Chapter 39 - Kerajaan Aritoria: Tatapan
"Apakah aku tidak bisa ikut?" tanya Alexandrite pada Thony.
Alexandrite yang baru kembali dari bulan madunya, mendapati Thony sedang memberi arahan pada beberapa orang yang tampak akan melakukan perjalanan jauh. Ternyata orang-orang tersebut akan memimpin tentara bayaran dalam pengawalan rombongan Raja Aritoria yang menghadiri pernikahan Raja Innist dengan seorang putri Naz bernama Emerald.
"Aku ingin melihat pernikahan saudariku," lanjut Alexandrite lagi.
Thony yang menyambut kedatangan Alexandrite dan Otto setelah melepas bawahannya tadi, tersenyum seperti biasa.
"Maaf, Nona Alex. Raja Zakh tentu sudah mengetahui wajah Anda, ditambah pemeriksaan akan lebih ketat saat pernikahan kerajaan. Wajah Anda terlalu mencolok untuk bepergian ke pusat perhatian seperti sekarang. Bahkan saya yang amat mirip dengan Otto pun memilih untuk mengutus orang karena saya khawatir ada yang hadir di peristiwa puri Naz."
Alexandrite tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya.
"Tenang saja, Nona. Saya sudah mengutus orang untuk memantau keadaan saudari-saudari Anda yang lain. Pergerakan hingga kondisi mereka akan dilaporkan pada saya," lanjut Thony.
Alexandrite menghela napasnya. Ia tidak membantah karena mengerti risiko yang dimaksud Thony.
"Jika Anda mau ...." Ucapan Thony menarik perhatian Alexandrite kembali. "Ratu Jade tidak berangkat ke Kerajaan Innist bersama Raja Zakh. Saya bisa mengatur jika Anda ingin bertemu singkat dengan Yang Mulia Ratu."
"Eh, Jade tidak berangkat? Kenapa?"
"Ratu Jade sedang mengejar pendidikan ratu yang sangat padat. Jika dalam beberapa bulan lagi Yang Mulia Ratu tidak berhasil menyelesaikan pendidikannya dengan hasil memuaskan, Raja Zakh dituntut untuk mengangkat selir baru," terang Thony.
"Apa?! Selir?!"
Alexandrite mengernyit. Sebelum ia lanjut bertanya, Thony sudah menjelaskan semua kejadian terkait Jade.
Alexandrite hanya bisa tercengang. Bahkan ketika sudah menjadi ratu dengan pasangan yang cukup baik, saudarinya masih mendapat tekanan dari sisi lain. Ia yang sebelumnya mengetahui jika Jade mendapat perlakuan baik dari Raja Aritoria, merasa tenang dengan keadaan saudarinya tersebut. Siapa sangka ternyata ada masalah baru yang tak diduga.
"Bagaimana, Nona? Apakah Anda mau bertemu saudari Anda? Mungkin pertemuan kalian akan memberikan semangat untuk ratu."
Di luar dugaan Thony, Alexandrite justru menggelengkan kepala.
"Tidak. Jade pasti sedang banyak beban pikiran saat ini. Jika aku yang diketahuinya sudah meninggal tiba-tiba muncul di hadapannya, maka fokusnya akan terpecah dan menghambat kemajuan belajarnya sekarang. Aku hanya ingin mengetahui dan memastikan keadaan semua saudariku. Apabila keadaan mereka baik-baik saja, aku cukup berbahagia dengan itu. Aku tidak ingin kenyataan tentang diriku yang masih hidup mengusik kebahagiaan mereka."
Thony tertegun. Tidak menyangka persaudaraan para putri Naz sedalam itu. Namun, ia dapat memahami. Dirinya mungkin akan mengatakan kata-kata yang sama jika hal serupa terjadi padanya dan Otto.
