Chapter 45 - Kejadian Demi Kejadian (2)
Raja Zakh dan Ratu Jade
Selama dua hari penuh Zakh mengadakan rapat darurat bersama dewan penasihatnya tanpa beristirahat. Rapat dimulai dari penyelewangan kekuasaan oleh kepala dayang ratu yang bernama Iris, hingga transaksi bahan senjata dan persenjataan yang melewati pelabuhan Aritoria lalu disebar ke seluruh kerajaan lain yang tidak diketahui sama sekali oleh raja.
Rapat baru dihentikan sementara setelah sebuah kabar mengejutkan disampaikan oleh seorang prajurit khusus pengawal ratu kepada Zakh.
"Lapor, Yang Mulia. Kereta kuda Yang Mulia Ratu dihentikan oleh rakyat di jalanan ibu kota. Mereka menuntut Yang Mulia Ratu terkait beberapa hal."
Zakh tersentak. "Jade?! Bagaimana dengan Ratu Jade?"
"Istana sudah mengirimkan pasukan dan Yang Mulia Ratu berhasil sampai di istananya. Tapi Yang Mulia Ratu saat ini masih dalam keadaan terguncang."
Zakh segera berdiri dari kursinya. Ia menatap para dewan penasihat raja yang memandangnya dengan tatapan bertanya-tanya.
"Rapat kububarkan hari ini. Kembalilah besok dengan membawa jalan keluar dari masalah-masalah ini!"
Zakh lantas berjalan cepat keluar ruangan, meninggalkan bangsawan-bangsawan dewan penasihat raja yang tampak lelah dan tertekan.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi Zakh untuk sampai ke istana ratu. Beberapa penghuni istana yang berada di jalur perjalanan menuju istana ratu menyadari jika ada masalah yang sedang menimpa, baik raja maupun ratu kerajaan itu, hanya dengan merasakan tekanan yang terpancar dari aura raja.
"Jade!"
Zakh segera memasuki kamar tidur ratu dan menghampiri sang ratu.
Tampak Jade sedang dikelilingi dayang-dayang yang berusaha menenangkannya. Dayang-dayang itu segera mengambil jarak begitu Zakh mendekat.
Zakh memeluk ratunya. Ia bisa merasakan Jade yang gemetar dalam pelukannya. Segera ia memberi isyarat untuk mengosongkan ruangan dan para dayang pun mengundurkan diri lalu menutup pintu kamar tidur ratu.
"Kau baik-baik saja?" tanya Zakh.
"Apa ... yang ... terjadi? Orang-orang berteriak padaku. Aku ... tidak mengerti," jawab Jade dengan menahan tangis. Ia ketakutan dan terkejut.
Zakh lalu menjelaskan penyelewengan kekuasaan dengan stempel ratu yang dilakukan kepala dayang selama Jade sedang dalam proses pembelajaran ratu. Penyelewengan yang bisa dirasakan dampaknya oleh rakyat kerajaan. Mulai dari pembayaran-pembayaran yang tidak dilaksanakan, pembelian barang mewah secara berlebihan atas nama ratu yang terdengar oleh rakyat, sampai fasilitas dalam pengelolaan ratu yang tidak terurus dengan baik seperti panti asuhan.
"Aku tidak menyangka rakyat akan merespons secepat ini. Rakyat tidak tahu kalau semua dilakukan oleh kepala dayangmu," lanjut Zakh sambil mengutuk dirinya dalam hati mengapa ia tidak peka dengan situasi yang sedang terjadi di depan hidungnya.
Zakh malah terlena dengan kondisi Aritoria yang rapi dan makmur sehingga pikirannya terpusat pada pengembangan Kerajaan Aritoria agar dirinya makin diterima oleh bangsa Aritoria. Namun, tanpa ia sadari orang-orang sebangsanya justru mendorongnya ke jurang.
Jade terkejut. Padahal belum genap dua minggu ia menerima stempel ratu dan mulai melaksanakan tugas. Meski tahu dirinya masih membutuhkan banyak bantuan, tapi Jade yakin jika ia memulai dengan baik. Lantas masalah sebesar itu datang ... tentunya hanya dia dan raja yang akan disalahkan.
"Sementara ini berdiamlah dulu di istana ratu dan laksanakan tugasmu di sini. Jangan keluar dari istana dulu. Aku dan dewan penasihat akan mencari jalan keluar untuk masalah ini," ucap Zakh untuk menenangkan ratunya.
Jade melepas pelukan sang raja.
