Chapter 28 - Kerajaan Innist: Pertemuan
Apa kau pernah bertemu dengan wanita cantik? Tentu pernah. Apa kau pernah bertemu dengan wanita yang membuatmu melihat dirinya adalah satu-satunya yang berwarna sementara yang lain abu-abu? Ah, aku meragukannya. Tapi jika benar, maka itu adalah cinta. Ya ... kurasa orang-orang menyebutnya seperti itu.
Sebelumnya kata itu begitu tabu bagiku. Aku lahir dari istri kedua ayahku yang seorang jenderal besar. Ibuku merupakan orang dari kerajaan lain sehingga posisinya di rumah tidaklah begitu baik. Keluarga besar ayah bahkan mengatakan ibuku adalah seorang pelacur yang dibawa ayahku saat kembali dari kerajaan sebelah. Mereka juga menyebarkan rumor jika aku adalah anak dari laki-laki lain yang tidak jelas asal usulnya sebelum ibuku pindah ke kerajaan ini. Padahal aku tahu dengan jelas, jika aku lahir pada tahun kedua ibuku menjadi istri dari ayahku.
Awalnya, aku tidak diperhatikan. Bahkan ayahku tidak begitu peduli padaku. Andaikan anak satu-satunya ayah dari istri pertamanya tidak cacat, aku mungkin benar-benar akan tersingkir dari rumah, terutama setelah ibuku meninggal dunia. Anak laki-laki lain yang juga adalah kakakku mengalami kecelakaan saat menunggang kuda. Ia mengalami kelumpuhan dan karena kepalanya terhantam batu, ia seperti orang linglung yang tidak berhenti mengeluarkan liur dari mulutnya yang selalu terbuka. Aku ragu, apakah ia lebih baik hidup menyedihkan seperti itu atau langsung mati saja saat kecelakaan terjadi. Namun, aku tidak bersimpati padanya, sama sekali tidak. Ia salah satu orang yang sering menindasku.
Setelah itu posisiku di rumah berubah. Aku disebut-sebut sebagai pewaris utama Jenderal Besar Innist. Beberapa kerabat tampak berusaha terlihat baik padaku. Ayah pun seperti tidak suka tapi tidak bisa menolak kenyataan bahwa aku menjadi satu-satunya pewarisnya. Ayahku memperlakukanku dengan dingin, tapi tidak seburuk dulu.
Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah istri pertama ayahku. Ia makin terang-terangan tidak menyukaiku dan menuduhku macam-macam, salah satunya adalah aku yang merencanakan kecelakaan kakakku. Padahal saat itu aku berada jauh di luar kota. Ia juga berusaha memengaruhi ayah dengan memberi saran untuk mengambil pewaris dari keponakan ayah yang seusia denganku. Alasannya sederhana: aku lebih mirip ibuku dan tidak begitu mirip orang Innist pada umumnya. Hanya karena kemampuan berpedangku yang bisa mengimbangi ayah yang membuat ayah tetap memilihku menjadi pewaris.
Aku pun tumbuh menjadi orang yang tidak peduli dengan sekitar karena membuat diriku peduli justru akan menghancurkanku di lingkungan yang keras ini. Aku juga tidak peduli ketika terjadi revolusi tidak jelas yang membuat banyak bangsawan jatuh sesaat sebelum perang besar oleh Raja Tarkh dimulai. Ayahku salah satu dari sedikit yang selamat karena ia menarik prajurit-prajuritnya untuk mempertahankan rumah alih-alih istana. Tidak lama setelah revolusi, muncul bangsawan-bangsawan baru yang berasal dari orang-orang biasa yang kaya dan membeli gelar bangsawan. Aku pikir itu lucu, untuk apa rakyat mengadakan revolusi jika hanya memutar roda kembali ke asal? Tapi memang para bangsawan menjadi lebih berhati-hati dalam melakukan sesuatu. Beberapa bangsawan yang mendukung pemberontakan pun sempat menjadi raja sementara sebelum diambil alih oleh Raja Tarkh. Belakangan baru kuketahui jika mereka adalah boneka Raja Tarkh.