***
Pernikahan disertai penobatan Ratu Innist yang baru, berlangsung aman dan terkendali. Tidak ada yang istimewa dari pernikahan dingin itu. Kedua mempelai, Raja dan Ratu Innist, tampak sama sekali tidak bisa menyembunyikan ketidaksukaan mereka terhadap pernikahan tersebut.
Kondisi pernikahan yang menyedihkan di kerajaan yang terkenal dengan kondisi serupa pun terasa canggung. Makanan-minuman yang disajikan seperti hidangan untuk pesta biasa. Dekorasi aula perjamuan tampak ala kadarnya. Nyaris semua tamu yang hadir mengetahui jika sang raja dan ratu yang baru mengikat janji suci pernikahan, memiliki kekasih masing-masing. Di undangan pun tertera jika pesta pernikahan hanya akan berlangsung satu hari. Padahal biasanya rangkaian pernikahan raja dan ratu bisa berlangsung berhari-hari.
Emerald yang tidak tahan duduk berdua di singgasana bersama Azkhar, memutuskan untuk bergabung bersama saudari-saudarinya di pesta.
"Kak, wajahmu terlihat sekali kalau sedang tertekan," komentar Lazuli.
"Aku tidak tahan berlama-lama bersama bocah konyol itu!" Emerald mendengus.
"Sstt .... Kita masih di tempat umum, Em," tegur Ruby sambil tersenyum. "Bagaimana bisa kamu terang-terangan menghina suami yang baru kamu nikahi."
Emerald hanya memutar bola matanya yang bulat. Pandangannya beralih ke sisi ruangan lain, tempat di mana Einz, kekasihnya, berdiri memantau acara pernikahan. Einz balas menatapnya sambil tersenyum lebar dan membuat Emerald tersipu.
"Ngomong-ngomong, mengapa Jade tidak hadir?" cetus Emerald.
'Deg!'
Ruby pun teringat kejadian sebelum ia berangkat ke Kerajaan Innist. Saat itu Oukha menemuinya untuk menyampaikan jika salah satu adiknya tidak akan hadir pada pernikahan Azkhar dan Emerald.
"Jade tidak akan datang?! Mengapa?! Apa dia baik-baik saja?"
"Dia baik-baik saja. Tenanglah, Ruby," ucap Oukha sembari menjelaskan perihal Jade.
"Benarkah? Tidak ada yang kau tutup-tutupi?"
Mata Ruby menyipit dengan pandangan menilai ekspresi Oukha.
Oukha menghela napas. "Bukankah kau pasti sudah memprediksi ketidakhadiran Jade sebagai efek dari rencana kita di Aritoria? Yah ... wajar kau menjadi sedikit sensitif setelah kejadian yang baru saja terjadi pada Sapphire."
"Aku akan ke Aritoria setelah pernikahan Emerald nanti!" Tidak ada keraguan dalam kata-kata Ruby.
"Tenanglah. Kau memang akan ke sana." Oukha mengangkat kedua tangannya. "Aku sudah menentukan tugas untukmu di Aritoria. Kau bisa menemui adikmu sambil melakukan beberapa hal, kan? Aku harus berangkat ke Tzaren selepas pernikahan Azkhar."
"Jade harus menyelesaikan pendidikan ratu agar bisa mengerjakan tugas kerajaan dengan baik. Jika tidak, Raja Zakh wajib mengangkat selir utama sebagai pengganti untuk mengerjakan tugas ratu," terang Ruby.
"Apa?!" seru Taaffeite, Emerald, dan Lazuli serempak.
"Tidak ada kejadian lain lagi selain hal itu?" Tampaknya Lazuli menjadi sewaspada Ruby untuk perihal yang berkaitan dengan saudari-saudarinya.
"Kuharap. Tenang saja. Setelah acara pernikahan ini, aku akan langsung menuju Kerajaan Aritoria. Aku sudah mendapat izin dari Oukha dan Raja Zakh pun menerimaku untuk ikut bersamanya menuju Aritoria. Aku akan mengabarkan kalian lewat surat setelah memastikan keadaan Jade dengan mata kepalaku sendiri," jawab Ruby.