"Aku akan membantu! Katakan saja apa yang bisa kulakukan!" seru Jade. Namun, suara yang terdengar masih bergetar. Ia kemudian mencengkeram bagian dada gaunnya. "Maaf, Zakh. Ini salahku yang tidak kompeten sebagai ratu. Andai saja ... andai saja aku memiliki kemampuan dan pengetahuan sebelumnya, semua masalah ini seharusnya terbongkar lebih cepat ... atau bahkan tidak akan pernah terjadi."
"Tenanglah, Jade ... tidak ada yang mengira ini akan terjadi. Aku juga punya peran dalam masalah ini karena memercayai orang yang salah." Zakh mengelus pipi sang ratu. Ia menghela napas dengan keras. "Bahkan kesalahanku juga membuat Aritoria dalam bahaya."
"Bahaya?" Jade memandang dengan tatapan bertanya-tanya.
"Aku gagal mendeteksi ancaman yang sedang terjadi. Kerajaan-kerajaan lain sedang bersiap untuk perang. Mereka sudah mengumpulkan persenjataan dan Aritoria justru tidak bersiap sama sekali."
"Perang?! ... Kalau begitu kata-kata Kak Ruby waktu itu benar?"
"Apa maksudmu?"
Jade lantas tersadar jika sudah keceplosan mengatakan hal yang sudah lama ia sembunyikan dari pasangannya.
"Itu ...." Jade menundukkan pandangannya. Ia menghindari tatapan menyelidik Zakh.
Suara Zakh berubah dingin. "Ratu Ruby mengatakan apa?"
Jade hanya terdiam. Ia menjadi takut akan hal lain.
Zakh mencengkeram kedua lengan ratu. "APA YANG DIKATAKAN RATU RUBY?!" Untuk pertama kalinya sang raja berteriak pada ratunya.
"Uhh ... Kak Ruby bilang ... perang akan datang dan musuh sudah menghimpun kekuatan," jawab Jade sambil gemetar ketakutan. Baru kali itu ia melihat Zakh yang dingin dan tenang, menjadi murka padanya.
Jika Ratu Ruby ... apakah berarti Oukha juga terlibat. "Siapa musuh yang dimaksud?!"
"Raja Sirgh ... dan bangsawan-bangsawan Tzaren."
Jawaban ratunya mengejutkan Zakh. "Bangsawan Tzaren? Apakah Kak Tarkh tahu tentang itu?"
Jade menggelengkan kepalanya.
"Kapan Ratu Ruby menyampaikan hal itu?!"
"Saat pemakaman Pearl di Kerajaan Innist."
Tangan Raja Zakh terkulai lemas. Sudah selama itu persiapan perang dilakukan dan aku tidak tahu sama sekali?!
"Mengapa kau tidak menyampaikannya padaku, Jade?" Suara Zakh berubah menjadi tajam.
"A-aku .... Maafkan aku." Air mata Jade mulai turun. "Kak Ruby ... memintaku merahasiakannya."
Raja Zakh terdiam dan menunduk. Tidak lama kemudian ia tertawa sinis. "Hahaha! Kupikir hanya Kak Tarkh yang nalarnya menjadi tumpul karena wanita. Ternyata aku pun tidak jauh beda dengannya. Dua wanita yang paling kupercaya justru merahasiakan hal penting dariku dan mengkhianatiku."
"A-Aku tidak mengkhianatimu, Zakh ...."
Tangan Jade meraih wajah Zakh tapi segera ditepis sang raja.
Ekspresi Zakh berubah dingin. Ia turun dari tempat tidur sambil memanggil asistennya yang sudah bersiap di depan pintu setiap saat dirinya berkunjung ke kamar ratu.
"Yang Mulia membutuhkan saya?" tanya asisten Zakh yang masuk segera setelah raja memanggil.
"Apakah semua dewan penasihat sudah pulang?"
"Mereka sudah kembali ke kediaman masing-masing untuk beristirahat."
"Bagus! Segera kirimkan surat pemberitahuan kepada semua dewan penasihat agar kembali melanjutkan rapat dua hari lagi!" Zakh melirik tajam pada Jade. "Rapat ditunda sehari karena mereka harus mengumpulkan profil calon-calon selir utama yang akan menggantikan ratu dalam melaksanakan tugas. Berikan profil itu saat rapat esok lusa! Selir utama harus ditentukan secepat mungkin!"
"Zakh ...." Jade memandang rajanya dengan pipi yang basah oleh air mata.
