangan lain yang ditunjukkan dayang Ratu Bielinca.
"Biarkan kami berdua. Kalau ada yang mencariku atau ratu kalian, sampaikan kalau kami berada di sini," ucap Ruby pada dayang yang mengantarnya.
Dayang tersebut mengiakan dan memberi hormat sebelum undur diri.
"Beri tahu Kepala Dayang Ellise untuk membawa prajurit-prajurit Ezze yang sudah mengecat merah rambut mereka padaku," lanjut Ruby pada asistennya.
Asisten raja pun membungkuk dan berlalu pergi, meninggalkan kedua ratu bersama di dalam ruangan.
Setelah pintu kamar ditutup, Ruby mendatangi Lazuli di atas tempat tidur lalu memeluk adiknya.
"Menangislah sepuasnya, Laz."
Mendengar ucapan seperti itu, sang adik menangis makin keras dan tidak lagi menahan perasaannya sedikit pun.
Setelah menangis cukup lama, Lazuli mulai mengatur napasnya. Pandangannnya kosong seperti hatinya, seolah-olah ada lubang hitam di sana.
Ruby mengelus rambut adiknya tersebut.
"Kau begitu mencintai Raja Rakha, ya?"
Lazuli menghela napasnya. "Aku belum pernah menemui orang seperti itu, punya segalanya tapi begitu polos. Dia menghargaiku dan menghormatiku. Rakha juga memaklumi setiap kekacauan yang kubuat. Aku lupa kapan aku mulai tertarik padanya. Rasanya perasaan ini mengalir dengan alami. Mungkin karena kami selalu bersama semenjak tiba di istana Bielinca. Kalau kupikir-pikir, aku jauh lebih dulu beradaptasi di sini dibanding Rakha. Kakak tahu? Rakha adalah anak yang begitu pemalu."
"Dan lebih kalem jika dibandingkan denganmu. Aku selalu berpikir kaulah rajanya dan Raja Rakha-lah ratunya."
Lazuli tertawa geli beberapa saat sebelum kembali murung.
"Aku dengar Kakak menemukan pelakunya. Apakah sesuai dugaanku?"
Ruby pun menceritakan ulang kejadian di aula pernikahan, mulai dari Rakha dan Lazuli yang dibawa pergi untuk diamankan hingga prajurit Ezze yang mengambil alih keamanan istana Bielinca.
"Kalau Kak Ruby sudah mempersiapkan sebegitu matang, mengapa Kakak tidak bisa menghentikan peracunan Rakha?" tanya Lazuli lagi.
"Aku tidak tahu jika Rakha akan diracun. Aku pikir mereka akan melakukan kudeta secara militer saja. Aku tidak memiliki kendali atas orang-orang di istanamu," jawab Ruby. Ia mengatakan kebohongan yang sudah disepakatinya dengan pemimpin Kubu Orang Beriman.
Hanya sedikit yang mengetahui kenyataan jika pemimpin Kubu Orang Beriman membiarkan rajanya sendiri mati untuk diracun oleh kubu lawan, bahkan sempat menukar diam-diam racun yang akan digunakan agar bisa mengalihkan tuduhan.
"Jadi begitu .... Ini semua salahku yang tidak mengendalikan istanaku sendiri!" Awalnya terlihat penyesalan mendalam di wajah Lazuli. Namun, perlahan-lahan mulai muncul api di mata sang ratu muda yang tadinya kosong, mendukung suaranya yang berubah menjadi geraman. "Selanjutnya apa yang harus kulakukan pada biadab rakus itu?"
"Terserah padamu. Semua menunggu keputusanmu terhadap para pemberontak itu."
Lazuli menegakkan tubuhnya. "Benar. Saat ini aku adalah pemimpin tunggal Bielinca. Apa Kakak bisa tunjukkan padaku di mana pemberontak terkutuk itu?"
Ruby pun menggandeng adiknya pergi melalui lorong-lorong istana Bielinca, melewati beberapa orang penghuni istana yang segera menunduk ketakutan melihat perubahan wajah ratu mereka yang biasanya ceria menjadi dingin dan datar. Perubahan drastis seperti itu biasanya akan diikuti dengan dampak yang mengerikan.
Ruby dan Lazuli sampai di barisan sel tahanan para pemberontak dari Kubu Pengrajin. Masing-masing pemberontak ditempatkan di sel yang berbeda.