Ketiga saudarinya pun mengangguk-angguk.
Taaffeite merasa aneh terhadap peraturan Kerajaan Aritoria. Dirinya yang sebagai ratu saja nyaris tidak mengerjakan apa pun dalam kesehariannya dan dia mengungkapkan perasaannya tersebut pada saudarinya yang lain.
"Keadaan Kak Fe-lah yang aneh," balas Lazuli. "Semenjak kedatanganku ke istana Bielinca, aku mendapat pendidikan ratu secara terpisah dengan Raja Rakha. Tidak mudah menjadi seorang ratu. Aku sudah mulai belajar melakukan ini-itu dan hadir dalam rapat-rapat raja bersama dewan penasihat. Ke depannya, setelah pelantikan ratu, pekerjaanku pasti makin bertambah."
"Aku juga memiliki beberapa tugas. Untunglah Raja Oukha membantu memilihkan guru untuk mengajariku karena aku tidak yakin pada pilihan Azkhar," sambung Emerald.
Taaffeite tertegun.
Ruby menyentuh pundak adiknya, Taaffeite. "Raja Tarkh begitu menyayangimu hingga tidak ingin kau terbebani dengan banyak tugas ratu."
Lantas siapa yang mengerjakan tugasku? Tarkh sendiri memiliki banyak pekerjaan sebagai raja. Taaffeite mulai merasa ada yang mengganjal.
"Aku tidak begitu khawatir pada Kak Jade. Justru aku heran, mengapa Raja Tarkh terlihat santai meski tahu Kak Sapphire tidak pernah terlihat sekali pun. Apa dia tidak curiga pada Raja Sirgh?" cetus Lazuli.
Ruby menggigit bibirnya keras-keras saat mendengar nama Sapphire disebut.
Semua putri Naz pun menoleh pada Taaffeite yang merupakan pasangan Raja Tarkh.
Taaffeite mengurut keningnya. "Aku sudah berkali-kali menyinggung tentang Sapphire yang tidak pernah terlihat. Tapi Tarkh hanya menyampaikan jika ia percaya pada kata-kata Raja Sirgh dan apa pun yang terjadi, toh pernikahan Sapphire akan dilaksanakan cepat atau lambat meski di urutan terakhir."
Ketiga putri Naz pun hanya bisa menatap tak percaya pada Taaffeite. Mereka tidak habis pikir bagaimana bisa seorang raja penakluk yang bernalar tajam, menjadi tumpul dalam waktu singkat padahal bukti jelas-jelas terpampang nyata.
***
Ruby mengantar adiknya, Taaffeite, menaiki kereta kuda. Seandainya Jade hadir di pernikahan, ia akan lebih memilih menemani Taaffeite yang sedang hamil tua sambil melihat kondisi sang adik di Kerajaan Tzaren.
"Sampaikan salamku pada Jade," pesan Taaffeite dari jendela kereta kuda.
"Akan kusampaikan," balas Ruby sambil tersenyum.
Setelah kereta kuda rombongan Raja dan Ratu Tzaren yang diikuti iring-iringan kereta kuda Raja Oukha berlalu, Ruby pun menaiki kereta kudanya. Ia akan ikut rombongan Raja Zakh kembali ke Aritoria.
Perjalanan ke Aritoria melewati daerah-daerah pertanian subur Kerajaan Innist dan Aritoria. Pada perjalanan yang panjang, Ruby tidak punya kegiatan lain selain mengamati orang-orang di perjalanannya.
Ruby tertarik akan interaksi kesatria pengawal Kerajaan Aritoria dan tentara bayaran Aritoria. Ia dapat melihat prajurit resmi kerajaan tidak terlihat terlalu termotivasi, sepertinya kebanyakan adalah keluarga bangsawan kelas rendah yang tidak menjadi penerus keluarga. Prajurit tersebut bersikap baik layaknya bangsawan tapi tidak memiliki aura kesatria seperti prajurit-prajurit Ezze, apalagi jika dibandingkan dengan prajurit Kraalovna maupun Tzaren.