Zakh mengalihkan pandangannya dan melangkahkan kakinya pergi dari kamar ratu. "Seharusnya aku melakukan ini sejak lama," geramnya.
***
Mia
Mia, salah satu dayang ratu Innist yang diselamatkan dari perbudakan Ezze, menghabiskan waktunya di selatan Kerajaan Innist dengan menyamar sebagai pedagang kecil yang berpindah dari satu desa ke desa lain. Ia membawa bahan pangan berkualitas rendah yang biasa dikonsumsi rakyat-rakyat Kerajaan Innist yang miskin.
Meski Kerajaan Innist terkenal dengan hasil pertaniannya, tapi semua hasil pertanian dikirim ke luar kerajaan dan rakyatnya hanya disisakan hasil pertanian yang buruk. Bahkan para petani Innist pun tidak bisa merasakan nikmatnya hasil tanaman yang mereka tanam dengan menguras keringat.
Mia mengenakan pakaian lusuh sewarna tanah dengan gerobak reyot dan seekor kuda kurus. Meski penampilannya menyedihkan, tapi seperti itulah tampilan rakyat Innist sehari-hari. Bahkan saat pertama kali sampai di salah satu desa di selatan, Mia tidak pernah menemukan tempat lain yang lebih suram dibanding desa tersebut.
Entah karena perbatasan Kerajaan Innist yang tidak terjaga dengan baik atau memang sama sekali tidak dijaga, di desa-desa perbatasan banyak terlihat prajurit-prajurit Tzaren dengan rambut merah mereka yang khas. Penduduk desa seperti sudah terbiasa dengan kehadiran prajurit Tzaren dan terbiasa pula diperlakukan semena-mena.
Mia pun tidak luput dari kearoganan prajurit Tzaren. Namun, ia sanggup menahan diri ketika digoda dan sesekali dilecehkan meski tidak sampai dibawa ke tempat tidur. Mia tahu, jika menolak maka sama saja menjelaskan bahwa dirinya bukanlah penduduk selatan Innist. Tidak ada penduduk perbatasan Innist-Tzaren yang berani melawan prajurit Tzaren yang beringas.
Mia selalu dapat lolos dari pelecehan prajurit Tzaren setelah prajurit-prajurit itu mendapati banyak bekas luka di tubuhnya hingga ke bagian dada dan bagian intim yang membuat para prajurit Tzaren tidak lagi bernafsu padanya. Namun, dengan wajah Mia yang cantik meski tertutup noda-noda debu juga tanah, para prajurit biasanya meminta Mia untuk ikut menemani mereka minum.
Seperti pada hari itu, di suatu desa di selatan, Mia duduk bersama prajurit-prajurit Tzaren di sebuah bar setelah ia selesai berjualan. Mereka minum-minum sambil tertawa di sebuah meja panjang dan membicarakan perihal perang yang direkam Mia dalam kepalanya untuk dilaporkan pada Ratu Emerald.
Tidak hanya Mia yang menemani para prajurit itu untuk minum, terdapat pula wanita-wanita muda Innist lain. Wanita-wanita itu berekspresi kosong, seolah jiwa mereka telah meninggalkan raga.
Karena kondisi Mia, prajurit Tzaren biasanya hanya merangkul bahunya sambil mengucapkan betapa sayang tubuh Mia telah rusak. Sementara para wanita Innist dengan tubuh yang masih mulus, duduk di pangkuan prajurit-prajurit Tzaren sambil dilecehkan. Para wanita itu tidak lagi melawan atau bersuara. Mereka seperti mayat hidup tanpa ekspresi. Mereka telah belajar bahwa tidak ada gunanya melawan karena hasilnya akan jauh lebih buruk.
Tiba-tiba pintu bar dibanting terbuka. Masuklah seorang prajurit Tzaren berbadan besar dengan setengah rambutnya dicukur pendek dan setengahnya lagi dibiarkan panjang sebahu, sambil menarik tali yang berujung pada leher seorang gadis kecil berbaju kurung dari bahan kasar. Prajurit itu duduk di salah satu kursi lalu memesan bir dengan suara keras, sedangkan anak yang ia seret duduk di lantai.
Seperti wanita Innist yang menemani para prajurit minum-minum, gadis kecil itu juga menatap ke depan dengan pandangan hampa.
"Sebaiknya kau tidak memandangnya terlalu lama seperti itu," ucap salah satu prajurit pada Mia karena Mia memandang cukup lama prajurit yang baru masuk tadi.
"Ah ...." Mia segera menyadari kesalahannya. Ia mengalihkan pandangan dan menunduk.