Raja baru dari Tzaren pun datang. Raja Azkhar lebih muda dariku dan perilakunya amat sangat mengecewakan. Ia seperti anak bangsawan yang terlalu dimanja tanpa mendapat pendidikan bagaimana menjadi raja yang semestinya. Sifatnya merupakan mangsa empuk bangsawan-bangsawan penjilat tapi berbahaya untuk jangka panjang. Bangsawan tampak kembali semena-mena karena raja baru adalah seorang Tzaren yang memenangkan perang besar dan tentunya rakyat kali ini tidak berani melakukan revolusi lagi.
Aku mendengar bahwa dua putri Naz diboyong oleh Raja Azkhar ke Innist. Melalui selentingan kabar katanya mereka diperlakukan dengan sangat menyedihkan oleh Raja Azkhar. Selentingan kabar yang tidak kucari tahu lagi lebih lanjut karena aku tidak begitu peduli. Kemudian kejadian mengejutkan itu pun terjadi, kematian salah satu putri Naz. Penyebab kematiannya ditutup-tutupi tapi aku mengetahui kebenarannya dari ayahku yang menyuruhku ikut mencari laki-laki yang membunuh seorang putri Naz. Sungguh laki-laki yang hina karena tega menyentuh seorang anak kecil!
Laki-laki itu tidak kami temukan meskipun seluruh penjuru kerajaan memeriksa semua yang berambut merah. Kudengar putri Naz yang lebih tua menjadi frustrasi dan setengah gila. Lagi-lagi, aku tidak peduli.
Kemudian aku melihatnya saat pemakaman putri bungsu Naz yang diselenggarakan ulang, putri Naz satu lagi yang dikirim ke Innist: Nona Emerald. Berdasarkan selentingan kabar tentangnya, kupikir ia akan tampil berantakan dengan kejiwaan yang mulai terganggu. Siapa yang tahan diperlakukan seperti itu dan menghadapi kematian adiknya yang tragis? Namun, yang kulihat justru seseorang yang begitu indah. Ia bagaikan sebuah pelangi yang muncul setelah badai berkepanjangan. Padahal banyak putri-putri Naz lain yang hadir saat pemakaman itu, tapi hanya pada dialah perhatianku tertuju.
Aku tidak bisa melepas pandanganku darinya. Setiap gerak geriknya, setiap sudut wajahnya, bahkan hingga air mata yang terjatuh di pipinya, semuanya begitu indah. Beruntung aku diajak untuk menjaga istana saat para raja dan putri Naz berkumpul di sana. Aku bisa diam-diam memperhatikannya lebih lama lagi.
Dadaku terasa sesak. Betapa aku ingin merengkuhnya dalam dekapanku! Lalu rasa sesak itu semakin menyakitkan saat aku tersadar bahwa dialah putri Naz yang sudah melewati berbagai peristiwa mengerikan yang selama ini kuabaikan. Perlahan aku membenci Raja Azkhar yang dulu tentangnya tidak pernah kuambil pusing. Bagaimana bisa raja itu menyia-nyiakan gadis yang begitu luar biasa? Andaikan aku berada di posisi itu, aku tidak akan melepaskannya dari pandanganku!
Aku kembali ke rumah dengan perasaan yang semakin menggila. Aku tidak tahan! Bagaimana caranya agar aku bisa dekat dengannya? Apakah aku bisa memilikinya? Sedikit saja! Aku ingin menyentuhnya sedikit saja biarpun hanya rambutnya yang gelap bersinar. Sepertinya aku sudah mengenal apa itu kata serakah.
Ah ... aku kacau sekali! Aku belum pernah menginginkan sesuatu seumur hidupku, tapi kali ini aku menginginkan sesuatu yang tidak bisa aku raih! Apakah seperti ini perasaan Raja Tarkh ketika menginginkan putri Naz yang menjadi ratunya sekarang? Jika iya, aku tidak bisa menyalahkannya. Perasaan manis yang sungguh menyiksa.
Aku pun keluar menuju sungai di hutan perburuan istana, tempat aku menenangkan diri selama ini. Para penjaga sampai hafal padaku dan sudah terbiasa melihatku bolak-balik melewati gerbang istana untuk menuju tempat sunyi tersebut. Hutan perburuan yang jarang dipakai karena keluarga raja dahulu dan keluarga bangsawan Innist menganggap kegiatan fisik seperti perburuan itu merepotkan, sehingga hanya akulah yang biasa terlihat di sini.