Sementara tentara bayaran selalu bersikap awas juga sigap. Stamina mereka lebih baik dan sekalipun memakai pakaian yang lebih sederhana dibanding kesatria kerajaan, aura mereka lebih mengancam.
Entah mengapa, kesatria kerajaan bersikap seolah-olah mereka adalah bawahan para tentara bayaran, selalu mengiakan perkataan dan menyetujui pendapat orang-orang yang dibayar itu.
Rombongan raja baru berhenti cukup lama di salah satu lokasi pada perbatasan Aritoria-Innist. Sebuah tempat yang sepertinya sedang mengalami pembangunan massal. Tembok tebal sudah berdiri mengelilingi satu kawasan besar. Beberapa bangunan ada yang sudah setengah jadi dan ada yang mencapai pembangunan tahap akhir.
Kereta kuda berhenti di sebuah bangunan megah di salah satu sisi kawasan pembangunan tersebut.
Ruby turun dari kereta kuda dan memandangi pembangunan yang sedang dilaksanakan di luar pagar bangunan tempatnya berada.
"Silakan, Ratu Ruby."
Zakh mengarahkan lengannya ke pintu berwarna emas dari bangunan besar yang mereka singgahi.
Ruby menoleh dan berjalan di sisi Zakh. "Apa Yang Mulia sedang membangun kota?"
"Ya. Ini akan menjadi kota perdagangan utama Aritoria."
"Pemilihan lokasi yang bagus. Berada di tengah-tengah daratan dan dilintasi tiga kerajaan sekaligus cukup dekat dengan kota pelabuhan Aritoria. Pasti perdagangan akan semakin maju dan masif. Bagaimana pendapat para pedagang? Apa kalian akan memakai sistem jual atau sewa tanah untuk kota ini? Sudah ditetapkan harganya?"
Zakh menoleh sekilas pada Ruby. Ia yang jarang berinteraksi dengan putri-putri Naz menganggap jika saudari-saudari istrinya tersebut tidak akan jauh berbeda dengan istrinya yang tidak mengerti banyak hal tentang dunia di luar Kota Suci.
"Saya tidak menyangka Ratu tertarik pada kota ini," balas Zakh lalu menjelaskan beberapa hal terkait kota yang sedang dibangun tersebut.
"Apakah masih ada lahan kosong?"
Zakh menatap Ruby heran.
Ruby tersenyum dan melanjutkan. "Kota ini terdengar menjanjikan. Saya ingin berinvestasi."
***
"Kak Ruby!"
Jade menyambut dan memeluk erat saudari tertuanya begitu rombongan raja sampai di istana utama dalam kompleks istana Aritoria yang luas. Hari masih pagi ketika rombongan sampai di tujuan.
Ruby membalas pelukan tersebut. Ia lalu meneliti adiknya dari atas ke bawah. Jade tampak baik-baik saja meski terlihat lelah.
"Kau makin kurus. Bagaimana keadaanmu?"
Jade tersenyum sedih. "Ah, andaikan aku dulu belajar seperti Kak Ruby. Aku nyaris tidak tidur dengan cukup setiap hari. Buku-buku itu ... setiap melihatnya membuatku makin pusing."
Ruby tertawa kecil.
"Bersabarlah, Ratuku," ucap Zakh sambil mencium punggung tangan Jade.
Jade tersenyum pada Zakh. Ruby dapat melihat jelas kerinduan di antara mereka berdua padahal baru beberapa minggu berpisah.
"Ah, Kak Ruby pasti lelah. Beristirahatlah dulu. Maaf, aku tidak bisa mengantar ke kamar. Aku ada kelas setelah ini. Kita akan bertemu di makan malam nanti. Tidak apa kan?" ucap Jade.