"Namanya Khagar. Orang itu adalah yang terburuk dari yang terburuk. Sebaiknya jangan mencari masalah dengannya," balas prajurit lain yang duduk bersama di meja panjang yang sama.
Prajurit di ujung meja meminum seteguk lagi bir di gelasnya sebelum berkomentar, "temperamennya jelek dan seleranya aneh."
"Ho ... apakah dia yang dirumorkan itu? Yang kabur setelah membunuh putri—" Kata-kata seorang prajurit bergigi kelinci berhenti setelah dipelototi rekan-rekannya.
Akan tetapi, kata-kata itu membuat Mia teringat akan sesuatu dan makin memasang kuping pada pembicaraan para prajurit Tzaren di meja panjang itu.
"Kabarnya bayi yang belum bisa duduk pun dia sentuh," ucap prajurit di ujung meja yang membuat prajurit lain memasang wajah jijik.
"Aku juga tidak mengerti, apa enaknya meniduri seorang bocah?" lanjut prajurit yang duduk di seberang Mia.
Tiba-tiba kepala seseorang muncul di samping prajurit yang terakhir berkomentar. Tangan orang tersebut mencengkeram kepala si prajurit.
"Tentu saja luar biasa enak dibanding meniduri prajurit tolol sepertimu."
Selesai mengucapkan kata-kata tersebut, orang yang tiba-tiba muncul tadi membenturkan kepala si prajurit ke meja hingga berdarah.
Prajurit-prajurit lain di meja panjang lantas berdiri dan seisi bar menoleh ke sumber keributan itu.
"Apa yang kau lakukan, biadab gila?!" teriak prajurit di samping prajurit yang dibenturkan kepalanya tadi. Ia melihat keadaan rekannya yang kesakitan.
Rupanya orang yang membenturkan kepala si prajurit adalah prajurit Tzaren yang menyeret anak kecil dengan tali dan disebutkan jika namanya adalah Khagar.
"Jika kalian mau membicarakanku terang-terangan, pastikan kalian siap untuk menghadapiku!"
Khagar lantas meludah lalu kembali ke tempat duduknya dan minum dengan santai seolah tidak terjadi apa-apa.
"Kau!"
Salah satu rekan prajurit yang terluka tidak terima dengan perlakuan tersebut dan hendak melayangkan tinju. Namun, ia segera dihentikan oleh rekan-rekannya yang lain.
"Percuma! Jangan melawannya! Dia bisa berkeliaran berbuat semaunya karena dia masih anggota keluarga Jenderal Kiri," ucap seorang prajurit.
Dengan kesal, prajurit yang hendak menyerang tadi lantas membalikkan badannya dan keluar dari bar dengan langkah mengentak disusul rekan-rekannya.
Mia pun ditinggal sendiri di meja. Para prajurit yang tadi minta ditemani minum sudah pergi dan wanita-wanita Innist lain segera menghilang. Terlihat beberapa prajurit yang duduk di meja lain ikut pergi dari bar tersebut, mereka tampak tidak nyaman dengan kehadiran Khagar.
Mia akhirnya ikut keluar juga. Namun, ia menunggu di sela dinding rumah penduduk yang reyot dan lapuk yang bisa melihat dengan jelas ke arah bar. Ia menunggu dengan sabar meski cuaca selatan Innist begitu dingin.
Tidak lama kemudian, Khagar keluar dari bar bersama anak yang dibawanya. Ia menaiki kuda lalu berjalan perlahan dengan tetap menarik si gadis kecil. Bocah itu terseok-seok mengikuti kuda Khagar yang menuju ke gerbang desa. Tampaknya mereka akan keluar dari desa tersebut.
Mia mendengar pembicaraan bersuara rendah antara dua orang penduduk Innist di dekatnya.
"Kasihan. Gadis itu pasti akan mati. Semua bocah yang dibawa prajurit itu keluar dari desa tidak ada yang kembali lagi," ucap seorang wanita tua.
Mia pun berlalu dari tempatnya menunggu. Ia menaiki gerobaknya kemudian keluar dari desa, mengikuti jejak Khagar, si prajurit penyeret gadis kecil.
Sekitar seperempat jam perjalanan, ia mendapati jejak kuda dan jejak kaki kecil berbelok ke kiri, mengarah ke hutan yang gelap.