Kedua ratu masuk ke sel terdekat diikuti kepala sipir penjara. Seorang pemberontak pria telah dirantai di tengah ruangan sehingga kedua tangannya terangkat ke atas dan mulutnya pun disumpal kain. Bangsawan pemberontak tersebut hanya bisa menatap benci pada ratunya.
"Pinjamkan pedangmu dan turunkan tangan pemberontak itu!" perintah Lazuli pada kepala sipir penjara.
Kepala sipir penjara terlihat kebingungan, tapi tetap melaksanakan perintah.
Tepat pada saat kedua tangan pemberontak diturunkan, Lazuli langsung menebas kepala si pemberontak. Kepala yang langsung terguling di lantai kotor penjara itu memuncratkan darah yang mengalir deras.
Lazuli terdiam sebentar menatap kematian di hadapannya.
"Ternyata langsung menebas kepala musuh tidak begitu menyenangkan. Kematian mereka terlalu cepat," kata Lazuli dengan dingin.
Kepala sipir penjara tampak terguncang melihat kelakuan ratunya, tidak menyangka jika keturunan seorang Naz dapat membunuh dengan tenang.
Sementara itu, Ruby justru tersenyum santai.
"Aku tidak menyangka kau bisa menggunakan pedang."
"Kak Alex sempat mengajariku. Katanya seorang wanita sekalipun harus bisa mempertahankan dirinya."
Mendengar nama adiknya yang lain disebut, membuat Ruby bertanya-tanya akan keadaan Alexandrite yang sudah ia kirim jauh tanpa persetujuan Alexandrite sendiri. Keputusan itu pun tidak ia sesali sama sekali meski mereka harus berpisah jauh.
Lazuli keluar dari sel tersebut lalu pergi ke sel lain diikuti kakaknya dan kepala sipir penjara. Mereka memasuki sel di sebelah sel sebelumnya. Keadaan tahanan di sana sama dengan tahanan di sel pertama. Namun, kali itu Lazuli tidak meminta kepala sipir penjara untuk menurunkan tangan si tahanan.
Melihat darah menetes dari pedang yang dibawa sang ratu, membuat pemberontak di hadapan Lazuli menangis ketakutan. Ia semakin meronta meski tidak ada gerakan yang dapat membuatnya menghindar ketika Lazuli menaikkan pedang ke arahnya.
"Kalau tidak salah, di sini adalah letak jantung."
Dengan perlahan-lahan Lazuli menusukkan pedang ke dada kiri si tahanan. Darah lantas kembali memuncrati wajah dan pakaian sang ratu.
"Bagaimana?" tanya Ruby.
"Hm ... masih tidak memuaskan juga," jawab Lazuli yang memandang dingin pada bangsawan pemberontak yang sedang meregang nyawa. "Sepertinya aku perlu belajar cara menyiksa seseorang."
Saat mereka akan memasuki sel ketiga, terdengar langkah bergema yang datang dari arah pintu masuk area penjara. Muncul sesosok besar yang juga penuh darah seperti Lazuli.
Tarkh tampak semakin mengerikan dengan darah menghiasi dirinya. Ia mendekati Ruby.
"Ratu Ruby, kau benar. Mereka adalah pengkhianat dan kudeta sudah berjalan di Kerajaan Tzaren. Aku akan pergi ke istana Tzaren untuk menyelamatkan ratuku," ucap Tarkh. Ia sempat melirik sekilas pada Lazuli yang memegang pedang dan bernoda darah.
Tarkh ingin melakukan hal yang sama pada pembunuh adik bungsunya, Rakha. Namun, ia berpendapat saat itu menyelamatkan yang hidup jauh lebih penting dibanding meratapi yang mati. Ia sungguh berharap ratunya, Taaffeite, beserta anaknya dalam keadaan baik-baik saja.
"Baiklah. Saya akan memberikan kuda dan perbekalan. Apakah Anda berniat pergi ke Tzaren sendiri?"
Tarkh mengiakan. "Apa boleh buat, aku tidak tahu siapa lagi yang bisa kupercaya."
"...."
Tepat saat Ruby hendak mengucapkan sesuatu, terdengar derap langkah beberapa orang yang juga mendekat ke arah mereka.
Kepala dayang Ratu Ruby membawa beberapa orang berkepala merah yang mengenakan tudung di belakangnya. Orang-orang itu memakai baju khas prajurit Tzaren.
"Ah, pas sekali mereka datang."
"Pasukan Tzaren?" Tarkh memandang bingung. Rambut pria-pria di depannya memang berwarna merah, tapi ia merasa asing dengan wajah mereka. "Bukankah kau sudah menangkap prajurit Tzaren yang kubawa."