Akan tetapi ... malam ini terjadi sesuatu yang tidak akan kulupakan. Aku pikir aku bermimpi atau aku sudah gila karena tidak mungkin gadis yang begitu kudamba sedang bermandikan cahaya bulan di tempatku biasa menyendiri. Sosok itu begitu indah seolah tidak nyata. Aku sampai bersembunyi karena kupikir keindahan di depan mataku akan hilang jika aku mendekatinya.
***
Emerald tidak merasa begitu sehat malam itu. Namun, ia tetap memaksakan diri untuk menyelinap keluar istana diam-diam. Ada sebuah rencana yang diberikan kakaknya, Ruby, untuknya: ia harus menemui laki-laki yang kabarnya tertarik diam-diam padanya. Ia tidak tahu setertarik apa orang tersebut, tapi Emerald merasa perlu mencoba daripada pesimis dan tidak berbuat apa-apa.
Dengan sedikit sogokan pada penjaga pintu samping istana yang berbatasan dengan hutan berburu, Emerald berhasil menyelinap keluar. Pintu kecil itu jarang dipakai sehingga hanya ada seorang prajurit bosan yang berjaga di sana.
Rangkaian pohon-pohon gelap bagian dari hutan berburu menyapa begitu begitu keluar dari bangunan istana. Emerald menghirup dalam-dalam udara malam yang terasa dingin tapi juga menyegarkan. Pandangannya menyapu ke atas. Langit begitu indah dihiasi bintang-bintang yang berkelap-kelip dan bulan yang bulat penuh memantulkan cahaya lembut.
Tanpa rasa takut, Emerald melangkah masuk ke dalam hutan. Hutan yang berbayang justru membuatnya nyaman. Sejujurnya, ia merasa tidak banyak yang bisa membuatnya takut lagi semenjak kematian adiknya. Ia bisa mendengar dari kejauhan suara air mengalir. Di sanalah tujuannya, sungai yang mengalir di tepi hutan istana.
Kakaknya, Ruby, ternyata sudah menyelidiki tentang laki-laki yang tertarik padanya ketika kakaknya itu memiliki waktu tambahan saat Raja Oukha dan Raja Azkhar pergi membantu Raja Tarkh ke Kerajaan Zetaya. Kabarnya laki-laki tersebut sering merenung pada malam hari di tepi sungai hutan berburu, terutama di malam-malam purnama seperti saat itu.
Emerald mendapati tepi sungai yang kosong saat sampai di tujuannya.
"Hmmm ... apakah malam ini laki-laki itu tidak datang? Atau aku berada di tepi sungai yang salah? Tapi kata Kak Ruby tinggal berjalan lurus dari pintu samping istana," batin Emerald.
Ragu-ragu, Emerald pun menyisir sungai dengan tepian berbatu. Sesekali ia melepas sepatu dan menyepak sungai dengan kakinya lalu mengernyit karena campuran rasa dingin dan segar air sungai.
"Ah!"
Pada sepakan yang kesekian, Emerald nyaris tergelincir karena pijakan batu pinggir sungai tempatnya berdiri cukup licin. Badannya oleng ke belakang dan kemungkinan akan jatuh dengan menyakitan seandainya tidak ada sepasang tangan kekar yang menopang tubuhnya.
Emerald kaget dan jauh lebih kaget lagi begitu menyadari ada yang menolongnya. Ia menolehkan kepalanya ke kanan atas dan mendapati seraut wajah tampan yang sedikit terbakar matahari sedang balas memandanginya. Seingat Emerald wajah seperti itu tidak seperti kebanyakan orang Innist. Bagaimana bisa dirinya tidak menyadari ada laki-laki yang tampan seperti itu di lingkungan istana? Apakah karena ia terlalu berkutat dengan sakit dan penderitaannya hingga tidak menyadari kondisi sekitar?
Mereka saling memandang lama hingga akhirnya laki-laki tersebut menegakkan tubuh Emerald dan membungkuk hormat.
"Maafkan saya sudah berbuat lancang pada seorang putri Naz."