Mia ikut berbelok ke kiri lalu memarkirkan kuda dan gerobaknya di balik sebuah pohon besar di pinggir hutan yang tidak terlihat dari jalan setapak. Dengan berbekal busur juga panah, ia lantas berjalan kaki mengikuti jejak-jejak di tanah yang semakin masuk ke bagian dalam hutan. Kemudian terdengar suara napas terengah seorang pria dewasa, membuat Mia dengan perlahan mendekati asal suara.
Pemandangan yang dilihat Mia dari balik pohon sungguh menyayat hati. Prajurit Tzaren yang diikutinya sedang melakukan hal buruk pada seorang gadis kecil bangsa Innist.
Mia yang tidak tahan melihat kejadian itu lantas melesatkan anak panahnya. Anak panah yang menembus punggung Khagar tersebut membuat si prajurit meraung kesakitan.
Setelah menarik panah yang tertancap di punggung, Khagar berteriak murka, menyuruh orang yang memanahnya untuk menampakkan diri.
Akan tetapi, Mia tetap bersembunyi. Tidak lama kemudian Khagar ambruk. Suara berdebam membuat Mia menampakkan diri dan melihat targetnya telah jatuh pingsan. Ya, Mia mengoleskan obat bius pada anak panahnya.
Mia menoleh ke gadis kecil di dekat Khagar yang di lehernya masih terdapat tali panjang. Tubuh kecil yang tergeletak tak berdaya di atas tanah tersebut masih hangat, tapi ternyata si bocah telah tiada. Tampaknya lehernya tercekik di tengah permainan biadab prajurit Tzaren yang menyiksanya.
Mia pun menutup mata gadis itu lalu menyelimuti tubuh telanjangnya dengan baju luar Khagar.
Mia ingin membuat kuburan yang layak, tapi ia tidak memiliki cangkul dan ada kemungkinan Khagar sedang dicari kesatuan militer Tzaren karena berbuat onar pada sesama pasukan Tzaren.
Setelah mengucapkan sebaris doa, Mia berlalu dari situ dengan menyeret tubuh besar Khagar. Ia mengikat Khagar kemudian menyembunyikan tubuh besar si prajurit yang pingsan itu di bawah jerami dalam gerobaknya.
Mia pun menaiki kuda kurusnya, mengarah ke ibu kota.
"Sudah waktunya kembali."
***
Jenderal Rozz
"Ah! Sialan! Aku sampai harus mengecat rambutku dengan warna menjijikan ini!" umpat seorang pria yang sedang menyeberangi sebuah tanah luas yang tidak ditumbuhi rumput sedikit pun, tanda dari tanah yang dikutuk.
"Apa boleh buat, Jenderal. Jenderal sendiri yang menyanggupi tugas ini," balas seorang bertudung yang berjalan di belakang orang yang mengumpat tadi.
Jenderal Rozz mengacak rambutnya yang sudah dicat menjadi merah. "Hahh ... ada yang ingin kutanyakan pada orang itu. Karena Tzaren menguasai seluruh gerbang, hanya ini cara untuk menyelundup kemari."
Jenderal Rozz lantas menoleh ke belakang, menatap sepuluh anak buah setianya yang juga mengecat rambut pirang keemasan mereka menjadi merah. Tidak ada keraguan di mata para bawahannya itu, mereka mengikuti setiap keputusan yang diambilnya. Kesetiaan yang sangat ia hormati itu membuatnya tersenyum dan mengurangi rasa jengkel terhadap warna merah yang begitu dibencinya.
Jenderal Rozz dan kesepuluh anak buah terdekatnya menjalankan sebuah misi untuk menuju ke suatu tempat. Mereka harus melewati gerbang lalu menyeberangi tanah tandus yang kering agar dapat mencapai tempat di mana misi mereka berada. Setelah sampai di ujung tanah tandus, terdapat sebuah gerbang lainnya.
"Aneh sekali. Mengapa tidak ada yang berjaga di depan gerbang masuk?" tanya salah satu prajurit Jenderal Rozz.
Terdengar bunyi berderit ketika seorang yang lain mendorong gerbang. Gerbang itu terbuka sedikit.
"Gerbangnya pun tidak dipalang."
Jenderal Rozz merasa ada yang salah. "Buka gerbangnya!" perintahnya pada anak buahnya.
Beberapa anak buah Jenderal Rozz mendorong kedua daun pintu besar yang menjadi gerbang masuk lokasi misi mereka.
Kemudian, seperti insting yang lama terasah melalui berbagai pengalaman bertarung, Jenderal Rozz dan anak buahnya langsung merasakan perasaan buruk. Mereka seolah bisa menebak pemandangan seperti apa yang menyambut di dalam gerbang.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top