"Bukan, Raja Tarkh. Mereka adalah prajurit-prajurit Ezze yang menyusup ke Benteng Utara Bielinca yang didiami pasukan Tzaren," balas Ruby.
"Untuk apa kau melakukannya?"
"Saya ingin mereka membawakan kabar tentang Kota Suci. Bukankah Kerajaan Tzaren tidak mengizinkan siapa pun pergi ke sana? Apa boleh buat, ini satu-satunya cara."
Lazuli tersentak. "Kota Suci? Bagaimana kabar ibuku dan Az?" Terdengar sedikit semangat dari suaranya.
"Tenanglah, Lazuli. Mereka baru akan melaporkan padaku."
Seorang prajurit bertudung maju ke depan dan membungkuk.
"Lapor, Yang Mulia. Kota Suci ...." Prajurit Ezze bertudung tampak ragu saat akan menyampaikan laporan lengkapnya. "Seluruh penjuru Kota Suci Verhalla dipenuhi darah dan mayat. Kami tidak menemukan satu orang pun yang selamat di sana."
"Apa?!"
Semua orang yang mendengar lantas terkejut atas informasi tersebut.
"Ibu?! Bagaimana dengan ibuku?!"
Lazuli mencengkeram prajurit Ezze penyampai berita. Ia terdengar sangat ketakutan untuk menghadapi kemungkinan terburuk.
"Kami menemukan tubuh Nyonya Naz bersama Az kecil diikat dan ditancapkan pada sebuah tiang dengan bendera Tzaren yang berkibar. Tiang di halaman puri Naz itu menembus tubuh keduanya dari depan ke belakang. Jejak di tubuh menyiratkan kalau sepertinya mereka masih hidup saat ditusukkan ke tiang bendera."
Lazuli menjerit kencang. Ia langsung lemas dan hampir saja terjatuh sebelum ditangkap oleh kakaknya.
"Lazuli!"
Lazuli menangis dan berteriak-teriak di dalam dekapan kakaknya. "Ibu! Tidak mungkin! Huaaaaa! Ibuuu!"
Tiga berita kematian orang yang disayangnya dalam satu hari telah membuat mental Lazuli terpukul dengan kuat.
"Panggil pengawal adikku!" perintah Ruby pada kepala dayangnya yang segera keluar dari area penjara dan kembali membawa seorang prajurit khusus pengawal ratu. Ia kemudian meminta kesatria pengawal tersebut untuk membawa adiknya ke kamar lalu memanggil tabib setelahnya.
Saat hendak menyusul si kesatria, lengan Ruby digenggam Tarkh.
"Aku tahu kau mengkhawatirkan adikmu itu, tapi adikmu yang lain juga butuh bantuan. Bisakah sekarang aku mendapatkan kuda dan perbekalan yang kau katakan?" tanya Tarkh yang tampak tidak sabar.
"Ah ...." Ruby menoleh pada sebelas prajurit Ezze dengan tudung dan rambut yang sudah dicat sewarna bangsa Tzaren. "Saya lupa menyampaikan ini. Bawalah mereka. Mereka adalah prajurit Ezze yang terlatih dalam menyelinap. Mereka bisa menjadi bantuan untuk Anda."
"Aku tidak perlu bantuan dari orang yang tidak kukenal!"
Tampaknya Raja Tarkh mengalami krisis kepercayaan setelah dikhianati kesatria-kesatria pengawalnya yang telah mendampinginya selama bertahun-tahun, bahkan menghadapi situasi hidup dan mati bersama-sama pula.
"Kita sedang membicarakan nyawa adik saya, Taaffeite!" Suara Ruby terdengar jika ia tidak ingin bernegosiasi. "Saya tidak bisa memercayakan penyelamatan adik saya hanya pada satu orang semata. Anda menolak atau tidak, mereka akan tetap saya perintahkan untuk misi penyelamatan Taaffeite!"
Tarkh terdiam sejenak. "Baiklah. Baiklah. Tapi aku akan menghabisi mereka kalau mereka hanya menjadi beban!"
"Percayalah, mereka adalah prajurit-prajurit terbaik Ezze yang berani mati demi misi." Ruby menoleh pada kesebelas pasukan bertudungnya. "Siapkan kuda dan perbekalan! Kalian berangkat ke Kerajaan Tzaren saat ini juga!"
"Baik, Yang Mulia!"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top