Emerald terdiam sebelum menyadari siapa yang ada di hadapannya. Laki-laki yang dimaksud kakaknya, Ruby, yang kabarnya jatuh hati pada dirinya. Anak kedua dari istri kedua Jenderal Besar Innist, yang bernama Einz.
Perawakan laki-laki itu cukup kekar dan termasuk proporsional. Kulitnya sedikit lebih gelap seperti lama berada di bawah matahari. Rambutnya berwarna cokelat muda yang lebih terang dibanding kebanyakan orang-orang di Innist. Namun, yang paling menonjol adalah wajahnya. Wajahnya terpahat sempurna seperti patung yang dipahat oleh seniman ahli.
"Tidak apa-apa. Justru saya yang harus berterima kasih." Emerald melanjutkan untuk menyembunyikan kegugupannya. "Mengapa kamu berada di sini? Apakah kau adalah salah satu prajurit istana?"
Emerald berpura-pura tidak mengetahui siapa laki-laki itu. Ia memang belum mengenalnya meski sudah diberi beberapa petunjuk oleh kakaknya.
Laki-laki tadi kembali membungkukkan badan dan menyilangkan lengan di depan dadanya. "Ah, maafkan ketidaksopanan saya. Nama saya, Einz. Anak dari Jenderal Neza. Saya tidak menyangka akan menemukan putri Naz di tempat seperti ini."
Emerald ikut membungkuk. "Panggil saja aku Emerald. Apa maksudmu dengan 'tempat seperti ini'?"
Einz menoleh ke kiri dan kanan. "Tempat serupa hutan ini. Di sini memang hutan istana, tapi tidak aman bagi putri Naz untuk berada di sini sendirian. Jika Anda mau, saya akan memanggil beberapa prajurit istana untuk menemani. Atau Anda ingin kembali ke istana? Sekarang mulai larut malam."
Emerald memiringkan kepala sedikit. "Einz ... apakah kau seorang prajurit?"
Einz tampak bingung begitu pertanyaannya dibalas dengan pertanyaan yang tidak ada sangkut pautnya. "Pangkat saya memang belum setinggi ayah saya. Tapi, ya, saya adalah seorang prajurit dan seorang kesatria Innist."
Emerald tersenyum lebar lalu menarik tangan Einz. "Kalau begitu kau saja yang menemaniku. Aku ingin menghirup udara segar. Apa kau tidak keberatan?"
Einz terkejut dengan sikap Emerald yang tiba-tiba seperti itu. Emerald dapat melihat wajah Einz memerah. "Eh ... putri ...."
"Panggil aku Emerald!"
"No ... Nona Emerald. Saya rasa sangat tidak layak bagi saya untuk bersentuhan dengan Anda seperti ini."
"Mengapa? Aku hanya menggandeng tanganmu."
"Ah ... itu ...." Einz tampak tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia pun tidak menolak seorang putri Naz menggandeng tangannya dan mengarahkan jalan, menyusuri tepi sungai.
Mereka berdua berjalan di tepi sungai dalam diam. Hanya ada suara binatang-binatang malam yang menghiasi susana dan angin yang bertiup menyebarkan udara dingin.
"Maaf jika saya lancang, tapi mengapa Anda berada di sini?" Akhirnya Einz bersuara. Ia sengaja melontarkan pertanyaan asal karena merasa degup jantungnya semakin keras, khawatir jika putri Naz bahkan dapat mendengarnya.
"Karena langit."
"Langit?"
"Bukankah langit saat ini terlihat begitu indah? Bintang-bintang berkilauan dan lihatlah bulan yang besar itu! Seolah balik menatap kita."
"Anda bisa melihat pemandangan langit dari jendela atau taman di istana."
"Aku menyukai kesunyian di sini. Terasa sangat lega dan menyenangkan. Apa menurutmu aku bisa menikmatinya di istana dengan perasaan yang sama dengan di sini?"
Einz tertawa sedih. "Tidak."
"Aku benci istana itu. Tidak ada yang baik di sana."
Einz tampak terkejut mendengar pernyataan terus terang dari mulut Emerald. Namun, ia tidak berkomentar sedikit pun. Ia kemudian sadar Emerald mengarah ke jalan menuju istana.