"Pergilah. Gurumu pasti menunggu. Jangan terlalu mengkhawatirkanku."
Setelah Zakh mengucapkan beberapa patah kata pada Ruby untuk ucapan selamat datang, raja itu menggandeng lengan ratunya masuk ke dalam istana utama.
Ruby pun diarahkan oleh seorang dayang Aritoria untuk menuju ke bangunan lain yang cukup dekat, tempat untuk tamu penting dari kerajaan lain tinggal selama berkunjung ke Aritoria.
Sebenarnya semenjak pertama kali menginjakkan kaki di istana Aritoria pada pernikahan Zakh dan Jade beberapa bulan yang lalu, Ruby sering merasakan banyak mata mengarah padanya. Bisikan-bisikan juga terdengar samar dari belakangnya. Ruby tidak pernah mengalami hal seperti itu di kerajaan lain, seolah setiap sisi istana meneliti dirinya dari berbagai penjuru.
Meski demikian, yang dirasakannya tidak seperti pandangan bermusuhan yang pernah dialaminya di istana Tzaren. Tatapan-tatapan di Aritoria lebih seperti keingintahuan yang mendalam.
Awalnya Ruby mengira sang adik yang menjadi Ratu Aritoria juga mendapatkan perlakuan yang sama. Namun, jika ia dan Jade bertemu lalu berpisah, tatapan-tatapan dari banyak arah tadi seperti kembali padanya, alih-alih menatap Jade atau adiknya yang lain. Sebuah hal yang mengherankan Ruby meski ia tidak begitu ambil pusing selama Jade baik-baik saja di sana.
Begitu sampai di depan sebuah paviliun, dayang yang mengantar Ruby mempersilakannya untuk masuk. Namun, Ruby menahan si dayang.
"Apa ada sesuatu di wajahku?"
Pertanyaan mendadak Ruby membuat dayang Aritoria tersebut terkejut dan kehilangan kata-kata selama beberapa saat sebelum akhirnya ia bisa menguasai diri lalu kembali tersenyum ramah.
"Selain wajah yang luar biasa indah, tidak ada hal yang aneh, Yang Mulia."
"Hmm ... baiklah."
"Ada yang Yang Mulia butuhkan lagi?"
Ruby pun mempersilakan dayang itu pergi lalu memasuki paviliun bersama dua dayang pribadinya. Satu adalah kepala dayang kepercayaannya yang memiliki peran ganda, yakni sebagai dayang penghubung untuk Putri Freyja sekaligus berpura-pura menjadi mata-mata bangsawan Ezze, bernama Ellise. Satu merupakan dayang dari pihak Oukha, bernama Izelle. Keduanya adalah dayang yang sering ia bawa bepergian.
"Apa kalian lihat ekspresinya?" tanya Ruby.
"Ya, Yang Mulia." Kedua dayang menjawab bersamaan.
"Apakah Yang Mulia ingin kami mencari tahu?" tanya salah satu dayang Ruby.
Ruby menggelengkan kepala sebagai jawaban.
Ruby yakin ada misteri yang belum diketahuinya. Sikap aneh orang-orang di istana Aritoria yang hanya ditujukan padanya tentu berarti sesuatu. Namun, saat itu ada urusan lain yang lebih mendesak. Oukha tidak membiarkannya pergi menuju Aritoria begitu saja. Ada hal-hal yang diperintah Oukha untuk diurusnya di kerajaan yang terkenal akan perdagangan tersebut. Ia segera membagi tugas.
"Izelle, pergilah! Tugasmu cukup banyak kali ini. Kumpulkan data-data mengenai Kota baru Ramia dan cari tahu sebanyak mungkin tentang pergerakan beberapa pedagang di daftar ini!" Ruby memberikan secarik kertas dan sekantung emas. "Emas itu bonus dari Oukha karena tugasmu lebih banyak. Jika hasil yang kau kumpulkan memuaskan, akan ada bonus tambahan begitu kita kembali ke Ezze."