Saat berada di tepi hutan, Emerald melepas gandengannya dan menatap Einz cukup lama. Einz pun menunggu, seolah ia tahu putri Naz itu akan mengatakan sesuatu.
Emerald kemudian memberi Einz isyarat untuk mendekatkan wajahnya. Einz yang berbadan tinggi pun sedikit menunduk. Gadis itu berbisik tepat di telinganya.
"Kuberi tahu sesuatu, Einz. Ini rahasia. Aku sangat membenci Raja Azkhar! Aku harap kau menyelamatkanku dari kebosanan akhir pekan ini. Datanglah lagi ke istana."
Tiba-tiba Emerald setengah berlari kembali ke istana, meninggalkan Einz dengan wajahnya yang merah dan dada yang berdegup kencang.
Lama Einz berada di sana, seolah jiwanya tersedot ke dunia lain. Ia tidak menyangka akan bertemu pujaan hatinya di tempat yang tidak terduga seperti itu. Jauh lebih tidak menduga akan digandeng oleh Emerald dan wajah mereka tadi sangat dekat saat Emerald berbisik padanya. Lantas Einz tersadar akan sesuatu.
"Akhir pekan ini?"
***
Keesokan harinya, Emerald terkapar di tempat tidur. Ia demam tinggi yang membuat seisi istana panik termasuk juga Azkhar.
Azkhar tidak peduli pada Emerald tapi ia peduli pada reaksi adiknya, Oukha. Oukha pasti akan menghabisinya apabila terjadi sesuatu pada putri Naz itu. Kematian Pearl sudah menjadi peringatan yang mengerikan ketika ia harus menghadapi kemarahan saudara-saudaranya.
"Bagaimana kondisinya?" Azkhar bertanya pada tabib yang sedang menangani Emerald.
"Sepertinya Nona Emerald hanya masuk angin, Yang Mulia."
"Hanya masuk angin? Tapi demamnya tinggi sekali!"
Emerald tertawa dalam hati. Ia yakin kesehatannya tiba-tiba memburuk karena ia memaksakan keluar di malam yang dingin di saat kondisinya sedang tidak fit. Namun, anehnya Emerald tidak menyesal.
"Dengan tubuh Nona Emerald yang lemah, segala penyakit bisa menjadi sangat buruk dampaknya dibanding orang-orang pada umumnya," jawab tabib istana.
"Ck!" Oukha nyaris mengucapkan sumpah serapah jika ia tidak menyadari tatapan tajam Emerald. Bagaimanapun juga gadis itu sudah menjadi mata bagi Oukha. Azkhar justru heran ketika gadis itu tidak membalas perbuatannya dengan mengadu pada Oukha.
"Istirahatlah yang cukup, Nona. Saya akan meresepkan obat herbal untuk Anda," lanjut si tabib.
"Baiklah. Kurasa aku hanya akan bisa berbaring sepanjang minggu ini."
Azkhar tampak gelisah. "Cepatlah sembuh, Em. Kau tahu aku tidak bisa menghadapi mereka sendirian akhir pekan ini. Aku takut berbuat kesalahan. Oukha akan menggantungku jika aku salah."
Emerald memutar bola matanya dan membatin, "Memang apa yang bisa kau lakukan?"
Setelah Emerald menyuruh mereka semua keluar dengan alasan ingin istirahat dan tidak ingin diganggu, ia mulai teringat kembali pertemuannya dengan laki-laki yang dimaksud kakaknya.
Einz, nama yang mulai membuat Emerald tersenyum sendiri. Ia tidak menyangka laki-laki yang menjadi misinya setampan itu. Ia pikir mendekati Einz akan terasa sulit mengingat dirinya yang nyaris tidak pernah bertemu laki-laki lain selain ayahnya dan beberapa pendeta juga tabib di Kota Suci. Mungkin karena ia juga tertarik pada Einz, semua terasa berjalan secara alami. Emerald sendiri kaget ia bisa segenit itu semalam.
Emerald melindungi wajahnya dengan kedua tangan seolah-olah sedang menutupi ekspresi malunya dari orang lain meski dirinya tengah sendirian di kamarnya. Ia bisa merasakan napas dan wajahnya yang panas.
"Einz ...."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top