Dayang dari pihak Oukha pun menerima tugas tersebut dengan senang hati.
"Ellise, cari tahu siapa orang paling berpengaruh di antara gilda tentara bayaran! Pertemukan aku dengannya. Akan mencurigakan jika kedua dayangku lama tidak terlihat di sisiku. Kau akan menemaniku selama di Aritoria. Tugasmu sementara cukup itu."
Dayang yang paling dipercaya Ruby pun membungkukkan badannya. Kedua dayang lantas berlalu dari ruangan dan mulai menjalankan tugas yang diberikan.
***
"Sampai di mana pelajaranmu, Jade?" tanya Ruby pada saat makan malam di hari yang sama dengan kedatangannya.
Jade menyuap sesendok penuh makanan dengan lemas.
"Aku sedang mempelajari sosial tingkat menengah dan dasar politik dalam negeri."
Ruby tersenyum. Ia menghitung jangka waktu belajar Jade dalam kepalanya, tidak bisa dibilang perkembangan yang cepat.
"Politik dalam negeri itu mudah kalau kamu mengenal budaya dan orang-orangnya."
"Ya, aku pun mempelajari budaya Aritoria. Orang-orang Aritoria memiliki pemikiran terbuka, unggul dalam berdagang, terkadang bisa bersikap sopan dan terkadang bisa bersikap keras. Budaya di sini bercampur antara ...." Jade menjelaskan panjang lebar apa yang ia pelajari dari buku-buku yang belakangan berserakan di sekitarnya.
"Jade ...." Ruby menyela. "Apa yang kau pelajari itu benar sekali. Tapi kau mempelajari budaya Aritoria dari sudut pandang orang asing. Jika kau ingin memahami lebih dalam lagi, kau harus berbaur dengan mereka, bertindak juga berpikir seperti mereka, lalu tinggalkan sejenak nilai-nilai dan norma-norma yang kau bawa dari Kota Suci."
Lagi dan lagi, Ruby membuat Zakh yang ikut makan malam bersama kedua putri Naz menjadi keheranan.
"Siapa Ruby ini? Dia seperti bukan seorang putri Naz," batin Zakh.
Sementara itu, Jade lantas memikirkan apa yang dimaksud sang kakak.
Ruby lalu menoleh pada Zakh. "Yang Mulia, besok saya ingin berjalan-jalan."
"Aku akan menyiapkan pengawalan untukmu. Ke mana kau akan pergi?"
"Kota pelabuhan utama Aritoria."
Zakh menghentikan kegiatan makannya dan memandang Ruby dengan tatapan menyelidik.
Ruby tersenyum lebar. "Yang Mulia tidak perlu khawatir. Saya tidak berniat untuk kabur dengan kapal. Tidak mungkin saya meninggalkan adik-adik saya yang lain kalau saya memang ingin kabur."
Zakh berdeham. "Bukan itu maksudku. Tadi kupikir kau hanya akan berjalan-jalan di dalam ibu kota saja."
"Aku pun berpikir demikian, Kak," timpal Jade. "Ada apa di kota pelabuhan utama? Jika ingin melihat kapal ataupun pedagang asing, ibu kota juga merupakan kota pelabuhan meski dalam skala yang lebih kecil dibanding kota pelabuhan utama."
"Oh, tentu saja aku juga akan berjalan-jalan di ibu kota. Tapi aku ingin lebih dulu mengunjungi kota pelabuhan utama Aritoria yang terkenal. Aku menganggap perjalanan ini sebagai liburan, jadi aku berencana mengunjungi tempat-tempat terkenal di Aritoria," jelas Ruby sambil tersenyum lagi.
Senyum yang membuat Zakh bertanya-tanya apa yang ada di balik senyum itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top